Rabu, 07 September 2022

Sejarah Jambi (22): Kesultanan Jambi dan Nama Jambi; Kerajaan Jambi Diantara Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Palembang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini  

Kerajaan-kerajaan besar di pantai timur Sumatra berada di daerah aliran sungai. Kerajaan Jambi berada di daerah aliran sungai Batanghari. Di daerah aliran sungai Musi adalah kerajaan Palembang, di daerah aliran sungai Indragiri adalah kerajaan Indragisi. Lalu ke arah utara ada kerajaan Siak, kerajaan Aru, sedangkan di selatan ada kerajaan Tulang Bawang. Bagaimana kerajaan-kerajaan pantai timur Sumatra ini muncul terhubung dengan kerajaan-kerajaan di masa lalu di wilayah yang sama, Catatan sejarah raja-raja di pantai timur Sumatra tertua ditemukan dalam prasasti abad ke-7.


Kesultanan Jambi adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di provinsi Jambi. Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu Jambi yang didirikan oleh Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak di Kota Jambi, pada tahun 1460. Dalam perkembangannya, pada tahun 1615 kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya Sultan Thaha Syaifuddin. Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu, dan kemudian menjadi bagian dari pendudukan wilayah Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan vasal Majapahit, dan pengaruh Jawa masih terus mewarnai kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan ke-18. Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah Jambi. Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Setelah Istana Tanah Pilih Kota Jambi di hancurkan Belanda, dan Sultan Thaha mundur ke pedalaman Jambi. Oleh kerabat orang kerajaan Jambi dipilih lah Pangeran Singkat Lengan menjadi Sultan menggantikan Thaha dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Masa itu kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota (Kota Jambi) namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari papan. Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah Belanda. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Kesultanan Jambi dan nama Jambi; Kerajaan Jambi diantara Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Palembang? Seperti yang disebut di atas, Kerajaan Jambi yang menjadi kesultanan (Islam), adalah simpul peradaban dan kekuasaan di wilayah daerah aliran sungai Batanghari. Lalu bagaimana sejarah Kesultanan Jambi dan nama Jambi; Kerajaan Jambi diantara Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Palembang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kesultanan Jambi dan Nama Jambi; Kerajaan Jambi Diantara Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Palembang

Banyak raja/sultan di Sumatra telah berakhir. Namun raja dari Kerajaan Jambi, Sultan Jambi terbilang cukup lama eksis (termasuk dalam hal ini Sultan Atjeh dan Radja Sisingamangaradja di Tanah Batak). Radja Aroe telah berakhir pertengahan abad ke-16, Radja Pagaroejoeng berakhir tahun 1803, Sultan Palembang berakhir tahun 1815.  Tentu saja masih ada raja-raja dari kerajaan yang lebih kecil seperti di Lampong, hulu sungai Musi, Sultan Siak, Sultan Lingga, Sultan Riau dan sebagainya. Salah satu partner strategis Raja Jambi di masa lalu adalah Raja Aroe.


Hubungan antara Kerajaan Aru dan Kerajaan Jambi dilaporkan oleh Mendes Pinto (1539). Mendes Pinto yang pernah ke ibu kota Kerajaan Aru pada tahun 1537 menganggap kerajaan yang sangat kuat. Pada masa sebelumnya disebutkan Kerajaan Aru pernah menyerang Kerajaan Malaka, yang membuat orang-orang di Malaka selalu khawatir terhadap serangan Kerajaan Aru (yang hanya dibatasi oleh selat, Selat Malaka). Kerajaan Aru menurut Mendes Pinto (yang datang dari Malaka) memiliki kekuatan sebanyak 15.000 pasukan dimana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Jambi, Indragiri, Minangkabau, Broenai dan Luzon. Ini mengindikasikan ada relasi yang kuat antara Kerajaan Aru dan Kerajaan Jambi di sepanjang pantai timur Sumatra. Pada saat kunjungan Mendes Pinto ke Kerajaan Aru, kerajaan tengah peresiapan perang dalam perselisihan dengan Kerajaan Aceh.

Setelah memudarnya Kerajaan Aru pada akhir abad ke-16, yang menjadi kekuatan baru di (pulau) Sumatra adalah Kerajaan Atjeh. Bahkan Kerajaan Atjeh mampu mengatasi Portugis di Malaka dan juga melumpuhkan Kerajaan Johor. Pengaruh Kerajaan Atjeh di pantai timur Sumatra hingga ke Siak, dan di pantai barat Sumatra hingga ke Padang. Kerajaan Atjeh di pedalaman memiliki relasi dengan Kerajaan Batak (yang beribukota di Boetar) dan Kerajaan Minangkabau (beribukota di Pagaroejoeng). Kerajaan-kerajaan-kerajaan Sumatra bagian selatan antara Kerajaan Jambi, Kerajaan Palembang, Kerajaan Tulang Bawang, Kerajaan Lampong, Kerajaan Selebar dan Kerajaan Indrapoera.


Pada era VOC/Belanda, Belanda meluaskan pengaruhnya di Sumatra sejak tahun 1665 dengan mengusir Atjeh dari pantai barat Sumatra (Padang, Pariaman, Ticoe, Natal, Tapanoeli dan Singkil). Militer VOC dalam serangan ke pantai barat Sumatra didukung pasukan pribumi diantaranya pasukan yang dipimpin oleh Aroe Palaka. Kerajaan Minangkabau di pedalaman wait en see. Pada tahun 1665 ini kebijakan VOC/Belanda diubah dimana awalnya sekadar melakukan perdagangan di kota-kota pantai menjadi kebijakan baru dimana penduduk dijadikan sebagai subjek. Korban pertama kebijakan baru ini, selain di pantai barat Sumatra, adalah VOC berhasil menaklukkkan Kerajaan Gowa di Makassar pada tahun 1669. Di Jawa sendiri VOC mulai menerakan kebijakan bari ndi hulu daerah aliran sungai Tjiliwong (tahun 1687), kemudian di Jawa Tengah. Lalu pada tahun 1701 VOC mendirikan brenteng baru di Semarang dan Soerabaja.

Berdasarkan Peta VOC tahun 1695 di daerah aliran sungai Batanghari diidentifikasi pos-pos perdagangan (logi) yang dimiliki Belanda dan Inggris. Namun tidak diketahui secara jelas apakah di wilayah Jambi sudah menerapkan kebijakan baru yang menjadikan penduduk sebagai subjek. Namun yang jelas tahun 1707 VOC mulai membangun benteng (fort) di Jambi di sisi utara sungai Batanghari yang mana di sisi selatan sungai terdapat area kraton Jambi berada.


Biasanya dengan adanya benteng adalah suatu indikasi dimana pemimpin local (raja/sultan) sudah terjalin relasi yang kuat antara raja/sultan dengan pemerintahan VOC. Hal yang sama sudah dilakukan terlebih dahulu di Palembang, daerah aliran sungai Musi. Hingga pada awal abad ke-18 di Sumatra pengaruh VOC sudah sangat kuat di pantai barat Sumatra yang berpusat di Padang, di pantai timur yang berpusat di Palembang. Relasi antara Kerajaan Atjeh dan VOC sangan krisis. VOC/Belanda di Malaka sudah ada sejak 1641 (setelah berhasil menaklukkan Portugis) dan kemudian mengusir Portugis dari pulau Bintan. Dalam konteks inilah situasi baru Kerajaan Jambi, dimana pengaruh VOC semakin meluas di pantai barat Sumatra hingga ke Singkil, di selat Malaka hingga ke Kerajaan Siak. Praktis pengaruh Kerajaan Atjeh hanya tersisa di wilayahnya sendiri dan di pantai timur hingga ke Deli serta di panatai barat Semenanjung Malaya di Quedah.

Sebelum VOC membuka pos perdagangan di Jambi, VOC telah mengirim utusan (Simon Meres) dari Malaka ke Kerajaan Minangkaubau di Pagaroejoeng tahun 1684. Hal itu dilakukan dalam rangka membuka pos pedagangan di muara sungai Siak, sebab sebelumnya ada klaim dari Djohor bahwa Siak berada di bawah pengaruhnya. Utusan menaggapi klaim Johor bahwa Siak jangan sekali-kali Johor mengklaimnya. Lalu pos perdagangan VOC dibuka di muara Siak di pulau Gontong pada tahun 1690. Namun tidak lama kemudian logi VOC di pulau Gontong diserang dan meninggalkannya. Diduga kuat sejak kasus Siak ini VOC memindahkan pos perdagangannya ke sungai Batanghari (sebelumnya sudah membuka pos perdagangan di Palembang). Setelah membuka pos pedsgangan di Jambi, pos pedagangan baru dibuka di muara sungai Indragiri. Dalam situasi inilah posisi Kerajaan Jambi pada era VOC.Belanda diantara Kerajaan Palembang di selatan dan Kerajaan Indragiri di utara.


Seperti dikutip di atas, Kerajaan Jambi menandapat gelar kesultanan dari Kesultanan Kedah yang juga menjadi partner Kerajaan Aru di masa lampau. Catatan: Kerajaan Djohor adalah suksei Kerajaan Malaka. Namun setelah VOC menaklukkan Malaka tahun 1641 peta politik di kawasan berubah, pengaruh Atjeh berkurang di Semenanjung Malaya. Di satu sisi VOC memiliki hubungan yang longgar dengan Djohor dan Minangkabau dan di sisi lain kedudukannya di Malaka terus menguat dan memperluas pengaru di (kepulauan) Riau (eks pengaruh Portugis). Sejak kehadiran VOC di Malaka, hubungan Jambi dan Kedah diduga menjadi terputus. Lalu bagaimana Djohor dengan Jambi? Musuh bebuyutan VOC dengan Atjeh, perselisihan antara Djohor dan Minangkabau. Menyebabkan VOC dalam posisi diuntungkan yang kemudian pengaruh VOC semakin menguat di Palembang dan Jambi.

Kerajaan Jambi memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Kerajaan Indragiri, relative terhafap dengan Kerajaan Palembang. Mengapa? Tentu saja bukan karena kedekatan geografis, tetapi diduga karena factor sejarah masa lalu dimana Kerajaan Aru memiliki hubungan yang kuat dengan Jambi, Indragir dan Minangkabau. Kerajaan Palembang lebih berorientasi (relasinya ke) ke Jawa terutama Kerjaan Demak yang kemudian dilanjutkan Kerajaan Banten (Banten sendiri bahkan hingga pantai barat Sumatra di Selebar, Bengkulu yang sekarang). Dalam situasi ini Kerajaan Palembang sebenarnya longgal ke selatan di Jawa dan juga longgar ke utara seperti Jambi dan Indragiri. Hal itulah yang menyebabkan pengaruh kuat VOC lebih awal di Palembang jika dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain Sumatra. Lalu kemudian diikuti pengaruh VOC yang terus menguat di pantai barat Sumatra yang berpusat di Padang.


Lain lagi persaingan diantara sesama Eropa di Jawa dan Sumatra. Pengaruh Inggris di Jawa terutama di Banten. Namun hubungan Inggrsi dan VOC pecah tahun 1682 dimana faksi yang berbeda di Kerajaan Banten meminta bantuan kepada VOC yang berpusat di Batavia. Akhirnya pengariuh Inggris melemah di Banten, tetapi Inggrsi masih mendapat kekuatannya sendiri di Bengkulu (semasa Inggris dan Banten bersemi). Dalam situasi inilah pengaruh Inggris hilang di Jawa tetapi tetap terjaga di Bengkulu. Kerajaan Palembang yang memiliki hubungan longgar dengan Palembang (hanya kuat sampai di Tulang Bawang), maka pengaruh Banten semakin menuru di Sumatra, di satu sisi Inggrsi mendapat ruang di Bengkulu dan VOC kemudian di Palembang. Inilah yang menyebabkan pengaruh kuat VOC di Sumatra terdapat di pantai barat Sumatra berpusat di Padang dan di pantai timur berpusat di Palembang (plus di Malaka).

Positioning Kerajaan Jambi di Sumatra bagian tengah, haruslah dilihat dari konteks geopolitik VOC dimana bermula di Padang (1665) kemudian di pedalaman Minangkabu di Pagaroejoeng (1686) dan di Jambi (1690an). Satu-satu jalur perdagangan yang terbuka bagi VOC coast to coast antara pantai barat Sumatra dan pantai timur Sumatra (setelah meniutup pos perdagangan di Siak). Geopolitik VOC kemudian dari Jambi diperluas ke Indragiri (kawasan yang memiliki relasi dengan baik di pedalaman Minangkabau di Pagaroejoeng). Relasi ini tentu saja sudah terhubung dengan baik sejak masa lampau bahkan sejak era Kerajaan Batak/Aru (mungkin sejak zaman kuno).


Pada era VOC/Belanda itu, harus diperhatikan secara khusus, yang secara geomorfologi saat itu kota Indragiri dan kota Jambi tidak sejauh sekarang, kota Jambi berada di kota lama di Moara Jambi (dekat Moeara Kompeh) dan Indragiri masih berad di kota Rengat,

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Jambi Diantara Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Palembang: Sejarah Pantai Timur Sumatra

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar