*Untuk melihat semua artikel Sejarah Ekonomi di Indonesia di blog ini Klik Disini
Sebelum
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dibentuk pada tahun 1950, sudah banyak
ekonom (sarjana ekonomi) Indonesia, bahkan yang sudah bergelar doktor. Pada
saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikam pada tahun 1945 sudah ada ekonom
Indonesia, bahkan juga yang bergelar doktor. Dua sarjana Indonesia yang meraih
gelar doktor di bidang ekonomi pada masa Perang Dunia (1939-1945) adalah Dr Soemitro
Djojohadikusumo dan Dr Ong Eng Die. Orang Indonesia pertama meraih gelar doctor
ekonmi adalah Dr Sjamsi Widagda (1925).
Kompas.com. Berikut ini 5 tokoh ekonomi Indonesia. (1) Mohammad Hatta Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden pertama Indonesia dan juga dijuluki sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Jejak awal Mohammad Hatta mulai memikirkan ekonomi adalah setelah dia bergabung dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda sekitar tahun 1920-an. (2) Syafruddin Prawiranegara Syafruddin Prawiranegara juga dianggap sebagai salah satu tokoh ekonomi Indonesia (3) Soemitro Djojohadikusumo adalah ahli ekonomi yang menemukan sistem ekonomi Gerakan Benteng. Tujuan Gerakan Benteng adalah untuk melindungi para pengusaha pribumi (4) Mubyarto adalah pakar ekonomi Indonesia yang menggagas konsep ekonomi Pancasila. (5) Mr. Assaat adalah tokoh pejuang Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Natsir sejak September 1950 hingga Maret 1950. Mr. Assaat juga berperan di perekonomian Indonesia, mempelopori program ekonomi Gerakan Assaat pada 1956 (https://www.kompas.com/)
Lantas bagaimana sejarah doktor-doktor ekonomi Indonesia terawal? Seperti disebut di atas doktor ekonomi Indonesia pertama adalah Sjamsi Widagda. Soemitro Djojohadikusumo (ayah dari Presdien Prabowo Subianto meraih gelar doctor pada tahun 1943 dengan disertasi berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie. Lalu bagaimana sejarah doktor-doktor ekonomi Indonesia terawal? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Doktor-Doktor Ekonomi Indonesia Terawal; Disertasi Dr Soemitro Het Volkscredietwezen in de Depressie
Sarjana dan doktor Indonesia awalnya (hanya) merujuk ke Belanda. Hal itu karena sekolah tinggi (hoogeschool) hanya ada di Belanda. Sementara di Indonesia (baca: Hindia) studi ekonomi dan perdagangan hanya setingkat sekolah menengah (Hoogere Burgerschool-HBS) hingga kelas 3 (setara MULO). (PHS) di Batavia (afdeeling A).
Di Belanda selain HBS juga ada sekolah perdagangan (Handelschool). Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon diterima di sekolah Handelschool di Amsterdam pada tahun 1910. Pada tahun 1910 ini Pada tahun 1910 ini Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan lulus ujian di Rijkskweekschool di Haarlem dan mendapat akta guru MO (sarjana pendidikan setara lulusan IKIP). Soetan Casajangan kemudian diangkat menjadi guru bahasa Melayu di sekolah Handelschool di Amsterdam. Soetan Casajangan adalah penggagas organisasi pelajar/mahasiswa pribumi (Indische Vereeniging) di Belanda tahun 1908.
Pada tahun 1911 kepungurusan baru Indische Vereeniging terbentuk yang dipimpin Noto Soeroto. Pada tahun 1911 ini juga Soetan Casajangan dan Mangaradja Soangkoepon membentuk Studie Fond, yang bertujuan untuk menghimpun dana untuk membantu pada pelajar/mahasiswa yang mengalami kesulitan dana baik yang akan berangkat studi ke Belanda maupun yang tengah studi di Belanda. Pada tahun 1911 pengurus Boedi Oetomo di Jogjakarta mengirim guru muda, Sjamsi Widagda untuk studi keguruan di Belanda (sekolah keguruan swasta di Den Haag). Sjamsi Widagda dititipkan kepada Soetan Casajangan.
Soetan Casajangan di Belanda dapat dikatakan sebagai pemilik portofolio
tertinggi diantara para pribumi. Pada tahun 1911 Vereeniging Moederland en
Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di
Hindia Belanda) mengundang Soetan Casajangan untuk berpidato di hadapan forum para
anggota mereka. Dalam forum yang diadakan pada bulan Oktober 1911 ini, Soetan
Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang
berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi):
Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
‘...saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya
kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya
sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya...saya ingin bertanya
kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang
indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang
berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka
yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi
semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan
'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi)’.
Sjamsi Widagda lulus ujian akta guru LO pada bulan Mei tahun 1913. Sementara itu, Soetan Casajangan pada bulan Juli 1913 kembali ke tanah air karena diangkat menjadi direktur sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock. Studie Fond kemudian diintegrasikan dengan Indische Vereeniging.
Sjamsi Widagda tidak segera kembali ke tanah air. Sjamsi Widagda masih
melanjutkan studi di Belanda. Pada tahun 1915 Mangaradja Soangkoepon lulus di sekolah
Handelschool di Amsterdam. Mangaradja Soangkoepon
segera kembali ke tanah air (melamar menjadi PNS). Sepeninggal Soetan
Casajangan, tidak terinformasikan siapa yang menggantikan Soetan Casajangan
dalam pengajaran bahasa Melayu di sekolah Handelschool di Amsterdam. Untuk syarat
pengajar di sekolah menengah seperti Handelschool harus memiliki diploma MO.
Pada tahun 1916 Sjamsi Sastrawidagda lulus ujian akta guru MO (lihat De standaard, 13-09-1916). Setelah lulus MO Sjamsi Sastrawidagda diangkat sebagai guru bahasa Melayu di Handelschool. Jalur yang dilalui Sjamsi Sastrawidagda tampaknya mengikuti seniornya Soetan Casajangan. Pada tahun 1917 Sjamsi Widagda kembali diangkat sebagai guru bahasa Melayu di Handelschool (lihat De avondpost, 13-08-1917). Sjamsi Widagda juga diangkat sebagai guru HIS di Rotterdam (lihat Nederlandsche staatscourant, 29-08-1917).
Sambil mengajar di HIS dan mengajar bahasa Melayu di sekolah Handelschool
di Amsterdam, Sjamsi Sastrawidagda juga mengikuti kursus etnologi dan bahasa. Sebagai
guru di sekolah menengah Handelschool, juga telah diterima di sekolah tinggi
perdagangan di Rotterdam. Pada tahun 1818 Samsi Sastrawidagda lulus ujian kandidat
di Nederland Handelshoogeschool di Rotterdam (lihat Provinciale Overijsselsche
en Zwolsche courant, 29-06-1918). Sebelumnya Samsi Sastrawidagda diangkat
sebagai asisten dosen/guru bantu bahasa Jawa di Rijksuniversiteit di Leiden
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-05-1918).
Sjamsi Sastrawidagda adalah mahasiswa (ekonomi/perdagangan) pribumi pertama di Nederland Handelshoogeschool di Rotterdam. Mahasiswa-mahasiswa pribumi lainnya mengambil bidang hukum (di Leiden), bidang kedokteran (di Amsterdam), bidang kedokteran hewan (di Utrecht), bidang teknik (di Delf) dan bidang pertanian (di Wageningen), Sjamsi Sastrawidagda tidak hanya pemegang diploma (sarjana pendidikan) juga tengah studi untuk meraih gelar sarjana ekonomi.
Sekolah tinggi perdagangan/ekonomi di Belanda hanya terdapat di Rotterdam. Nederlandsche Handels Hoogeschool di Rotterdam didirikan pada tahun 1913. Lama studi pengetahuan perdagangan secara umum memakan waktu dua tahun yang diikuti dengan ujian kandidat. Bagi yang ingin melanjutkan studi di bidang ilmu komersial (ekonomi) selama dua tahun, yang kemudian mengikuti ujian doctoral. Setelah itu dapat diteruskan ke program doctor dengan menulis dan mempertahankan disertasi untuk memperoleh gelar doktor ilmu komersial.
Sjamsi Widagda juga berpartsipasi dalam Kongres Pendidikan yang diadakan pada tahun 1919 (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-10-1919). Sementara itu, Soetan Casajangan, setelah bekerja untuk pemerintah sebagai direktur sekolah guru di Fort de Kock dan di Amboina selama enam tahun lebih, sejak bulan Februari 1920 diberikan cuti selama delapan bulan ke Eropa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1919). Selama di Belanda, Soetan Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Oost en West) untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920.
Soetan Casajangan berbicara di dalam forum bergengsi tersebut dengan makalah 19 halaman yang berjudul: 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Dalam forum ini juga diundang dan dihadiri oleh Soeltan Djogjakarta. Soetan Casajangan, sebagaimana dulu pernah berbicara di forum yang sama tahun 1911, tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidato Soetan Casajangan:
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
‘...saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang
mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum
ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan
berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika
itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap
pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap
pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan
(yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur
Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya…yang membuat ribuan desa
dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan…termasuk konversi sekolah rakyat
menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa…
Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun
1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis
sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam
pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini
tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa
saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan
baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para
intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa
Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru
pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat
mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya
jika dibandingkan dengan Dewan…’
Sudah barang tentu Soetan Casajangan secara khusus telah bertemu kembali di Belanda dengan sobatnya (lebih tepat disebut juniornya) Sjamsi Widagda. Dalam hal ini besar dugaan Sjamsi Widagda turut menghadiri forum tersebut lebih-lebih juga karena kehadiran Soeltan Jogja. Pidato Soetan Casajangan di forum itu selain terkait dengan pendidikan pribumi juga terkait dengan telah dibukanya sekolah tinggi teknik THS di Bandoeng.
Dalam merger Vereeniging Moederland en Kolonien dan Indisch Genootschap
yang namanya menjadi Indische Genootschp, Sjamsi Widaga juga sebagai anggota
pengurus (lihat De Maasbode, 05-05-1921).
Pada tahun 1921 sekolah HBS di Hindia melakukan ujian akhir. Salah satu lulusan di sekolah Prins Hendrik School (PHS) di Batavia (afedeling A) adalah Mohamad Hatta (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1921). Mohamad Hatta berangkat studi ke Belanda bulan Agustus (lihat De locomotief, 01-08-1921).
Sekolah HBS di Hindia hingga tahun 1921 hanya ada di Batavia, Semarang
dan Soerabaja. Di Batavia ada dua yakni KW III School dan Prins Hendrik School (PHS).
Sekolah KW III didirikan tahun 1965, sementara PHS didirikan tahun 1911.
Sekolah PHS terdiri dari afdeeling A (IPS) dan afdeeling B (IPA) dengan lama
studi lima tahun. Siswa yang diterima adalah lulusan ELS (di kelas 1) dan juga lulusan
MULO (ditempatkan di kelas 4). Mohamad Hatta lulusan MULO di Padang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Disertasi Dr Soemitro Het Volkscredietwezen in de Depressie: Disertasi Dr Sjamsi Widagda Berjudul De Ontwikkeling der Handelspolitiek van Japan (1925)
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar