Wisatawan tempo doeloe tampaknya cukup unik jika dibandingkan dengan wisatawan masa kini. Wisatawan tempo doeloe selain menantang geografis yang jauh, juga mengalami kesulitan perjalanan. Uniknya, diantara wisatawan itu ada yang ingin mengunjungi tempat yang belum dikunjungi orang Eropa. Perjalanan wisatawan ini ternyata masih berguna bagi kita, karena hasil perjalanan mereka ditulis dan mengirimkannya ke surat kabar. Bahkan diantaranya ada juga yang membukukannya. Catatan perjalanan wisata mereka inilah yang berguna bagi kita sekarang ini.
Ida Pheiffer, orang Eropa pertama lihat danau Toba |
Dua pelancong tempo doeloe tersebut adalah P van Diest
dan Ida Pheiffer. Mereka berdua adalah sebagian dari sejumlah pelancong yang
dokumennya masih ditemukan utuh hingga ini hari. Dalam risalah mereka, banyak
data dan informasi yang tidak ditemukan dalam deskripsi lain tetapi detail
fakta justru sangat membantu pemahaman kita tentang tempat-tempat yang pernah
mereka kunjungi. Mereka ini tidak hanya berhasil menyenangkan diri mereka tetapi
juga telah membantu menyebarluaskan pengetahuan (tidak hanya bagi orang doeloe
tetapi juga bagi kita pada masa ini). Itulah kontribusi para wisatawan tempo doeloe.
P van Diest:
Batavia naar Buitenzorg
Mrs. Diest memulai perjalanan dari Weltevreden (kini
Gambir). Ongkos kereta (kuda) f12 per orang dan f6 untuk pembantunya. Perjalanan
ke Buitenzorg akan ditempuh selama enam jam. Selama perjalanan sempat terjadi
gangguan karena sekrup dan roda rusak dan memerlukan perbaikan setengah jam.
Perjalanan kemudian melalui Salemba dan Kramat lalu
kemudian Meester Cornelis (Jatinegara), Bidara Cina, Kampong Macassar.
Sepanjang jalan terlihat pohon kelapa dan sawah-sawah yang di kejauhan terlihat
gunung Gede dan gunung Salak. Perjalanan akhirnya tiba di pos Tandjoeng (Pasar
Rebo) yang mana istirahat sambil kuda diberi makan.
Perjalanan kemudian dilanjutkan di sepanjang sisi sungai
Tjiliwong hingga Tjimanggies dan seterusnya tiba di Tjibinong. Di beberapa
tempat sepanjang perjalanan terdapat warong penduduk yang menyediakan nasi dan
lauk, makanan kecil, kopi, air kelapa dan lain-lain. Dari Tjibinong lalu kemudian tiba di pos Tjilowar
sebelum melanjutkan perjalanan menyeberangi melalui jembatan di atas sungai Tjiliwong.
Sebelumnya kami
melalui pemandangan yang indah yang terlihat di kejauhan di sebelah barat sungai Tjiliwong yang mana terlihat
bangunan dan lahan pertanian di Tjiliboet, Kedong Hallang dan Kedong Badak.
Rumah/kantor Asisten Residern Buitenzorg, 1870 |
Lalu kemudian kami melewati rumah/kantor van den algemeenen
secretaris van het gouvernement van Nederlandsch Indie dan van den assistent resident
der afdeeling Buitenzorg dan sebuah bangunan het logement (losmen) yang diberi nama ‘Buitenzorg’.
Hotel Bellevue, Buitenzorg, 1867 |
Di belakang
bangunan terdapat lembah yang mengalir sungai Tjidane (sungai Tjisadane) dan view gunung Salak. Di
dalam lembah terlihat banyak pohon palem dan pohon buah-buahan yang mana di antaranya
terlihat tersembunyi rumah-rumah penduduk. Juga terlihat jembatan bambu di atas
sungai. Agak ke seberang sungai di ketinggian terlihat sawah dan tanaman kopi
(koffijtuinen) dan bangunan-bangunan perkebunan (landhuizen).
Batoe Toelis, 1867 |
Ida Pheiffer:
Batavia - Padang Sidempuan Menuju Danau Toba
Peta Tapanoeli 1843-1847 (published 1852) |
‘Ekspedisi dan
perjalanan ke Sumatra ini, tidak ada dalam rencana awal saya. Namun, seorang
pedagang di Batavia yang begitu baik untuk saya, memperlihatkan peta untuk
perjalanan ke Sumatera. Dengan kapal uap saya ke Padang, yaitu ibukota Hindia
Belanda di pulau itu. Segera setelah kedatangan saya di sana, saya menghadap
gubernur, diterima dan dicatat. Saya sudah berlama-lama, beberapa hari
perjalanan saya terus di pedalaman dengan menunggang kuda.
Pemberhentian
pertama adalah Fort de Kock (50 tiang), lalu menemui Residen van der Hart. Di
sini dan seterusnya rencana wisata dirancang. Dia menunjukkan rute yang
berbeda, aku harus mengikuti, serta tempat-tempat di mana saya harus berhenti,
ia menulis beberapa surat kepada para pejabat, yang saya sampai di sini dan
bahkan (batas-batas yang belum selesai di Bataklanden, dan memerintahkan mereka
untuk melakukan perlindungan ke saya. Dia sendiri sudah mengenal teliti tujuh
daerah, dia selama sekitar 10 tahun telah membuat ekspedisi lapangan terhadap
negara-negara di wilayah itu dan sampai tembus Selingdoeng. Sedangkan tujuan
saya membentang ke tingkat yang lebih jauh, yang lebih lama. Jadi dilengkapi,
aku pergi dengan iman yang teguh di jalan sampai Padang Sidcmpoean (200 tiang),
yang ini adalah tempat terakhir dimana
saya bertemu orang Europeers.
Rumah/kantor Controleur Angkola di Padang Sidempoean, 1846 |
Aku masih duduk
di atas kuda, tapi kemudian aku harus pergi dengan meninggalkan mereka.
Berjalan selama tiga hari pertama adalah yang terlama yang pernah saya buat.
Ekspedisi kami tidak pernah berhenti. Hutan ditembus, dimana sering tidak ada
jalan lain dan menemukan jejak daripada badak, melalui alang-alang yang
mencapai di atas kepala, melalui rawa dan rawa yang dalam, naik dan turun bukit
curam, dan dengan kaki hampir melewati sepatu karena berada di tanah berawa
tetap, di atas tanah yang basah terkandung kebetulan ada kerumunan lintah kecil
yang tetap melekat pada tubuh, alang-alang menyayat setiap kaki, yang sering
menyebabkan rasa sakit, terutama ketika mereka sudah tertusuk dan robek oleh
oak. Setiap malam aku telah di hutan, mereka tidak pernah datang tanpa duri
gratis, untuk melepaskan dilakukan dengan pisau oleh Batakker pertama yang
terbaik. Saya memiliki tenda, dimana air hujan memukul saya di atas kepala.
Bernasib tiada hari tanpa hujan, dan aku tidak pernah berganti pakaian linen.
Suatu malam aku punya tenda di bawah langit terbuka untuk menghabiskan malam,
dimana aku paling takut harimau dan ular. Aku tidur selalu di tanah yang
dingin, tidak keberatan dan telah saya sering dilakukan.
Selama malam,
saya dengan yang lain istrirahat di
hutan dengan memasak beras semi kering
yang direbus dengan sedikit tambahan garam, lalu saya melihat mereka
mempersiapkan beras dalam cara yang sama sekali baru bagi saya. Mereka
membungkusnya dengan 'daun besar (daun pisang), dan memasukkan beras ke dalam
potongan bambu, kemudian menuangkan sejumlah kecil air, lalu meletakkan tongkat
bamboo itu pada api pembakaran, mereka membiarkan berbaring begitu lama sampai
bamboo kelihatan mulai terbakar, cukup lama berlangsung sejak bamboo segar dan
isinya dipanggang.
Pada hari
ketiga pada malam kami datang ke uta (desa) pertama Bataksche dan membuat
masalah dan tidak mengizinkan saya. Untungnya dalam tur ini ada Rajah (Dja
Pangkat) pemandu kami yang kenal Hali Bonar. Disamping itu di Padang Sidempoean
aku punya surat rekomendasi dari Mr Hammer untuk dia. Melalui syafaat, aku
berhasil diterima di desa; lantas mereka menunjukkan dan mengajak saya ke Soppo
dimana semua sisi pondok yang luar
biasa, dan memberi kami beras. Hali Bonar berjanji akan memandu kami sekitar 70
tiang dari sini sampai berikutnya perjalanan dianggap lancar. Lalu kami datang
ke uta Hali Bonar dan aku harus berlama-lama pada hari berikutnya, ia melakukan
penyembelihan ternak untuk menghormati saya.
Singkat cerita,
setelah selesai pesta (ada tari, music, drama/pantomime) hari berikutnya, kami
dengan tenang melanjutkan perjalanan. Munculnya wajah Eropa di Bataklanden
merupakan hal terbesar, terutama sejak tahun 1835, ketika dua misionaris
dibunuh disana. Itu jadi kabar
kedatangan saya sebagai api berjalan tangan, mendarat jauh menyebar,
sangat alami. Untuk setiap uta yang saya telah berlalu secara keseluruhan
penduduk laki-laki dilarang saya jalan, dan dalam sekejap lingkaran pria
menutup sekitar saya, mereka dipersenjatai pedang, tombak dan parang. Ekspresi
mereka semua liar dan namun saya bisa mengatasinya. 'Saya tahu Anda tidak akan
membunuhku, biarkan aku lewat, aku akan menemui pemimpinmu saja'. Dengan bahasa
yang tidak jelas, saya akan berbicara. Dia adalah seorang berjenggot, tenang
dan percaya diri, yang saya menjelaskan kepadanya, dia menenangkan hati
orang-orang liar, lalu mereka berbicara pada nada ramah, lalu menjabat
tanganku, saya melanjutkan, saya berdiam dalam uta mereka dan memberi saya
makanan.
Setelah kami
menempatkan perjalanan beberapa hari lagi, akhirnya tiba di lembah indah yang
sepenuhnya produktif yang belum pernah saya lihat di seluruh Sumatera. Itu
adalah sekitar 15 tiang panjang dan 5 tiang lebar, dan dikelilingi oleh
pegunungan tinggi Sumatera dari Selatan ke Timur melintasi populasi disini sangat
banyak, dan ada banyak uta yang tersebar di lingkungan. Mereka dikelilingi oleh
lima meter dinding dengan tanah dan oleh
bamboes dan lainnya pagar hidup hijau dan sering masih dikelilingi oleh kanal.
Dari rumah sendiri seseorang melihat apa-apa, karena 40-50 kaki bambu tinggi
menyembunyikan seluruh uta. Lembah ini dilintasi sungai yang indah Batang Toro dan beberapa
kali banjir kecil terjadi, dan kaya dengan ubi (kentang) yang dibudidayakan;
melihat seseorang dengan kawanan kerbau dan sapi padang rumput dan dimana-mana
tampaknya berlimpah.
Menurut
pernyataan dari pemandu saya, saya dilarang 15 sampai 20 pos ke arah danau.
Apakah mereka membiarkan aku melihatnya sendiri dari perbukitan? Tapi tidak ada
yang mau menemani saya. Orang-orang dari sekitar danau tinggal tengah terjadi
perselisihan dan bahwa ekspedisi kesana
berbahaya. Saya sekarang sudah sekitar selusin perjalanan dan hingga sampai ke
Negara Batak, sejauh ini berhasil seorang Eropa. Yang jelas memang satu hal
saya tidak ada salahnya, saya hanya harus berterimakasih itikad baik saya dan
keluarga saya. De Batakers mencintaiku, lebih dari duniawi, seperti Dayakker.
Bahwa saya yakin saya tidak akan berkelana tanpa bantuan mereka atau
perlindungan mereka untuk usaha saya. Perjalanan saya di Sumatera berada jauh
hingga 721 tiang (paal). Saya pikir Anda juga memiliki banyak berita tentang
ekspedisi lebih lanjut untuk lebih menanamkan’.
Perjalanan
wisata nona Ida Pheiffer ini terbilang adventure yang sangat menantang saat itu
apalagi dia seorang gadis dan hingga ke Padang Sidempuan seorang diri (lone
ranger), Lalu dari kota itu dimana orang Eropa terjauh yang dia temui
melanjutkan perjalanan ke danau Toba. Menurut seseorang yang mengenalnya yang
ditulis oleh AJF Hamehs yang dimuat dalam surat kabar Sumatra-courant, edisi 17
Maret 1881, perjalanan nona yang cantik ini merupakan orang pertama orang asing
(Eropa) yang pernah melihat danau Toba.
Sudut kota Padang Sidempoean, 1870 |
Keesokan paginya dia memberitahu saya
keinginannya untuk sesegera mungkin perjalanan ke Toba dan meminta saya bahwa
dia akan perlu pemandu. Saya mencari pemandu yang dapat dipercaya, sebab ini
adalah perjalanan yang banyak bahaya. Ketidaksabaran untuk segera berangkat
sulit dimengerti untuk saya; dia absolutly tidak bisa sama sekali ada bahasa
Hindia bahkan kata-kata Melayu hanya tahu sedikit, mungkin hanya sepuluh kata yang
dipahaminya sendiri yang memang benar-benar dibutuhkan seperti makan, minoem,
tidor dan djalan yang dianggapnya sudah memadai. lda Pfeilfer tinggal empat
hari dengan saya. Saya telah berhasil mendapatkan pemandu yang baik untuk
mendampinginya. Namanya Dja Pangkat, seorang kepala kampong dari
Soeroemantinggi yang akan melakukan tugas berdiri di depannya. Dia terkenal,
berteman dengan sejumlah kepala kampong di Silindoengsche, memiliki pengalaman
mendampingi Dr Junghühn, mengunjungi beberapa kali ke Danau Toba.
Sebelum berangkat, ia mengurangi tasnya dan
berikan kepada saya yang isinya terlalu banyak yang beratnya 20 kilogram. Dia
hanya menyisakan gaun, kemeja, sepasang sepatu, sapu tangan, syal, sepasang van
untuk insek, flescbje rok, kotak karupler, beberapa notebook, pensil, cen botol
garam dan punuk kantong sangat tipis dengan bantal. Uangnya terdiri dari 10
ringgits boeroeng - tidak ingin dibawa, dia memberi saya untuk disimpan, Saya
menyarankan diberlakukan pula untuk dia bawa dan saya memberinya dan
meminjamkan beberapa dolar dan ringgit matahari; lebih dia tidak mau. Dia
kemudian pergi ke Sipirok, saya akan ikut membimbing hingga Pargaroetan sesudah
Batoe Nadoea, tetapi dia meminta ikut lebih jauh. Dia naik, lalu di halaman
saya, dia berdoa lalu kami memacu kuda masing-masing.
Di Sipirok istirahat dan mandi. Malam harinya
berhenti di Boeloe Mario lalu dengan beberapa kepala kampung di pagi hari
diajak ikut ke Silindoeng. Saya hanya
sampai disini. Mereka dihadiahi sebelum ke lembah Silindoeng disimpan untuk
akomodasi, anak sapi, beras, ayam, garam dan hal-hal lain. Lama dari Sipirok ke
Silindoeng sekitar satu hari. Beberapa kepala keluarga Sipirok yang memiliki
keluarga di Silindoeng secara sukarela mengikutinya. Mereka mengambil jalan
pegunungan yang sulit sebenarnya atau jurang yang dalam, yang mereka, garmen
atas knieëu yang: termasuk diarungi dengan keberanian.
Enam atau tujuh hari setelah keberangkatan lantas
aku melihat tiba-tiba lda Pfeiffer berpacu dan sampai di halaman; dia tampak
pucat dan lelah, rok coklat rok dan sal penuh dengan lumpur dan robek. Aku
membantunya untuk turun dari kuda; dia ingin sekaligus untuk tidur, karena dia
sakit parah dan lelah. Pertama, di malam hari dia datang muncul, dia merasa
lagi lelah tapi masih ngantuk; Setelah itu pergi lagi ke kamar dan tidur sampai
pagi 08:00.
Dia kemudian akan segera mengambil perjalanan
untuk balik ke Padang. Saya saran ke dokter yang baru saja padaku. Dia
menbolak. Dia telah membandingkan dengan laporan Dr Juughuhn, dan dia memuji
negara ini memiliki kesuburan dan kekayaan bangsa; namun di desa-desa yang dia
dimana-mana orang dengan tombak dan pedang orang bersenjata, namun mereka
tampak tidak apa-apa tapi tetap waspada. Pada hari itu tiba kapten Steeumeijer
yang tinggal di Soeroemantinggi. Ida'Pfeiffer oleh kepala di Silindoeng paling
hormat diterima. Ia berpesta, di mana saja dibatas setiap kampung itu diterima
oleh orang-orang bersenjata jauh dan luas. Mereka memiliki rumor kedatangan
wanita kulit putih yang dikaitkan dengan roh-roh yang lebih tinggi, informasi
cepat menyebar dan semua pihak, orang-orang datang untuk melihat. Ida Pfeiffer
tinggal di rumah-rumah para pemimpin, pernah dia berjalan dikerumuni pria dan
wanita, dan dia tidak bisa mengambil langkah oleh karena banyak orang yang
penasaran. Ida Pfeiffer menjadi kehilangan kebebasan bergerak karena rasa ingin
tahu atas kedatangannya. Bahkan di Aek Taoe (wilayah Danau Toba) juga ada sejumlah orang dalam
suatu hari perjalanannya dari Silindoeng ke Toba kerumunan bersikeras untuk melihat. seperti pada
kakinya. Ida Pfeiffer tiba-tiba berbalik, merasa ada teror atau ketakutan lalu
melarikan diri. Apa itu yang ia tahu?
Ia berlari dan bahkan dalam satu hari ia pergi
melalui tiga puluh tiang dalam satu nafas. Para kepala Silindoeng, hanya
melihat kembali, tidak mengerti mengapa dia buru-buru pulang. Ida bilang dia
sebenarnya mendapat banyak sambutan apalagi mereka menghargai wanita kulit
putih. Ketika berkunjung, itu semua mereka terima dengan hormat, memberikan
nasi, ayam, kadang-kadang daging sapi sebagai hadiah yang ditawarkan
dimana-mana, tentu bahwa suasana damai. Ia menyatakan lagi bahwa orang-orang di
sana selalu bersenjata, mereka bahkan bersenjata ke sungai untuk mandi, karena
desa-desa biasanya bersama-sama berpikiran dan kebebasan mereka dalam bahaya.
lda Pfeiffer membayangkan sebagai tanda bahaya. Saya bertanya mengapa ia
kembali dan telah berjalan begitu sangat cepat. Katanya karena sakit. lda
Pfeilfer dipandu ke Sipirok dan mandi lalu para keluarga dari pengiringnya diterima
dengan baik. Juga di Sigelanggaug dan Soeroemantinggi.
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Anda
tertarik melakukan adventure seperti Ida Pheiffer? Itu tidak mudah. Lagi pula
itu doeloe. Sekarang segalanya lebih mudah. Selamat berwisata.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar