Senin, 22 Juni 2020

Sejarah Lombok (15): Kota Bima Pasca Letusan Gunung Tambora (1815); Kelaparan dan Membangun Kota di Atas Reruntuhan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Keutamaan (kota) Bima pada era Hindia Belanda, karena di kota ini sejak era VOC sudah menjadi ibu kota, tempat dimana residen berada. Hubungan Bima dan VOC yang akrab tetap berlanjut pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada era pendudukan Inggris, saat gunung Tambora meletus (April 1815) dampaknya tidak terlalu fatal di (kerajaan) Bima. Setelah bencana tahun 1815 Kota Bima secara perlahan-lahan dibangun kembali.

Lukisan makam kuno di Bima (1821)
Tidak banyak laporan tentang (kota) Bima pasca bencana kecuali beberapa seperti laporan Residen Bima (1819) dan hasil kunjungan Reinwardt tahun 1821 (tetapi baru dipublikasikan pada tahun 1858). Setahun sebelum publikasi Reinwardt ini, tulisan Heinrich Zollinger diterbitkan sebagai bagian hasil ekspedisinya ke Bima (Sormbawa) tahun 1847. Jung Huhn juga memiliki kesempatan ke Soembawa. Dari laporan-laporan tersebut, kerajaan Bima masih banyak yang tersisa, tetapi kerajaan-kerajaan Tambora, Pekat, Dompu dan Soembawa nyaris punah. Disebutkan penduduk dari kerajaan Tambora dan Pekat hanya survice tidak lebih dari lima orang, sementara penduduk kerajaan Dompu yang masih hidup sekitar 40 orang, sedangkan penduduk dari kerajaan Soembawa masih hidup sebanyak 26 orang. Penduduk Bima yang terkena dampak langsung letusan gunung Tambora tidak terlalu banyak, tetapi faktor kelaparan setelah bencana yang menyebabkan penduduk (kerajaan) Bima menemui kematian sehingga penduduk kerajaan Bima yang tersisa diperkirakan tidak lebih dari 5.000 orang.

Bagaimana kota Bima bangkit kembali pasca bencana gunung Tambora? Itu dimulai dari beberapa bangunan (situs) yang masih tersisa. Rumah penduduk luluh lantak, kapal-kapal yang berada di pantai tersapu habis dihantam tsunami yang puing-puingnya berada jauh di daratan di tengah kota. Bangun istna Radja Bima yang dibangun dengan konstruksi kuat masih tersisa kecualu atapnya rusak berat. Bangunan pemakaman kuno juga masih berdiri utuh. Secara keseluruhan ekonomi, pedagangan serta kemakmuran (kerajaan) Bima ratusan tahun jatuh ke titik nadir. Bima bangkit dan membangun kembali. Tidak mudah lagi. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 21 Juni 2020

Sejarah Lombok (14): Sejarah Dompu, Tetangga Tambora; Mengapa Nama Pulau Sumbawa, Bukan Dompu atau Bima?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini 

Berdasarkan peta-peta lama, nama pulau Sumbawa ditulis dengan nama Cumbava, suatu pulau yang dibedakan dengan pulau Lombok. Pada peta yang lebih baru (Peta 1675) nama-nama tempat di pulau Sumbawa hanya diidentifikasi di pantai utara pulau (seperti halnya di pulau Lombok dan pulau Bali). Apa yang menjadi dasar penamaan pulau tersebut dengan nama Sumbawa? Apakah nama suatu tempat atau nama suatu (yang menjadi) kerajaan? Dalam kisah lama (Pararaton) tidak menyebut nama Sumbawa, tetapi hanya menyebut Dompo [Dompu] dan Gurun. Sejumlah penulis menginterpretasi Gurun adalah Lombok.

Peta 1675
Nama Lombok sudah diidentifikasi di dalam laporan ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1597). Seperti yang terdapat pada Peta 1660 (atau sebelumnya) nama Sumbawa diidentifikasi untuk menunjukkan pulau di timur pulau Lombok. Dalam catatan Kasteel Batavia (Daghregister) terdapat nama-nama kerajaan Bima, Dompu, Tambora dan Sumbawa. Namun anehnya, nama Lombok atau Selaparang tidak terdapat dalam catatan Kasteel Batavia. Why? Perdagangan dari Lombok (Selaparang) menjadi feeder untuk pelabuhan-pelabuhan di Bima, Dompu, Tambora dan Sumbawa (serta Bali).

Pertanyaannya: Jika nama Dompu yang disebut pertama, lalu mengapa nama pulau disebut Sumbawa? Pada era VOC nama Dompu dan Sumbawa adalah nama-nama kerajaan sebagaimana kerajaan-kerajaan Bima dan Tambora. Okelah itu satu hal. Hal lain yang menjadi perhatian adalah bagiamana sejarah Dompu? Untuk enambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 20 Juni 2020

Sejarah Lombok (13): Codja Roeboe di Bima dan Orang Koja di Batavia; Kampung Koja, Tambora dan Pekojan di Jakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
 

Di (kabupaten) Bima tentu saja sejak tempo doeloe ada nama kampong Melajoe dan kampong Panaraga, tetapi tidak ditemukan ada nama kampong Kodja. Tidak ada kampong Bima di Soerabaja, Semarang, Batavia dan Makassar. Yang ada adalah nama kampong Tambora di Batavia. Namun ada kampong Kodja di Batavia dan juga ada nama kampong Pekodjan di Batavia dan Semarang. Lantas mengapa di Batavia ada nama kampong Bali, kampong Makassar dan kampong Ambon, sementara tidak ada nama kampong Bima?

Kelurahan Melayu di Kota Bima (Now)
Pada masa ini di Jakarta nama-nama kampong Bali, Ambon dan Makassar masih eksis di Jakarta. Demikian juga nama-nama kampong Koja, Pekojan dan Tambora hingga ini hari masih eksis di Jakarta. Nama kampong Koja ditabalkan sebagai nama kecamatan di Jakarta Utara. Sementara nama kampong Pekojan ditabalkan sebagai nama kelurahan dan nama kampong Tambora ditabalkan sebagai nama kecamatan di Jakarta. Kelurahan Pekojan berada di kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Apakah nama kampong Kodja dan kampong Pekodjan merupakan kampong orang-orang Bima di Batavia? Lalu apa hubungan orang-orang Koja dengan dengan orang-orang Bima? Di Bima tempo doeloe ada seorang syahbandar yang dikenal sebagai Codja Roeboe. Koja ini sangat dekat dengan raja Bima dan juga sangat dekat dekat dengan anak raja Bima yakni pangeran Panaraga. Koja pada masa itu merujuk pada orang Kodja dan juga merujuk pada nama gelar seperti halnya lebai atau haji. Gelar koja merujuk pada orang orang Kodja (Moor). Lalu apakah nama Codja Roeboe menjadi sumber asal-usul nama kampong Koja dan kampong Pekojan di Batavia? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 19 Juni 2020

Sejarah Lombok (12): Sejarah Bima di Pulau Sumbawa, Selatan Makassar; Jauh di Mata Dekat di Hati, Terkenal Sejak VOC


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Bima memiliki sejarah tersendiri. Meski memiliki kedekatan dengan sejarah Dompu, tetapi dalam perkembangannya sejarah Bima lebih dekat dengan Tambora. Dalam perkembangan berikutnya, sejarah Bima overlap dengan sejarah Makassar. Sebaliknya sejarah Lombok di satu sisi overlap dengan sejarah Bali dan di sisi lain sejarah Lombok overlap dengan sejarah Sumbawa. Namun seperti kata pepatah Bima jauh di mata Lombok dekat di hati. Oleh karena itulah, Lombok, Sumbawa, Dompu, Tambora dan Bima disatukan dalam satu wilayah tersendiri: Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Middelburgsche courant, 25-09-1762
Sejarah Bima tidak sedang berbicara tentang tokoh Bima dalam pewayangan (Mahabrata). Sejarah Bima juga tidak mengulas nama-nama Gurun [Lombok], Seran [ [Seram], TaƱjung Pura [Pontianak], Haru [Padang Lawas, Tapanoeli], Pahang [Semenanjung Malaja], Dompo [Dompu], Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik [Singapoera] yang terdapat dalam naskah Pararaton sehubungan dengan sumpah Gajah Mada dari Majapahit (tahun 1336). Sejarah Bima adalah sejarah yang terkait dengan kerajaan-kerajaan Dompu, Tambora dan Sumbawa yang di satu sisi terkait dengan Lombok dan di sisi lain terkait dengan Makassar pada kurun waktu era VOC/Belanda.

Di antara semua daerah-daerah di Nusa Tenggara Barat, meski Lombok lebih awal dikenal oleh orang Belanda, tetapi Bima kemudian menjadi yang lebih terkenal. Mengapa? Itulah sebabnya mengapa sejarah Bima begitu penting di Nusa Tenggara Barat. Hubungan yang intim antara kerajaan Bima dan kerajaan Makassar (di utara) menambah pentingnya Bima dalam keseluruhan sejarah kepulauan Sunda Kecil. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumbe-sumber tempo doeloe.

Kamis, 18 Juni 2020

Sejarah Lombok (11): Apakah Masih Ada Penduduk Tambora? Gunung Tambora Meletus 1815, Pertanian Lombok Hancur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Tempo doeloe terdapat kerajaan Tambora. Penduduknya, di medan yang berat sangat piawai mengendarai kuda. Penduduk satu wilayah kerajaan terkubur akibat letusan dahsyat gunung Tambora. Letusan gunung Tambora pada tanggal 5 April 1815 sangat menggelegar hingga terdengar keras di kota Makassar (dan juga terdengar hingga pulau Bangka, Sumatra). Peradaban Tambora lenyap.

Puncak gunung Tambora (Lukisan 1750); kawah Tambora (Now)
Nama Tambora kini masih tersisa sebagai nama (sisa) gunung Tambora. Nama Tambora juga ditabalkan sebagai nama kecamatan di kabupaten Bima (pulau Sumbawa) dengan ibu kota Labuhan Kananga. Di luar wilayah kecamatan Tambora masih ada tersisa nama Tambora di Batavia (kini Jakarta). Nama Tambora di Jakarta ditabalkan sebagai nama suatu kelurahan. Lantas, apakah orang Tambora telah punah? Tentu saja secara genetik tidak, tetapi secara kebudayaan (budaya dan bahasa) boleh jadi sudah hilang. Sudah barang tentu orang-orang Tombora yang telah merantau jauh ke berbagai tempat ada yang kembali ke kampong halaman. Jumlah yang tersisa sedikit, karena itu tidak cukup lagi mempertahankan kebudayaannya meski namanya sudah ditabalkan sebagai nama suatu kecamatan di kabupaten Bima.

Bagaimana gunung Tambora meletus adalah satu hal. Hal lain yang juga perlu dicatat dalam sejarah adalah bagaimana situasi dan kondisi sekitar pasca meletusnya gunung. Sudah barang tentu dampak letusan gunung Tambora sangat luas, tidak hanya di pulau Sumbawa. Lalu bagaimana dampaknya di  pulau Lombok. Dampak yang besar di pulau Lombok (timur) mengindikasikan letusan gunung Tambora sangat dahsyat. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Lombok (10): Sejarah Ampenan dan Rezim Bali Selaparang di Lombok; Siapa Sesungguhnya GP King dan Hans Lange?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Ampenan adalah pelabuhan di pantai barat pulau Lombok. Pelabuhan ini telah menggantikan peran pelabuhan Lombok di teluk Lombok pantai timur Lombok sejak era VOC. Meski pelabuhan ini tidak terkenal di era VOC, namun karena kampong Ampenan ini yang memiliki pantai yang sedikit lebih aman untuk kapal-kapal berlabuh, maka pelabuhan ini bertahan secara terus menerus. Komoditi dari pedalaman Lombok semakin mengalir deras Ampenan (dari pada Laboehan Lombok). Hal ini karena jalan-jalan yang dibangun Bali Selaparang membuat transportasi lebih lancar. Pelabuhan ini semakin berkembang setelah kehadiran seorang pedagang Inggris GP King dan Hans Lange..

Pelabuhan Ampenan (1894-1895)
VOC bubar pada tahun 1799. Kerajaan Belanda kemudian mengakuisisinya dan membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Selagi masih sibuk menata dan membentuk cabang pemerintahan (khususnya) di Jawa, para eks pedagang-pedagang VOC masih menjalankan bisnisnya di berbagai tempat termasuk Lombok. Pada era Gubernur Jenderal Daendels mulai membangun jalan pos di Jawa dan pengembangan pertanian di sekitar Batavia. Pada saat inilah terjadi pendudukan Inggris yang dimulai pada tahun 1811. Pemerintah pendudukan Inggris juga masih berkutat di Jawa. Namun kekuasaan Inggris tidak lama dan pada tahun 1816 dikebalikan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Meski telah dibuat perjanjian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1824, para pedagang-pedagang Inggris juga masih terdapat dimana-mana termasuk di Lombok. Pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda oleh pedagang-pedagang Inggris dijadikan feeder untuk pelabuhan Inggris di Singapoera. Dalam situasi inilah banyak pemimpin lokal yang berinteraksi dengan pedagang-pedagang Inggris termasuk di Ampenan, Lombok.

Bagaimana pelabuhan Ampenan berkembang pesat? Peran GP King dan Hans Lange sangat menonjol. Itu satu hal. Hal yang terpenting dari peran pelabuhan Ampenan ini adalah pedagang GP King asal Inggrsi dan pedagang H Lange asal Denmark sengaja atau tidak sengaja telah memunculkan terjadinya perebutan kekuasaan antar para pengeran di Bali Selaparang yang juga berimbas pada penduduk Sasak (munculnya pemberontakan Sasak kepada Mataram Selaparang dan dilancarkannya ekspedisi militer Belanda ke Lombok). Nah, untuk meningkatkan pengetahuan tentang sejarah pelabuhan Ampenan (sejak era GP King hingga Perang Lombok 1895), mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 17 Juni 2020

Sejarah Lombok (9): Sejarah Praya, Tengah Pulau Lombok; Ampenan (Bali Selaparang) versus Labuhan Haji (Lombok Selaparang)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Bagaimana cara memahami sejarah Praya, tentu tidaklah mudah. Hal ini karena Praya di tengah, jauh di pedalaman. Hal ini berbeda dengan sejarah Selong dan Laboehan Haji di timur dan sejarah Mataram dan Ampenan di barat. Praya seakan tersembunyi di lembah Lombok uang subur. Praya adalah tempat di tengah-tengah Tanah Lombok yang subur yang tidak pernah kekurangan air untuk pertaniannya. Wilayah Praya (yang kini menjadi ibu kota kabupaten Lombok Tengah) adalah permadani ekonomi di Lombok (yang memasuk sebagian besar produk perdagangan ke Ampenan dan Laboehan Hadji).

Pelabuhan-pelabuhan di pulau Lombok dari masa ke masa
Pada saat Cornelis de Houtman berkunjung ke Lombok pada tahun 1597 di kampong Lombok yang menjadi kota pelabuhan di teluk Lombok, pelabuhan ini besar dugaan satu-satunya di (pulau) Lombok. Lalu pada awal era VOC, pedagang-pedagang Eropa-Belanda meramaikan Ampenan yang menjadi pelabuhan baru di barat Lombok. Dua pelabuhan ini adalah pelabuhan terbaik di jalur pelayaran Eropa-Belanda dari Batavia ke Banda. Dua pelabuhan ini terbentuk ke arah selatan pulau karena tempat-tempatr di pantai utara tidak bisa dijadikan pelabuhan (besar) karena angin dan ombak yang besar menghantam pantai. Dalam perkembangannya para pedagang-pedagang VOC lebih menyukai membuang jangkat di arah selatan (kelak Laboehan Hadji). Hal ini karena Laboehan Lombok tidak terlalu dalam. Meski teluk Pidjoe di selatan lebih baik namun karena terlalu jauh dari jalur pelayaran di pantai utara, Laboehan Hadji yang terus berkembang. Hal yang sama di pantai barat Lombok, pelabuhan Ampenan tidak selalu aman terutama pada musim badai, sehingga adakalanya kapal-kapal VOC berlabuh di Padang Rhea (tengah) dan yang lebih aman di selatan di Laboehan Tring (yang kini menjadi Pelabuhan Lembar). Pelabuhan Ampenan dan pelabuhan Laboehan Hadji meski tidak ideal tetapi kedua pelabuhan ini dapat dikatakan pelabuhan abadi (sepanjang masa). Tempat-tempat di pantai selatan tidak ditemukan tempat yang baik untuk kapal berlabuh karena tebing dan ombak yang besar, lagi pula jalur pelayaran (perdagangan) berada di pantai utara. Dalam konteks inilah Praya di tengah pulau Lombok tersembunyi (dari luar).

Oleh karena itu, sejarah Lombok tidak hanya dimulai di pantai (Ampenan dan Laboehan Hadji) tetapi juga di pedalaman (Praya). Namun persoalannya, bagaimana menemukan datanya. Itu satu hal. Hal lain yang lebih penting adalah seperti apa peran Praya dalam konstruksi sejarah Lombok. Banyak pendekatan yang dapat digunakan. Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah menemukan titik terpenting (ruang dan waktu) yang secara prospektif meneruskan garis sejarah ke masa depan (ke masa kini) dan juga melakukan retrospektif secara spasial ke masa lampau dengan merujuk pada perkembangan di pantai-pantai timur dan barat pulau Lombok. Nah, untuk menambah pengetahuan tentang sejarah Praya, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 16 Juni 2020

Sejarah Lombok (8): Kisah Dr CJ Neeb dan Luitenant WE Asbeek Brusse, Buku Naar Lombok (1897); Perang Lombok 1894-1895


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Dr CJ Neeb bukan siapa-siapa. Banyak nama dokter yang bisa disebutkan. Demikian juga, Luitenant WE Asbeek Brusse bukan siapa-siapa, dia hanya seorang perwira muda yang baru lulus dari akademi. Namun dua nama ini, dokter dan perwira menjadi penting, karena sepulang dari Perang Lombok (1894-1895) keduanya mengumpulkan kisah mereka di Lombok dalam satu buku dengan judul Naar Lombok yang diterbitkan tahun 1897.

Sejak Heinrich Zollinger menulis tentang Lombok, nyaris tidak ada tulisan tentang situasi dan kondisi di pedalaman Lombok. Tampaknya, kehadiran Heinrich Zollinger di Lombok dan tulisan-tulisannya tentang (pedalaman) Lombok telah mengusik ketenangan radja Bali Selaparang di Lombok. Laporan ekspedisi Heinrich Zollinger di Lombok kali pertama dipublikasikan pada jurnal Tijdschrift voor Neerland's Indie bagian kedua yang terbit pada bulan September 1847 dan kemudian menerbitkan buku kecil dengan judul Reis over de eilanden Bali en Lombok yang diterbitkan oleh penerbit Lange, Batavia pada tahun 1849. Dalam perkembanganya merebak kebencian penduduk asli Lombok (Sasak) terhadap Radja Bali Selaparang. Penduduk Lombok dalam ancaman. Utusan Lombok menemui Pemerintah Hindia Belanda. Solusi yang ditawarkan Pemerintah Hindia Belanda tampaknya tidak diinginkan Radja Bali Selaparang. Mengapa/? Keptusan terakhir diambil Batavia dengan mengirim ekspedisi militer ke Lombok. Perang di Lombok tidak terhindarkan. Perang Lombok meletus.

Lantas apa pentingnya buku Naaar Lombok yang ditulis oleh dokter Neeb dan letnan Brusse? Yang jelas berita perang Lombok dari TKP dapat dibaca day to day di surat kabar yang terbit di Hindia maupun di Belanda. Namun bagaimana tentang kerajaan Bali Selaparang dan penduduk Lombok (Sasak) nyaris tidak terlaporkan. Dalam hal inilah buku Dr CJ Neeb dan Luitenant WE Asbeek Brusse menjadi penting dalam penulisan sejarah Lombok. Satu hal lain lagi Dr. Neeb adalah seorang fotografer. Lalu bagaimana keduanya berminat untuk menulis pengalaman mereka? Nah, untuk menambah pengetahuan, mari kita baca buku mereka dengan menelusuri sumber-sumber lain yang sejaman.

Senin, 15 Juni 2020

Sejarah Lombok (7): Para Penemu Lombok; Sejak Cornelis de Houtman (1597) hingga Heinrich Zollinger, 1847 dan Wallace, 1856


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Lombok adalah narasi fakta dan data sejarah Lombok. Banyak kontributor yang menyediakan sejarah awal Lombok. Para kontributor ini mengumpulkan data yang kini dijadikan sumber sejarah Lombok. Dua yang terpenting adalah Cornelis de Houtman (1597) dan Heinrich Zollinger (1847). Cornelis de Houtman dapat dikatakan sebagai pemberi kabar pertama tentang keberadaan Lombok. Sedangkan Heinrich Zollinger dapat dikatakan sebagai seorang ilmuwan yang benar-benar berhasil menggambarkan situasi dan kondisi di Lombok.

Zollinger dan Wallace
Para penemu sejarah bukanlah orang yang pertama memasuki sutau wilayah tertentu. Para penemu sejarah tempat-tempat di Indonesia, dalam hal ini, adalah orang-orang yang lebih awal secara sadar menulis hasil pengamatan dan wawancanranya dengan penduduk setempat, yang kemudian ditulis dan terpublikasikan. Di Sumatra antara lain Charles Miller (Angkola, Tapanoeli 1772); Jung Huhn (Tapanoeli, 1850) dan lainnya. Di Jawa antara lain Radermacher (hulu sungai Tjiliwong dan Buitenzorg, 1777) dan Groneman (Jogjakarta, 1867), Mereka ini adalah para sarjana (yang memiliki pengetahuan dan metodologi).

Heinrich Zollinger adalah seorang Jerman ahli botani. Heinrich Zollinger datang ke Hindia (baca: Indonesia) pada tahun 1842 ketika seorang Jerman ahli geologi Jung Huhn tengah bekerja di pedalaman Tapanoelib (sejak 1840). Sebagai sarjana, mereka sangat mahir menulis dan memilah-milah dan memilih data yang diperlukan hingga jauh ke masa depan. Namun sangat jarang yang menulis kehadiran Heinrich Zollinger di Lombok. Okelah. Untuk menambah pengetahuan tentang siapa Heinrich Zollinger dan apa yang ditemukannya di Lombok, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Lombok (6): Sembalun dan Rinjani; Desa Terdekat ke Bulan Malam Hari dan Puncak Gunung Terjauh dari Laut Terdalam


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Kampong Sembalun dan gunung Rinjani adalah dua fakta yang masih eksis hingga ini hari. Namun sejarah dua situs ini belum tergali sepenuhnya sehingga informasi tentang kedua situs ini belu diketahui secara lengkap. Ibarat kiasan: Sembalun adalah desa terdekat ke bulan dan puncak gunung Rinjani adalah tanah terjauh dari laut paling dalam. Saya pernah ke ke wilayah ini di desa Sembalun Lawang pada tahun 1991. Sempurna. Tidak hanya ditemukan pohon aren juga ada pohon kelapa.

Perkampongan di Sembalun adalah milik Lombok, gunung Rinjani adalah milik dunia. Gunung Rinjani adalah ‘antena’ tertinggi di pulau Lombok. Sembalun lebih dikenal dunia karena keberadaan Rinjani. Komodi utama terkenal Sembalun juga terangkat, yakni: bawang putih. Ibarat (pulau) Sumbawa dikenal dunia karena gunung Tambora, tapi sayang setelah letusan 1815, gunung Tambora menjadi gunung api paling rendah di dunia. Dari gunung Rindjani terlihat jelas seluruh Lombok dan juga terlihat dekat gunung Tambora. Dalam konteks inilah sejarah Sembalun terbentuk. Kampong Sembalun dan gunung Rinjani sejak lampau hingga ini hari masih eksis.

Anda ingin ke Sembalun? Jangan hanya lihat panoroma dan keindahannya, tapi juga lihat ke sekeliling Lombok disana dari tebing-tebing dimana terlihat danau Segara di bawah sini. Untuk meningkatkan rasa kagum Anda sebelum ke Sembalun, baca lebih dahulu sejarahnya. Namun sayang sekali sejarah Sembalun dan Rinjani belum sepenuhnya terinformasikan. Okelah. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.