Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini
Informasi tentang pedalaman Sumatra pada masa lampau sangat minim, meski keberadaan penduduk di Ranah Minangkabau dan Tanah Batak sudah diketahui sejak lama. Seiring dengan perubahan kebijakan VOC (dari kontak perdagangan di sekitar pantai menjadi penduduk sebagai subjek) mulai dilakukan ekspedisi-ekepedisi ke pedalaman. Ekspedisi ke Pagaruyung dilakukan pada tahun 1684 dapat dianggap sebagai ekspedisi pertama Belanda/VOC ke pedalaman Sumatra.
Informasi tentang pedalaman Sumatra pada masa lampau sangat minim, meski keberadaan penduduk di Ranah Minangkabau dan Tanah Batak sudah diketahui sejak lama. Seiring dengan perubahan kebijakan VOC (dari kontak perdagangan di sekitar pantai menjadi penduduk sebagai subjek) mulai dilakukan ekspedisi-ekepedisi ke pedalaman. Ekspedisi ke Pagaruyung dilakukan pada tahun 1684 dapat dianggap sebagai ekspedisi pertama Belanda/VOC ke pedalaman Sumatra.
Mandailing dan Angkola migrasi ke Selangor (Peta 1862) |
Ekspedisi-ekspedisi
semakin intens dilakukan terutama pasca VOC baik pada era permulaan Pemerintahan
Hindia Belanda maupun semasa pendudukan Inggris. Ekspedisi adalah prakondisi
munculnya kolonisasi di pedalaman. Namun kolonisasi lambat laun menjadi berifat
eksploitatif. Penduduk banyak yang tidak senang dan muncul pemberontakan.
Eksesnya terjadi eksodus, suatu tindakan penduduk melarikan diri ke wilayah
baru yang lebih aman dan nyaman, seperti ke Semenanjung. Dua wilayah tujuan
eksodus penduduk Sumatra ini adalah Negeri Sembilan (Minangkabau) dan Selangor
(Mandailing dan Angkola). Pendiri Kota Kuala
Lumpur, ibukota negara Malaysia adalah Sutan Puasa, asal Mandailing (lihat
Abdur-razzaq Lubis, Penang: Areca Books, 2018).
Laporan ekspedisi adalah salah satu sumber
data penting dalam mengenal suatu wilayah baru. Kedalam golongan sumber data
ini termasuk laporan-laporan perjalanan terawal (pionir) seperti yang dilakukan
seorang pegawai atau pejabat kolonial, wisatawan atau petualang-petualang yang
menembus jauh ke pedalaman melalui rintangan berbahaya karena kondisi alam
(sungai yang deras, tebing yang curam) dan ancaman yang datang (perampok atau
binatang buas). Para pionir ini telah menjadi pengumpul data caranya sendiri
dalam bentuk laporan reportase, peta, lukisan atau foto, meski terkesan
sepintas tetapi karena ketiadaan yang akurat, data dari para pionir ini tetap sangat
bergunan sebagai bahan penulisan sejarah. Mereka ini antara lain: Thomas Dias, Pieter
Scipio, Charles Miller, Raffles, W. Marsden, John Anderson, TJ Willer, Jung
Huhn, F. de Haan dan lainnya.
Ekspedisi ke Pagaruyung: Thomas
Dias, Seorang Portugis Utusan VOC
Keberadaan sebuah kerajaan
di pedalaman Sumatra, Pagerroejoeng (Pagarruyung) sudah sejak lama diketahui,
sejak era Portugis yang dapat dilihat pada peta-peta buatan Portugis. Namun
sedikit terkuak ketika ditemukan laporan Thomas Dias yang pernah mengunjungi
Pagarruyung pada tahun 1684 sebagai tugas ekspedisi yang diberikan oleh Gubernur
Malacca Cornelis Van Quaalbergen. Laporan Thomas Dias, seorang Portugis,
menjadi heboh tahun 1897 yang disarikan oleh F. De Haan yang dimuat dalam Tijdschrift
van het Bataviaasch Genootschap [Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde]. Laporan Thomas Dias diperoleh dari cara mengulik catatan harian Casteel
Batavia, Dagh Register dua abad yang lampau. Dr. F. De Haan sendiri telah banyak
melakukan ekspedisi ke pedalaman termasuk yang dilakukannya dari Laboehan (Deli)
ke pedalaman Tanah Batak hingga jauh ke danau Toba.
Berita tentang ekspedisi
ke Pagaruyung yang terdapat dalam Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap dimuat
pada surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 12-01-1897 yang lalu diperkaya surat
kabar Algemeen Handelsblad, 14-04-1897. Laporan tentang keberadaan Pagaruyung
yang ditulis oleh Thomas Dias dengan sendirinya membatalkan berita-berita yang
ada selama ini hanya mengakui Thomas Stamford Raffles sebagai orang Eropa
pertama ke pedalaman Minangkabau tahun 1818. Thomas Dias tidak hanya seorang
perintis ke pedalaman Minangkabau tetapi juga telah menjalankan tugas dengan baik
bagaakan seorang diplomat Belanda/VOC.
Dagh Register telah
berperan sebagai pencatat perihal yang penting masa itu dan pengarsip dokumen-dokumen
kuno yang arsip-arsipnya kemudian telah dijadikan sumber informasi masa lampau.
Arsip-arsip Dgah Register seakan menjadi mesin waktu ke masa lampau. Dagh
Register juga beberapa tahun kemudian mencatat laporan seorang pedagaang Tionghoa
yang telah lama tinggal di Tanah Batak di Angkola (kini Padang Sidempoean).
Laporan Tionghoa ini dicatat dalam Dagh Register di Batavia 1 Maret 1701.
Pedagang Tionghoa ini bolak-balik antara pantai timur Sumatra dan Angkola
selama 10 tahun sebelum kembali ke Batavia. Jika merujuk pada informasi catatan
Dagh Register 1701 tersebut, pedagang Tionghoa ini yang berangkat dari
Singapoera dan Malacca sudah berada di Angkola sejak 1690 (enam tahun setelah
ekspedisi Thomas Dias ke Pagaruyung).
Sejatinya catatan tertua tentang
ekspedisi ke Tanah Batak yang dapat dilihat dalam laporan perjalanan Mendes
Pinto tahun 1539 dari Malacca ke Panaju, ibukota Are Batak Kingdom yang telah dibukukannya dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris berjudul The Travels of Mendes Pinto bab
13-8 (The Battak Envoy, Through the Jungles of Sumatra, At the Court of the
Battak, Observing the Battak at War, The Battak Army in Retreat, The Battaks
Warning). Meski masih perdebatan soal dimana kota yang dikunjungi, Aroe, Batak
Kingdom sangat besar kemungkinan di hulu sungai Baroemoen di sekitar Padang
Lawas yang sekarang (60 Km dari Padang Sidempoean). Mendes Pinto menyebut kota
Panaju (Panai/Pane; sungai Batang Pane) yang dilakukan dari pantai dengan
pelayaran sungai lima hari ke pedalaman, suatu daerah yang menghasilkan daging
(kini masih terkenal sebagai daerah peternakan), menghasilkan benzoin, kamper,
rotan, madu, gaharu, dan beras. Kerajaan ini disebut Pinto memiliki pasukan
dengan kekuatan 15.000 orang, yang mana sebanyak 8.000 orang Batak dan
selebihnya adalah orang-orang dari Menangkabau, Luzon, Indragiri, Jambi dan
Borneo. Pasukan Aroe ini juga memiliki 40 gajah dan 12 meriam. Pasukan cadangan
ada di dataran tinggi yang disebut Minacalao (Minangkabau?). Selama Pinto berada
di Panaju ditemani oleh seorang Moor, dan Pinto sempat melihat ada sebanyak 63
kapal yang tengah bersandar di bandar Panecao. Jika tepat apa yang disebut
Mendes Pinto memiliki cadangan pasukan di Minangkabau itu mengindikasikan dua
hal, bahwa Pagaruyung adalah kerajaan tetangga, hubungan partnership antara
Kerajaan Aroe di dataran rendah (Padang Lawas) dengan Kerajaan Pagarroejoeng di
dataran tinggi (Tanah Datar) dan presisi Aroe Batak Kingdom di Padang Lawas ini
wilayahnya sangat dekat dan bersebelahan dengan Minangkabau. Masih menurut
Mendes Pinto, duta besr Aroe Batak Kingdom pernah ke Malacca bernama Aquareng
Daholay (Abdul Karim Daulay?). Pada masa ini di wilayah Padang Lawas ini masih
ditemukan situs-situs candi kuno peninggalan kerajaan Hindu/Budha di era Cola
Kingdom (asal nama Angkola?) yang sebelumnya menaklukkan Sriwijaya pada abad
ke-11.
Laporan Thomas Dias
tahun 1684 yang telah ditemukan dalam arsip Dagh Register tersebut
mengindikasikan Pagaruyung ditempuh berhari-hari yang dimulai dari sungai Sick
(Siak) lalu ke Patapan (Patapahan) dan Ajer Tiris (Air Tiris). Lalu perjalanan
dimulai dari Ajer Tiris ke Pagaruyung. Perjalanan menuju Pagaruyung di dalam
beberapa etafe harus melalui jalan huta berhari-hari untuk menghindari musuh,
suatu jalan yang ditempuh berbeda ketika melakukan perjalanan pulang yang
melalui jalan tradisional. Setelah beberapa hari di kota Pagaruyung dan sudah
bertemu Raja, Thomas Dias (dan para pembantunya, pemandu dan kuli angkut)
mengikuti jalan sebagai berikut: Luca (Siluka), Maranty (Menganti), Sunipo
(Sumpo/Sumpur), Ungam (Ungan), Madiangem (Mandiangin), Air Tanam (Air Tanang),
Pancalan Serre (Pangkalan Sarai), Turusan (Tarusan), Costa Bato (Kota Batu),
Meroroem (Mariring), Tandjong Bale (Tandjong Balit), Passar Rama (Pasa Ramoh),
Odjom Boket (Oedjoeng Bukit), Damo (Domo), Padan Sava (Padang Sawah), Cuncto
(Kuntu), Liepa Cain (Lipat Kain), Pacu (Pakoe), Calubee, Nugam, Pima, Catapadan
(Kota Padang), Belenbum (Sibelimbing), Ridan dan Ajer Tiris.
Ada perbedaan waktu sekitar 150
tahun antara Mendes Dias ke Aroe Batak Kingdom (terbit buku 1539) dan Thomas
Dias ke Pageroejoeng Minangkabau Kingdom (laporan 1684). Kebetulan laporan Aroe
Kingdom dan Pagerroejoeng Kingdom sama-sama ditulis oleh orang Portugis. Sebagaimana
diketahui sebelumnya Portugis telah menaklukkan Malaka 1511 dan mampu berkuasa
tahun 1641 sebelum ditaklukkan oleh VOC. Sementara itu, sebelum kedatangan
Portugis, persaing kuat Malaka adalah Kerajaan Atjeh (yang rajanya yang pertama
dinobatkan pada tahun 1507). Pada saat saat Atjeh mulai menunjukkan kekuatan,
Malaka ditaklukkan dan lalu yang muncul adalah persaingan Atjeh vs
Malaka/Portugis. Pada saat inilah Mendes Pinto ke Aroe Batak Kingdom untuk
menjalin hubungan diplomatik antara Malaka/Portugis dengan Aroe Barak Kingdom dalam
menghadapai musuh bersama Atjeh Kingdom. Lalu kemudian, Malaka/Portugis
ditaklukkan oleh VOC/Belanda pada tahun 1641. VOC/Belanda yang dipimpin Cornelis
Speelman bersama Pasukan Aroe Pallakka (Bugis) kemudian menaklukkan Kerajaan Gowa/Makassar
yang dipimpin oleh Hasan Oedin yang beribukota di Sombaopoe pada tahun 1667. Pangeran-pangeran
Gowa mengungsi jauh ke selatan (Sumbawa) dan Rioaw/Semenanjung. Pasukan Aroe
Palakka membantu VOC/Belanda ke Gowa/Makaksar setelah Aroe Pallaka dengan
Komandan Poolman sukses menghancurkan musuh di Padang (Sumatra’s Westkust) pada
tahun 1666. Pemimpin lokal di Padang dalam hal ini untuk mengusir pengaruh
Atjeh. Pada saat perang Gowa ini masih terlihat sangat kuat armada Portugis yang
mengambil posisi tidak jauh dari lokasi pertempuran di Panaccucang. Dengan kata
lain pengaruh Portugis di Nusantara masih ada. Tidak lama setelah perang Gowa, Thomas
Dias diutus Gubernur Malaka/VOC ke Pagerroejong tahun 1684. Sementara di
Sumatra’s Westkust VOC/Belanda, setelah Padang mulai membangun pos-pos
perdagangan di Baros tahun 1668 dan di Singkel tahun 1872. VOC/Belanda kembali
ke Sumatra’s Westkust 1879 dan kemudian membuka tambang di Solok tahun 1681.
Ekspedisi Thomas Dias ke Pagerroejoeng sudah barang tentu antara Gubernur
Malaka/VOC dengan Radja Pegerroejoeng telah mengetahui eskalasi politik di
Sumatra’s Westkust. Dalam laporan Thomas Dias terkesan Gubernur Malaka menganggap
sangat penting ekspedisi ke Pageeroejoeng, sebaliknya Pagerroejoeng dengan
cepat merespon niat Gubernur Malaka untuk bekerjasama di Sumatra’s Oostkust.
Dalam hubungan ini, VOC/Belanda di Malaka mendapat izin perdagangan di Siak.
Sementara sebelum Thomas Dias ke Pagerroejoeng Kerajaan Johor mengklaim Siak
sebagai kuasaannya, dan Pagerroejoeng menolak klaim tersebut. Atas persetujuan
Pagerroejoeng VOC/Belanda membelakangi Johor dan mulai melakukan aktivitas
perdagangan di Siak dengan bersekutu dengan Pagerroejoeng. Setelah kunjungan
Thomas Dias ke Pagerroejoeng, pada tahun 1685 terjadi pertempuran berdarah
antara Inggris dan Belanda di Sumatra’s Westkust, lalu Inggris pindah dari
Padang ke Bengkoelen tahun 1686. Bagi Pagerroejoeng tampaknya ada dua
keuntungan dengan kerjasama dengan VOC/Belanda ini, pertama VOC/Belanda telah
berhasil mengusir pengaruh Kerajaan Atjeh di Sumatra’s Weskust dan kedua
VOC/Belanda telah mengembalikan hak Pagerroejoeng terhadap klaim Johor di Siak.
Dengan demikian, VOC/Belanda melakukan aktivitas di pantai-pantai dan
Pagerroejoeng melakukan aktivitas dengan tenang di pedalaman (pengaruh Atjeh
dan Johor telah tereliminasi). Atjeh sendiri telah menjadi terisolasi baik pada
era Portugis (Aroe Batak Kingdom yang berpartner dengan Pagerroejoeng
Minangkabau Kingdom) maupun pada era Belanda/VOC yang bekerjasama denga
Pagerroejoeng. Hanya satu-satunya peluang kerjasama Atjeh dengan Inggris. Inggris
mengirim seorang utusan ke Atjeh dan mendapat persetujuan untuk mendirikan
maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk perdagangan lada (lihat Oprechte
Haerlemsche courant, 11-04-1686). Perkara inilah yang diduga memicu perang
antara Inggris vs Belanda/VOC tahun 1685 yang lalu menyebabkan Inggris
menyingkir ke Bengkoelen tahun 1686.
Sejak ekspedisi Thomas
Dias ke Pagerroejoeng tahun 1684 tidak pernah ada laporan yang mengindikasikan
VOC/Belanda melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau maupun ke pedalaman
Batak. Sebab yang terjadi di pantai-pantai (terutama di Sumatra’s Westkust)
adalah persaingan yang sengit antara tiga pihak (Belanda, Inggris dan Prancis)
dalam memperebutkan pos-pos perdagangan di Padang, Pariaman, Ajer Bangies,
Natal, Poelaoe Pontjang (Tapanoeli), Baros dan Singkel serta Poelaoe Chinco, Ajer
Hadji (Painan) dan Indrapoera. Pada era peraingan ini, Padang sendiri belumlah
tempat utama (hoofdplaat) di Sumatra’s Westkust, bahkan Air Bangis sendiri
masih lebih penting dari Padang. Pada era Portugis baru terdapat empat kota
pelabuhan utama di pantai barat Sumatra yakni Baros, Batahan, Pariaman dan
Indrapoera. Dengan demikian eskalasi politik yang terjadi tidak terlalu
berimbas ke Pagerroejoeng. Bangsa-bangsa adikuasa Inggris, Belanda (plus
Prancis) saling berganti menjadi tuan untuk pos-pos perdagangan. Inggris sempat
menguasai beberapa lama yang telah bekembang pesat seperti Padang, Natal dan
Tapanoeli.
Benteng-benteng Belanda/VOC sudah
pernah dibangun di Singkel, Baros dan Padang. Kesulitan Belanda/VOC untuk
melakukan ekspansi ke pulau Sumatra adalah karena faktor Atjeh. Dalam buku ‘De
nieuwe reisiger; of Beschryving van de oude en nieuwe waerelt’ (1766)
disebutkan sebagian besar pulau Sumatra di bawah kekuasaan Kesultanan Atjeh (De
Koning van Achem), Kota-kota terkemuka yang berada dibawah pengaruhnya adalah
Hooftstad, Pedir, Pacem, Dely, Daya, Labou (Meulaboh), Cirkel (Singkel),
Barros, Batahan, Paffaman (Air Bangis?), Ticou, Priaman en Padang, Begitu besar
kekuasaan kerajaan Atjeh ini sehingga rajanya disebut Koning der Koningen (King
of Kings). Pada saat perseteruan Belanda/VOC dengan Kerajaan Atjeh, Inggris
mendapat angin. Pos perdagangan Belanda/VOC di Singkel dan Baros ditinggalkan. Wilayah
teritori Belanda/VOC hanya di Padang dan sekitarnya (hingga Pariaman dan
Indrapoera). Saat inilah melemah dan
posisi VOC/Belanda di Sumatra’s Westkust terjepit. Inggris yang sudah bercokol
di bengteng Bengkoelen memperluas pengaruh di utara Padang. Pos perdagangan
Inggris yang sudah ada di Poelao Pontjang (Tapanoeli) diperluas dengan
membangun benteng di Natal. Benteng di Natal ini dibangun sangat kuat yang
ampir menyamai kekuatan benteng Bengkoelen.
Untuk meningkatkan
volume perdagangan dan kerjasama perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di
pedalaman Sumatra, Charles Miller ditugaskan melakukan ekspedisi ke Tanah Batak
di Angkola sekaligus untuk melakukan eksplorasi. Ekspedisi Charles Miller,
seorang botanis Inggris, dilakukan pada tahun 1772. Laporan Charles Miller ini
dikutip oleh William Marsden dalam bukuya berjudul History of Sumatra (1783).
Besar kemungkinan Miller adalah orang Eropa pertama memasuki Tanah Batak,
sebagaimana halnya Thomas Dias pada tahun 1684 ke Minangkabau. Kisahnya adalah
sebagai berikut (diringkas dari Marsden edisi 1811):
Pada tanggal 21 Juni, 1772, kami (Charles
Miller dan pemandu dan koeli angkut) berangkat dari Pulau Punchong (kini
Poncang) dengan kapal lalu memasuki muara sungai Pinang Suri. Keesokan paginya
kami naik sampan sekitar enam jam, tiba di muara Lumut. Sepanjang kiri kanan
sungai dipenuhi pohon-pohon kamper, oak, meranti dan lainnya, tidak lama
kemudian terdapat kampong Batak terletak di puncak bukit kecil. Berdasarkan
pemandu kami orang Melayu, Radja dari kampong ini mengundang kami ke rumahnya.
Lalu kami diterima dengan upacara besar dan memberi hormat dengan tembakan ke
udara dari tiga puluh senjata, Kampung ini terdiri dari delapan atau sepuluh rumah
yang masing-masing rumah memiliki padi. Kampung mereka dibentengi dengan kayu
kamper dan juga bamboo duri. Juga tampak kandang kerbau. Tanggal 23 Juni 1772,
kami melanjutkan ke kampong Lumut dan hari berikutnya Sa-Tarong dimana saya
mengamati perkebunan pohon benzoin, kapas, nila, kunyit, tembakau, dan beberapa
tanaman lada merambat. Selanjutnya kita sampai di Tappolen, kemudian Sikka dan
Sa-Pisang yang terletak di tepi sungai Batang Tara (perjalanan tiga sampai
empat hari ke hilir di pantai). Pada tanggal 01 Juli 1772, kami melanjutkan
perjalanan dan tiba di sebuah ladang, lalu cuaca buruk kami menempati pondok
padi. Keesokan paginya sungai meluap dan tidak bisa menyeberang lalu bermalam
lagi di tempat yang tidak nyaman. Pada tanggal 03 Juli 1772 kami meninggalkan
ladang berjalan melalui jalan yang tidak teratur tidak berpenghuni penuh dengan
batu dan ditutupi dengan hutan. Kami hari ini juga melintasi punggung bukit yang
sangat curam dan di sore hari tiba di sebuah Negara yang dihuni dengan budidaya
baik di pinggir dataran Ankola. Kami malam ini tidur di pondok kecil terbuka
dan hari berikutnya melanjutkan perjalanan ke kampong bernama Koto Lambong
(Huta Lambung). Pada tanggal 05 Juli 1772 kami berangkat melalui wilayah yang
lebih terbuka dan menyenangkan di Terimbaru (Hutaimbaru), sebuah kampong besar
di tepi selatan dataran Ankola. Tanah di sekitar ini sepenuhnya dibajak dengan
kayu secara baik dan ditaburi dengan padi atau jagong, di padang rumput mereka
terlihat banyak ternak kerbau, kambing dan kuda. Setelah diinformasikan kepada
Radja, lalu menyuruh anaknya datang menemui kami dengan 30-40 orang bersenjata
tombak dan senapan locok (matchlock), lalu membawa kami, yang sepanjang jalan
dilakukan pemukulan gong dan tembakan ke udara. Radja yang menerima kami
bertubuh besar, dan dengan hormat memerintahkan untuk menyembelih kerbau. Kami
diminta menginap semalam. Saya mengamati semua perempuan yang belum kawin
mengenakan sejumlah cincin timah besar di telinga mereka (penyelidikan saya
lebih lanjut bahwa timah itu datang dari Selat Makala). Pada tanggal 07 Juli
1772, ketika kami melanjutkan perjalanan Radja meminta anaknya untuk mengawal
kami. Dari Terimbaru kami terus ke Sa-masam (Simasom). Kami bertemu radja yang
mana dihadiri 60-70 orang dengan bersenjata lalu menyiapkan sebuah rumah untuk
kami dan memperlakukan kami dengan keramahan dan hormat. Wilayah ini
dikelilingi bukit yang dipenuhi kayu dan sebagian besar tanah padang rumput
untuk ternak mereka yang tampaknya memiliki kelimpahan yang besar. Selanjutnya
kami berangkat ke Batang Onang satu hari perjalanan untuk melihat hutan kulit
manis yang di sana-sini terlihat batangnya ada yang berdiameter dua meter. Batang
Onang sudah termasuk wilayah Padang Lawas. Pada tanggal 14 Juli 1772, kami
meninggalkan Batang Onang untuk pulang dan berhenti untuk bermalam di Koto
Moran (Huta Morang) dan malam berikutnya tiba kembali di Sa-masam. Namun
setelah itu kami mengambvil jalan yang berbeda sebelum Sa-pisang. Dengan
mengambil sampan kami menyusuri sunga Batang Tara ke laut. Pada tanggal 22 Juli
1772, kami tiba kembali di Pulo Punchong.
Sejak ekspedisi Charles
Miller ke Tanah Batak di Angkola dan Padang Lawas tidak pernah lagi ekspedisi
orang-orang Eropa ke pedalaman Sumatra. Konsentrasi tiga adikuasa (Belanda, Inggris
dan Prancis) telah meningkat di Jawa. Wilayah-wilayah Sumatra’s Westkust seakan
terabaikan. Prancis menduduki Batavia dan sekitarnya tahun 1795 hingga 1899. Saat
inilah VOC dianggap lemah dan berada pada situasi krisis sehingga akhirnya VOC
bubar. Pada tahun 1800 Belanda kembali menguasai Batavia dengan bendera
pemerintah Kerajaan Belanda yang kemudian disebut Pemerintahan Hindia Belanda
(menggantikan VOC/swasta). Guberrnur Jenderal pada permulaan era Pemerintah
Hindia Belanda ini adalah Daendels. Program pertamanya adalah meningkatkan
eksploitasi Jawa dengan membangun jalan trans-Java dari Anjer hingga Panaroekan
tahun 1909-1910. Ini semua dimaksudkan untuk melancarkan perdagangan dari
pedalaman Jawa, seperti Preanger sehubungan dengan kebutuhan permintaan kopi di
pasar dunia.
Namun tidak lama kemudian, Inggris
menduduki Batavia dan selanjutnya mengakuisisi Jawa dari tangan Belanda sejak
1811. Letnan Gubernur Jenderal Thomas Raffles mendirikan ibukota di Buitenzorg.
Sumatra’s Westkust masih dalam situasi dan kndisi hening, tidak ada kabar
berita apa yang terjadi di Sumatra. Namun belum lama Inggris menata
pemerintahan di Jawa, kembali Belanda mengambil alih kekuasaan dari Inggris.
Dalam perjanjian Inggris dan Belanda masih terdapat wilayah Inggris yang
berpusat di Bengkoelen. Ini mengindikasikan Belanda yang masih terkonsentrasi
di Jawa, sementara Inggris mengalihkan perhatian ke Sumatra khususnya Sumatra’s
Westkust.
Pada saat inilah Thomas
Stamford Raffles yang masih menjabat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Inggris
(yang berpusat di Calcutta, India) melakukan ekspedisi ke Minangkabau pada
tahun 1818. Ekspedisi yang dipimpin oleh Raffles ini hingga ke Pagerroejoeng.
Inilah untuk kali kedua orang Eropa mengunjungi Pagerroejoeng setelah kunjungan
Thomas Dias pada tahun 1684. Terdapat jarak waktu yang lama sekitar 134 tahun.
Jarak waktu yang kurang lebih (140 tahun) ketika Mendes Minto mengunjungi Tanah
Batak (di Padang Lawas?) dan tentang keberadaan pedagang Tionghoa di Angkola
(1530-1890). Dan ketika Charles Miller mengunjungi Angkola/Padang lawas tahun
1772 dan kembalinya pedagang Tionghoa ke Batavia dari Angkola tahun 1701
terdapat jarak waktu sekitar 70 tahun. Dengan jarak waktu yang begitu lama,
tidak diketahui apa yang telah terjadi dan apa yang telah berubah di antara
tahun-tahun tersebut di pedalaman Sumatra khususnya di Pagerroejoeng dan
Angkola/Padang Lawas.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda
mulai menguat di Jawa, Belanda mulai melakukan ekspansi ke Sumatra yang dimulai
di Palembang dan lalu menyusul ke Sumatra’s Westkust. Pada tahun 1819 Belanda
berhasil mengambil alih propertinya di sejumlah tempat termasuk Padang. Pada tanggal
17 Mei 1819 Residentie Padang dapat dibebaskan dari Inggris; Air Bangies
dibebaskan pada tanggal 3 Oktober 1820. Residenti Natal dibebaskan tanggal 17
Oktober 1820. Inggris sendiri sebelumnya telah mengambil alih wilayah dan
properti VOC/Belanda tanggal 30 November 1795 di Bengkulu, Natal dan Tapanoeli
termasuk kantor di Padang, Ajer Bangies dan Poeloe Tjinko. Secara keseluruhan
baru terbebaskan (kecuali Bengkulu) pada tanggal 17 Agustus 1921 berdasarkan
Resolutie Gouverneur Generaal. Sejak inilah Pemerintah Hindia Belanda mulai
menata pemerintahan di Sumatra’s Westkust.
Dalam permulaan
Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra’s Westkust penetapan ibukota tidak
dilakukan di Padang melainkan ibukota ditetapkan di Tapanoeli di Poelaoe
Pontjang sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust. Meski Padang sudah
terbebaskan dari Inggris, tetapi karena di pantai barat Sumatra masih bercokol
Inggris di Bengkoelen (di selatan), untuk menghindarkan bentrok (kembali),
penetapan Tapanoeli sebagai ibukota menjadi satu pilihan yang terpaksa.
Mengapa? Tapanoeli berada tidak jauh dari pengaruh Kerajaan Atjeh yang terdekat
di Singkel.
Sementara itu ketika Inggris
memindahkan pusatnya dari Buitenzorg ke Bengkoelen (pasca akuisisi Belanda atas
Inggris di Jawa), Inggris sudah menancapkan kekuatannya di Penang (yang tidak
jauh dari Atjeh). Sementara Inggris berada di Penang, Belanda masih memiliki
properti di Malaka (sejak 1643). Saat inilah John Anderson memulai tugas
ekspedisi tahun 1821 ke wilayah-wilayah potensial yang terbilang belum memiliki
tuan (independen) di Sumatra’s Oostkust, seperti Deli, Batoebara, Asahan dan
Laboehan Batoe. Laporan John Anderson ini kemudian dibukukan (1823). Hasil
ekspedisi Jhon Anderson telah memberi pemahaman yang luas bagi Inggris tentang
situasi dan kondisi di sisi timur Sumatra mulai dari Langkat hingga Indragiri.
Eskalasi politik di
Eropa terutama antara Inggris dan Belanda telah berimbas ke Nusantara khususnya
di Sumatra. Pada tahun 1924 diadakan perjanjian antara Belanda dan Inggris yang
dikenal sebagai perjanjian Traktak London. Keputusan yang penting, terjadi tukar
guling antara Bengkeolen (Inggris) dengan Malaka (Belanda). Sejak itu, Sumatra
seluruhnya dibawah otoritas Belanda (kecuali Atjeh yang masih independen) dan
Semenanjung dibawah otoritas Inggris. Meski Sumatra sudah diklaim sebagai
wilayah Belanda, tetapi Pemerintah Hindia Belanda masih terkonsentrasi untuk
pemulihan di Sumatra’s Westkust, sementara Sumatra’s Oostkuet belum tersentuh
sama sekali.
Ketika Pemerintah Hindia Belanda
memulai eksploitasi di Sumatra’s Westkust, situasi politik di pedalaman Sumatra
khususnya di Miangkabaoe yang berpusat di Pegerroejoeng dan di Manadailing dan
Angkola sudah sejak lama menghangat. Ini bermula dari perbedaan prinsip antara
golongan agama (Padri) dengan golongan aristokrat di Pagerroejoeng dan
aristokrat di Mandailing dan Angkola. Padri bahkan sudah melakukan aneksasi di
Mandailing dan Angkola sejak tahun 1816 (tahun berakhirnya pendudukan Inggris
di Jawa).
Perseteruan Padri dengan
aristokrasi Pagerroejoeng dan Mandailing/Angkola di satu pihak memunculkan
inisiatif Radja Pegerroejoeng untuk bekerjasama dengan Belanda. Inilah
kerjasama kali kedua Pagerroejoeng dengan Belanda sejak Thomas Dias melakukan
ekspedisi dari Malaka ke Pageroejoeng tahun 1684. Kerjasama Pagerroejoeng dengan
Belanda ini lalu kemudian diikuti oleh pemimpin-pemimpin Mandailing dan
Angkola. Para pemimpin Mandailing dan Angkola sudah pada puncaknya tidak
menginginkan kehadiran Padri di Tanah Batak. Kerjasama antara Pageroejoeng
dengan Belanda di satu pihak dan kerjasama para pemimpin Angkola’Mandaiing
dengan Belanda di pihak lain membuat pasukan Padri terjepit di Bondjol. Perang
inilah yang kemudian disebut Perang Bondjol yang berakhir pada tahun 1837.
Pasukan Padri yang melarikan diri ke Angkola kemudian kolaborasi pemimpin
Angkola/Mandailing dengan Belanda berhasil mengusir Padri dari Angkola dan
kemudian berujung pada pengepungan pasukan Padri di Padang Lawas dan
Daloe-Daloe. Pada bulan Oktober 1838 Tanah Batak (Mandailing, Angkola dan
Padang Lawas) bebas dari Padri, sebagaimana setahun sebelumnya Minangkabau dibersihkan
dari Padri.
Jalur yang sudah terhubung antara
Pagerroejoeng dengan Malaka sebelum ekspedisi Thomas Dias tahun 1684
memungkinkan perdagangan dari pedalaman Minangkabau via sungai Siak ke pusat
perdagangan utama di Malaka. Seiring dengan arus perdagangan ini sudah barang
tentu arus orang juga terjadi walau dalam skala kecil karena hanya terbatas
pada urusan perdagangan dan diplomasi. Arus orang diduga kuat semakin deras ke
Sumatra’s Oostkust (Siak dan sekitar) dan
Semenanjung ketika terjadi pergolakan di Minangkabau yang berpusat di
Pagerrojoeng sehubungan dengan semakin meningkatnya tekanan Padri bagi kalangan
aristokrasi di Pagerroejoeng. Pada fase ini terjadi eksodus penduduk dari
Minangkabau menyingkir dari kampung halamannya sendiri di pedalaman Sumatra ke
wilayah Sumatra’s Oostkust dan sebagian menyeberang ke Semenanjung. Hal serupa
juga terjadi ketika Padri semakin menekan penduduk sebagai lumbung pasokan
pangan dan moneter ketika Padri berperang melawan Belanda/kaum aristokrat di
Minangkabau. Tekanan yang semakin menjadi-jadi dari Padri mengakibatkan
penduduk yang tidak senang melakukan eksodus ke berbagai tempat di Padang Lawas
lalu begeser ke Sumatra’s Ooskust dan sebagian menyeberang ke Semenanjung. Penyeberangan
penduduk Sumatra dari pedalaman (Minangkabau dan Mandailing/Angkola) semakin
dimungkinkan ketika Malaka berada dibawah kekuasaan Inggris (sejak Traktat
London 1924). Mereka ini telah merintis jalan untuk generasi berikutnya.
Saat Radja Pageroejoeng
di pedalaman Minangkabau semakin kewalahan menghadapi Padri, mulailah Radja
Pagerroejoeng kalau tidak bisa disebut meminta bantuan paling tidak melakukan
kerjasama menghadapi Padri. Di Padang sendiri, mana kala pada tahun diplomasi
Thomas Dias dari Malaka ke Pegeroejoeng tahun 1684, sejak tahun 1666 ketika
pengaruh Atjeh diusir dari Padang sudah dibentuk pemerintahan di Padang dengan
mengangkat jabatan Panglima sejak 1666. Sejak ini dianggap sebagai tahun
kelahiran pemerintahan lokal di Padang (merdeka dari Atjeh). Para pemimpin
lokal di Padang ini dapat dilihat pada stambuk berjudul ‘Permoelajan Berdiri
Poehoen’ (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-03-1884). Panglima
pertama adalah Orang Kaja Ketjil (mulai tahun 1666). Panglima yang ke-23
(1834-1867) Soetan Iskandar III dari orang Melayo. Panglima yang terakhir adalah
Maharadja Besar III (Si Megat) yang diangkat tahun 1876.
Pada dasarnya pemerintahan lokal di
Padang (pantai) dengan pemerintah lokal di Pegerroejoeng (pedalaman) terpisah,
tidak ada hubungan satu sama lain. Pemerintahan di Padang yang dipimpin oleh
Panglima adalah pemimpin yang awalnya didudukkan oleh Belanda/VOC (setelah
pembebasan Atjeh di Padang). Panglima tunduk ke VOC/Belanda. Sementara pemerintahan
di Pageroejoeng yang dipimpin oleh Radja adalah raja yang diturunkan secara
temurun yang tetap bersifat independen. Hubungan Radja Pageroejoeng dengan
Gubernur Malaka (via diplomasi Thomas Dias tahun 1684) hanyalah hubungan bersifat
bilateral.
Panglima Soetan Iskandar
III (panglima ke-23) sejak tahun 1834 sudah diintegrasikan dengan struktur saat
mana pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan status Residentie
Sumatra’s Westkust menjadi Province Sumatra’s Westkust yang dikepalai oleh seorang
Gubernur pertama. AV Michiels. Titel panglim Padang ini disebut Regent van
Padang. Dengan kata lain: Soetan Iskandar III adalah panglima dan juga Regent
van Padang.
Jabatan Resident van Padang sebelum
Soetan Iskandar III dipegang oleh Soetan Mansoer Alam Shah (tokoh yang
dikaitkan dengan aristokrasi Pagarroejoeng). Untuk regent van Pagarroejoeng sendiri
dipegang oleh Soetan Alam Bagagar Shah (yang diangkat Belanda untuk
menggantikan Moening Sjah, radja terakhir Pagarroejoeng). Radja Moening Sjah
pada tahun 1815 harus menyingkir dari singgasana Istana Pageroejoeng karena
Padri. Sejak inilah Kerajaan Pageroejoeng meminta bantuan kepada pihak Belanda
di Padang dan melakukan perjanjian kerjasama dilakukan pada tahun 1921 untuk
melumpuhkan Padri. Pada tahun ini merupakan tahun-tahun awal pembentukan
pemerintahan Belanda di Padang yang mana ibukota Sumatra’s Westkust masih
berada di Tapanoeli. Dengan perjanjian ini Kerajaan Pageroejoeng yang bebas
merdeka sejak doeloe menjadi tunduk di bawah otoritas Pemerintah Hindia
Belanda. Invasi Belanda ke Minangkabau lalu dimulai dan kemudian berhasil
mengusir Padri dari Pageroejoeng tahun 1824. Tidak lama kemudian setelah Radja
Pageroejoeng dari pengungsian dikabarkan tahun 1825 meninggal dunia. Radja
Moening Sjah wafat, raja terakhir Kerajaan Pageroejoeng dan Kerajaan
Pagerroejoeng tamat. Sebab otoritas kerajaan telah berakhir, pengganti raja
terakhir Pegeroejoeng hanya didudukkan setingkan regent (dan hanya terbatas di pedalaman
di Minangkabau). Regent van Padang sempat kosong untuk beberapa tahun dan baru
tahun 1834 difungsikan kembali. Pengangkatan kembali regen van Padang ini
diduga terkait dengan dihilangkannya regent van Pageroejoeng tahun 1833 (karena
tidak cooperative). Tamat sudah pengeran-pangeran Pageroejoeng di dalam
berbagai pemerintahan. Dengan diangkatnya Soetan Iskandar III
sebagai Regent van Padang berarti Soetan Iskandar III mengalami promosi selain menjadi
Toeankoe Panglima juga sekaligus menjadi Regent van Padang (yang telah difungsikan
kembali).
Pemerintah Hindia
Belanda di Sumatra’s Westkust mulai dibentuk tahun 1821. Asisten Residen WJ
Wateeloo. Ibukota pemerintahan di Sumatra’s Westkust berada di Tapanoeli (lihat
Almanak tahun 1921). Dalam Pemerintahan Hindia Belanda yang pertama ini di
Sumatra’s Westkust, Asisten Residen didukung oleh tiga komisaris dan tiga
pejabat keuangan. Selain itu Asisten Residen dibantu oleh sejumlah pejabat
sipil dan komandan militer di sejumlah tempat. Di Padang ditempatkan dua
pejabat sipil yakni kepala pelabuhan (havenmeester) dan kepala gudang
(pakhuismeester). Pejabat sipil lainnya ditempatkan di Natal yang berfungsi
sebagai kepala pelabuhan yang juga merangkap kepala gudang.
Komandan militer tertinggi di
Sumatra's Westkust berpangkat Majoor yang ditempatkan di Natal (dekat
Tapanoeli). Komandan militer dibawahnya berpangkat Kapitein ditempatkan di
Padangsch Bovenlanden. Selain itu ada sejumlah
komandan berpangkat Luitenan yang ditempatkan di tempat berbeda,
diantaranya Letnan Dua berada di Pariaman dan Letnan Satu di Ajer Bangies.
Beberapa posthouder (kepala kantor dagang) ditempatkan diantaranya di Poeloe
Chinco, di Air Hadji (Painan), Tikoe, Poeloe Batoe dan di Baros. Penempatan
‘markas’ militer di Natal dengan pangkat tertinggi mayor besar kemungkinan
karena di Natal sejak era VOC sudah didirikan benteng yang setara dengan
benteng Marlborough di Bencoolen. Oleh karenanya, penetapan ‘kota’ Tapanoeli
sebagai hoofdplaat (ibukota) Residentie Sumatra’s Westkust yang pertama adalah
atas dasar pertimbangan bahwa teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di
pantai barat Sumatra dan benteng di Natal sebagai benteng terbaik kedua setelah
benteng Bencoelen (Inggris). Pemilihan benteng Natal sebagai markas militer
utama dengan sendirinya menjadikan ibukota Sumatra's Westkust di Tapanoeli
lebih menjauhkan diri dari pihak Inggris yang berada di selatan Sumatra di
Bencoelen (Bengkulu). Padang sendiri pada era VOC belumlah tempat utama
(hoofdplaat) di pantai barat Sumatra. Bentuk pemerintah di era VOC yang
dibentuk masih sangat. Sebagaimana diketahui, Padang sempat ditinggalkan
sebagai posthiuder karena tidak aman, lalu diambil alih oleh Inggris. Padang
saat itu belum dianggap sebagai kota penting, bahkan Air Bangis sendiri masih
lebih penting dari Padang. Hal ini terindikasi dalam berita Leydse courant,
04-05-1764 sebagai berikut: ‘Pemerintah VOC menempatkan Residen di (pulau)
Chinco, (residen) di Air Bangies dan (residen) di Barros..sedangkan di Padang
hanya menempatkan administrator tingkat dua'. Oleh karenanya, pada saat mulai
membentuk Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra's Westkust, pilihan kota cukup
banyak, salah satu diantaranya 'kota' Tapanoeli. Jika mundur lagi ke belakang
di masa lampau, pada era Portugis, empat kota pelabuhan utama di pantai barat
Sumatra adalah Baros, Batahan, Pariaman dan Indrapoera. Pada awal era VOC
muncul nama-nama pelabuhan baru: Tapanoeli, Natal, Air Bangies, Ticoo, Padang,
Chinco dan Air Hadji (Painan). Pelabuhan Tapanoeli menggantikan popularitas
pelabuhan Baros, Natal menggantikan Batahan dan Padang menggantikan Indrapoera
Reiden dan Gubernur di Sumatra's Westkust |
Pada tahun 1825 Kol. HJJL de Stuers
diangkat menjadi residen dan komandan militer di Sumatra’s Westkust,
Berdasarkan resolutie van den Gouv.-Gen. 1 November 1825, Majoor Rothmalder,
komandan berpangkat tertinggi di Natal en Onderhoorigheden menjadi berada di
bawah komando Kol. HJJL de Stuers. Dengan diangkatnya Stuers sebagai residen,
status Sumatra’s Westkust ditingkatkan menjadi Residen. Lalu, Padang menjadi
ibukota Sumatra’s Westkust yang baru (lihat juga Bijdragen tot de taal-, land-
en volkenkunde, 1887).
Setelah berakhir
pengaruh Padri di Minangkabau (1837) dan di Mandailing/Angkola (1838). Pemerintah
Hindia Belanda di Sumatra’s Westkust mulai mengefektifkan fungsi pemerintahan
seiring dengan misi pemerintahan untuk memulai eksploitasi (penjajahan penduduk).
Program pertama pemerintahan Gubenur AV Michiel adalah penerapan kofficultuur.
Program koffiekultuur ini kemudian diperluas ke wilayah Mandailing dan Angkola
pada tahun 1840.
Pada tahun 1840 Residentie
Bengkoelen dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Sebagai pengantinya
dibentuk Residentie Air Bangies (termasuk afdeeling Natal dan afdeeling Mandailing
en Ankola) dan kemudian disusul dibentuknya Residentie Tapanoeli. Namun pada
tahun 1845 Residentie Air Bangies dihapus yang mana Afddeling Mandailing en
Ankola yang disusul kemudian afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie
Tapanoeli. Sementara afdeeling Rao dimasukkan ke Residentie Padangsche
Bovenlanden (kemudian dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden).
Sedangkan afdeeling Air Bangies dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden.
Sejak itu, Province Sumatra’s Westkust tidak berubah lagi hingga waktu yang
lama (hingga nanti 1905) yang terdiri dari tiga residentie: Padangsche
Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Yang terjadi adalah pemekaran
atau penggabungan pada wilayah-wilayah yang lebih rendah.
Pada permulaan penerapan
koffiecultuur ini yang kemudian bergeser menjadi koffiestelsel seperti yang
dilakukan di Preanger (sejak 1830) beberapa pemimpin lokal mulai keberatan dan
melakukan pembangkangan. Sejumlah kejadian bermunculan. Pemberontakan di
Batipoeh pada tahun 1841 dan kemudian disusul di Mandailing dan Angkola pada
tahun 1842. Pada saat pemberontakan inilah kemudian timbul eksodus penduduk ke
Semenanjung, menyusul para pendahulu mereka yang telah lebih dahulu pada era
Padri. Kelak para penduduk asal
Minangkabau ini terkonsentrasi di Negeri Sembilan dan penduduk Mandailing dan
Angkola terkonsentrasi di Selangor. Beberapa tempat di Malaysia pada masa ini ditemukan
cukup banyak entik Minangkabau di Rembaoe, Soengai Oedjong dan Jeleboe.
Sementara etnik Mandailing dan Angkola selain di Kuala Lumpur dan daerah-daerah
di Selangor juga ditemukan di Klang, Perak, Ipoh dan Penang.
Dengan semakin banyaknya penduduk
Minangkabau yang bermukim di Negeri Sembilan dan penduduk Mandailing/Angkola di
Selangor kesatuan dan persatuan semakin menguat di rantau di Semenanjung.
Awalnya pemukim-pemungkim yang hijrah ke Semenanjung berada di pantai-pantai
mulai membuka perkampungan-perkampungan di pedalaman. Salah satu kampung yang
dibuka oleh penduduk Mandailing dan Angkola di hulu sungai Klang adalah
perkampuangan yang disebut Kwala Loempoer. Kampung inilah yang kelak menjadi
cikal bakal Kota Kualalumpur yang sekarang. Pendirian perkampungan Kwala
Loempoer ini dipimpin oleh Soetan Puasa yang berasal dari Mandailing.
Para pendiri
perkampungan Kwala Loempoer, banyak turunan mereka yang menjadi petinggi di
Selangor. Orang-orang Mandailing
dan Angkola yang pernah menjabat di Malaysia antara lain: Dato Harun bin Idris
Harahap, Menteri Besar Selangor, Tan Sri Dato’, Tun Mohammad Hanif Nasution,
Ketua Polis Diraja Malaysia (setara Kapolri), Tun Daim Batubara, Menteri Keuangan,
Tan Sri Dato’ Senu Abdurrahman Siregar (pernah menjadi Duta Besar Malaysia
untuk Indonesia dan juga mantan Menteri Penerangan Kerajaan Malaysia), Tun
Mohammad Haniff bin Omar Nasution (mantan Ketua Polis Diraja Malaysia),
Laksamana Dato’ Mohammad Zain Salleh Nasution (mantan Panglima Angkatan Laut
Diraja Malaysia), Tan Sri Dato’ Haji Mohammed Azmi bin Haji Kamaruddin Harahap
(Hakim Agung), dan Dato’ Kamaruddin bin Idris Harahap (mantan Ketua Polis
Diraja Malaysia. Faktor mereka inilah di
bawah bayang-bayang peristiwa konfrontasi terhadap Malaysia yang kemudian
memudahkan pemulihan hubungan Indonesia dan Malaysia. Saat itu peran Adam Malik
sebagai Menteri Luar Negeri sangat strategis dalam pemuluhan negara bertetangga
tersebut. Kerabat Adam Malik yang berasal dari Mandailing tentu saja banyak di
Malaysia.
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar