Minggu, 29 Januari 2017

Sejarah Bandung (12): Introduksi Pendidikan Modern di Preanger Telat, Kweekschool Bandoeng Dibangun; Kini Pusat Pendidikan



Kota Bandung adalah salah satu ‘kota pendidikan’ terpenting di Indonesia saat ini. Kota Bandung tidak hanya memiliki ITB, tetapi juga memiliki Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Namun bukan karena di Bandoeng kali pertama pendidikan berkembang, tetapi sebaliknya Preanger dan Bandoeng justru terbilang introduksi pendidikan  agak telat dibanding daerah lain. Dalam perkembangan lebih lanjut, telat bukan menjadi halangan bagi Bandoeng untuk berkembang dalam bidang pendidikan. Lantas, apa yang menyebabkan Bandoeng menjadi kota dimana pendidikan berkembang pesat dan memiliki keutamaan dalam bidang pendidikan di Hindia Belanda. Mari kita lacak.

Introduksi Pendidikan Modern

Kweekschool Bandoeng di Pieterspark (foto 1920)
Introduksi pendidikan modern diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ini dimaksudkan untuk mendekatkan tingkat pengetahuan penduduk pribumi terhadap kebutuhan pemerintahan Hindia Belanda agar lebih mampu meningkatkan produktivitas (kolonialisme). Dan tentu saja penduduk pribumi yang telah memiliki pendidikan tertentu dapat mengisi jabatan yang tidak mungkin diisi oleh orang-orang Eropa/Belanda. Introduksi pendidikan tersebut diawali dengan melatih sejumlah pribumi di Soerakarta tahun 1850. Guru-guru pribumi dari hasil pelatihan tersebut dikembalikan ke kampong halamannya atau dikirim ke  berbagai tempat di Hindia Belanda, termasuk ke Bandoeng. Namun jumlah tersebut jelas tidak cukup dari yang dibutuhkan.

Penduduk pribumi di Hindia Belanda banyaknya puluhan juta yang terdapat di ratusan ribu kampong-kampung, sementara guru-guru yang dihasilkan hanya beberapa. Akibatnya, pendidikan pribumi tidak merata dan guru yang ada hanya terdapat di tempat tertentu dimana di wilayah tersebut terdapat ribuan penduduk usia sekolah. Oleh karenanya, hanya para anak raja-raja, anak bupati dan elit pribumi lainnya yang mendapat pendidikan.

Sebagian besar penduduk di Jawa (juga di Preanger) tanpa pendidikan, terbenam, terjerat dengan candu opium. Untuk menyediakan pendidikan oleh pemerintah colonial sangat terbatas. Orang-orang Eropa/Belanda hanya menginginkan keuntungan dari panduduk, bukan untuk membiayainya agar lebih cerdas (sebagian orang Belanda menganggap pribumi makin pintar justru akan merugikan dan bahkan dapat membahayakan). Setelah sekian ratus tahun kehadiran Belanda di bumi Nusantara hanya segelintir orang yang bersekolah.

Rotterdamsche courant, 08-03-1865: ‘Pada tahun 1862 dilaporkan bahwa di seluruh Jawa, yang penduduk pribumi pada awal tahun lebih dari 12.800.000 jiwa, hanya ada 45 sekolah pemerintah untuk penduduk, kira-kira hanya satu sekolah bagi 285.000 jiwa penduduk, sementara di Belanda terdapat  12 sekolah untuk jumlah penduduk sebanyak itu. Dari 45 sekolah itu terdapat 1.993 siswa yang kira-kira hanya satu orang yang bersekolah dari setiap 6.400 jiwa (di Belanda 530 siswa untuk penduduk sebanyak itu). Yang paling buruk, di Residentie Bantam, Batavia, Buitenzorg, Soerakarta, Djokjakarta dan Probolinggo yang dihuni oleh penduduk 2.700.000 dari sekolah pribumi yang dibangun tidak semua sekolah ada siswanya. Pemerintah akan membuat setiap 2.000 jiwa terdapat satu siswa. Saat ini di Soerabaija hanya satu murid untuk lebih dari 22.000 jiwa, satu siswa di Samarang untuk  23.000 jiwa dan di Cirebon hanya satu siswa di 36.000 jiwa. Hal itu disebabkan banyak faktor seperti ketersediaan sarana dan prasarana, guru, buku-buku yang sesuai dengan tingkat perkembangan pribumi’.

Saat itu pendidikan di Preanger boleh jadi luput dari perhatian. Hal itu karena di Preanger nyaris tidak ada sekolah, kecuali di satu dua tempat tertentu.

Sementara itu, Residenti Tapenoeli, khususnya di afdeeling Mandailing dan Angkola beruntung mendapat kiriman guru dua orang dari Soerakarta (satu guru di onderafdeeling Mandailing dan satu guru di onderfadeeling Angkola). Meski hanya dua orang guru, namun karena populasi penduduknya yang tidak sepadat di Jawa (termasuk Preanger), boleh dibilang cakupan pendidikan cukup memadai. Meski Pemerintah Hindia Belanda sendiri baru membentuk pemerintahan di Mandailing dan Angkola tahun 1844, akan tetapi pada tahun 1854 lulusan sekolah di Mandailing dan Angkola sudah ada dua orang yang studi kedokteran di Batavia (Dokter Djawa School). Dua orang ini ternyata merupakan siswa pertama yang diterima dari luar Jawa. Pada tahun 1857 satu orang siswa Mandailing en Angkola berangkat studi pendidikan guru ke Belanda untuk mendapat akte guru. Setelah lulus tahun 1861, siswa yang sudah menjadi guru tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Willem Iskander, kembali ke kampong halaman di Mandailing dan tahun 1861 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato.

Seperti yang dilaporkan tahun 1862, terdapat 15 residenti di Jawa (termasuk Residentie Preanger) yang situasi dan kondisi pendidikan yang sangat minim dan sungguh-sungguh menyedihkan. Di Preanger dari sekolah yang ada, sekolah nyaris tidak pernah didatangi oleh siswa untuk sekolah (tentu saja karena jarak sekolah yang sangat jauh dan untuk sekolah perlu biaya besar).

Sejak munculnya laporan JA van der Chijs (Inspekteur Inlandsch Onderwijs di Batavia) tahun 1862, muncul kesadaran baru pada elit Pemerintah Hindia Belanda. Pendidikan mulai dibicarakan dan diperbincangkan dimana-mana termasuk diantara para anggota dewan di Batavia.

Sejak pelatihan guru di Soerakarta (1851), untuk memacu peningkatan jumlah guru telah didirikan sekolah guru (kweekschool) di Soerakarta tahun 1852 dan di Fort de Kock (1856). Pada tahun 1862 di Tanobato (afdeeling Mandailing dan Angkola) sekolah guru didirikan oleh Willem Iskander (dan tahun 1865 diakuisisi pemerintah dan dijadikan sebagai sekolah guru negeri). Bersamaan dengan penegeriaan Kweekschool Tanobato, sejumlah sekolah (dasar) negeri didirikan di beberapa tempat di Mandailing dan Angkola.

Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon (Asisten Residen) daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali ke kampungnya di Mandailing. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.   

Dengan mengacu pendidikan di Jawa (termasuk Preanger) van der Chijs awalnya beranggapan bahwa pendidikan di Sumatra lebih buruk lagi. Dia beranggapan bahwa Sumatra's Westkust (Pantai Barat Sumatra) mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan terjadi. Namun anggapan itu mulai diragukan oleh Chijs ketika berita-berita sukses sekolah guru di Tanobato ala Willem Iskander telah beredar kemana-mana. Lalu van der Chijs tergoda dan ingin membuktikan untuk datang meninjau langsung ke Tanobato di pedalaman Tapanoeli.

Hasil kunjungan Chijs ke Tanobato menjadi bagian dari laporan tahunan. Di dalam laporan terbaru, Chijs mengatakan bahwa ‘kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs. Laporan Chijs juga mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama sekolah guru. Laporan Chijs menggarisbawahi siswa-siswa Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus. Menurut Chijs di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu dengan sangat baik. Buku ‘Braven Hendrik’ yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan (oleh Willem Iskander) ke dalam bahasa Mandailing/Angkola.

Terobosan pendidikan oleh Willem Iskander Afdeeling (kabupaten) Mandailing dan Angkola telah mengguncang Hindia Belanda. Sejak itu, pemerintah menyadari perlunya program baru dalam mengatasi persoalan pendidikan penduduk pribumi. Perbaikan sekolah guru harus ditingkatkan (bercermin dari sekolah guru di Tanobato) baik terhadap sekolah guru yang sudah berjalan lama maupun sekolah guru yang sedang dipersiapkan. Namun dalam perkembangannya, kebijakan baru pemerintah ini tidak sepenuhnya mendapat respon positif di dewan (ada pro-kontra). Dari mereka yang pro, dapat disimak dari berita-berita berikut:

Java-bode: voor Nederlandsch-Indie, 03-02-1864
Namun diantara orang-orang Belanda ada juga yang netral. Orang tersebut menulis di surat kabar Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-02-1864. Ditekankannya, bahwa kebijakan radikal pendidikan pribumi dengan melakukan pengiriman siswa ke Belanda sangat beresiko, bukan karena biaya tetapi kesiapan para kandidat karena perbedaan bahasa dan iklim. Lebih baik sekolah guru dibangun di Hindia Belanda yang kualitasnya setara dengan di Belanda, biar mereka merasa seakan di rumah. Jangan hanya karena melihat Willem Iskander telah berhasil membuktikannya,,,Bandoeng, 21 Januari, 1864’.’.
   
Kweekschool Bandoeng

Gedung Kweekschool Bandoeng, 1866
Di dalam keributan tentang pendidikan di Hindia Belanda dan khususnya di Jawa, di Bandoeng tengah dipersiapkan sekolah guru (kweekschool). Rupanya tulisan (laporan) Chijs itu telah menggelinding kemana-mana bahkan di pusat kekuasaan kolonial di Jawa. Afdeeling Mandailing en Angkola telah menjadi ‘kiblat’ perubahan, perubahan yang sangat fundamental di Hindia Belanda, yakni perubahan pendidikan penduduk pribumi. Gedung Kweekschool Bandoeng, 1866

Untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di Preanger dan khususnya di Bandoeng lalu mendapat prioritas. Pada tahun 1866 gedung Kweekschool Bandoeng selesai dibangun dan akan dibuka. Ini mengindikasikan, Preanger dan Bandoeng akan segera memulai babak baru dalam pendidikan pribumi. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-04-1866: ‘Anggota Dewan Nederlandsch Indier (Hindia Belanda), Mr. A Loudon, memberitahukan di bulan berikut ini akan hadir pada pembukaan sekolah guru di Bandoeng’.

Sebaran sekolah di Preanger (Peta Pendidikan, 1882)
Ketika sekolah guru (kweekschool) Bandoeng belum menghasilkan guru, di Residenti Tapanoeli pada tahun 1870 sudah dibangun sebanyak 10 sekolah negeri, yang mana delapan buah berada di afdeeling Mandailing dan Angkola (satu di afd. Sibolga dan satu di Nias eiland). Di Preanger sendiri sekolah negeri baru didirikan empat buah (Bandoeng, Tjiandjoer, Sumadang dan Limbangan). Lulusan siswa dari empat sekolah negeri inilah yang diharapkan menjadi siswa di Kweekschool Bandoeng untuk mempercepat proses peningkatan dan pengembangan pendidikan di Residentie Preanger. Sebaran sekolah di Preanger (Peta Pendidikan, 1882).

Sebagaimana dilaporkan Rotterdamsche courant, 08-03-1865 (lihat kembali di atas): ‘Pada tahun 1862 dilaporkan bahwa di seluruh Jawa, yang penduduk pribumi pada awal tahun lebih dari 12.800.000 jiwa, hanya ada 45 sekolah pemerintah untuk penduduk, kira-kira hanya satu sekolah bagi 285.000 jiwa penduduk…’ dapat diperbandingkan dengan sekolah negeri di Residentie Tapanoeli tahun 1870 yang sudah mencapai 10 buah sekolah negeri dimana delapan berada di afdeeling (kabupaten) Mandailing dan Angkola (padahal penduduk afd. Mandailing dan Angkola sendiri tidak lebih dari 50.000 jiwa). Itu terjadi karena faktor Willem Iskander, pribumi pertama yang studi ke Belanda.
.
Sementara dari 45 sekolah negeri di Jawa, empat buah di Residentie Preanger (bandingkan di Residentie Tapanoeli 10 buah), masing-masing satu buah di setiap regentschap (kabupaten): Tjiandjoer, Sumedang, Bandoeng dan Limbangan.

Dengan adanya sekolah guru di Bandoeng (mulai 1866) jumlah sekolah negeri di Preanger secara signifikan meningkat pesat. Akan tetapi, adanya pendirian sekolah guru di Bandoeng tidak sepenuhnya durespon dengan baik di Batavia, malah ada yang mengecam. Bukan karena adanya sekolah guru di Bandoeng tetapi karena gedung sekolah guru di Bandoeng sangat mewah (lihat foto). Kecaman dialamatkan kepada Mr. Holle.

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Terbukti (lihat Peta Pendidikan 1882) di Regentschap (kabupaten) Bandoeng sendiri sudah meningkat dari satu buah menjadi (paling tidak) lima buah (Bandoeng, Odjoeng Brung, Padalarang, Tjiparai dan Koppo). Pada tahun yang kurang lebih sama di afd. Mandailing dan Angkola jumlahnya juga terus bertambah dari delapan menjadi 12 buah bahkan di kota Padang Sidempuan (ibukota afd. Mandailing dan Angkola sejak 1870) terdapat tiga buah. Ini disebabkan sejak 1879 di Padang Sidempuan didirikan sekolah guru (pengganti sekolah guru di Tanobato).

Holle lalu memberi argumen sebagaimana dikutip  Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 02-06-1866: ‘Dalam pendirian sekolah guru di Bandoeng, peran Holle sangat besar. Pembangunan sekolah ini diputuskan secara diam-diam. Holle mengatakan sekolah ini bukan milik saya, sekolah itu adalah pemberian pemerintah, dan (kami) tidak bisa ditolak. Penduduk disini (maksudnya Preanger) pantas mendapatkan itu, demi untuk menutupi luka lama (apakah maksudnya pemberontakan atau pernarapan koffiestelsel?), penduduk (Preanger) sudah sejak lama surplus (utamanya komodi kopi) dan juga selama ini disini (pendidikan) terabaikan (pemerintah acuh tak acuh) yang tidak hanya itu (pendidikan) hal lain juga di bidang (peningkatan) kesehatan penduduk juga mengalami peningkatan yang berarti.

Orang-orang Belanda (pengusaha, pemerintah eksekutif dan legislative) tidak selalu ‘bulat’ dan ada pro-kontra. Pembangunan sekolah guru Bandoeng yang mewah (dengan biaya yang besar) disorot sebagai menghambur-hamburkan keuntungan colonial, karena itu dikecam satu pihak (kontra). Namun pihak lain memberikan argument rasional (seperti Holle) bahwa semua ada dasarnya (optimalisasi). Hal serupa ini juga sebelumnya terdapat rebut-ribut di Batavia tentang pendidikan di Mandailing dan Angkola. Willem Iskander berangkat studi atas biaya sendiri (penduduk lagi menikmati surplus kopi), namun setelah beberapa waktu di Belanda, Godon (mantan asisten Residen Mandailing en Angkola) meminta pemerintah Hindia Belanda agar Willem Iskander diberi beasiswa untuk sisa waktu pendidikannya. Perdebatan di dewan di Batavia menimbulkan pro-kontra, akan tetapi dengan argument Menteri Pendidikan bahwa afd. Mandailing en Angkola (volume) produksi meningkat pesat dan harga melesat tajam (mencapai harga kopi tertinggi dunia), lalu dewan menyetujui. Lalu dalam pendirian sekolah guru (oleh Willem Iskander) di Tanobato, para pemimpin local (mungkin tidak ingin rebut) berinisiatif sendiri membangun sekolah sendiri (tanpa meminta kepada pemerintah). Namun meski sekolah guru itu bangunan fisiknya tidak lebih dari rumah-rumah penduduk umumnya tetapi kualitasnya sangat bagus (seperti berita yang beredar hingga ke Belanda) malah sebaliknya pemerintah Hindia Belanda (di Batavia) yang meminta untuk sekolah guru itu dinegerikan. Willem Iskander dan para pemimpin local bersedia dan akhirnya Kweekschool Tanobato menjadi kweekschool negeri (1865).


Soal pro-kontra itu baik yang di afdeeling Mandailing/Angkola dan regetschap Bandoeng dapat dimaklumi, karena masa itu adalah era kolonialisme (motif keuntungan). Ibarat pemeo yang sekarang: ‘tidak ada makan siang gratis’. Preanger (khususnya Bandoeng) dan Tapanoeli (khususnya Mandailing dan Angkola) telah ‘membayar lunas’ semua apa yang menjadi dasar kecaman para pihak kontra. Yakni dengan surplus kopi dan penderitaan yang dirasakan penduduk (kedua daerah ini ketika penerapan koffie stelsel alias tanam paksa, penduduk sangat menderita). Seperti yang dikatakan Holle, kita (Belanda) ingin mengobati luka lama (pemberontakan dan penderitaan penduduk).

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-01-1867: ‘…pemeriksaan publik pertama di sekolah bagi guru asli Bandung, tidak terlihat suatu yang luar biasa…sebelumnya Mr. Holle mengatakan penerapan bahasa Sunda diprediksi akan baik…jika melihat kemajuan yang telah dilaksanakan dalam tujuh bulan ini aritmatika sudah diperkenalkan dan juga teori music, tentu saja bahasa Belanda…untuk kesempurnaan siswa hanya dibatasi untuk maksimum berusia 24 tahun…para guru yang mengajar dengan bahasa Soenda (dicampur bahasa Belanda) sangat diragukan dapat mengantar pelajaran, karena ada perbedaan yang jauh bahasa Soenda dalam menjelaskan konsep ilmu pengetahuan dibandingkan dengan bahasa Belanda…akibatbnya bahasa Soenda yang digunakan tidak bisa menjelaskan dengan presisi yang diharapkan untuk kejelasan…’.

Hal yang dialami oleh siswa Kweekschool Bandoeng dalam penyerapan ilmu pengetahuan dengan menggunakan bahasa daerah tidak ditemukan di Kweekschool Tanobato, karena Willem Iskander bisa memahami kedua bahasa (Belanda dan Batak) sekaligus sehingga presisinya lebih tinggi. Sementara itu, permasalahan pendidikan pribumi terus bergulir. Dari mereka yang pro, dapat disimak dari berita-berita berikut:

Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak enam ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad (semacam UU) diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’.

Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (pendidikan di Hindia Belanda)…’.

Guru Muda Adi Sasmita Studi ke Belanda 

Persoalan pendidikan di Preanger, meski sudah memiliki gedung yang aduhai (sejak 1866), namun tidak serta merta permasalahan pendidikan selesai. Persoalan mutu (kurikulum dan lulusan) diduga masih belum optimal. Sebagaimana dilaporkan penggunaan bahasa di sekolah guru Bandoeng adalah dengan menggunakan bahasa Soenda (tentu saja plus Belanda) dan guru-gurunya adalah orang Eropa/Belanda. Boleh jadi akan menimbulkan ‘gap’ antara yang dipikirkan oleh guru-guru Belanda dengan yang dibutuhkan dan sesuai bagi siswa-siswa. Persoalan ini tidak ditemukan di Kweekschool Tanobato di afd. Mandailing dan Angkola. Gurunya, pribumi Willem Iskander adalah lulusan sekolah Eropa dengan menggunakan kurikulum dan metode pembelajaran ‘ala’ setempat (local). Kweekschool Tanobato menjadi yang terbaik di seluruh Hindia Belanda.

Lalu pada awal tahun 1870an timbul perdebatan (lagi) di dewan di Batavia soal mutu pendidikan penduduk pribumi. Sekali lagi, pihak yang pro memenangkan perdebatan atas pihak yang kontra dan menyetujui untuk mengirim sejumlah guru-guru muda dari seluruh Hindia Belanda untuk studi ke Belanda (seperti yang dilakukan Willem Iskander dulu). Namun itu tidak mudah sebab harus didampingi oleh mentor. Karena itu pilihan mentor untuk mendampingi guru-guru muda studi ke Belanda, Menteri Pendidikan mengusulkan Willem Iskander.

Tentu saja itu tidak mudah, Willem Iskander (mungkin tidak keberatan tetapi para pemimpin local di Mandailing dan Angkola sangat keberatan). Akhirnya solusi yang dibuat: Willem Iskander menjadi mentor para guru muda dan implikasinya Kweekschool Tanobato harus ditutup. Konpensasinya adalah: penutupan Kweekschool Tanobato akan diganti dengan sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempuan, untuk direktur Kweekschool Padang Sidempuan diproyeksikan akan dijabat Willem Iskander dan karena itu dalam rombongan guru-guru muda ini Willem Iskander diberi beasiswa untuk melanjutkan studi untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Satu lagi konpensasi dari pemerintah adalah di dalam rombongan tersebut disertakan satu guru muda dari afd. Mandailing dan Angkola.

Lalu Kweekschool Tanobato ditutup tahun 1874. Namun karena ini merupakan proyek percontohan (meski sudah ada contoh Willem Iskander, mungkin lebih pada hitung-hitungan biaya beasiswa), dewan hanya menyetujui tiga guru muda yang dikirim plus Willem Iskander. Ketiga kandidat guru itu adalah satu dari Preanger, satu guru dari Soerakarta bernama Raden Mas Soerono dan satu guru muda dari afdeeling Mandailing dan Angkola bernama Barnas (Lubis) yakni murid terpintar dari Willem Iskander alias Sati Nasoetion.

Kandidat guru muda dari Preanger Regentschappen adalah bernama Adi Sasmita, seorang guru bantu di Regentschap  (kabupaten) Sumedang. Adi Sasmita diduga adalah lulusan pertama Kweekschool Bandoeng. Lantas mengapa dari Sumedang, bukan guru asal regenschap (kabupaten) Bandoeng? Boleh jadi ini karena bargaining dari Bupati Sumedang, yang saat itu masih lebih superior dibanding bupati Bandoeng dan bahkan bupati Tjiandjoer, meski ibukota Preanger sudah dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandoeng sejak 1871. Disamping itu, ekonomi (pertanian ekspor) Sumedang tidak kalah jika dibandingkan dengan Bandoeng dan Tjiandjoer. Seperti yang dikabarkan, Adi Sasmita adalah lulusan terbaik dari Kweekschool Bandoeng (dan diproyeksikan menjadi guru di Kweekschool Bandoeng).    

Tiga guru muda yang dipimpin Willem Iskander berangkat dari Batavia pada tahun 1875. Namun sangat disayangkan mereka berempat tidak ada yang kembali, semuanya dikabarkan telah meninggal dunia di tahun pertama di Belanda (Eropa). Tiga kandidat guru ini dilaporkan sakit keras, tidak bisa menahan dingin. Raden Mas Soerono masih sempat dipulangkan agar jiwanya tertolong, namun meninggal di tengah perjalanan dan dikuburkan di Port Said (Mesir). Willem Iskander dilaporkan juga telah meninggal tahun 1876.

Meninggalnya Willem Iskander sangat controversial hingga ini hari: bunuh diri atau dibunuh. Dilaporkan Willem Iskander meninggal bulan Mei 1876 karena bunuh diri disebabkan frustrasi karena kematian tiga ‘anak didiknya’. Namun ini saya pribadi sangat meragukan sebagaimana dapat dibaca dalam edisi Locomotief edisi Juli 1876. Argumennya adalah sebegai berikut: Program pengiriman guru muda ke Belanda di bawah baying-bayang pro-kontra. Di satu pihak menganggap ini biaya dan dipihak lain sebagai (politik) etik. Kematian tiga anak didik Willem Iskander di satu sisi Willem Iskander telah kehilangan harapan untuk peningkatan pendidikan penduduk pribumi di Hindia Belanda, di lain sisi boleh jadi beasiswa Willem Iskander telah diputus sepihak dari Batavia (mengingat program utama adalah tiga guru muda, sedangkan beasiswa Willem Iskander adalah program tambahan, sebagai bentuk bargaining). Disamping itu, jelang keberangkatan Willem Iskander dan tiga anak didiknya, perang Atjeh telah menimbulkan biaya besar di pihak militer (pemerintah Hindia Belanda). Sebelum berangkat ke Batavia, Willem Iskander tampak tidak setuju (menolak) penghancuran keraton (dan masjid Atjeh) dan menyesalkan banyak penduduk pribumi tidak ikut prihatin yang dimuat di dalam surat kabar Sumatra Courant. Last but not least (Willem Iskander, sang pendidik telah menjadi pejuang): di dalam buku Willem Iskander berjudul Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek (terbit di Batavia 1874) terdapat satu bait yang menentang praktek colonial Belanda: Adong halak ruar (Ada orang luar); Na mian di Panyabungan (Yang berdiam di Panyabungan); Tibu nian ia aruar (Moga cepat ia keluar); Harana boltok madung busungan (Karena perutnya sudah buncit).

Semua kehilangan guru-guru hebat ini. Penduduk Mandailing dan Angkola di Residentie Tapanoeli menangisinya, demikian juga penduduk di Sumedang di Residentie Preanger dan juga demikian di Soerakarta. Keinginan untuk peningkatan kualitas penduduk pribumi tersendat lagi.

Kweekschool Bandoeng berlangsung apa adanya. Kebutuhan guru terus meningkat, Kweekschool Bandoeng terus menghasilkan guru-guru bantu (guru utama adalah lulusan Eropa/Belanda yang seperti yang diinginkan Adi Sasmita). Sementara itu, Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tahun 1879 (tanpa kehadiran Willem Iskander). Direktur Kweekschool Padang Sidempuan adalah Mr. Harmsen. Pada tahun 1881 Kweekschool Padang Sidempuan mendapat tambahan guru bernama Charles Adrian van Ophuijsen. Uniknya van Ophuijsen bukan berlatar belakang sekolah guru, tetapi seorang dokter muda, anak mantan controleur Natal beralih profesi dari pegawai pemerintah (opziener) di Panjaboengan menjadi guru (di Padang Sidempuan). Selama menjadi pegawai pemerintah, vain Ophuijsen banyak belajar sastra dan pendidikan penduduk pribumi di Mandailing dan Angkola. Lalu direktur Kweekschool digantikan oleh Charles Adrian van Ophuijsen (selama delapan tahun di Kweekschool Padang Sidempuan, lima tahun terakhir berposisi sebagai direktur sebelum dirinya diangkat menjadi Direktur Pendidikan Pantai Barat Sumatra. Kelak, van Ophuijsen menjadi guru besar di Universiteit Leiden di bidang sastra dan tata bahasa Melayu. Charles Adrian van Ophuijsen adalah pengarang buku Sastra dan Tata Bahasa Melayu yang terkenal dengan ejaan Ophuijsen (cikal bakal Tata Bahasa Indonesia).

Kweekschool Bandoeng dari tahun ke tahun menghasilkan guru-guru baru. Demikian juga Kweekschool Padang Sidempuan menghasilkan guru-guru berkualitas di bawah asuhan Charles Adrian van Ophuijsen. Namun saying, Kweekschool padang Sidempuan harus ditutup tahun 1893 karena anggaran pendidikan mengalami deficit. Semua siswa yang ingin menjadi guru di Sumatra diarahkan ke Kweekschool Fort de Kock (kini Bukittinggi).

Beberapa alumni Kweekschool padang Sidempuan yang kelak menjadi terkenal adalah: Dja Endar Moeda, siswa terbaik van Ophuijsen, setelah pension guru beralih profesi menjadi jurnalis (editor pribumi pertama, surat kabar Pertja Barat di Padang, 1897). Soetan Casajangan, semasih menjadi guru berangkat kuliah atas biaya sendiri ke Belanda (1905). Soetan Casajangan adalah pendiri Perhimpunan Pelajar Hindia Belanda (Indisch Vereeniging) di Leiden tahun 1908 dengan sekretaris Husein Djajadinigrat (asal Banten, mungkin lulusan Kweekschool Bandoeng) dan Soetan Casajangan, mantan murudnya di Kweekschool Padang Sidempuan menjadi asisten Charles Adrian van Ophuijsen dalam pengajaran sastra dan tata bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Satu lagi lulusan Kweekschool Padang Sidempuan adalah Mangaradja Salamboewe, tidak menjadi guru tetapi penulis di kantor residen Tapanoeli, Setelah keluar dari birokrasi, Mangaradja Salamboewe menjadi editor surat kabar Pertja Timor di Medan (1902). Untuk sekadar catatan: Tirto Adhi Soerjo adalah pribumi ketiga yang menjadi editor surat kabar, yakni di surat kabar Pembrita Betawi (di Batavia 1903).

Saya juga kehilangan terhadap empat guru pionir ini (Willem Iskander, Raden Mas Soerono, Adi Sasmita dan Barnas). Saya banyak menemukan jejak alumni Kweekschool Tano Bato dan Kweekschool Padang Sidempuan, namun sejauh ini belum saya menemukan jejak alumni Kweekschool Bandoeng (saya akan coba di lain waktu atau ada yang membantu?). Malah justru saya menemukan jejak para alumni Hoogere Kweekschool (HKS) dari Bandoeng yang cukup dikenal. Mereka adalah pelatak dasar, pendidikan kita.

Hoogere Kweekschool Bandoeng

Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1916
Kelanjutan Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) adalah pembentukan sekolah guru yang lebih tinggi yang disebut Hoogere Kweekschool (HKS). Sekolah guru atas ini dimulai tahun 1914 di Poerworedjo. Siswa yang diterima di HKS adalah lulusan dari HIK, seperti Bandoeng, Jokjakarta, Moentilan, Oengaran, Probolinggo dan Fort de Kock (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1916).

Namun dalam perkembangannya, tahun 1920 Kweekschool Bandoeng ditingkatkan menjadi Hoogere Kweekschool. Ini berarti HKS ada dua: Poerworedjo (wilayah timur) dan Bandoeng (wilayah barat). Direktur HKS Bandoeng yang pertama adalah JD. Winnen (Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1920). Sebagai pengganti Kweekschool Bandoeng dibuat Hollandsch Inlandsche Kweekschool Bandoeng di Riaoustraat. HIK kemudian didirikan di Lembang. HIK dan HKS di Preanger (Bandoeng/Lembang) terus eksis hingga berakhirnya colonial Belanda.

Tahun pertama Hoogere Kweekschool (1920)
Kweekschool Padang Sidempuan telah lama tiada (1893). Siswa-siswa afdeeling Mandailing dan Angkola (tahun 1905 berubah nama menjadi afdeeling Padang Sidempuan) melanjutkan pendidikan guru ke Kweekschool Fort de Kock, tetapi ada juga yang melanjutkan ke Kweekschool Goenoeng Sahari (Batavia) dan bahkan ke Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) di Bandoeng dan bahkan ke  di Poerworedjo dan pada berikutnya ke Hoogere Kweekschool di Bandoeng..

Salah satu guru alumni HKS yang terbilang sukses adalah Gading Batoebara. Anak Padang Sidempoean kelahiran Hoetapadang, Sipirok 10 Oktober 1901 (10-10-01) ini mengikuti sekolah guru di Fort de Kock. Setelah lulus, Gading Batoebara melanjutkan sekolah ke Hogere Kweekschool di Poeworedjo dan lulus 1923.

Foto Kweekschool di Riaoustraat, Bandoeng (1921)
Setelah lulus, Gading Batoebara pulang kampung dan menjadi guru di HIS swasta Sipirok (kampung halamannya). Kemudian Gading Batoebara merantau dan menjadi guru di Tandjoengpoera (Langkat). Tidak lama di Tandjongpoera, GB Josua tertarik atas tawaran untuk memajukan sekolah HIS swasta di Doloksanggoel. Kehadirannya membuat sekolah HIS Doloksanggoel maju pesat hingga akhirnya diakuisisi oleh pemerintah menjadi HIS negeri. Sukses GB Josua merancang HIS di Doloksanggoel membuat namanya diperhitungkan oleh pemerintah Nederlansch Indie. Dalam perkembangannya, Gading Batoebara Josua (GB Josua) diangkat menjadi guru pemerintah dan ditempatkan di Medan.

Pada tahun 1929 GB Josua melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda di Groningen. Setelah mendapat akte Lager Onderwijs, GB Josua kembali ke tanah air 1931. Lalu pada tahun 1934 GB Josua mendirikan Josgua Instituut di Medan. Peresmian sekolah ini dilakukan tanggal 16 Juli 1934. Josua Instituut awalnya hanya menyelenggarakan HIS lalu beberapa tahun kemudian pendidikan MULO. Josua Instituut atau Perguruan Josua masih eksis hingga ini hari.

Algemeen Handelsblad, 09-12-1933
GB Josua (mungkin) adalah satu-satunya alumni HKS yang melanjutkan studi ke negeri Belanda untuk mendapatkan akte Lager Onderwijs (guru sekolah dasar berlisensi Eropa). Guru-guru lainnya yang berlisensi guru Eropa adalah Soetan Casajangan, pendiri Indisch Vereeniging, lulus 1912 dan kembali ke tanah air 1914 (pernah mengajar di Kweekschool Fort de Kock dan jabatan terakhirnya adalah Direktur Normaal School di Meester Cornelis). Satu lagi guru berlisensi Eropa adalah Soetan Goenoeng Moelia, lulus tahun 1915, pernah mengajar di HIS Kotanopan lalu melanjutkan studi doctoral ke Belanda dan meraih gelar Ph.D tahun 1933. Soetan Goenoeng Moelia, pernah menjadi anggota Volksraad mewakili golongan pendidikan dan di era kemerdekaan Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia adalah Menteri Pendidikan RI yang kedua (setelah Ki Hadjar Dewantara). GB Josua, Soetan Casajangan dan Soetan Goenoeng Moelia, ketiganya adalah kelahiran Padang Sidempuan, tempat dimana Charles Adriaan van Ophuijsen pernah mengajar. Mereka semua ini mengusung semangat sang pionir pendidikan nasional: Willem Iskander.   

Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931
Untuk sekadar catatan tambahan: dari tujuh orang pribumi pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) tiga diantaranya berasal dari Padang Sidempuan. Gelar doktor pertama diraih oleh Hesein Djajaningrat (kelahiran Banten) tahun 1913, sekretaris Indisch Vereeniging yang digagas oleh Soetan Casajangan; gelar doktor ketiga diraih oleh Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi di bidang hukum di Leiden tahun 1925 (lihat Algemeen Handelsblad, 30-05-1925); gelar doktor keenam diraih oleh dokter Ida Loemongga Nasoetion (kelahiran Padang Sidempuan, cucu Dja Endar Moeda) di bidang kesehatan di Leiden tahun 1931, perempuan pertama Indonesia bergelar Ph.D (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931); dan gelar doktor ketujuh adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia yang diraih di Leiden pada tahun 1933 (lihat Algemeen Handelsblad, 09-12-1933).

Perkembangan Pendidikan Lebih Lanjut

Dr. Ida Loemongga, Ph.D
Sejak era kweekschool yang sudah dibentuk sejak 1851, pendidikan sudah berkembang lebih luas dan levelnya meningkat lebih tinggi (Hoogere). Dua jenis pendidikan kweekschool terawal adalah keguruan dan kedokteran. Pendidikan keguruan menjadi HKS, sedangkan pendidikan kedokteran awalnya disebut Docter Djawa School dan kemudian menjadi STOVIA. Demikian juga di bidang pamong praja (dari Mosvia menjadi OSVIA).

Sekolah dasar juga berkembang, mulai dari gouvernement inlandsch school menjadi HIS (Eropa: ELS), kemudian MULO, HBS, AMS dan sebagainya.

Pendidikan tinggi lainnya juga berkembang seperti recht school (hukum), technisch school (teknik), viertsen school (kedokteran hewan) dan landbouw school (pertanian). Sekolah TinggiTeknik di Bandoeng dimulai pada tahun 1920, veteriner di Buitenzorg 1909, recht school di Batavia, 1913. Sebagaimana sekolah-sekolah pertanian berkembang di Buitenzorg (karena aktivitas departemen pertanian), di Bandoeng juga berkembang sekolah-sekolah teknik (karena aktivitas Departement van Gouvernements Bedrijven yang gedungnya kini Gedung Sate).

Untuk sekolah bidang keguruan terus berlangsung hingga ini hari. HIK menjadi HKS lalu kemudian di era kemerdekaan menjadi PGSL (A dan B) lalu kemudian menjadi IKIP. Kini sesuai dengan format sekolah tinggi keguruan, IKIP Bandoeng menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).  

Last but not least: UPI Bandung adalah pemegang hak nama Indonesia di dalam satuan pendidikan (keguruan) di Indonesia. UPI yang dulunya adalah IKIP Bandung sesungguhnya adalah transformasi dari Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) Bandoeng dan Hoogere Kweekschool (HKS) Bandoeng yang bermula tahun 1866. Pendirian sekolah guru (kweekschool) Bandoeng tahun 1866 merupakan implikasi dari perubahan radikal pendidikan di Hindia Belanda yang berhasil dipicu oleh sang pionir: Willem Iskander. Sudah seharusnya, UPI secara proporsional bersedia dengan tulus mendokumentasi sejarah pendidikan yang sebenarnya di Indonesia.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar