*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini
Orang Jawa Suriname disingkat Jawa-Suriname adalah Suku Jawa yang berada di Suriname sejak akhir abad ke-19, di mana angkatan pertamanya dibawa oleh kolonis Belanda dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Sebagian keturunan mereka ada yang tinggal di Belanda. Sampai sekarang, mereka tetap menuturkan bahasa Jawa.
Suriname, secara resmi bernama Republik Suriname (Sranan Tongo: Republik Sranan), dulu bernama Guyana Belanda atau Guiana Belanda adalah sebuah negara di Amerika Selatan bagian utara, terkadang dianggap sebagai bagian dari Karibia dan Hindia Barat. Terletak sedikit di utara khatulistiwa, lebih dari 90% wilayahnya ditutupi oleh hutan hujan. Suriname adalah negara terkecil di Amerika Selatan baik dari segi jumlah penduduk maupun wilayah, dengan sekitar 612.985 penduduk di wilayah seluas sekitar 163.820 kilometer persegi. Ibu kota dan kota terbesarnya adalah Paramaribo, yang merupakan rumah bagi sekitar setengah dari populasi Suriname. Suriname adalah satu-satunya negara di luar Eropa di mana bahasa Belanda adalah bahasa resmi Sranan Tongo, bahasa kreol dari bahasa Inggris, adalah lingua franca yang digunakan secara luas. Sebagian besar orang Suriname adalah keturunan budak dan buruh yang dibawa dari Afrika dan Asia oleh Belanda. Suriname sangat beragam, tidak ada kelompok etnis yang menjadi mayoritas (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Suriname di Amerika Latin? Seperti disebut di atas orang Indonesia di Suriname umumnya berasal dari Jawa dan juga orang Cina di Indonesia. Mengapa itu terjadi? Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Suriname di Amerika Latin? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Orang Indonesia di Suriname di
Amerika Latin; Orang Jawa dan Orang Cina Mengapa ke Suriname?
Ada beberapa wilayah koloni Belanda di pantai timur Amerika Selatan, Suriname dan pulau-pulau Curacao, Aruba dan Bonaire. Namun migran asal Indonesia (baca: Hindia Belanda) hanya ditemukan di Suriname. Nama Suriname paling tidak telah terinformasikan pada tahun 1668 (lihat Oprechte Haerlemsche courant, 10-07-1668). Perjanjian Breda tahun 1667, Suriname menjadi wilayah kekuasaan Belanda.
Pada tahun 1530 Belanda mendirikan pusat perdagangan pertama. Pada tahun 1593 raja Spanyol mengambil alih dan menguasai Guyana hingga tahun 1595, yaitu ketika para bangsawan Inggris datang dan mulai mengusai daerah-daerah pantai. Sementara itu, Belanda mulai mengembangkan perdagangannya secara bertahap di daerah pedalaman. Daerah Guyana sepenuhnya jatuh ke tangan Inggris sejak tahun 1630 hingga tahun 1639. Pada tahun yang sama Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar Guyana, sedangkan Prancis menguasai daerah-daerah di samping sungai Suriname. Akibat dari persaingan tersebut, wilayah Guyana saat ini terbagi menjadi lima bagian yaitu Guyana Espanola (bagian dari Venezuela sekarang); Inglesa (Guyana sekarang); Holandesa (Suriname); Francesa (Cayenne) dan Portuguesa (bagian dari wilayah Brasil). Suriname terletak di bagian tengah dari wilayah Guyana yang telah terbagi-bagi tersebut. Batas bagian timur wilayah Suriname adalah Sungai Marowijne yang memisahkan Suriname dengan Cayenne; di bagian selatan terdapat deretan pegunungan Acarai dan Toemoe hoemak yang memisahkan Suriname dengan wilayah Brasil. Di bagian barat berbatasan dengan wilayah Guyana yang ditandai oleh aliran Sungai Corantijne, sementara di bagian utara dibatasi oleh garis pantai Samudera Atlantik. Pada tahun 1651 Suriname diserang oleh Inggris dan sejak saat itu, menjadi wilayah kekuasaan Inggris hingga penandatanganan perjanjian perdamaian Breda tahun 1667. Berdasarkan perjanjian itu, Suriname menjadi wilayah kekuasaan Belanda.
Inggris
kembali memasuki Suriname pada tahun 1781 hingga 1783 dan Suriname kemudian
dijadikan daerah protektorat Inggris dari tahun 1799 hingga 1802. Melalui
perjanjian Amiens, 27 Maret 1802, Suriname, Barbice, Demerara dan Essquibo
berada di bawah kekuasaan Belanda, tetapi setahun kemudian Inggris kembali
merebut wilayah-wilayah itu dan sejak tahun 1804 Suriname menjadi koloni Inggris
dengan sebutan the British Interregnum. Selanjutnya melalui perjanjian London
pada tanggal 13 Agustus 1814 dan diratifikasi dalam perjanjian Wina, Suriname
dikembalikan lagi kepada pihak Belanda. Pemerintahan Suriname dipimpin langsung
oleh seorang gubernur dengan didampingi oleh sebuah dewan kepolisian yang
bertugas sebagai penasihat gubernur.
Pada tahun 1849 sebanyak 581 orang kuli dari Amoy tiba di Kuba dan ditempatkan di perkebunan, dengan gaji empat dolar sebulan. Pada awalnya mereka tidak terlalu puas, tetapi kemudian mereka menyatakan bahwa mereka sama aktif dan kuatnya dengan orang Afrika terbaik, tetapi jauh lebih reseptif dan mudah diajar, tanpa kepemimpinan yang baik. Oleh karena itu, para majikan menyatakan keinginan agar emigrasi didorong. Pada bulan Juli 1852, sebuah kantor Inggris yang didirikan di Amoy dan telah menandatangani kontrak untuk mengirim 8.000 kuli Tiongkok ke Kuba dengan biaya pengiriman sebesar 125 dolar, dan dengan jaminan 4 dolar per bulan per orang, untuk jangka waktu 8 tahun.
Pada tahun 1853 sudah ada orang Cina di Kuba. Gubernur Suriname telah merancang langkah-langkah untuk mendatangkan sejumlah orang Cina yang memahami produksi gula dari Jawa ke Suriname demi kepentingan perkebunan pemerintah Catharina Sophia. Sementara itu, beberapa tahun yang lalu petani-petani dari Belanda juga dipekerjakan di Suriname. Pemerintahan koloni Belanda di Suriname melaporkan hasilnya cukup baik.
Arnhemsche courant, 13-01-1852: ‘Suriname, atau Guyana Belanda, atau Hindia Barat Belanda, secara garis besar meliputi daerah seluas lebih dari 2800 mil persegi geografis, atau sepertujuh lebih luas dari Pulau Jawa dan hampir lima kali luas negara induknya di Eropa, memiliki daerah pedalaman yang indah dan luas, bahkan untuk kapal-kapal laut dalam, sungai-sungai yang dapat dilayari, tanah yang sangat subur, vegetasi yang paling subur dan kekayaan hutan yang hampir tak ada habisnya, negeri ini tampaknya hanya menunggu tangan-tangan pekerja keras yang mengolah, memanen dan memetik, untuk membayar jerih payah yang dikeluarkan untuk itu dengan riba. Sementara itu, ada banyak hal yang pada dasarnya kurang dalam kenyataan bahwa koloni ini adalah apa yang seharusnya bagi Belanda. Suriname bukan saja sebuah koloni yang merana, tetapi sebuah negara yang hampir tidak kita kenal. Orang Belanda yang beradab lebih baik tinggal di Mesir dan Nubia, di Siberia dan Kanada, dan kita hampir berani mengatakan lebih baik tinggal di Hindia Belanda, daripada di pemukiman ini yang telah menyandang nama Belanda selama beberapa ratus tahun. Suriname tidak memiliki penduduk pedalaman (pribumi). Ini merupakan kerugian sekaligus keuntungan. Kerugian, karena dengan penduduk asli yang tinggal di negara ini dan di iklim yang sama, metode penanaman dan produksi yang secara khusus sesuai dengan sifat negara ini dapat dilakukan dengan lebih mudah dan pasti. Sebuah keuntungan, karena negara yang masih perawan, di mana seseorang tidak harus berhadapan dengan institusi-institusi yang ada, adat istiadat yang sudah mengakar dan berbagai pelanggaran, dan para pemukim baru bebas untuk mengatur diri mereka sendiri dengan cara yang paling efektif. Hindia Timur, yang satu dekade lalu bagi kita merupakan semacam negeri ajaib yang dihuni oleh dewa-dewi dan hewan-hewan mitologi, kini semakin menjadi seperti negeri Belanda dari hari ke hari; Kita tidak hanya mulai menyadari tingginya nilai itu, kita juga mulai mempelajari nilainya. Hal yang sama seharusnya terjadi di Hindia Barat kita. Jawa kini bagi kita adalah anak orang kaya yang menafkahi ibunya yang membutuhkan. Suriname, anak malang yang perlu diberi pakaian, makan dan uang saku. Namun, anak yang malang itu, begitu berada di jalan yang benar, memiliki cukup sumber daya dalam dirinya untuk menjadi anak kaya yang menyumbangkan uang bagi rumah tangganya. Hanya masih harus diselidiki cara yang paling efektif untuk menggerakkannya, dan semakin cepat penyelidikan ini dimulai akan lebih baik bagi ibu yang memberikan uang saku itu’.
Pada tahun 1853 ini pemerintah kembali mendatangkan
pekerja dari Eropa Utara dan telah tiba di Suriname (lihat Arnhemsche courant, 11-01-1853).
Disebutkan juga ada keinginan untuk memenuhi kebutuhan di Suriname mendatangkan
petani dari Jerman. Gagasan untuk menarik orang Cina
ke Suriname diapungkan (boleh jadi itu karena keberhasilan para kuli dari Amoy
di Cuba).
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 02-07-1853: ‘Pagi-pagi sekali, kapal ZM Merwede, yang dikomandoi oleh kapten, letnan laut, kelas 1, MC van Vreeland, meninggalkan pelabuhan di sini untuk kembali ke Belanda melalui Hindia Barat. Kapal itu membawa muatan kayu untuk Belanda dan delapan belas orang Cina telah disewa, sebagaimana yang kami ketahui, atas perintah pemerintah oleh Residen Batavia untuk penanaman tebu di Suriname, disini untuk jangka waktu tiga tahun. Mereka menikmati perjalanan dan makanan gratis dengan cara mereka sendiri, yang diharapkan akan membangkitkan keinginan untuk migrasi serupa diantara rekan senegaranya. Selanjutnya, mereka telah merundingkan perumahan dan makanan gratis di Suriname, selain dan sebagai tambahan gaji mereka, yang ditetapkan sebesar ƒ100 per bulan untuk 1 tukang gula, ƒ83 per bulan untuk masing-masing dari tiga asisten tukang gula, dan ƒ40 per bulan untuk masing-masing dari 14 penanam gula. Masing-masing dari mereka diberikan uang muka tiga bulan oleh pemerintah untuk mengurus urusan mereka di sini, yang akan diimbangi dengan gaji mereka di Suriname. di mana mereka juga akan dipotong dari uang, beras, minyak, dll., yang seharusnya dibayarkan kepada keluarga mereka atas permintaan mereka di tempat ini, dalam rangka menyediakan pemeliharaan mereka selama mereka tidak ada. Di atas kapal Merwede juga terdapat beberapa peralatan untuk pembuatan gula, sehingga warga Cina dapat segera memulai budidaya gula tersebut begitu tiba di Suriname. Rupanya tujuan pemerintah dalam perkara ini adalah mencoba mencari penyelesaian atas makin bertambahnya kekurangan tenaga kerja untuk perbudakan di Hindia Barat Belanda, dan kita sungguh berharap agar usaha ini dapat membuahkan hasil yang sukses, sebab hal ini menyiratkan perkembangan lebih jauh dari kecenderungan yang sudah ada di sana ke arah pembebasan budak dan dengan demikian penghancuran negeri perbudakan, sementara di sisi lain, ini akan memberikan banyak putra kerajaan surga kesempatan untuk menemukan di sana mungkin keberadaan yang lebih luas daripada di sini’.
Pada bulan Oktober tiba di Suriname dimana empat orang
meninggal di dalam pelayaran (lihat De Curaçaosche courant, 19-11-1853). Disebutkan
pada hari Senin, tanggal 14, kapal pengangkut Merwede, yang dikomandoi oleh kapten
Letnan MG van Vreeland, baru saja datang di Suriname, tiba di sini. Kapal
Merwede tiba di Suriname pada tanggal 18 Oktober dengan membawa kiriman barang bersama
orang Cina, yang dimaksudkan untuk melakukan percobaan di perkebunan pemerintah
Catharina Sophia, mengenai budidaya gula dan penyiapan gula. Dari 18 orang
Cina, 4 orang meninggal saat dalam perjalanan; salah satu dari mereka tiba
dalam keadaan sakit dan dibawa ke Rumah Sakit Militer untuk dirawat; sisanya
telah diangkut ke tempat tujuan mereka.
Saat itu pelayaran masih melalui Afrika Selatan. Dari Batavia ke Suriname membutuhkan waktu 3.5 bulan (berangkat dari Batavia 02-07-1853 dan tiba di Suriname 18-10-1853). Itu jelas bukan waktu yang singkat apalagi bagi orang yang berasal dari Indonesia. Adanya empat orang yang meninggal menunjukkan sangat berat dan berisiko tinggi dalam pelayaran.
Kehadiran migran Cina asal Indonesia di Suriname sudah
barang tentu menarik perhatian pemerintah setempat. Ini adalah awal era baru
dalam kehadiran orang Indonesia di Suriname. Gubernur Suriname juga mengunjungi
mereka.
Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 15-01-1854: ‘Menurut laporan Gubernur Suriname, warga Cina berjumlah 14 (4 orang meninggal dalam perjalanan), yang tiba dari Jawa dengan kapal pengangkut ZE Merwede, setibanya di sana, langsung diangkut ke perkebunan pemerintah Catharina Sophia, di mana mereka ditakdirkan untuk bekerja sebagai tukang gula dan penanam tebu. Setelah ditempatkan di sana dengan layak dan menikmati istirahat beberapa hari, mereka dikunjungi langsung oleh gubernur, dan selama kunjungan tersebut terlihat jelas bahwa mereka dirawat dengan baik dan mereka tampak sangat puas dan ceria. karena dipekerjakan, mereka sangat rela melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka, dan mereka melaksanakan pekerjaan dengan baik, baik di pabrik maupun di ladang, itulah sebabnya situasi yang awalnya menguntungkan ini memberikan alasan untuk berharap bahwa upaya pemindahan pekerja Cina ke Suriname akan membuahkan hasil yang baik’. Opregte Haarlemsche Courant, 11-05-1854: ‘Orang Cina bekerja dengan cara yang sama seperti gula diproses di negara ini, dan dipekerjakan di perkebunan Catharina Sophia di negara tersebut di Sungai Saramacca. yang perkebunannya dikelola oleh Austin dan yang dikelola oleh Humphreys. Orang-orang Cina ini adalah orang-orang pekerja keras, yang melakukan pekerjaan dua kali lebih banyak daripada orang Afrika. Kesehatan mereka baik. Dari Demerary tertulis bahwa orang Cina sekarang dianggap sebagai petani terbaik dan lebih baik dari budak-budak zaman dulu. Para planter yang bekerja di sana ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Selain sangat pekerja keras, mereka mudah senang; Umumnya mudah dikelola. dan sangat mengenal budidaya tanaman eceng gondok, yang akan menjadi cabang baru kemakmuran bagi para penanam’.
Kehadiran orang Cina telah menambah keragaman warga di
Suriname. Orang-orang budak Negro tiba-tiba dibebaskan dan sebelum para emigran
dari negara lain seperti dari Indonesia didatangkan (lihat Algemeen Handelsblad,
11-09-1854). Disebutkan diharapkan bahwa emigrasi buruh bebas dari negara lain
akan didorong. Suriname adalah wilayah pertanian; tidak ada kemah atau lalu
lintas, perdagangan transit sangat kecil; Oleh karena itu, ekspor hanya terdiri
dari produk yang diperoleh dari pertanian. Gula, rum, molase, kopi, kakao,
kapas dan sedikit kayu dan perabotan. Seluruh koloni ini hanya berpenduduk
60.000 jiwa, yang mana sekitar 20.000 jiwa tinggal di Paramaribo, yang (kecuali
pegawai negeri dan personel militer) mencari nafkah dari perdagangan dan
kerajinan. Sebanyak 10.000 orang merupakan Bushnegro dan orang Indian merdeka,
yang hidup dengan berburu dan memancing serta hanya membawa sedikit kayu untuk
diperdagangkan; Sebanyak 30.000 orang hidup di sana dari berbagai negara’.
Dalam laporan mengenai pengelolaan dan kondisi Harta Milik Luar Negeri pada tahun 1853 dideskripsikanj populasi di Suriname (lihat Algemeen Handelsblad, 18-04-1855). Disebutkan dari laporan ini tidak termasuk 120 emigran bebas dari Madeira (Portugis), yang menetap di tiga perkebunan khusus pada tahun 1853, dan 18 orang Cina di perkebunan Catharina Sophia. Ini mengindikasikan bahwa selain budak yang sudah dibebaskan dan yang belum, hanya dari Madeira dan Jawa migran bebas yang sudah ada di Suriname.
Kehadiran orang Cina dan Portugis di Suriname telah
menjadi harahap (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 08-10-1856).
Disebutkan rencana emigrasi harus ditujukan untuk mendorong pengiriman pekerja Cina
dan Portugis, dalam rangka mengatasi kekurangan tenaga kerja yang ada di
perkebunan, dan untuk membuka jalan bagi para pemilik perkebunan untuk
selanjutnya memperoleh pekerja yang diperlukan. Orang-orang ini diberi
prioritas yang jauh lebih besar di koloni ketimbang orang Jerman atau orang
Eropa lainnya, karena orang-orang Eropa lainnya tidak begitu tahan terhadap
pertanian tropis. Masyarakat Wurtembergers di Albina, di Sungai Marowipio,
sejauh ini hidup dengan cukup baik, tetapi tugas mereka adalah menebang kayu
dan pekerjaan ringan lainnya di tempat teduh, yang tidak dapat disamakan dengan
bercocok tanam bahan pokok.
Disebutkan lebih lanjut, orang Cina telah memberikan tanggapan yang baik di Damerary, Kuba, Jamaika dan tempat-tempat lainnya dan orang merasa bangga bahwa mereka juga akan mempertahankan reputasi itu di Suriname. Salah satu kelemahan utama adalah mereka tidak membawa istri mereka, namun sejumlah kecil tidak mengalami kesulitan dalam menikahi wanita pribumi; ada juga kemungkinan untuk meningkatkan jumlah perempuan dari Madeira dan tempat lain. Orang-orang Portugis yang telah bekerja sebagai buruh di perkebunan di Suriname selama beberapa tahun sekarang memberikan banyak alasan untuk merasa puas, dan membuat para pemilik perkebunan bersemangat untuk menambah jumlah mereka.
Para migran Cina asal Indonesia di Suriname tampaknya
tidak semua betah (lihat Utrechtsche provinciale en stads-courant: algemeen
advertentieblad, 09-12-1856). Disebutkan pada tanggal 6 bulan ini kapal Wilhelmina
dari Suriname tiba di Nieuwe Diep (Amsterdam, Belanda) membawa 7 orang Cina
dengan mandor, yang ingin kembali ke Hindia Timur. Perlu diingat bahwa
baru-baru ini sejumlah besar orang Cina dibawa ke Suriname dengan tujuan
mempekerjakan orang-orang ini, yang dapat beraklimatisasi lebih mudah di sana,
untuk kerja lapangan. Awalnya, percobaan ini dinilai sangat berhasil, dan
orang-orang pun mendapati diri mereka di ana sesuai dengan keinginan mereka.
Namun, sejumlah kecil dari mereka, sebagaimana dilaporkan beberapa surat kabar,
meninggalkan koloni Suriname dan lebih memilih untuk dibawa kembali ke Jawa
dengan biaya negara.
Seperti disebut di atas, ketika berangkat dari Batavia tahun 1853 sebanyak 18 orang Cina, tetapi hanya 14 orang yang tiba di Suriname (sebanyak 4 orang meninggal di perjalanan). Dengan pulangnya sebanyak 7 orang pada tahun 1856 ini maka yang tersisa di Suriname hanya tinggal tujuh orang. Dalam hal ini, kepulangan tujuh orang ke Indonesia dapat dikatakan telah menyelesaikan kontrak mereka, karena saat keberangkatan dulu dijanjikan kontrak selama tiga tahun.
Sementara tujuh orang Cina dari Amsterdam dalam pelayaran
ke Batavia, pada bulan Maret 1857 seorang pribumi dari Mandailing, Si Sati
Nasoetion berangkat studi ke Belanda (liihat De Oostpost: letterkundig,
wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad edisi 26-03-1857). Si
Sati Nasoetion akan melanjutkan studi di Belanda. Kapal yang ditumpangi Si Sati
Nasoetion dengan selamat tiba di Amsterdam (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant:
staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 04-09-1857). Lalu bagaimana
tujuh orang Cina asal Indonesia di Suriname? Yang jelas orang Cina sudah banyak
di Cuba, Jamaika dan Guyana Inggris.
Groninger courant, 11-10-1857: ‘Menurut laporan yang diterima Pemerintah, 200 hingga 300 warga Cina telah mengajukan diri di Makau untuk berangkat ke Suriname, dan mereka akan diikuti oleh beberapa orang lagi sementara konsul menunggu kesempatan pengiriman untuk berangkat’. Utrechtsche provinciale en stads-courant, 30-11-1857: ‘Pemerintah bermaksud untuk mempromosikan emigrasi warga Cina ke Suriname melalui konsul Belanda di China’. Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 30-03-1858: ‘Kapal Rotterdam Twee Gezusters, kapten. Keusekamp dan Minister Pahud, Kapten. Kieviet, keduanya dengan kuli yang dibiayai pemerintah, menempuh perjalanan dari Makau ke Suriname, singgah di tempat persinggahan kami untuk mengambil air dan kemudian melanjutkan perjalanan mereka’. Utrechtsche provinciale en stads-courant: algemeen advertentieblad, 04-05-1858: ‘Dua kapal dagang Belanda, yang datang dari Makau, masing-masing dengan 250 orang Cina di dalamnya, ditujukan ke Suriname; Kedua kapten sangat senang dengan perilaku orang Cina di atas kapal selama seluruh pelayaran’. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-11-1858: ‘Kapal Twee Gezusters, kapten P. Kuisenkamp tiba di Batavia EC Rietman, 2 orang dokter Cina dan 2 penerjemah Cina dari Suriname’.
Siapa migran Cina di Suriname yang tengah dalam masalah tidak terinformasikan, apakah migran asal Indonesia atau migran asal Makao. Tampaknya orang Cina yang bermasalah berasal dari Indonesia (lihat Algemeen Handelsblad, 25-11-1858). Disebutkan awal permasalahan sudah beberapa bulan yang lalu di perkebunan De Drie Gebroeders dimana seorang pekerja berselisih dengan majikan yang menyebabkan Gubernur Suriname, Mayor Jenderal CP Schimpf turun tangan untuk memulihkan ketertiban.
Di Suriname masih
terus berlangsung pembebasan budak (berasal dari Afrika), kehadiran migran dari
negara lain termasuk dari Indonesia adalah pekerja bebas dan terikat dalam
kontrak kerja (sifatnya hubungan antara pekerja dan majikan). Upaya untuk
mendatangkan orang Jawa ke Suriname mulai diapungkan.
Opregte Haarlemsche Courant, 18-12-1858: ’Menteri tersebut (Menteri Koloni) juga menyatakan bahwa ia telah berkorespondensi dengan Gubernur Jenderal di (Hindia) Timur dan (Gubernur di Hindia) Barat. Jika ada kemungkinan membawa orang Jawa ke Suriname, bukan untuk bekerja di perkebunan, tetapi untuk menetap di desa-desa bebas; tetapi juga mencatat bahwa Pemerintah belum berkomitmen untuk menyediakan tenaga kerja. dan bahwa ketika negara telah menyediakan modal yang diperlukan untuk emansipasi, modal ini harus digunakan oleh mereka yang berkepentingan untuk menyediakan bagi diri mereka sendiri tenaga kerja yang diperlukan’.
Munculnya
perselisihan antara migran pekerja asal Indonesia dengan majikan diduga dipicu
karena belum adanya peraturan perjanjian hubungan industrial yang jelas. Hal
ini terungkap adanya usulan perubahan undang-undang di parlemen Belanda yang
menyangkut di koloni Suriname baik terhadap soal pembebasan budak maupun soal mendatangkan
tenaga kerja asing untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Suriname.
Utrechtsche provinciale en stads-courant: algemeen advertentieblad, 14-01-1859: ‘Anggota dewan dari Utrecht, pada tanggal 4 Desember yang lalu dalam pidatonya di Tweede Kamer untuk mendesak pertimbangan yang cepat atas rancangan undang-undang untuk menghapuskan perbudakan di wilayah jajahan Hindia Barat. Sementara itu Menteri Koloni pada sidang tanggal 16 Desember yang lalu menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran perjanjian apa pun dengan para emigran Cina yang bermaksud ke Suriname, dari pernyataan tersebut, menurut pandangannya, bahkan dapat disimpulkan bahwa tidak ada kontrak aktual dengan orang Cina yang telah disepakati di Canton. Menteri memperkuat apa yang dikatakannya dalam pidato pertamanya mengenai pelanggaran sewenang-wenang terhadap kontrak oleh Belanda, konsul di Canton, atas nama Raja, menyimpulkan pertemuan dengan 500 orang Cina yang diketahui, kontrak yang dimaksud pengumuman oleh Gubernur Suriname tanggal 17 dan 20 April yang lalu tentang peraturan yang dirancang oleh komisi yang ditunjuk untuk mengubah perjanjian yang awalnya dibuat di Canton dan disetujui oleh Gubernur’.
Tentang adanya
usulan mendatangkan orang Jawa dari Indonesia dan kehadiran migran asal Makao
di Suriname masih didiskusikan hangat di Belanda (lihat Nederlandsch Indie, 24-06-1859).
Secara khusus, disebutkan bahwa mendatangkan migran tenaga kerja dari Macao
yang menjadi percobaan pertama saat ini dipandang akan gagal karena sangat
mahal. Disebutkan pertama, biayanya jauh lebih tinggi daripada yang
diperkirakan, dan kedua, kinerjanya tidak sebaik yang diharapkan. Biaya per
kepala berjumlah ƒ350 untuk tua dan muda, cocok atau tidak cocok dan Pemerintah
berkewajiban mengembalikan orang-orang tersebut setelah lima tahun. Per kepala
f350, yang jika digabungkan dengan biaya perjalanan pulang pergi, dsb.,
jumlahnya menjadi f500 per kepala. Mahalnya biaya mendatangkan tenaga kerja
dari Asia juga dibandingkan dengan mendatangkan emigran dari Afrika, yang
perjalanannya akan jauh lebih mudah, perjalanan hanya beberapa hari dan dalam
iklim yang sama.
Dalam konteks antara mendatangkan migran pekerja dari Cina dan migran dari Afrika memunculkan gagasan di mana Menteri Koloni sudah mengadakan korespondensi dengan Gubernur Suriname dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang gagasan, apakah tidak mungkin memindahkan orang Jawa ke Suriname, dengan kebebasan kehendak penuh dan dengan pengetahuan penuh tentang apa yang mereka kerjakan, bukan untuk bekerja di perkebunan-perkebunan Eropa, melainkan untuk memiliki desa-desa mereka sendiri di beberapa tempat, yang diorganisasikan dengan cara mereka sendiri. Saya yakin jika itu berhasil, Suriname pertama-tama akan menemukan lebih banyak makanan di dalam dirinya sendiri dibanding yang diproduksinya saat ini, dan bahwa penduduk kulit hitam, yang sekarang dituntut untuk menanam makanan, kemudian dapat mengabdikan dirinya untuk menanam produk perdagangan. Dalam hal lain, mungkin saja percobaan itu bisa saja mendatangkan pengaruh yang besar dan baik. Telah ditemukan bahwa penduduk asli Amerika, manusia berkulit merah, menjauh dari kehadiran manusia kulit putih dan membenci manusia kulit hitam. Orang Jawa yang berkulit tembaga dan orang India lebih banyak kemiripannya, kehadiran orang Jawa menarik perhatian kita terhadap penduduk asli India. Ketika Pemerintah sudah memberikan modal-modal besar itu untuk penghentian ikatan perbudakan, maka modal-modal itu bisa dimanfaatkan dan bisa berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja yang baru dan hidup.
Kasus mengenai
permasalahan hukum migran Cina asal Indonesia mulai terinformasikan duduk
permasalahannya di dewan Tweede Kame (lihat juga Nederlandsch Indie, 24-06-1859).
Disebutkan Gubernur Suriname mengakui bahwa di sebuah perkebunan tiga orang
Cina dihukum; satu orang dengan 25 kali cambukan dan satu orang lagi dengan 18
kali cambukan, dan bahwa hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada orang Cina yang
bertugas di perkebunan lainnya serta melakukan berbagai macam perbuatan tercela
di sana. Disebutkan Gubernur tidak memiliki kewenangan ketat untuk mengirim
komisaris polisi ke sana dan melaksanakan hukuman itu. Namun dalam informasi
yang diberikannya, yang bercirikan kebenaran dan kejujuran, ia menegaskan, atas
dasar yang cukup meyakinkan bahwa ada kebutuhan baginya untuk menjamin
perdamaian, tidak hanya di perkebunan tersebut, tetapi juga di koloni secara
umum. Dalam memandang masalah tiga migran Cina asal Indonesia juga terkesan ada
persaingan antara Gubernur dengan Jaksa Agung Suriname.
Kedua
sama-sama melihat kebutuhan mendesak untuk memasukkan ketentuan-ketentuan yang
lebih ketat ke dalam peraturan-peraturan yang ada selama ini. Gubernur
sendiri tidak pernah diizinkan dan tidak pernah ada pelaksanaan kewenangan apa
pun yang menyebabkan seorang penyewa buruh Cina diizinkan untuk memukul mereka. Oleh
karena itu, rancangan saat ini sedang dipertimbangkan oleh Pemerintah Kolonial,
yang usulan akhirnya belum diserahkan, tetapi dianggap perlu oleh Jaksa Agung
dan dibawa ke hadapan Dewan oleh Gubernur, untuk mengubah peraturan 185b mengikuti
contoh yang berlaku di Guyana Inggris.
Menteri Koloni sendiri tidak akan membiarkan penduduk Cina mana pun berhak memukul tentara bayaran si majikan. Namun ini tidak akan pernah terlaksana kecuali oleh pejabat yang ditunjuk untuk tujuan ini, yang tidak perlu memaksa orang bekerja dengan cara memukul sesuai keinginan mereka sendiri. Bagi Menteri Koloni di Tweede Kamers mengakui bahwa segala sesuatu yang berbau kekejaman atau keharusan dan paksaan adalah menjijikkan. Namun, tindakan harus diambil di sini. Para imigran Cina menghadapi tuan mereka dengan pisau terhunus, sementara pukulan perkebunan meredam perlawanan. Menteri Koloni tidak bermaksud mengatakan bahwa dia tidak akan bekerja sama dalam menerapkan hukuman fisik terhadap orang-orang yang tidak bisa dibujuk.
Kasus hukum yang
menimpa migran Cina asal Indonesia di Suriname terjadi di dalam konteks
kekacauan (aturan) hukum di Suriname. Hal itulah yang menyebabkan kasus ini
masuk dalam persidangan Tweede Kamer yang menghadirkan Menteri Koloni. Kasus
hukum yang menimpa migran Cina asal Indonesia di Suriname juga menyebabkan
perjanjian antara migran asal Makao yang disepakati di Makao mengalami
perubahan di Suriname yang juga akan menimbulkan masalah baru. Hal itulah
mengapa muncul pemikiran migran asal Makao dianggap gagal dan akan setop
setelah lima tahun (selain masalah biaya yang mahal dari Makao).
Di Belanda, akhirnya Si Sati terinformasikan telah lulus sekolah keguruan di Haarlem dengan akta guru bantu (hulpacte). Namun namanya telah diubahnya sendiri dengan nama Willem Iskander. Mengapa? Willem Iskander paling tidak sudah lulus tahun 1860. Ini terlihat nama Willem Iskander termasuk salah satu lulusan sekolah guru di Kerajaan Belanda. Di dalam daftar itu disebutkan sebagai berikut: ‘Iskander, Willem, geb. in 1841, geëxam. in Noordholland, kweekeling te Amsterdam’ (lihat majalah Nieuwe bijdragen ter bevordering van het onderwijs en de opvoeding, voornamelijk met betrekking tot de lagere scholen in het Koningrijk der Nederlanden, voor den jare ...., Volume 30, D. du Mortier en zoon, 1860).
Bagaimana kabar
tujuh migran Cina asal Indonesia di Suriname tidak terinformasikan. Yang jelas
tiga diantara mereka pernah mengalami hukuman yang kontroversi. Pada tahun 1861
terinformasikan seorang migran Cina meninggal di Suriname (lihat Surinaamsche
courant en Gouvernements advertentie blad, 14-12-1861). Disebutkan tanggal 8
Desember meninggal Tjoe-A-Fat imingran Cina. Namun siapa Tjoe-A-Fat tidak
terinformasikan apakah migran asal Indonesia atau asal Makao.
Dalam perkembangannya terinformasikan di Suriname diberikan kesempatan untuk memiliki kontrak untuk mengusahakan lahan perkebunan pemerintah. Ini dapat diperhatikan pada akhir tahun 1863 pemerintah di Suriname mengumumkan kontrak lahan yang diberikan kepada orang-orang imigran Cina (lihat Surinaamsche courant en Gouvernements advertentie blad, 20-02-1864). Jumlah keseluruhan kontrak yang diumumkan sebanyak enam termin berjumlah ratusan buah kontrak.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Orang Jawa dan Orang Cina
Mengapa ke Suriname? Bahasa Jawa di Suriname, Bagaimana dengan Bahasa Melayu?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar