Minggu, 31 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (30): 'Jogja Kembali', Dua Kali Ir. Sukarno Kembali ke Jogjakarta; Pengasingan Parapat, Djakarta Ibukota RIS


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Presiden Soekarno dan tokoh Indonesia lainnya ditangkap di Jogjakarta. Para pemimpin militer lebih memilih mengungsi untuk melakukan perang gerilya. Sementara Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin wilayah Jogjakarta ditahan sebagai tahanan rumah di kraton Jogjakarta. Namun dalam perkembangannya, pasca Perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949 para pemimpin Indonesia dan pemimpin militer kembali ke Jogjakarta. Kembalinya mereka inilah yang sering diasosiasikan dengan sebutan Jogja Kembali.

De vrije pers : ochtendbulletin, 11-07-1949
Pada tanggal 22 Desember 1948 Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta serta tokoh Indonesia lainnya ditangkap dan kemudian diasingkan. Ir. Soekarno diasingkan ke Brastagi di Sumatra Timur. Setelah 10 hari kemudian tanggal 1 Januari 1949 Ir. Soekarno dengan dua tokoh Indonesia dipindahkan ke Parapat di pinggir danau Toba. Setelah perjanjian Roem-Royen, Ir. Soekarno pada tanggal 6 Juli 1949 kembali ke Jogjakarta.

Bagi Ir. Soekarno kembali ke Jogja (Jogja Kembali) tidak hanya sekali, tetapi sebanyak dua kali. Namun selama ini hanya dihitung sekali, padahal faktanya dua kali. Kembalinya Ir. Soekarno ke Jogjakarta untuk yang kedua kali terjadi pada tanggal 12-06-1950. Itu dilakukan setelah Ir. Soekarno tidak menginginkan Indonesia sebagai negara dalam bentuk RIS dan kembali ke Jogjakarta yang disambut meriah oleh para Republiken. Inspirasi Ir. Soekarno ini muncul setelah adanya Kongres Rakyat di Sumatra Timur yang sebagian besar penduduk menginginkan Indonesia kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagaimana itu terjadi? Mari kita lihat faktanya.

Perjanjian Roem-Royen

Ada dua poin penting di seputar proses penjanjian Roem-Royen yakni kembalinya Republik ke Jogjakarta dan upaya menemukan kontak dengan Letnan Jenderal Soedirman dan Kolonel TB Simatupang. Secara khusus TB Simatupang sangat diperlukan segera karena TB Simatupang berpengalaman dalam implementasi pasca perjanjian Renville tahun 1947. Namun dimana posisi gerilya TB Simatupang dan Soedirman sulit diketahui. Akan tetapi secara umum menurut laporan tidak resmi Soedirman bergerilya di wilayah selatan Jongjakarta sementara TB Simatupang diduga berada di wilayah utara Jogjakarta.

De vrije pers : ochtendbulletin, 24-05-1949: ‘Menurut surat kabara Keng Po, Ir. Djuanda, ketua kelompok kerja urusan keuangan dan ekonomi Komite Kembali ke Djokjakarta, menyatakan bahwa secara garis besar untuk kembalinya Pemerintah Republik [Indonesia] sekarang hampir siap. Mengenai masalah keuangan dan moneter dikatakan, dia sudah mencapai kesepakatan dengan Belanda. Djuanda menetapkan tanggal kembalinya pemerintah Republik pada 3 hingga 5 Juni...(sementara itu) orang-orang lingkaran Belanda: dalam konsultasi dengan UNCI sedang mempertimbangkan barang-barang yang harus dikirim ke Djokjakarta untuk memulai kehidupan ekonomi disana. Ini mungkin termasuk 5.000 buah sepeda dan 500 truk dan mobil serta radio, peralatan listrik, mesin, komponen kereta api dan barang-barang lainnya. Bandara Magoewo akan berada di bawah kendali UNCL, sebuah pesawat republik akan datang dari Aceh ke Djokjakarta, dan republik memiliki satu pesawat tersisa yaitu RI-002, enam pesawat yang sebelumnya dimiliki dibeli’.

Algemeen Handelsblad, 21-06-1949: ‘Persiapan untuk pemulihan Djokja. Soeltan Djokjakarta telah menyatakan kepada Aneta bahwa Pemerintahan Daerah Djokjakarta akan bersifat semi-militer setelah pemindahan resmi. Staf sipil dan militer akan ditambahkan ke Soltan.. beberapa hal kesepakatan telah dicapai dengan Kolonel Van Langen..Laporan yang diterima di Batavia dari Djokja melaporkan bahwa pegawai pemerintah RI disana hampir siap dengan persiapan untuk pemindahan... Mohamad  Roem kepada pers mengharapkan pada akhir minggu tentang kembali ke Djokja’.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-06-1949: ‘Mohamad Roem kembali ke Batavia. Pemmpin Republik Indonesia menerima komitmen mengikat untuk konferensi [KMB] di Den Haag. Ketua delegasi Republik Indonesia Mohamad Roem menyatakan setelah kepulangannya dari Bangka bahwa selama konferensi dengan Mohamad Hatta dan Soekarno, rencana pengembalian para Republikan ke Djokjakarta diselesaikan. Dia mengatakan bahwa sekarang ada kemungkinan lolos dari kebuntuan antara Belanda dan Republik Indonesia atas pasukan gerilya untuk berhenti menembak. Mohamad Roem mengumumkan bahwa penarikan pasukan pendudukan Belanda [di Jogjakarta] mungkin akan memakan waktu tujuh hari lagi. Setelah itu, Soeltan Djokjakarta akan mengambil alih pemerintahan dan mempersiapkan kembalinya para Republiken yang saat ini tinggal di Bangka’.

Saat-saat inilah Soeltan Hemengkoeboewono yang keduanya teman baiknya sulit untuk menemukan kontak. Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin daerah Jogjakarta tempat dimana Republik kembali memerlukan keduanya.

Natsir, Soeltan, Simatupang (Nieuwe courant, 06-07-1949)
Kekhawatiran Soeltan Hamengkoeboewono sangat beralasan jika salah satu diantara kedua petinggi TNI itu tidak ada. Sebab di dalam kota Jogjakarta bisa chaos atau paling tidak muncul kriminalitas karena militer Belanda akan segera evakuasi dari Jogjakarta. Setelah beberapa lama Soeltan Hamengkoeboewono berhasil menemukan kontak dengan TB Simatupang di sekitar wilayah Banaran, Jawa Tengah. Pihak militer Belanda juga sangat khawatir jika tidak ada yang mampu mengendalikan situasi saat mereka evakuasi ada kemungkinan mereka diserang dari belakang.

Akhirnya Kolonel TB Simatupang tiba di Jogjakarta. Soeltan Hamengkoeboewono lega. Kolonel TB Simatupang adalah Republiken pertama yang kembali ke Jogjakarta. Beberapa hari kemudian militer Belanda melakukan evakuasi dari Jogjakarta.

Pemerintah Belanda sempat meminta gencatan senjata dan jaminan kepada Kolonel TB Simatupang saat mereka evakuasi. Namun militer Belanda tak menyangka mendapatkan jawaban yang mengejutkan. Simatupang menjawab diplomatis: ‘Akan sulit untuk mengakhiri gerilya dan meminta jaminan’ (lihat Algemeen Handelsblad, 04-07-1949). Boleh jadi Soeltan Hamengkoeboewono yang mendengar permintaan itu tersenyum. Tentu saja Soeltan lega setelah militer Belanda evakuasi dari Jogjakarta. Sejak serangan ke Jogjakarta 19 Desember 1948 Soeltan Hamengkoeboewono yang diawasi sebagai tahanan rumah kini 100 persen bebas. Sementara Simatupang memberi jawaban seperti boleh jadi diartikan ‘pergi kalian ke Belanda dan jangan kembali kesini’.

Dalam proses evakuasi tersebut terjadi dua tembakan ringan. Tembakan itu datang dari arah belakang pasukan terakhir yang evakuasi. Boleh jadi tembakan TNI itu menunjukkan pelampiasan kekesalan terhadap militer Belanda atau boleh jadi tembakan itu menggambarkan kegembiraan di antara anggota TNI yang sepenuhnya telah menguasai (kembali) Jogjakarta. Hanya itulah yang dilaporkan insiden satu-satunya di Jogjakarta saat berlangsungnya evakuasi militer Belanda.

Beberapa offcier (sipil) Belanda masih berada di Jogjakarta setelah evakuasi militer. Mereka ini menjadi semacam penghubung. Sebab saat yang bersamaan di Batavia/Djakarta juga terdapat perwakilan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap. Perwakilan Republik Indonesia (semacam atase atau kedubes) sudah ada sejak rombongan terakhir hijrah dari Djakarta ke Jogjakarta pada bulan Maret 1946.  Kepala perwakilan RI di Djakarta/Batavia tersebut tetap dijabat Mr. Arifin Harahap. Para offcier Belanda dan UNCL di Jogjakarta ini bersama dengan Soeltan Hamengkoeboewono dan Kolonel TB Simatupang yang mempersiapkan kedatangan para pemimpin RI baik yang di pengasingan seperti Soekarno dan Mohamad Hatta maupun di pengungsian seperti Sjafroeddin Prawiranegara di hutan-hutan Bukittinggi. Tentu saja untuk menemukan kontak dan mempersiapkan kedatangan Letnan Jenderal Soedirman yang belum diketahui dimana posisi gerilyanya.  

Soekarno dan Mohamad Hatta dan tokoh lainnya dijadwalkan akan kembali ke Jogjakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Namun persoalan lain muncul karena Mr. Sjafroeddin Prawiranegara pimpinan Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi belum ada kontak. Untuk itu dikirim delegasi RI ke Bukittinggi yang terdiri dari Leimena, Natsir dan Halim pada tanggal 4 Juli 1949 dengan menggunakan pesawat KLM.ke Padang yang selanjutnya melakukan perjalanan ke Bukittinggi dimana delegasi ini akan menunggu kontak dengan Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya. Upaya ini dilakukan karena sebelumnya Mohamad Hatta sudah dua kali gagal kontak dengan Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya yang bergerilya di sekitar Bukittinggi.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-06-1949: ‘Belanda dan Mohamad Hatta telah melakukan segala upaya untuk membangun kontak sesegera mungkin dengan TNI. Kolonel Simatupang dari TNI yang pertama dipanggil, tetapi Simatupang menolak. Jenderal Sudirman kemudian berulang kali diundang, tetapi ia [Soedirman] juga menolak. Pemimpin tertinggi adalah Sjafroeddin dan dia [Soedirman] hanya mengharapkan perintah atau keputusan lebih lanjut darinya [Sjafroeddin Prawiranegara]. Oleh karena itu Mohamad Hatta melakukan perjalanan ke Sumatra, tetapi misi ini, seperti yang diketahui, tidak memberikan hasil yang diharapkan. Menurut surat kabar Republiken [di Medan] Waspada, Sjafroeddin akan menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan mandat pemerintahan daruratnya kepada  Mohamad Hatta, tetapi ia [untuk sementara] tidak dapat menghubungi anggota kabinet lainnya. Informasi lain menunjukkan bahwa sisa Kabinet Darurat tidak tertarik padanya [Mohamad Hatta]. Akhirnya, Mohamad Hatta kembali melakukan upaya kedua untuk bertemu dengan Pemerintah Darurat, dirinya mengakui sulit karena mereka bergerilya, dan upaya ini juga gagal. Itulah yang terjadi saat ini. Jika Djokjakarta sekarang memang memberikan ‘perintah gencatan senjata’ yang jelas dan definitif, kami [Belanda] akan segera mengetahui sejauh mana Pemerintah Darurat menjadi pemerintah kontra, dan sejauh mana Djokja masih memiliki wewenang’.

Untuk menjaga keamanan dan ketertiban di dalam kota Jogjakarta telah ditempatkan di tangan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto dengan bantuan polisi di bawah Soemarto. Diharapkan dalam waktu dua minggu TNI dapat digantikan sepenuhnya di tangan otoritas sipil. Soemarto menyatakan bahwa Brigade Mobil siap untuk memulai pekerjaannya. Brigade Mobil akan menerima peralatan baru yang dibeli Republik melalui UNCL. Kekuatan Brigade Mobil saat ini sekitar 1.000 orang. Sebelumnya berada di bawah komando Zen Mohamad (lihat Nieuwe courant, 06-07-1949). Seperti yang dijadwalkan (Presiden) Soekarno tiba ranggal 6 Juli 1949 di Jogjakarta. Soekarno dan Mohamad Hatta serta tokoh lainnya disambut oleh Kolonel TB Simatupang serta sejumlah tokoh Indonesia di bandara dan kemudian rombongan menuju Jogjakarta.

Nieuwe Apeldoornsche courant, 07-07-1949: ‘Presiden Soekarno tiba di bandara Djocjakarta pada hari Rabu (6/7) pukul 1 siang, dimana ia diterima oleh Soeltan Djogjakarta dan Pakoe Alam. Setelah upacara penyambutan, bendera Republik dikibarkan di Istana Presiden (istana yang ditempati Soekarno sebelum diasingkan ke Brastagi dan Parapat).

Kembalinya (Pemerintah) RI ke Jogjakarta adalah suatu pengembalian pemerintah yang unik di dunia internasional. Ini untuk kali pertama pengembalian pemerintah tanpa kehadiran pasukan bersenjata hanya difasilitasi oleh pejabat-pejabat sipil UNCL.

Di Jogjakarta terdapat sebanyak 2.000 orang yang berafiliasi dengan kraton ditambah 1 600 prajurit TNI dan polisi lainnya untuk pemeliharaan hukum dan ketertiban. Unit-unit ini berada di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel Soeharto. Sehubungan dengan kembalinya Pemerintah RI ke Jogjakarta untuk sementara pers Belanda tidak diizinkan ke Jogjakarta.

Beberapa hari kemudian Sjafroeddin Prawiranegara pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra tiba di Jogjakarta. Sjafroeddin Prawiranegara tiba dari Padang di Djakarta hari Sabtu dan esoknya Minggi tanggal 10 Juli 1949 ke Jogajkarta. Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tiba pukul sebelas kurang seperempat di bandara Magoewo, dimana ia disambut oleh Mohamd Hatta, Soeltan Djokjakarta, Mohamad Roem dan tokoh lainnya. Sjafroeddin Prawiranegara diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Presiden di Jogjakarta.

Nieuwe courant, 11-07-1949: ‘Sjafroeddin Prawiranegara pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra, tiba di Batavia pada Sabtu sore didampingi Lukman Hakim dan melakukan perjalanan ke Djokja pada Minggu pagi, dimana--menurut kedatangannya di Kemajoran--ia menyatakan kepada pers hadir untuk Presiden Soekarno akan mengembalikan mandatnya sebagai pemerintah darurat. Sjafruddin, terbang dengan pesawat KLM yang disediakan UNCL yang didampingi oleh Mr Leimena, Mr Natsir dan Halim.,,delegasi bertemu Sjafroeddin di Suliki sekitar 20 km terletak di utara Bukittinggi..Sejumlah anggota KNIP Minggu pagi juga berangkat dengan rombongan Sfafroeddin Prawiranegara ke Djokjakarta...Sjafroeddin diterima oleh Presiden Soekarno pada hari Minggu. Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik [Indonesia] tiba pukul sebelas kurang seperempat waktu setempat di bandara Magoewo, dimana ia diterima oleh Mohamd Hatta, Soeltan Djokjakarta, Mohamad Roem, Assaat, Tadjoeddin Noor, Ki Hadjar Dewantoro dan otoritas lainnya’.  

Pada sore hari Minggu itu juga Letnan Jenderal Soedirman tiba di Jogjakarta. Soedirman dijemput Kolonel TB Simatupang di perbatasan Jogjakarta dan kemudian diterima oleh Sjafroeddin Prawiranegara.

De vrije pers : ochtendbulletin, 11-07-1949: ‘Letnan Jenderal Soedirman pada hari Minggu sore tiba di Djokjakarta. Soedirman disambut Soehardja, Kolonel Simatoepang dengan beberapa staf TNI lainnya di perbatasan Djokjakarta.  Lalu kemudian dibawa ke Djokjakarta dengan upacara yang dihadiri Sjafroeddin Prawiranegoro, Mohamad Roem, Mr. Dr. Koesoemoatmadja presiden pengadilan militer, Mr. Assaat Ketua KNIP, Pakoe Alam, Ki Hadjardewantoro, Wakil Konsul Jenderal China Shun Tjun dan otoritas militer dan sipil lainnya’

Mungkin para pembaca sedikit bingung mengapa hanya Kolonel TB Simatupang dan Sjafroeddin Prawiranegara yang menyambut Letnan Jenderal Soedirman. Ada apa dengang Soekarno dan Mohamad Hatta? Ini dapat dijelaskan karena pimpinan Letnan Jenderal Soedirman adalah Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi. Ini bermula ketika Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta ditangkap, diinternir dan diasingkan, di Bukittinggi Sjafroeddin Prawiranegara muncul memimpin pemerintahan darurat. Pada waktu yang relatif bersamaan saat mana Jenderal Soedirman bergerilya menjauh dari Jogjakarta juga ditangkap di Poerworedjo dalam keadaan sakit. Kemudian sebagai Komandan TNI di Sumatra Kolonel Hidayat sebagai panglima .

Setelah sedkit sembuh, Jenderal Soedirman menghilang dan kembali ke pasukannya untuk bergerilya di wilayah selatan Jogjakarta. Setelah Jenderal Sodirman kembali ke pasukan dan memimpin lalu mengambil sikap berada di belakang Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang dipimpin Sjafroeddin Prawiranegara di Bukittinggi. Sementara itu Komandan TNI berada di bawah Kolonel Hidayat. Oleh karena itulah pers Belanda menulis pangkat Soedirman sebagai Letnan Jenderal (yang dalam hal ini Kolonel Hidayat diposisikan sebagai Jenderal). Ketika pengembalian Republik ke Jogjakarta, saat kedatangan Letnan Jenderal Soedirman di Jogjakarta (tentu saja) disambut oleh Sjafroeddin Prawiranegara. Saat penyambutan ini posisi Sjafroeddin Prawiranegara masih pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (belum dilakukan penyerahan kepada Presiden Soekarno).    

Yang mungkin juga sedikit membingungkan bagi pembaca mengapa Soeltan Hemengkoeboewono tidak turut menyambut kedatangan Letnan Jenderal Soedirman? Apakah cukup diwakili oleh Pakoe Alam? Untuk ini sangat sulit mencari jawabannya. Apakah ada pembaca yang dapat menjelaskan? Lantas mengapa Soeltan Hemengkoeboewono menyambut kedatangan Kolonel TB Simatupang? Hal ini dapat dijelaskan karena Kolonel TB Simatupang yang pertama Republiken yang kembali ke Jogjakarta.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar