Kota Bandung adalah salah satu ‘kota
pendidikan’ terpenting di Indonesia saat ini. Kota Bandung tidak hanya memiliki
ITB, tetapi juga memiliki Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Namun bukan
karena di Bandoeng kali pertama pendidikan berkembang, tetapi sebaliknya
Preanger dan Bandoeng justru terbilang introduksi pendidikan agak telat dibanding daerah lain. Dalam
perkembangan lebih lanjut, telat bukan menjadi halangan bagi Bandoeng untuk
berkembang dalam bidang pendidikan. Lantas, apa yang menyebabkan Bandoeng menjadi
kota dimana pendidikan berkembang pesat dan memiliki keutamaan dalam bidang
pendidikan di Hindia Belanda. Mari kita lacak.
Introduksi
Pendidikan Modern
Kweekschool Bandoeng di Pieterspark (foto 1920) |
Introduksi pendidikan modern
diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ini dimaksudkan untuk mendekatkan
tingkat pengetahuan penduduk pribumi terhadap kebutuhan pemerintahan Hindia
Belanda agar lebih mampu meningkatkan produktivitas (kolonialisme). Dan tentu
saja penduduk pribumi yang telah memiliki pendidikan tertentu dapat mengisi
jabatan yang tidak mungkin diisi oleh orang-orang Eropa/Belanda. Introduksi
pendidikan tersebut diawali dengan melatih sejumlah pribumi di Soerakarta tahun
1850. Guru-guru pribumi dari hasil pelatihan tersebut dikembalikan ke kampong halamannya
atau dikirim ke berbagai tempat di
Hindia Belanda, termasuk ke Bandoeng. Namun jumlah tersebut jelas tidak cukup
dari yang dibutuhkan.
Penduduk
pribumi di Hindia Belanda banyaknya puluhan juta yang terdapat di ratusan ribu kampong-kampung,
sementara guru-guru yang dihasilkan hanya beberapa. Akibatnya, pendidikan
pribumi tidak merata dan guru yang ada hanya terdapat di tempat tertentu dimana
di wilayah tersebut terdapat ribuan penduduk usia sekolah. Oleh karenanya,
hanya para anak raja-raja, anak bupati dan elit pribumi lainnya yang mendapat
pendidikan.
Sebagian besar penduduk di Jawa (juga di
Preanger) tanpa pendidikan, terbenam, terjerat dengan candu opium. Untuk
menyediakan pendidikan oleh pemerintah colonial sangat terbatas. Orang-orang
Eropa/Belanda hanya menginginkan keuntungan dari panduduk, bukan untuk
membiayainya agar lebih cerdas (sebagian orang Belanda menganggap pribumi makin
pintar justru akan merugikan dan bahkan dapat membahayakan). Setelah sekian
ratus tahun kehadiran Belanda di bumi Nusantara hanya segelintir orang yang
bersekolah.
Rotterdamsche
courant, 08-03-1865: ‘Pada tahun 1862 dilaporkan bahwa di seluruh Jawa, yang
penduduk pribumi pada awal tahun lebih dari 12.800.000 jiwa, hanya ada 45
sekolah pemerintah untuk penduduk, kira-kira hanya satu sekolah bagi 285.000
jiwa penduduk, sementara di Belanda terdapat
12 sekolah untuk jumlah penduduk sebanyak itu. Dari 45 sekolah itu
terdapat 1.993 siswa yang kira-kira hanya satu orang yang bersekolah dari
setiap 6.400 jiwa (di Belanda 530 siswa untuk penduduk sebanyak itu). Yang
paling buruk, di Residentie Bantam, Batavia, Buitenzorg, Soerakarta,
Djokjakarta dan Probolinggo yang dihuni oleh penduduk 2.700.000 dari sekolah
pribumi yang dibangun tidak semua sekolah ada siswanya. Pemerintah akan membuat
setiap 2.000 jiwa terdapat satu siswa. Saat ini di Soerabaija hanya satu murid
untuk lebih dari 22.000 jiwa, satu siswa di Samarang untuk 23.000 jiwa dan di Cirebon hanya satu siswa
di 36.000 jiwa. Hal itu disebabkan banyak faktor seperti ketersediaan sarana
dan prasarana, guru, buku-buku yang sesuai dengan tingkat perkembangan
pribumi’.
Saat itu pendidikan di Preanger boleh
jadi luput dari perhatian. Hal itu karena di Preanger nyaris tidak ada sekolah,
kecuali di satu dua tempat tertentu.
Sementara
itu, Residenti Tapenoeli, khususnya di afdeeling Mandailing dan Angkola
beruntung mendapat kiriman guru dua orang dari Soerakarta (satu guru di
onderafdeeling Mandailing dan satu guru di onderfadeeling Angkola). Meski hanya
dua orang guru, namun karena populasi penduduknya yang tidak sepadat di Jawa
(termasuk Preanger), boleh dibilang cakupan pendidikan cukup memadai. Meski Pemerintah
Hindia Belanda sendiri baru membentuk pemerintahan di Mandailing dan Angkola
tahun 1844, akan tetapi pada tahun 1854 lulusan sekolah di Mandailing dan
Angkola sudah ada dua orang yang studi kedokteran di Batavia (Dokter Djawa
School). Dua orang ini ternyata merupakan siswa pertama yang diterima dari luar
Jawa. Pada tahun 1857 satu orang siswa Mandailing en Angkola berangkat studi
pendidikan guru ke Belanda untuk mendapat akte guru. Setelah lulus tahun 1861,
siswa yang sudah menjadi guru tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Willem
Iskander, kembali ke kampong halaman di Mandailing dan tahun 1861 mendirikan
sekolah guru (kweekschool) di Tanobato.
Seperti yang dilaporkan tahun 1862,
terdapat 15 residenti di Jawa (termasuk Residentie Preanger) yang situasi dan
kondisi pendidikan yang sangat minim dan sungguh-sungguh menyedihkan. Di
Preanger dari sekolah yang ada, sekolah nyaris tidak pernah didatangi oleh
siswa untuk sekolah (tentu saja karena jarak sekolah yang sangat jauh dan untuk
sekolah perlu biaya besar).
Sejak
munculnya laporan JA van der Chijs (Inspekteur Inlandsch Onderwijs di Batavia)
tahun 1862, muncul kesadaran baru pada elit Pemerintah Hindia Belanda.
Pendidikan mulai dibicarakan dan diperbincangkan dimana-mana termasuk diantara
para anggota dewan di Batavia.
Sejak pelatihan guru di Soerakarta (1851),
untuk memacu peningkatan jumlah guru telah didirikan sekolah guru (kweekschool)
di Soerakarta tahun 1852 dan di Fort de Kock (1856). Pada tahun 1862 di
Tanobato (afdeeling Mandailing dan Angkola) sekolah guru didirikan oleh Willem
Iskander (dan tahun 1865 diakuisisi pemerintah dan dijadikan sebagai sekolah
guru negeri). Bersamaan dengan
penegeriaan Kweekschool Tanobato, sejumlah sekolah (dasar) negeri didirikan di
beberapa tempat di Mandailing dan Angkola.
Nieuwe
Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad,
20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah
kepemimpinan Godon (Asisten Residen) daerah ini telah banyak berubah, perbaikan
perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah
membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali ke kampungnya di Mandailing. Ketika
saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti
dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan
pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat
dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh
Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip
fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa
Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.
Dengan mengacu pendidikan di Jawa
(termasuk Preanger) van der Chijs awalnya beranggapan bahwa pendidikan di
Sumatra lebih buruk lagi. Dia beranggapan bahwa Sumatra's Westkust (Pantai Barat Sumatra) mungkin diperlukan seribu tahun
sebelum realisasi gagasan pendidikan terjadi. Namun anggapan itu mulai
diragukan oleh Chijs ketika berita-berita sukses sekolah guru di Tanobato ala
Willem Iskander telah beredar kemana-mana. Lalu van der Chijs tergoda dan ingin
membuktikan untuk datang meninjau langsung ke Tanobato di pedalaman Tapanoeli.
Hasil
kunjungan Chijs ke Tanobato menjadi bagian dari laporan tahunan. Di dalam
laporan terbaru, Chijs mengatakan bahwa ‘kenyataan yang terjadi di Mandailing
dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs. Laporan Chijs juga mengindikasikan sekolah
guru di Fort de Kock gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak
pantas memakai nama sekolah guru. Laporan Chijs menggarisbawahi siswa-siswa
Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus. Menurut Chijs di sini (maksudnya
Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu
dengan sangat baik. Buku ‘Braven Hendrik’ yang terkenal di Eropa telah
diterjemahkan (oleh Willem Iskander) ke dalam bahasa Mandailing/Angkola.
Terobosan pendidikan oleh Willem
Iskander Afdeeling (kabupaten) Mandailing dan Angkola telah mengguncang Hindia Belanda. Sejak itu, pemerintah menyadari
perlunya program baru dalam mengatasi persoalan pendidikan penduduk pribumi.
Perbaikan sekolah guru harus ditingkatkan (bercermin dari sekolah guru di
Tanobato) baik terhadap sekolah guru yang sudah berjalan lama maupun sekolah
guru yang sedang dipersiapkan. Namun dalam perkembangannya, kebijakan baru pemerintah
ini tidak sepenuhnya mendapat respon positif di dewan (ada pro-kontra). Dari
mereka yang pro, dapat disimak dari berita-berita berikut:
Java-bode: voor Nederlandsch-Indie, 03-02-1864 |
Kweekschool
Bandoeng
Gedung Kweekschool Bandoeng, 1866 |
Di dalam keributan tentang pendidikan di
Hindia Belanda dan khususnya di Jawa, di Bandoeng tengah dipersiapkan sekolah
guru (kweekschool). Rupanya tulisan (laporan) Chijs itu telah menggelinding
kemana-mana bahkan di pusat kekuasaan kolonial di Jawa. Afdeeling Mandailing en
Angkola telah menjadi ‘kiblat’ perubahan, perubahan yang sangat fundamental di
Hindia Belanda, yakni perubahan pendidikan penduduk pribumi. Gedung Kweekschool
Bandoeng, 1866
Untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di Preanger dan khususnya di Bandoeng lalu mendapat prioritas. Pada tahun 1866 gedung Kweekschool Bandoeng selesai dibangun dan akan dibuka. Ini mengindikasikan, Preanger dan Bandoeng akan segera memulai babak baru dalam pendidikan pribumi. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-04-1866: ‘Anggota Dewan Nederlandsch Indier (Hindia Belanda), Mr. A Loudon, memberitahukan di bulan berikut ini akan hadir pada pembukaan sekolah guru di Bandoeng’.
Untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di Preanger dan khususnya di Bandoeng lalu mendapat prioritas. Pada tahun 1866 gedung Kweekschool Bandoeng selesai dibangun dan akan dibuka. Ini mengindikasikan, Preanger dan Bandoeng akan segera memulai babak baru dalam pendidikan pribumi. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-04-1866: ‘Anggota Dewan Nederlandsch Indier (Hindia Belanda), Mr. A Loudon, memberitahukan di bulan berikut ini akan hadir pada pembukaan sekolah guru di Bandoeng’.
Sebaran sekolah di Preanger (Peta Pendidikan, 1882) |
Sebagaimana
dilaporkan Rotterdamsche courant, 08-03-1865 (lihat kembali di atas): ‘Pada
tahun 1862 dilaporkan bahwa di seluruh Jawa, yang penduduk pribumi pada awal
tahun lebih dari 12.800.000 jiwa, hanya ada 45 sekolah pemerintah untuk
penduduk, kira-kira hanya satu sekolah bagi 285.000 jiwa penduduk…’ dapat
diperbandingkan dengan sekolah negeri di Residentie Tapanoeli tahun 1870 yang
sudah mencapai 10 buah sekolah negeri dimana delapan berada di afdeeling
(kabupaten) Mandailing dan Angkola (padahal penduduk afd. Mandailing dan
Angkola sendiri tidak lebih dari 50.000 jiwa). Itu terjadi karena faktor Willem
Iskander, pribumi pertama yang studi ke Belanda.
.
.
Sementara dari 45 sekolah negeri di Jawa,
empat buah di Residentie Preanger (bandingkan di Residentie Tapanoeli 10 buah),
masing-masing satu buah di setiap regentschap (kabupaten): Tjiandjoer,
Sumedang, Bandoeng dan Limbangan.
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Terbukti (lihat Peta Pendidikan 1882) di
Regentschap (kabupaten) Bandoeng sendiri sudah meningkat dari satu buah menjadi
(paling tidak) lima buah (Bandoeng, Odjoeng Brung, Padalarang, Tjiparai dan
Koppo). Pada tahun yang kurang lebih sama di afd. Mandailing dan Angkola
jumlahnya juga terus bertambah dari delapan menjadi 12 buah bahkan di kota
Padang Sidempuan (ibukota afd. Mandailing dan Angkola sejak 1870) terdapat tiga
buah. Ini disebabkan sejak 1879 di Padang Sidempuan didirikan sekolah guru
(pengganti sekolah guru di Tanobato).
Orang-orang Belanda (pengusaha, pemerintah
eksekutif dan legislative) tidak selalu ‘bulat’ dan ada pro-kontra. Pembangunan
sekolah guru Bandoeng yang mewah (dengan biaya yang besar) disorot sebagai
menghambur-hamburkan keuntungan colonial, karena itu dikecam satu pihak
(kontra). Namun pihak lain memberikan argument rasional (seperti Holle) bahwa
semua ada dasarnya (optimalisasi). Hal serupa ini juga sebelumnya terdapat rebut-ribut
di Batavia tentang pendidikan di Mandailing dan Angkola. Willem Iskander
berangkat studi atas biaya sendiri (penduduk lagi menikmati surplus kopi),
namun setelah beberapa waktu di Belanda, Godon (mantan asisten Residen
Mandailing en Angkola) meminta pemerintah Hindia Belanda agar Willem Iskander
diberi beasiswa untuk sisa waktu pendidikannya. Perdebatan di dewan di Batavia
menimbulkan pro-kontra, akan tetapi dengan argument Menteri Pendidikan bahwa
afd. Mandailing en Angkola (volume) produksi meningkat pesat dan harga melesat
tajam (mencapai harga kopi tertinggi dunia), lalu dewan menyetujui. Lalu dalam
pendirian sekolah guru (oleh Willem Iskander) di Tanobato, para pemimpin local (mungkin
tidak ingin rebut) berinisiatif sendiri membangun sekolah sendiri (tanpa
meminta kepada pemerintah). Namun meski sekolah guru itu bangunan fisiknya tidak
lebih dari rumah-rumah penduduk umumnya tetapi kualitasnya sangat bagus
(seperti berita yang beredar hingga ke Belanda) malah sebaliknya pemerintah Hindia
Belanda (di Batavia) yang meminta untuk sekolah guru itu dinegerikan. Willem
Iskander dan para pemimpin local bersedia dan akhirnya Kweekschool Tanobato
menjadi kweekschool negeri (1865).
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-01-1867: ‘…pemeriksaan publik
pertama di sekolah bagi guru asli Bandung, tidak terlihat suatu yang luar biasa…sebelumnya
Mr. Holle mengatakan penerapan bahasa Sunda diprediksi akan baik…jika melihat
kemajuan yang telah dilaksanakan dalam tujuh bulan ini aritmatika sudah
diperkenalkan dan juga teori music, tentu saja bahasa Belanda…untuk
kesempurnaan siswa hanya dibatasi untuk maksimum berusia 24 tahun…para guru
yang mengajar dengan bahasa Soenda (dicampur bahasa Belanda) sangat diragukan
dapat mengantar pelajaran, karena ada perbedaan yang jauh bahasa Soenda dalam
menjelaskan konsep ilmu pengetahuan dibandingkan dengan bahasa Belanda…akibatbnya
bahasa Soenda yang digunakan tidak bisa menjelaskan dengan presisi yang
diharapkan untuk kejelasan…’.
Hal yang
dialami oleh siswa Kweekschool Bandoeng dalam penyerapan ilmu pengetahuan
dengan menggunakan bahasa daerah tidak ditemukan di Kweekschool Tanobato,
karena Willem Iskander bisa memahami kedua bahasa (Belanda dan Batak) sekaligus
sehingga presisinya lebih tinggi. Sementara itu, permasalahan pendidikan
pribumi terus bergulir. Dari mereka yang pro, dapat disimak dari berita-berita
berikut:
Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada
7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa. Anggaran yang
dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras
alokasi yang digunakan sebanyak enam ton emas hanya dikhususkan untuk
pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad (semacam UU) diamandemen untuk
mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak
setuju’.
Algemeen
Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu
untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini,
berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan
Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (pendidikan
di Hindia Belanda)…’.
Persoalan
pendidikan di Preanger, meski sudah memiliki gedung yang aduhai (sejak 1866),
namun tidak serta merta permasalahan pendidikan selesai. Persoalan mutu (kurikulum
dan lulusan) diduga masih belum optimal. Sebagaimana dilaporkan penggunaan
bahasa di sekolah guru Bandoeng adalah dengan menggunakan bahasa Soenda (tentu
saja plus Belanda) dan guru-gurunya adalah orang Eropa/Belanda. Boleh jadi akan
menimbulkan ‘gap’ antara yang dipikirkan oleh guru-guru Belanda dengan yang
dibutuhkan dan sesuai bagi siswa-siswa. Persoalan ini tidak ditemukan di
Kweekschool Tanobato di afd. Mandailing dan Angkola. Gurunya, pribumi Willem
Iskander adalah lulusan sekolah Eropa dengan menggunakan kurikulum dan metode
pembelajaran ‘ala’ setempat (local). Kweekschool Tanobato menjadi yang terbaik
di seluruh Hindia Belanda.
Lalu pada awal tahun 1870an timbul perdebatan
(lagi) di dewan di Batavia soal mutu pendidikan penduduk pribumi. Sekali lagi,
pihak yang pro memenangkan perdebatan atas pihak yang kontra dan menyetujui
untuk mengirim sejumlah guru-guru muda dari seluruh Hindia Belanda untuk studi
ke Belanda (seperti yang dilakukan Willem Iskander dulu). Namun itu tidak mudah
sebab harus didampingi oleh mentor. Karena itu pilihan mentor untuk mendampingi
guru-guru muda studi ke Belanda, Menteri Pendidikan mengusulkan Willem
Iskander.
Tentu
saja itu tidak mudah, Willem Iskander (mungkin tidak keberatan tetapi para
pemimpin local di Mandailing dan Angkola sangat keberatan). Akhirnya solusi
yang dibuat: Willem Iskander menjadi mentor para guru muda dan implikasinya
Kweekschool Tanobato harus ditutup. Konpensasinya adalah: penutupan Kweekschool
Tanobato akan diganti dengan sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempuan,
untuk direktur Kweekschool Padang Sidempuan diproyeksikan akan dijabat Willem
Iskander dan karena itu dalam rombongan guru-guru muda ini Willem Iskander
diberi beasiswa untuk melanjutkan studi untuk mendapatkan akte kepala sekolah.
Satu lagi konpensasi dari pemerintah adalah di dalam rombongan tersebut
disertakan satu guru muda dari afd. Mandailing dan Angkola.
Lalu
Kweekschool Tanobato ditutup tahun 1874. Namun karena ini merupakan proyek
percontohan (meski sudah ada contoh Willem Iskander, mungkin lebih pada
hitung-hitungan biaya beasiswa), dewan hanya menyetujui tiga guru muda yang
dikirim plus Willem Iskander. Ketiga kandidat guru itu adalah satu dari
Preanger, satu guru dari Soerakarta bernama Raden Mas Soerono dan satu guru
muda dari afdeeling Mandailing dan Angkola bernama Barnas (Lubis) yakni murid
terpintar dari Willem Iskander alias Sati Nasoetion.
Kandidat guru muda dari Preanger
Regentschappen adalah bernama Adi Sasmita, seorang guru bantu di Regentschap (kabupaten) Sumedang. Adi Sasmita diduga
adalah lulusan pertama Kweekschool Bandoeng. Lantas mengapa dari Sumedang,
bukan guru asal regenschap (kabupaten) Bandoeng? Boleh jadi ini karena
bargaining dari Bupati Sumedang, yang saat itu masih lebih superior dibanding bupati
Bandoeng dan bahkan bupati Tjiandjoer, meski ibukota Preanger sudah dipindahkan
dari Tjiandjoer ke Bandoeng sejak 1871. Disamping itu, ekonomi (pertanian
ekspor) Sumedang tidak kalah jika dibandingkan dengan Bandoeng dan Tjiandjoer.
Seperti yang dikabarkan, Adi Sasmita adalah lulusan terbaik dari Kweekschool
Bandoeng (dan diproyeksikan menjadi guru di Kweekschool Bandoeng).
Tiga
guru muda yang dipimpin Willem Iskander berangkat dari Batavia pada tahun 1875.
Namun sangat disayangkan mereka berempat tidak ada yang kembali, semuanya
dikabarkan telah meninggal dunia di tahun pertama di Belanda (Eropa). Tiga
kandidat guru ini dilaporkan sakit keras, tidak bisa menahan dingin. Raden Mas
Soerono masih sempat dipulangkan agar jiwanya tertolong, namun meninggal di
tengah perjalanan dan dikuburkan di Port Said (Mesir). Willem Iskander
dilaporkan juga telah meninggal tahun 1876.
Meninggalnya Willem Iskander sangat controversial
hingga ini hari: bunuh diri atau dibunuh. Dilaporkan Willem Iskander meninggal bulan
Mei 1876 karena bunuh diri disebabkan frustrasi karena kematian tiga ‘anak
didiknya’. Namun ini saya pribadi sangat meragukan sebagaimana dapat dibaca dalam
edisi Locomotief edisi Juli 1876. Argumennya adalah sebegai berikut: Program
pengiriman guru muda ke Belanda di bawah baying-bayang pro-kontra. Di satu
pihak menganggap ini biaya dan dipihak lain sebagai (politik) etik. Kematian
tiga anak didik Willem Iskander di satu sisi Willem Iskander telah kehilangan
harapan untuk peningkatan pendidikan penduduk pribumi di Hindia Belanda, di
lain sisi boleh jadi beasiswa Willem Iskander telah diputus sepihak dari
Batavia (mengingat program utama adalah tiga guru muda, sedangkan beasiswa
Willem Iskander adalah program tambahan, sebagai bentuk bargaining). Disamping
itu, jelang keberangkatan Willem Iskander dan tiga anak didiknya, perang Atjeh
telah menimbulkan biaya besar di pihak militer (pemerintah Hindia Belanda).
Sebelum berangkat ke Batavia, Willem Iskander tampak tidak setuju (menolak)
penghancuran keraton (dan masjid Atjeh) dan menyesalkan banyak penduduk pribumi
tidak ikut prihatin yang dimuat di dalam surat kabar Sumatra Courant. Last but
not least (Willem Iskander, sang pendidik telah menjadi pejuang): di dalam buku
Willem Iskander berjudul Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek (terbit di
Batavia 1874) terdapat satu bait yang menentang praktek colonial Belanda: Adong
halak ruar (Ada orang luar); Na mian di Panyabungan (Yang berdiam di
Panyabungan); Tibu nian ia aruar (Moga cepat ia keluar); Harana boltok madung
busungan (Karena perutnya sudah buncit).
Semua
kehilangan guru-guru hebat ini. Penduduk Mandailing dan Angkola di Residentie
Tapanoeli menangisinya, demikian juga penduduk di Sumedang di Residentie
Preanger dan juga demikian di Soerakarta. Keinginan untuk peningkatan kualitas
penduduk pribumi tersendat lagi.
Kweekschool Bandoeng berlangsung apa adanya.
Kebutuhan guru terus meningkat, Kweekschool Bandoeng terus menghasilkan
guru-guru bantu (guru utama adalah lulusan Eropa/Belanda yang seperti yang
diinginkan Adi Sasmita). Sementara itu, Kweekschool Padang Sidempuan dibuka
tahun 1879 (tanpa kehadiran Willem Iskander). Direktur Kweekschool Padang
Sidempuan adalah Mr. Harmsen. Pada tahun 1881 Kweekschool Padang Sidempuan mendapat
tambahan guru bernama Charles Adrian van Ophuijsen. Uniknya van Ophuijsen bukan
berlatar belakang sekolah guru, tetapi seorang dokter muda, anak mantan
controleur Natal beralih profesi dari pegawai pemerintah (opziener) di
Panjaboengan menjadi guru (di Padang Sidempuan). Selama menjadi pegawai pemerintah,
vain Ophuijsen banyak belajar sastra dan pendidikan penduduk pribumi di
Mandailing dan Angkola. Lalu direktur Kweekschool digantikan oleh Charles
Adrian van Ophuijsen (selama delapan tahun di Kweekschool Padang Sidempuan,
lima tahun terakhir berposisi sebagai direktur sebelum dirinya diangkat menjadi
Direktur Pendidikan Pantai Barat Sumatra. Kelak, van Ophuijsen menjadi guru
besar di Universiteit Leiden di bidang sastra dan tata bahasa Melayu. Charles
Adrian van Ophuijsen adalah pengarang buku Sastra dan Tata Bahasa Melayu yang
terkenal dengan ejaan Ophuijsen (cikal bakal Tata Bahasa Indonesia).
Kweekschool
Bandoeng dari tahun ke tahun menghasilkan guru-guru baru. Demikian juga
Kweekschool Padang Sidempuan menghasilkan guru-guru berkualitas di bawah asuhan
Charles Adrian van Ophuijsen. Namun saying, Kweekschool padang Sidempuan harus ditutup
tahun 1893 karena anggaran pendidikan mengalami deficit. Semua siswa yang ingin
menjadi guru di Sumatra diarahkan ke Kweekschool Fort de Kock (kini
Bukittinggi).
Beberapa alumni Kweekschool padang Sidempuan
yang kelak menjadi terkenal adalah: Dja Endar Moeda, siswa terbaik van
Ophuijsen, setelah pension guru beralih profesi menjadi jurnalis (editor
pribumi pertama, surat kabar Pertja Barat di Padang, 1897). Soetan Casajangan,
semasih menjadi guru berangkat kuliah atas biaya sendiri ke Belanda (1905).
Soetan Casajangan adalah pendiri Perhimpunan Pelajar Hindia Belanda (Indisch
Vereeniging) di Leiden tahun 1908 dengan sekretaris Husein Djajadinigrat (asal
Banten, mungkin lulusan Kweekschool Bandoeng) dan Soetan Casajangan, mantan
murudnya di Kweekschool Padang Sidempuan menjadi asisten Charles Adrian van
Ophuijsen dalam pengajaran sastra dan tata bahasa Melayu di Universiteit
Leiden. Satu lagi lulusan Kweekschool Padang Sidempuan adalah Mangaradja
Salamboewe, tidak menjadi guru tetapi penulis di kantor residen Tapanoeli,
Setelah keluar dari birokrasi, Mangaradja Salamboewe menjadi editor surat kabar
Pertja Timor di Medan (1902). Untuk sekadar catatan: Tirto Adhi Soerjo adalah
pribumi ketiga yang menjadi editor surat kabar, yakni di surat kabar Pembrita Betawi
(di Batavia 1903).
Saya
juga kehilangan terhadap empat guru pionir ini (Willem Iskander, Raden Mas
Soerono, Adi Sasmita dan Barnas). Saya banyak menemukan jejak alumni
Kweekschool Tano Bato dan Kweekschool Padang Sidempuan, namun sejauh ini belum
saya menemukan jejak alumni Kweekschool Bandoeng (saya akan coba di lain waktu
atau ada yang membantu?). Malah justru saya menemukan jejak para alumni Hoogere
Kweekschool (HKS) dari Bandoeng yang cukup dikenal. Mereka adalah pelatak dasar,
pendidikan kita.
Hoogere Kweekschool Bandoeng
Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1916 |
Namun
dalam perkembangannya, tahun 1920 Kweekschool Bandoeng ditingkatkan menjadi Hoogere
Kweekschool. Ini berarti HKS ada dua: Poerworedjo (wilayah timur) dan Bandoeng
(wilayah barat). Direktur HKS Bandoeng yang pertama adalah JD. Winnen (Bataviaasch
nieuwsblad, 12-08-1920). Sebagai pengganti Kweekschool Bandoeng dibuat Hollandsch
Inlandsche Kweekschool Bandoeng di Riaoustraat. HIK kemudian didirikan di Lembang. HIK dan HKS di Preanger (Bandoeng/Lembang)
terus eksis hingga berakhirnya colonial Belanda.
Tahun pertama Hoogere Kweekschool (1920) |
Salah
satu guru alumni HKS yang terbilang sukses adalah Gading Batoebara. Anak Padang
Sidempoean kelahiran Hoetapadang, Sipirok 10 Oktober 1901 (10-10-01) ini mengikuti
sekolah guru di Fort de Kock. Setelah lulus, Gading Batoebara melanjutkan
sekolah ke Hogere Kweekschool di Poeworedjo dan lulus 1923.
Foto Kweekschool di Riaoustraat, Bandoeng (1921) |
Pada
tahun 1929 GB Josua melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda di Groningen.
Setelah mendapat akte Lager Onderwijs, GB Josua kembali ke tanah air 1931. Lalu
pada tahun 1934 GB Josua mendirikan Josgua Instituut di Medan. Peresmian
sekolah ini dilakukan tanggal 16 Juli 1934. Josua Instituut awalnya hanya
menyelenggarakan HIS lalu beberapa tahun kemudian pendidikan MULO. Josua
Instituut atau Perguruan Josua masih eksis hingga ini hari.
Algemeen Handelsblad, 09-12-1933 |
Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931 |
Perkembangan Pendidikan Lebih Lanjut
Dr. Ida Loemongga, Ph.D |
Sekolah dasar juga berkembang, mulai dari
gouvernement inlandsch school menjadi HIS (Eropa: ELS), kemudian MULO, HBS, AMS
dan sebagainya.
Pendidikan
tinggi lainnya juga berkembang seperti recht school (hukum), technisch school
(teknik), viertsen school (kedokteran hewan) dan landbouw school (pertanian).
Sekolah TinggiTeknik di Bandoeng dimulai pada tahun 1920, veteriner di
Buitenzorg 1909, recht school di Batavia, 1913. Sebagaimana sekolah-sekolah
pertanian berkembang di Buitenzorg (karena aktivitas departemen pertanian), di
Bandoeng juga berkembang sekolah-sekolah teknik (karena aktivitas Departement van
Gouvernements Bedrijven yang gedungnya kini Gedung Sate).
Untuk sekolah bidang keguruan terus
berlangsung hingga ini hari. HIK menjadi HKS lalu kemudian di era kemerdekaan
menjadi PGSL (A dan B) lalu kemudian menjadi IKIP. Kini sesuai dengan format
sekolah tinggi keguruan, IKIP Bandoeng menjadi Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar