Rabu, 21 Desember 2022

Sejarah Madura (50): Karapan Sapi Madura dan Tradisi Ketangkasan Khas di Nusantara; Lomba Pacuan Kuda Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Dalam KBBI, karapan/ka·ra·pan/ yang artinya pacuan (sapi atau kerbau di Madura atau Sumbawa): di Madura ada karapan sapi, di Sumbawa ada karapan kerbau. Tidak disebutkan ada karapan kuda. Tentu saja masih ada karapan yang lainnya di nusantara. Karapan dalam hal ini menjadi semacam tradisi adu ketangkasan. Karapan sapi di Madura sangat menarik karena menjadi karapan khas di Madura. Pada era Pemerintah Hindia Belanda di berbagai kota ditemukan pacuan kuda dengan membangun race yang bagus..


Karapan sapi (Madura: Kerrabhân sapè) merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari pulau Madura. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 M dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden. Awal mula kerapan sapi dilatarbelakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan mata pencahariannya sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang. Maksud awal diadakannya Karapan Sapi adalah untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah. Orang Madura memelihara sapi dan menggarapnya di sawah-sawah mereka sesegera mungkin. Gagasan ini kemudian menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera. Karapan sapi dikritik berbagai pihak seperti Majelis Ulama Indonesia dan pemerintah daerah di Madura karena tradisi kekerasan rekeng yang dilakukan pemilik sapi. MUI Pamekasan sudah memfatwakan haram mengenai tradisi rekeng karena dinilai menyakiti sapi, dan Gubernur Jawa Timur melalui Instruksi Gubernur sudah menyatakan pelarangan tradisi rekeng. Namun tradisi ini masih berlanjut di kalangan pelaku karapan sapi (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah karapan sapi di Madura dan tradisi adu ketangkasan khas Nusantara? Seperti disebut di atas, karapan adalah pacuan. Ada karapan sapi, karapan kerbau dan pacuan kuda. Karapan sapi dan karapan kerbau adalah khas nusantara, apakah dalam hal ini (pertandingan) pacuan kuda eksis era Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah karapan sapi di Madura dan tradisi adu ketangkasan khas Nusantara lainnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Karapan Sapi di Madura dan Tradisi Adu Ketangkasan Khas Nusantara; Pertandingan Pacuan Kuda Era Hindia Belanda

Kosa kata ‘karapan’ adalah bahasa Belanda yang artinya ‘khafilah’. Lalu bagaimana dengan ‘karapan sapi’? Yang menjadi pertanyaan dimana karapan sapi ini bermula di Madura dan dimana karapan sapi ini paling popular. Pada tahun 1891 diberitakan dalam satu perayaan yang diselenggarakan di Loemadjang juga diadakan karapan (sapi races) yang disebutkan menjadi tradisi orang Madoera (lihat Soerabaijasch handelsblad, 09-09-1891).


Dalam berita ini disebut karapan yang menggunakan sapi (bukan kuda bagi orang Arab) menjadi tradisi (orang) Madura, sementara penyelenggaraan karapan (sapi) tersebut di Loemadjang (yang jauh dari pulau Madoera). Sudah barang tentu Loemadjang di wilayah (pedalaman) di lereng sebelah tenggara gunung Bromo/Semeru Jawa sudah banyak komunitas populasi pendudk Madura (saat itu district Loemadjang masih masuk wilayah Residentie Pasoeroean).

Tentu saja karapan sapi tidak hanya di Loemadjang, juga diadakan di Djember (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 07-09-1900). Disebutkan bahwa pada hari Ratu (Koninginnedag) dilakukan perayaan yang juga dimeriahkan hiburan popular dengan perlombaan karapan sapi orang-orang Madoera. Seperti halnya Loemadjang di pedalaman Jawa, Jember yang tidak jauh dari Loemadjang (tetapi masuk wilayah Residentie Bazoeki) mengindikasikan populasi penduduk asal Madoera cukup banyak.


Karapan sapi menjadi suatu hiburan yang menarik bagi warga di Loemadjang dan Djember. Berita penyelenggaraan karapan sapi di Madura baru muncul tahun 1900 yang diselenggarakan di Bangkalan (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 27-11-1900). Disebut besok ada karapan di Bangkalan, banyak yang penasaran dengan balapan sapi itu, dan pergi kesana, terutama karena perusahaan Madoera Steamtram Mij. telah menyediakan yang baik dan murah fasilitas perjalanan orang Madoera. Di Bondowoso diadakan pameran yang diakhir kegiatan dimeriahkan karapan sapi, perlombaan yang begitu digandrungi masyarakat Madura dan dijunjung tinggi oleh mereka (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-05-1902). 

Dari berbagai berita tersebut, karapan sapi berasal dari Madoera, suatu perlombaan karapan sapi yang tidak hanya diadakan di (pulau) Madura juga di wilayah pedalaman Jawa, terutama dengan bagian timur (pulau Jawa (wilayah Tapal Kuda). Perlombaan karapan dengan menggunakan sapi ini tidak hanya digandrungi masyarakat Madura juga dijunjung tinggi. 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pertandingan Pacuan Kuda Era Hindia Belanda: Perlombaan yang Digandrungi Orang Eropa/Belanda

Karapan sapi tampaknya menjadi ‘milik; orang Madoera, tidak hanya di pulau Madura, tetapi juga orang Madoera yang berada di (peralaman) Jawa. Karapa sapi hanyalah satu jenis karapan, ada karapan kerbau dan pacuan kuda. Karapan hanyalah satu bentuk perlombaan yang dilakukan penduduk dengan menggunakan hewan ternak. Bentuk perlombaan yang umum ditemukan di wilayah Soenda adalah adu domba. Bagi orang Eropa pacuan kuda yang lebih digandriungi, sementara ahli ternak memiliki pendapat sendiri, bahwa adu domba ada plus minusnya (yang boleh jadi berlaku sama untuk perlombaan sapi, kerbau dan kuda). 


Nederlandsch-Indische bladen voor diergeneeskunde en dierenteelt, 1926: ‘Tak perlu dikatakan bahwa tidak ada pertanyaan tentang pemuliaan sistematis dengan metode peternakan domba Preanger dan dengan para peternak domba. Penyebab munculnya jenis domba di Priangan yang lebih baik daripada di bagian Hindia lainnya, menurut pendapat saya, seharusnya tidak dicari perawatan yang lebih baik yang diberikan kepada hewannya oleh peternak domba biasa, bahkan bukan pengaruh tanah dan iklim, tetapi harus dikaitkan sepenuhnya dengan pengaruh adu domba jantan. Penduduk Hindia tampaknya sangat menyukai kontes hewan, yang entah bagaimana menunjukkan lebih banyak kekuatan atau ketangkasan kekuatan dari lawan mereka. Di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara pacuan kuda dikenal atau dikenal dimana-mana, di Madura ada 'karapan' dan 'adoean sapi'; orang Bali adalah "totonan" atau "groemboengan"; penduduk Sumbawa mereka dengan balapan kerbau, sedangkan sabung ayam tersebar di seluruh Hindia. Selain pacuan kuda dan sabung ayam, masyarakat Sunda juga memiliki adu domba. Pertarungan domba ini pada dasarnya sangat sederhana. Dua domba jantan ditempatkan terpisah sekitar sepuluh meter dengan kepala saling berhadapan. Pada tanda sinyal yang diberikan, kedua hewan itu saling menyerbu dan bertabrakan satu sama lain. Kemudian kedua domba jantan itu mundur beberapa meter untuk saling bertemu lagi. Ini terjadi begitu saja begitu lama sampai salah satu domba jatuh ke tanah tersungkur dan tidak bangkit, setelah itu yang lain dinyatakan sebagai pemenang. Tak perlu dikatakan bahwa ini disertai dengan teriakan penyemangat yang terus-menerus dari para pengamat, yang sementara itu di pinggir lapangan terjadi semua jenis taruhan. Domba jantan petarung memiliki pelatihnya sendiri, yang membawa hewan ke dalam pertempuran, membimbing dan menyemangati hewan melalui nyanyian dan tarian serta memijat mereka selama waktu istirahat yang sangat singkat (hampir satu menit). Domba jantan yang bertarung sangat terlatih sehingga mereka hanya mendorong sekali dan kemudian berlari kembali. Jika salah satu lawan jatuh karena lemah dan tetap berbaring untuk beberapa saat, domba jantan lainnya tidak akan mencoba menyerangnya dari samping. Benar-benar ada pertarungan yang adil. Kadang-kadang muncul pertanyaan apakah pemerintah harus menghentikan adu domba jantan atau tidak, karena hal itu memberikan peluang lain untuk bertaruh. Belakangan ini, muncul juga suara yang ingin melarang adu domba jantan dari sudut pandang perlindungan hewan. Kami berpendapat bahwa dengan pertempuran domba jantan yang dipimpin dengan baik, pembiakan domba di Priangan dapat sangat maju, sedangkan kerugian yang kadang-kadang dianggap berasal dari pertempuran ini pada kenyataannya kecil. Di wilayah seperti Hindia dan khususnya Jawa Barat, dimana para pemain nyata menggunakan segala sesuatu dan apa saja untuk memanjakan hasrat mereka bermain game, melarang adu domba jantan tidak berarti apa-apa dalam hal ini. Jika mereka tidak melakukannya dalam perkelahian ini, mereka melakukannya dengan semut atau lalat atau potongan kayu yang mengapung di slokan atau dengan ... ya, dengan yang tidak, belum lagi permainan dadu dan kartu. Ketika pertarungan domba jantan yang diawasi secara teratur terjadi pada waktu-waktu tertentu, dapat diasumsikan bahwa taruhan dalam pertarungan tersebut tidak akan sebesar dalam banyak pertarungan klandestin yang akan diadakan. Dari sudut pandang perlindungan hewan, kompetisi ini tentunya tidak perlu dilarang, karena domba jantan aduan ini mendapat perawatan yang sangat baik, sementara tidak ada pertanyaan tentang pelecehan selama pertarungan. Dahi cukup tertutup oleh dasar tanduk besar. untuk mencegah patah tulang tengkorak atau sejenisnya. Paling-paling, seekor domba jantan bisa menjadi pingsan sesaat atau mendapatkan luka kulit yang sangat dangkal. Bahwa salah satu domba jantan akhirnya harus menyerah bukan karena cedera, tetapi hanya karena otot atau stamina satu domba jantan lebih besar dari yang lain, jadi dalam perlombaan semua domba jantan pulang, yang kalah juga pulang. Namun, ada keuntungan besar dalam pertempuran domba. Hanya hewan yang berat dan berotot kuat dengan kaki yang bagus dan sikap kaki yang baik yang memenuhi syarat untuk melawan domba jantan lainnya. Peternak domba jantan petarung, selalu kaya, memilih domba jantan dan betina terbaik mereka untuk berkembang biak, memberikan pendidikan yang sangat baik kepada domba muda. Dan sekarang mungkin benar bahwa domba jantan petarung terbaik tidak digunakan untuk berkembang biak, karena menurut pendapat umum, domba jantan yang kurang kuat dihilangkan; domba jantan yang baik memang digunakan untuk berkembang biak, karena diketahui bahwa domba jantan yang unggul tidak dapat dibiakkan dari pejantan yang buruk. Dan selain jumlah domba jantan muda yang lahir, anak domba betina dalam jumlah yang sama, yang karenanya juga berasal dari garis keturunan yang baik, juga lahir. Selain itu, tidak semua domba jantan muda yang baik berhasil menjadi domba jantan petarung. Dalam hal ini juga pasarnya terbatas, sehingga banyak yang tentu dimanfaatkan untuk keperluan lain, termasuk pembibitan. Dan juga domba jantan petarung yang hebat dipindahkan setelah beberapa tahun oleh yang lain, yang lebih muda dan kemudian sebagian kembali berkembang biak. Kompetisi yang dikelola dengan baik dimana pemerintah, misalnya, menyediakan hadiah untuk pertarungan antara keturunan domba jantan petarung yang lebih tua, akan sangat positif.

Karapan sapi di Madura dilakukan setiap tahun (lihat Vee-toestanden op Madoera oleh JB Leon, 1901). Karapan sapi adalah suatu pesta orang Madoera (lihat De „Karapan Sapoe.”. (Stierenwedren). Een Madoereesch Feest oleh Metis di dalam jurnal EH 1903, No. 21, halaman 334).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar