Selasa, 06 September 2022

Sejarah Jambi (21): Orang (Kuala) Tungkal Pantai Timur Sumatra; Kota Kuala Tungkal, Diantara Sungai Indragiri-Sungai Batanghari


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini 

Ada perbedaan pengertian antara orang dan warga. Orang mengindikasikan kepada kelompok populasi, sedangkan warga merujuk pada suatu pemerintahan pada suatu wilayah administrasi. Orang Jambi ada yang menjadi warga Jambi dan juga ada yang menjadi warga Palembang. Namun yang jelas Orang Jambi dibedakan dengan Orang Palembang. Orang Jambi dapat diuraikan sebagai terdiri dari orang Batanghari, Orang Tanjung Jabung dsb. Pada level wilayah administrasi yang lebih rendah ada juga yang menguaraikan diri menjadi orang (kecamatan) ini dan orang )desa) itu.


Ada yang mengaku bukan Orang Bali, orang dari yang mana, tetapi lebih menganggap sebagai Orang Indonesia. Lantas apakah Orang Bali adalah Orang Indonesia? Tentu saja. Yang jelas Orang Jawa bukan Orang Bali (atau sebaliknya). Demikian juga Orang Jambi dibedakan dengan Orang Palembang. Namun Orang Jambi bukan Orang Minangkabau. Lalu apakah ada Orang Mingakabau di wilayah Orang Jambi (provinsi Jambi)? Tentu saja ada. Lalu apakah ada Orang Jambi di wilayah Orang Minangkabau? Tentu pula ada. Dalam hal ini siapa yang menjadi warga Kuala Tungkal di kabupaten Tanjung Jabung Barat? Tentu saja ada Orang Minangkabau, ada Orang Jambi dan ada Orang Riau. Apakah Orang Riau dan Orang Jambi adalah Orang Melayu? Tentu saja. Yang jelas Orang Minangkabau bukan Orang Melayu. Lantas siapa Orang Tungkal? Apakah Orang (Tanjung) Jabung? Seperti disebut di atas, setiap orang dapat mengidentifikasi diri siapa dan berafiliasi dengan kelompok populasi yang mana.

Lantas bagaimana sejarah Orang (Kuala) Tungkal di pesisir pantai timur Sumatra? Seperti yang disebut di atas, setiap orang dapat mengidentifikasi diri dan berafiliasi ke atas (kelompok populasi yang lebih besar), seperti setiap warga negara menebut dirinya Orang Indonesia atau ke bawah (kelompok populasi yang lebih kecil) seperti Orang Jambi dan kelompok populasi yang menjadi bagiannya Orang (Kuala) Tunkal atau Orang Tanjung Jabung Barat. Satu hal yang perlu dihubungkan disini adalah  terbentuknya kota Kuala Tungkal diantara sungai Indragiri dan sungai Batanghari. Lalu bagaimana sejarah Orang (Kuala) Tungkal di pesisir pantai timur Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang (Kuala) Tungkal di Pesisir Pantai Timur Sumatra; Kota Kuala Tungkal, Antara Sungai Indragiri dan Sungai Batanghari

Sejarah tidak selalu linier, bahkan dari sudut pandang masa kini banyak yang mengejutkan. Jangkan bayangkan Kota Kuala Tungkal, karena kota itu belum lahir bahkan dalam bentuk kampong sekalipun. Namun yang sudah jelas ada adalah sungai Batang Tungkal, dimana lanskap di selatannya disebut Tanah Tungkal, yaitu daerah antara sungai Batang Tungkal dan sungai Batanghari.


Mengapa disebut batang untuk sungai di wilayah pantai timur, khususnya dari Jambi hingga ke Padang Lawas (Tapanuli)? Yang jelas sungai untuk bahasa Melayu adalah sungai/songi. Sungai Musi tidak pernah disebut batang, tetapi sungai. Sebutan batang untuk sungai ditemukan di Borneo Utara. Di pantai barat Sumatra sebutan batang dari Bengkulu hingga Singkil. Lantas apa arti tungkal untuk nama sungai Tungkal? Tentu saja bukan maksudnya tungkal dalam bahasa Banjar diartikan tepung tawar. Nama Tungkal diduga adalah nama yang sudah lama, mungkin sudah eksis di zaman kuno.

Di daerah aliran sungai Batang Tungkal, pemiukiman terdapat di pedalaman. Tidak ada laporan atay peta yang mengindikasikan nama kampong di hilir atau muara sungai Tungkal. Kampong terbesar di sungai Batang Tungkal adalah Penyingat (lihat Javasche courant, 29-11-1843). Hingga tahun 1870-an nama kampong ini masih diidentifikasi sebagai kampong terbesar di daerah aliran sungai Batang Tungkal (Peta 1877). Di wilayah hilirnya di muara sungai Batang Roemakan diidentifikasi nama kampong Roemakan.


Dalam berita 1843 tersebut disebut wilayah Tungkal adalah masuk wilayah Sultan Jambi. Controleur Lamleth tahun 1843 dari Moeara Kompeh pernah memasuki daerah aliran sungai Batang Tungkal hingga ke Penyingat. Sungai Batang Tungkal berhulu di Pegunungan 30. Pada saat itu tidak ada kampong di kota Kuala Tungkal yang sekarang karena masih rawa-rawa. Yang jelas daerah aliran sungai Batang Tungkal adalah wilayah kekuasaan Sultan Jambi. Sedangkan batas paling selatan Kerajaan Indragiri di atas muara sungai Batang Tungkal yang disebut Tandjong Laboe (lihat Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1862).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kota Kuala Tungkal, Antara Sungai Indragiri dan Sungai Batanghari: Asal Usul, Perumbuhan dan Perkembangan Populasi Penduduk di Kuala Tungkal

Daerah aliran sungai Batang Tungkal sebagai wilayah Sultan Jambi, pada tahun 1879 pejabat setingkat Controleur di Moeara Kompeh mendapat persetujuan untuk menerapkan pajak bea keluar masuk di muara sungai Batang Tungkal. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam beslit tertanggal. 23 Januari 1879 No. 9 yang isinya ketentuan bea masuk-keluar untuk kapal impor dan ekspor (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie voor 1879).


Penerapan bea cukai di muara sungai Batang Tungkal pada tahun 1879 ini menandai area wilayah muara mulai ditempati. Ini tentunya terkait dengan pembangunan instalasi bea dan cukai untuk daerah aliran sungai Batang Tungkal. Seperti biasanya bea dan cukai di suatu kawasan dimasukkan kepada pendapatan pemerintahan di Jambi (termasuk pembangian hasil dengan Sultan yang memberikan kuasa untuk hak pengenaan bea cukai. Lalu pada tahun 1880 ketentuan di Tungkal ini digabaungkan dengan ketentuan yang sama di Muara Saba/k dan Simpang dalam satu undang-udang (Stbls 1880 No. 208; yang dikeluarkan di Buitenzorg 2 Desember 1880). Undang-undang ini terdiri dari 35 pasal (art).

Pada tahun 1888 seorang pengusaha F Alting du Cloux mulai membuka lahan di muara sungai Batang Tungkal. Ini dapat dibaca dalam beslit Residen Palembang tanggal 17 Mei 1886 No. 198a. Dalam beslit ini dinyatakan bahwa menyewa selama waktu lima tahun berturut-turut di Marga Tungkal dari muaranya sampai muara sungei Pangaboean di sepanjang sungai Batang Tungkal dan 2000 meter ke daratan, sisa hulu sungai harus dipertahankan untuk pertanian. Tidak disebutkan untuk tujuan apa F Alting du Cloux menyewa lahan tersebut. Namun di dalam beslit disebutkan dalam syarat yang harus dipenuhi yakni selama penyelidikan itu dimulai dalam waktu satu tahun dan tidak boleh melanggar ketentuan. Besar dugaan du Cloux menyewa lahan untuk keperluan tambang batubara.


Jika memperhatikan batas-batas lahan yang disewa oleh F Alting du Cloux dengan membandingkan situasi dan kondisi masa kini, tidak lain dari area kota Kuala Tungkal yang sekarang. Lantas dimana letak area instalasi bea dan cukai di muara sungai Batang Tungkal? Apakah berada di arah hulu area du Cliux ini?

Muara sungai Batang Tungkal tampaknya mulai penting. Hal ini karena di muara sungai Batang Tungkal ditempatkkan kapal uap Indragiri sebagai9 pangkalannnya (lihat Marineblad jrg 8, 1893/1894). Boleh jadi ini mengindikasikan bahwa di muara sungai Batang Tungkal sudah dibangun dermaga sungai. Dalam berita kapal pada tahun berikutnya disebutkan bahwa pada tanggal 25 kapal uap menuju ke sungai Djambi. Keesokan paginya kapal berlabuh di muara untuk mengantisipasi air yang lebih tinggi, kemudian berlabuh di Simpang di malam hari dan kemudian mencapai Djambi tanggal 30. Dalam perjalanan pulang kapal singgah di Koewala Toengkal dan kemudian meenuju Singapura (lihat Jaarboek van de Koninklijke Nederlandsche Zeemagt, 1894-1895). Disebutkan Koewala Toengkal, ini mengindikasikan kali pertama muara sungai Batang Tungkal disebut Koewala Toengkal.


Kawasan kosong pada tahun 1888, sehubungan dengan pembukaan lahan oleh di Cloux, diduga yang menjadipemicu Kawasan muara sungai Batang Tungkal menjadi cepat tumbuh. Peembangunan dermaga sungai untuk kapal uap di muara sungai telah menambah keramaian Kawasan. Pembangunan dermaga tersebut sebagai pangkalan kapal uap diduga terkait dengan penetapan muara sungai dijadikan sebagai pos bea cukai untuk kapal yang keluar masuk sungai Batang Tungkal pada tahun 1879. Dalam sepuluh tahun, muara sungai Batang Tungkal yang disebut Koewala Toengkal telah menjafdi cikal bakal kota Kuala Tungkal yang sekarang. Lantas bagaimana dengan kampong Penyingat dan kampong Roemakan?

 Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar