Minggu, 16 Desember 2018

Sejarah Kota Depok (52): Zulkarnain Alfisyahrin, DAN-IV Karate, Caleg DPRD Jabar 2019; Partai Nasdem, Dapil Kota Bekasi dan Depok


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini 

Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 adalah pemilu yang sangat unik. Untuk kali pertama Pemilu di Indonesia melangsungkan lima kegiatan pemilihan sekaligus, yakni: Presiden/Wakil Presiden; Anggota DPR Tingkat Pusat, Anggota DPD, Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) ini akan serentak digelar tanggal 17 April 2019. Salah satu Calon Legislatif DPRD Provinsi Jawa Barat di daerah pemilihan (Dapil) Kota Bekasi dan Kota Depok adalah Zulkarnain Alfisyahrin.

Zulkarnain Alfisyahrin, DAN IV Karate
Pada hari-H Pemilu tanggal 17 April 2019 di Tempat Pemungutan Suara (TPS), kita diberi lima lembar untuk dicoblos. Sangat sulit membayangkan seberapa banyak tanda gambar yang harus dipilih untuk masing-masing lembar yang berbeda. Dalam rangka inilah seorang kawan lama di Bekasi bernama Zulkarnain Alfisyahrin mengabarkan kepada saya bahwa telah resmi menjadi daftar calon tetap (DCT) mewakili Partai Nasdem untuk calon anggota DPRD Provinsi Jawa Barat di Dapil Kota Bekasi dan Kota Depok.

Saya sempat tertegun pencalonan Zulkarnain Alfisyahrin.Dia adalah kawan lama. Ingatan saya kembali ke masa lampau sejak di kampung. Dia adalah kawan saya sejak masih SMA di sebuah kota kecil di pedalaman Sumatra: Kota Padang Sidempuan. Saya baru ingat kembali, dialah yang mengajari saya belajar sampai bisa mengendarai sepeda motor HONDA CB 100. Artikel ini didedikasikan kepadanya tentang riwayat masa lampau hingga dia menjadi warga Kota Bekasi dan saya menjadi warga Kota Depok. Berikut inilah kisahnya.

Akhir, Zulfan, Suprianto, Alfis (1982)
Zulkarnain Alfisyahrin dan saya adalah anggota pramuka. Ketika di SMA kami menjadi pengurus Dewan Kerja Cabang (DKC) Kwartir Cabang Tapanuli Selatan. Saya menjabat sebagai sekretaris dan dia menjadi bendahara. Ketika kami mengikuti pertemuan pramuka (Raimuna) di Cibubur tahun 1982 saya sempat mengajaknya ke rumah kerabat saya di Depok Timur (tidak jauh dari Cibubur). Tahun itulah kami kali pertama kenal Depok (saat itu baru setahun Depok menjadi Kota Administratif). Sementara ketua kami, Zulfan Effendi tidak ikut bersama kami Raimuna ke Cibubur, karena terpilih sebagai murid teladan Provinsi Sumatra Utara untuk ke Istana Presiden di Jakarta. Zulfan Effendi setelah lulus ITB merantau jauh dan kini bertempat tinggal di Houston. Zulfan Effendi adalah Presiden Indonesian American Muslim Community, penggagas pembangunan masjid Istiqlal Houston.  

Pertemuan Bandung: ‘Geger Kalong?...’Osh!’

Setelah lulus SMA, kami bertiga putus kontak (belum ada handphone). Cukup lama tidak ada komunikasi hingga akhirnya, suatu ketika satu teman lama ketemu di Bogor memberitahu pernah bertemu dengan Alfis (Zulkarnain Alfisyahrin) dan Zulfan (Zulfan Effendi). Dari kawan lama inilah saya mendapatkan alamat mereka berdua di Bandung. Saya coba menyurati mereka berdua. Suatu waktu saya berpikir untuk mengungjungi mereka ke Bandung. Tentu saja saya beritahu melalui surat.

Saya naik bis dari Bogor via Puncak. Dari alamat Alfis saya lihat di peta, saya harus turun di perempatan Kopo. Di persimpangan dimana saya turun saya coba mencari ojek. Ketika saya masih mencoba kembali melihat catatan alamat Alfis, tiba-tiba seorang pengendara berada di depan saya. ‘Ojek, Kang!’. Saya jawab ‘iya, mau cari ojek’. ‘Mau diantar kemana’, tanya tukang ojek. Saya berikan saja catatan alamat itu kepadanya. ‘Siap, Bang!, naik saja, ‘saya antar, saya kenal Kang Alfis’ sambil memberikan kembali catatan alamat tersebut. Yang membuat saya heran mengapa mereka sangat mengenal namanya Alfis. Ini, terdengar beberapa kali, ketika kami sepanjang perjalanan ke tempat yujuan disapa ‘bade kamana’. Teman baru saya tukang ojek selalu menjawab: ‘mengantar teman Kang Alfis’. Saya menganggap teman baru karena meski penampilannya terkesan ‘anak funk’ tetapi nada dan tatabahasanya santun menyejukkan hati saya. Saya melihat semacam ada anomali sepanjang jalan.

Setelah tiba di depan rumah Alfis, saya tambah kaget lagi: Alfis sudah berdiri di depan sebuah rumah yang saya duga tempat kosnya. Setelah tukang ojek menyerahkan penumpangnya kepada Alfis. Saya tidak terlalu paham apa yang dibicarakan karena mereka berbahasa Sunda yang halus pisan (saya agak kurang negerti). Sang tukang ojek, yang ada tato di lengan kiri pamit tanpa menghiraukannya ketika saya menyodorkan uang untuk ongkos. Lalu saya bersalaman erat dengan Alfis. Teman lama bertemu kembali, setelah tiga tahun berpisah di kampung di Padang Sidempuaan.

Hal pertama yang saya tanyakan, bukan tentang kuliahnya dan juga bukan kampung halaman kami. Tetapi saya bertanya tentang pengalaman yang baru saja berlangsung. Situasi telah menggiring saya bertanya tepat dimana kita berada.  ‘Alfis, mengapa mereka begitu kenal dengan Anda?’ (dalam bahasa Sidempuan). Maksud saya mereka dalam hal ini adalah para pemuda di lingkungan ini yang baru saja lihat dan dengar. Alfis tidak langsung memjawab pertanyaan. Alfis malah menjelaskan bahwa dia telah mengetahui saya sedang menuju rumahnya di atas ojek, karena itu dia keluar dan berdiri di depan rumah. Sambil masuk ke dalam, Alfis menunjukkan peralatan komunikasi yang disebut ‘intercom’. Melalui alat komunikasi itulah teman-teman tukang ojek memberitahu kedatangan saya. Saya juga cepat mulai paham, mengapa tukang ojek tidak menerima uang ongkos ojek saya dan malah balik dia berterimakasih kepada saya: ‘Osh!’. Suatu kearifan lokal Bandung yang sulit saya lupakan. Intercom menjadi prasarana yang mereka bangun bersama di lingkungan untuk berkomunikasi dan tentu saja untuk kebutuhan sistem keamanan lingkungan (siskamling). Untuk pertahanannya, Alfis telah melatihnya dengan  baik dan penuh dedikasi.

Pertanyaan tentang kuliah dan kampung halaman menjadi terlupakan karena saya masih bertanya. ‘Mereka itu siapa Alfis?’. Alfis menjelaskannya begini: Mereka itu dulunya sebagian ‘anak-anak sedikit nakal’. Beberapa tahun ini saya kumpulkan mereka dan melatih mereka  bela diri karate. Dengan begitu, mereka saya ubah dari karakter kasar menjadi berkarakter lembut tetapi memiliki pertahanan yang kuat. Saya cepat paham jalan pikiran Alfis. Karate memang bertujuan membentuk karakter yang berkepribadian.

Pada waktu SMP saya adalah seorang karateka, tetapi baru memiliki kyu 7 naik ke sabuk hijau sudah berhenti. Akan tetapi, tidak demikian dengan Alfis, yang terus melanjutkan hingga di SMA dan Perguruan Tingi. Bahkan Alfis, hingga sekarang di usia kepala lima masih konsisten berlatih, bahkan baru-baru ini Alfis mendapat sertifikat DAN III Internasional. Oleh karenanya, ketika kami bertemu di Bandung, 1986, Alfis saya tahu tetap konsisten berlatih. Yang membuat saya tercengang, saat itu, Alfis tidak hanya melatih dirinya, tetapi telah melatih banyak orang tanpa memungut biaya iuran di sekitar Kopo. Alfis, yang masih duduk di bangku kuliah telah menjadi teladan di sebuah pemukiman di Kota Bandung, teladan bagi siapa saja, anak-anak, remaja dan orang dewasa, termasuk dalam hal ini ‘anak-anak sedikit nakal’ yang dalam bahasa sekarang kerap diplesetkan sebagai ‘preman’. Alfis telah melakukan terobosan, suatu kegiatan sosial yang jarang dipikirkan seorang mahasiswa. Alfis telah menjadi ‘Urang Bandung’. Alfis telah menunjukkannya secara tidak langsung kepada saya di Bandung. Apa yang ditunjukkan Alfis di Bandung, saya juga cepat paham. Saya tahu persis, Alfis adalah seorang multi talenta. Ketika kami Raimuna di Cibubur tahun 1982, Alfis adalah andalan kami. Dia bisa bermain gitar, dia jago menari (tortor) saat kami lomba, dan juga fasih berbahasa Inggris. Satu hal lagi, ketika kami lelah mengikuti kegiatan di Cibubur, Alfis di tenda sering memutar kaset lagu Doel Soembang yang baru muncul tahun itu. Sangat menghibur bagi kami musik Doel Soembang saat itu. Alfislah yang memperkenalkan musik Doel Soembang kepada saya. Mudah-mudahan, semoga Alfis bisa membaca tulisan ini: ‘Alfis, masih suka lagu dan musik Doel Soembang?.   

Karakter kuat berkepribadian lembut sudah tentu telah terbentuk sejak sekolah menengah (SMP dan SMA). Elemen pembentukan karakter dan kepribadian saat kami masih bersekolah di Padang Sidempoean sangat terbatas. Tiga elemen penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian tersebut saat itu adalah ikut kepramukaan dan masuk perguruan bela diri (karate atau silat). Tentu saja elemen terpenting adalah tetap rajin belajar dimana saja (di sekolah, di rumah, di kemah atau di perjalanan), Tiga elemen ini menjadi password untuk lanjut ke prhuruan tinggi dengan landasan disiplin yang kuat (kepramukaan) dan jiwa yang kompetitif (latihan bela diri). Tiga elemen inilah yang telah membentuk karakter dan kepribadian awal Alfis, termasuk saya.

Seperti halnya, anak-anak pramuka saat itu, jika lulus SMA ingin menjadi taruna Akabri. Itulah yang sering kami perbincangkan saat itu. Alfis ingin masuk akademi Angkatan Darat. Saya sendiri ingin masuk akademi kepolisian. Saat memasuki kelas 3 SMA kami hanya sesekali bertemu. Sebab saat itu, semua siswa kelas tiga di seluruh kota dibebaskan dari kegiatan ekstrakurikuler dan hanya fokus dan orientasinya belajar untuk EBTA dan masuk PTN. Seperti tampak dalam foto di atas, kami berbeda sekolah: saya SMA 1, Alfis SMA 2, Zulfan SMA 3 dan Suprianto SMA 4.

Pertemuan di Jakarta: Sama-Sama Melamar Menjadi Jurnalis

Saat-saat baru lulus kuliah dan menjadi sarjana, tahun 1989 Alfis datang ke Bogor untuk menjumpai saya. Semacam kunjungan balasan setelah saya ke Bandung beberapa tahun sebelumnya. Kami lebih banyak membicarakan prospek. Setelah menjadi sarjana lantas menjadi apa? Sebab perguruan tinggi umum berbeda dengan perguruan tinggi kedinasan. Lulusan perguruan tinggi umum harus memilih profesi yang diinginkan.

Di tempat kos, Alfis sempat bertanya. Sebuah guntingan lowongan kerja menjadi jurnalis di Harian Kompas yang saya tempel di dinding meja belajar. ‘Mau melamar menjadi jurnalis, Khir?. Saya jawab, iya. Alfis malah terkejut: ‘Koq, jauh amat bergeser dari insinyur pertanian menjadi wartawan’. Saya jawab: ‘ dengan landasan yang kuat di bidang keilmuan insinyur pertanian pada ilmu-ilmu sosial ekonomi, bakat saya kayaknya di bidang tulis menulis, kalau saya tidak menjadi dosen, atau peneli ya, ingin menjadi wartawan. Ketiga bidang ini sangat terkait dengan dunia tulis menulis’. Alfis menyela: “oh, begitu’. Saya lalu menunjuk kembali iklan lowongan yang di dinding: ‘karena itu iklan itu saya simpan, saya lagi mempertimbangkan apakah ikut tes menjadi jurnalis’.

Pada saat surat lamaran saya lulus seleksi administasi saya mendapat undangan untuk tes tulis yang akan diadakan di gedung Gramedia di Palmerah. Yang ikut tes kata panitia sebanyak 1.400 orang, Yang akan diterima menjadi wartwan hanya tujuh orang. Jelas itu tidak mudah. Saya ikut tes bersama Zulkarnain Alfisyahrin. Lho, koq, bisa?

Setelah Alfis ke Bogor, kami tidak pernah kontak. Saat saya tiba di Palmerah, saya sempatkan sarapan di sebuah warung, Saat saya makan, tiba-tiba muncul Alfis: ‘Eh, ngapan di sini Alfis?’. ‘Saya ingin ikut tes. Saya berpikir, setelah pulang dari tempatmu di Bogor, saya juga merasa bakat saya menjadi jurnalis. Untuk melamar ke Deplu disimpan dulu’. ‘Oalah. Mari kita makan’ sambil saya menggeser posisi tempat duduk. Tes diadakan pukul 9, masih cukup banyak waktu. Karena kami jarang bertemu, obrolan di warung itu menjadi bersemangat.

Selepas tes kami tidak ketemua lagi. Saya tidak lulus di tes masuk harian Kompas. Saya lalu melamar sebagai peneliti di kampus dalam sebuah projek penelitian. Projek ini kerjasama dengan lembaga riset di Inggris berdurasi satu tahun. Selama proyek ini aya tetap tinggal di Bogor tempat kos dimana pernah Alfis datang, Suatu ketika saya menerima surat dari Alfis, dia sudah bekerja sebagai wartawan olah raga di Media Indonesia. Saya tidak tahu apakah dia lulus di Kompas dulu. Yang jelas saya tidak lulus karena ada surat pemberitahuannya. Yang jelas nama Alfis sudah ada di jajaran wartawan bagian olahraga harian Media Indonesia dengan pemimpin redakasi Surya Paloh beralamat di Jalan Gondangdia.

Saya teringat beberapa tahun sebelumnya saya suka tulisan kolom Surya Paloh di harian Prioritas (sebelum merger dengan Media Indonesia) dengan kolom berjudul Selamat Pagi Indonesia. Saya hanya kadang-kadang membeli Prioritas dan tidak mampu berlangganan (jarang mahasiswa mampu berlangganan), tetapi saya selalu berlangganan untuk membaca kolom Selamat Pagi Indonesia. Tukang loper di pintu gerbang kampus selalu baik kepada saya. Karena selalu saya baca koran Prioritas sebentar tetapi memberinya 25 rupiah (sekali makan di warung saat itu kira-kira 300 rupiah). Yang saya baca hanya headline (kiri atas) dan kolom Selamat Pagi Indonesia. Kolom ini letaknya bukan di kanan bawah seperti lazimnya, akan tetapi berada di kanan atas. Kalau pembaca jeli, posisi kolom itu harus diartikan sebagai kolom yang setara dengan headline. Kolom ini cukup kritis, karena itulah saya selalu baca. Tapi tidak lama, surat kabar berwarna ini dibreidel. Saya kehilangan. Pemberitahuan Alfis telah menjadi wartawan di bawah koordinasi Surya Paloh membuat memorinya saya kembali muncul: Media Indoneia adalah Sura Paloh dan Surya Paloh adalah Media Indonesia; idem dito dulu Prioritas plus kolom Selamat Pagi Indonesia sama dengan Surya Paloh.    

Setelah kontrak saya berdurasi setahun di Bogor hampir selesai saya menemukan iklan lowongan di kampus sebagai peneliti di sebuah lembaga riset di Jalan Salemba Raya No.4. Saya mengirim lamaran dan kemudian mendapat undangan untuk test tertulis. Ada sebanyak 65 orang yang ikut test dan saya masuk 12 besar untuk disaring melalui wawancara hingga mengerucut lima orang. Alhamdulilah. Saya lulus dan diterima bekerja sebagai peneliti. Ternyata kantor saya dengan kantor Alfis cukup berdekatan. Saya di Jalan Salemba, Alfis di Jalan Gondangdia. Begitu dekatnya, bahkan saya bisa jalan kaki lewat belakang melalui Pasar/Stasion Cikini.Saya kos di Kelurahan Paseban, Alfis di Kelurahan Kali Pasir yang hanya dipisahkan oleh sungai Ciliwung (kira-kira sejauh antara kelurahan saya dengan kelurahan Alfis di Padang Sidempuan yang hanya dipisahkan oleh sungai Batang Ayumi). Kami kemudian menjadi warga DKI Jakarta dengan KTP Monas. Teman kami yang dulu sama-sama pramuka, Zulfan Efendi setelah lulus bekerja di perusahan perminyakan dan telah berdomisili di Kualalumpur. Babak baru dalam dunia profesi kami masing-masing dimulai.   

Alfis Warga Bekasi, Saya Warga Depok

Tunggu deskripsi lengkapnya

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar