*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Presiden Soekarno dan tokoh Indonesia lainnya ditangkap di Jogjakarta. Para pemimpin militer lebih memilih mengungsi untuk melakukan perang gerilya. Sementara Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin wilayah Jogjakarta ditahan sebagai tahanan rumah di kraton Jogjakarta. Namun dalam perkembangannya, pasca Perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949 para pemimpin Indonesia dan pemimpin militer kembali ke Jogjakarta. Kembalinya mereka inilah yang sering diasosiasikan dengan sebutan Jogja Kembali.
Pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Presiden Soekarno dan tokoh Indonesia lainnya ditangkap di Jogjakarta. Para pemimpin militer lebih memilih mengungsi untuk melakukan perang gerilya. Sementara Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin wilayah Jogjakarta ditahan sebagai tahanan rumah di kraton Jogjakarta. Namun dalam perkembangannya, pasca Perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949 para pemimpin Indonesia dan pemimpin militer kembali ke Jogjakarta. Kembalinya mereka inilah yang sering diasosiasikan dengan sebutan Jogja Kembali.
De vrije pers : ochtendbulletin, 11-07-1949 |
Bagi Ir. Soekarno
kembali ke Jogja (Jogja Kembali) tidak hanya sekali, tetapi sebanyak dua kali.
Namun selama ini hanya dihitung sekali, padahal faktanya dua kali. Kembalinya Ir.
Soekarno ke Jogjakarta untuk yang kedua kali terjadi pada tanggal 12-06-1950.
Itu dilakukan setelah Ir. Soekarno tidak menginginkan Indonesia sebagai negara dalam
bentuk RIS dan kembali ke Jogjakarta yang disambut meriah oleh para Republiken.
Inspirasi Ir. Soekarno ini muncul setelah adanya Kongres Rakyat di Sumatra
Timur yang sebagian besar penduduk menginginkan Indonesia kembali dalam bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagaimana itu terjadi? Mari kita lihat
faktanya.
Perjanjian Roem-Royen
Ada dua poin penting di
seputar proses penjanjian Roem-Royen yakni kembalinya Republik ke Jogjakarta
dan upaya menemukan kontak dengan Letnan Jenderal Soedirman dan Kolonel TB
Simatupang. Secara khusus TB Simatupang sangat diperlukan segera karena TB
Simatupang berpengalaman dalam implementasi pasca perjanjian Renville tahun
1947. Namun dimana posisi gerilya TB Simatupang dan Soedirman sulit diketahui.
Akan tetapi secara umum menurut laporan tidak resmi Soedirman bergerilya di
wilayah selatan Jongjakarta sementara TB Simatupang diduga berada di wilayah
utara Jogjakarta.
De vrije pers : ochtendbulletin, 24-05-1949:
‘Menurut surat kabara Keng Po, Ir. Djuanda, ketua kelompok kerja urusan
keuangan dan ekonomi Komite Kembali ke Djokjakarta, menyatakan bahwa secara garis
besar untuk kembalinya Pemerintah Republik [Indonesia] sekarang hampir siap.
Mengenai masalah keuangan dan moneter dikatakan, dia sudah mencapai kesepakatan
dengan Belanda. Djuanda menetapkan tanggal kembalinya pemerintah Republik pada
3 hingga 5 Juni...(sementara itu) orang-orang lingkaran Belanda:
dalam konsultasi dengan UNCI sedang mempertimbangkan barang-barang yang harus
dikirim ke Djokjakarta untuk memulai kehidupan ekonomi disana. Ini mungkin
termasuk 5.000 buah sepeda dan 500 truk dan mobil serta radio, peralatan
listrik, mesin, komponen kereta api dan barang-barang lainnya. Bandara Magoewo
akan berada di bawah kendali UNCL, sebuah pesawat republik akan datang dari
Aceh ke Djokjakarta, dan republik memiliki satu pesawat tersisa yaitu RI-002, enam
pesawat yang sebelumnya dimiliki dibeli’.
Algemeen Handelsblad, 21-06-1949: ‘Persiapan
untuk pemulihan Djokja. Soeltan Djokjakarta telah menyatakan kepada Aneta bahwa
Pemerintahan Daerah Djokjakarta akan bersifat semi-militer setelah pemindahan
resmi. Staf sipil dan militer akan ditambahkan ke Soltan.. beberapa hal kesepakatan telah dicapai dengan Kolonel Van
Langen..Laporan yang diterima di Batavia dari Djokja melaporkan bahwa pegawai pemerintah
RI disana hampir siap dengan persiapan untuk pemindahan... Mohamad Roem
kepada pers mengharapkan pada akhir minggu tentang kembali ke Djokja’.
De locomotief : Samarangsch handels-
en advertentie-blad, 22-06-1949: ‘Mohamad
Roem kembali ke Batavia. Pemmpin Republik Indonesia menerima komitmen mengikat
untuk konferensi [KMB] di Den Haag. Ketua delegasi Republik Indonesia Mohamad Roem
menyatakan setelah kepulangannya dari Bangka bahwa selama konferensi dengan Mohamad
Hatta dan Soekarno, rencana pengembalian para Republikan ke Djokjakarta
diselesaikan. Dia mengatakan bahwa sekarang ada kemungkinan lolos dari
kebuntuan antara Belanda dan Republik Indonesia atas pasukan gerilya untuk
berhenti menembak. Mohamad Roem mengumumkan bahwa penarikan pasukan pendudukan
Belanda [di Jogjakarta] mungkin akan memakan waktu tujuh hari lagi. Setelah
itu, Soeltan Djokjakarta akan mengambil alih pemerintahan dan mempersiapkan
kembalinya para Republiken yang saat ini tinggal di Bangka’.
Saat-saat inilah Soeltan
Hemengkoeboewono yang keduanya teman baiknya sulit untuk menemukan kontak.
Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin daerah Jogjakarta tempat dimana
Republik kembali memerlukan keduanya.
Natsir, Soeltan, Simatupang (Nieuwe courant, 06-07-1949) |
Akhirnya Kolonel TB
Simatupang tiba di Jogjakarta. Soeltan Hamengkoeboewono lega. Kolonel TB
Simatupang adalah Republiken pertama yang kembali ke Jogjakarta. Beberapa hari
kemudian militer Belanda melakukan evakuasi dari Jogjakarta.
Pemerintah Belanda sempat meminta gencatan
senjata dan jaminan kepada Kolonel TB Simatupang saat mereka evakuasi. Namun
militer Belanda tak menyangka mendapatkan jawaban yang mengejutkan. Simatupang menjawab
diplomatis: ‘Akan sulit untuk mengakhiri gerilya dan meminta jaminan’ (lihat
Algemeen Handelsblad, 04-07-1949). Boleh jadi Soeltan Hamengkoeboewono yang
mendengar permintaan itu tersenyum. Tentu saja Soeltan lega setelah militer
Belanda evakuasi dari Jogjakarta. Sejak serangan ke Jogjakarta 19 Desember 1948
Soeltan Hamengkoeboewono yang diawasi sebagai tahanan rumah kini 100 persen
bebas. Sementara Simatupang memberi jawaban seperti boleh jadi diartikan ‘pergi
kalian ke Belanda dan jangan kembali kesini’.
Dalam proses evakuasi
tersebut terjadi dua tembakan ringan. Tembakan itu datang dari arah belakang pasukan
terakhir yang evakuasi. Boleh jadi tembakan TNI itu menunjukkan pelampiasan
kekesalan terhadap militer Belanda atau boleh jadi tembakan itu menggambarkan
kegembiraan di antara anggota TNI yang sepenuhnya telah menguasai (kembali) Jogjakarta.
Hanya itulah yang dilaporkan insiden satu-satunya di Jogjakarta saat
berlangsungnya evakuasi militer Belanda.
Beberapa offcier (sipil) Belanda
masih berada di Jogjakarta setelah evakuasi militer. Mereka ini menjadi semacam
penghubung. Sebab saat yang bersamaan di Batavia/Djakarta juga terdapat
perwakilan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap. Perwakilan
Republik Indonesia (semacam atase atau kedubes) sudah ada sejak rombongan
terakhir hijrah dari Djakarta ke Jogjakarta pada bulan Maret 1946. Kepala perwakilan RI di Djakarta/Batavia
tersebut tetap dijabat Mr. Arifin Harahap. Para offcier Belanda dan UNCL di Jogjakarta
ini bersama dengan Soeltan Hamengkoeboewono dan Kolonel TB Simatupang yang
mempersiapkan kedatangan para pemimpin RI baik yang di pengasingan seperti
Soekarno dan Mohamad Hatta maupun di pengungsian seperti Sjafroeddin Prawiranegara
di hutan-hutan Bukittinggi. Tentu saja untuk menemukan kontak dan mempersiapkan
kedatangan Letnan Jenderal Soedirman yang belum diketahui dimana posisi
gerilyanya.
Soekarno dan Mohamad Hatta
dan tokoh lainnya dijadwalkan akan kembali ke Jogjakarta pada tanggal 6 Juli
1949. Namun persoalan lain muncul karena Mr. Sjafroeddin Prawiranegara pimpinan
Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi belum ada kontak. Untuk itu dikirim
delegasi RI ke Bukittinggi yang terdiri dari Leimena, Natsir dan Halim pada
tanggal 4 Juli 1949 dengan menggunakan pesawat KLM.ke Padang yang selanjutnya
melakukan perjalanan ke Bukittinggi dimana delegasi ini akan menunggu kontak
dengan Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya. Upaya ini dilakukan karena
sebelumnya Mohamad Hatta sudah dua kali gagal kontak dengan Sjafroeddin
Prawiranegara dan tokoh lainnya yang bergerilya di sekitar Bukittinggi.
Het nieuwsblad voor Sumatra,
28-06-1949: ‘Belanda dan Mohamad Hatta telah melakukan segala upaya untuk
membangun kontak sesegera mungkin dengan TNI. Kolonel Simatupang dari TNI yang
pertama dipanggil, tetapi Simatupang menolak. Jenderal Sudirman kemudian
berulang kali diundang, tetapi ia [Soedirman] juga menolak. Pemimpin tertinggi
adalah Sjafroeddin dan dia [Soedirman] hanya mengharapkan perintah atau
keputusan lebih lanjut darinya [Sjafroeddin Prawiranegara]. Oleh karena itu
Mohamad Hatta melakukan perjalanan ke Sumatra, tetapi misi ini, seperti yang
diketahui, tidak memberikan hasil yang diharapkan. Menurut surat kabar Republiken
[di Medan] Waspada, Sjafroeddin akan menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan
mandat pemerintahan daruratnya kepada Mohamad Hatta, tetapi ia [untuk sementara]
tidak dapat menghubungi anggota kabinet lainnya. Informasi lain menunjukkan
bahwa sisa Kabinet Darurat tidak tertarik padanya [Mohamad Hatta]. Akhirnya, Mohamad
Hatta kembali melakukan upaya kedua untuk bertemu dengan Pemerintah Darurat,
dirinya mengakui sulit karena mereka bergerilya, dan upaya ini juga gagal.
Itulah yang terjadi saat ini. Jika Djokjakarta sekarang memang memberikan ‘perintah
gencatan senjata’ yang jelas dan definitif, kami [Belanda] akan segera
mengetahui sejauh mana Pemerintah Darurat menjadi pemerintah kontra, dan sejauh
mana Djokja masih memiliki wewenang’.
Untuk menjaga keamanan dan
ketertiban di dalam kota Jogjakarta telah ditempatkan di tangan TNI di bawah
komando Letnan Kolonel Soeharto dengan bantuan polisi di bawah Soemarto.
Diharapkan dalam waktu dua minggu TNI dapat digantikan sepenuhnya di tangan
otoritas sipil. Soemarto menyatakan bahwa Brigade Mobil siap untuk memulai
pekerjaannya. Brigade Mobil akan menerima peralatan baru yang dibeli Republik
melalui UNCL. Kekuatan Brigade Mobil saat ini sekitar 1.000 orang. Sebelumnya berada
di bawah komando Zen Mohamad (lihat Nieuwe courant, 06-07-1949). Seperti yang
dijadwalkan (Presiden) Soekarno tiba ranggal 6 Juli 1949 di Jogjakarta. Soekarno
dan Mohamad Hatta serta tokoh lainnya disambut oleh Kolonel TB Simatupang serta
sejumlah tokoh Indonesia di bandara dan kemudian rombongan menuju Jogjakarta.
Nieuwe Apeldoornsche courant, 07-07-1949:
‘Presiden Soekarno tiba di bandara Djocjakarta pada hari Rabu (6/7) pukul 1
siang, dimana ia diterima oleh Soeltan Djogjakarta dan Pakoe Alam. Setelah
upacara penyambutan, bendera Republik dikibarkan di Istana Presiden (istana
yang ditempati Soekarno sebelum diasingkan ke Brastagi dan Parapat).
Kembalinya (Pemerintah)
RI ke Jogjakarta adalah suatu pengembalian pemerintah yang unik di dunia internasional.
Ini untuk kali pertama pengembalian pemerintah tanpa kehadiran pasukan
bersenjata hanya difasilitasi oleh pejabat-pejabat sipil UNCL.
Di Jogjakarta terdapat sebanyak 2.000
orang yang berafiliasi dengan kraton ditambah 1 600 prajurit TNI dan polisi
lainnya untuk pemeliharaan hukum dan ketertiban. Unit-unit ini berada di bawah
kepemimpinan Letnan Kolonel Soeharto. Sehubungan dengan kembalinya Pemerintah
RI ke Jogjakarta untuk sementara pers Belanda tidak diizinkan ke Jogjakarta.
Beberapa hari kemudian Sjafroeddin
Prawiranegara pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra tiba di
Jogjakarta. Sjafroeddin Prawiranegara tiba dari Padang di Djakarta hari Sabtu
dan esoknya Minggi tanggal 10 Juli 1949 ke Jogajkarta. Pemimpin Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia tiba pukul sebelas kurang seperempat di bandara Magoewo, dimana
ia disambut oleh Mohamd Hatta, Soeltan Djokjakarta, Mohamad Roem dan tokoh
lainnya. Sjafroeddin Prawiranegara diterima oleh Presiden Soekarno di Istana
Presiden di Jogjakarta.
Nieuwe courant, 11-07-1949: ‘Sjafroeddin
Prawiranegara pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra, tiba
di Batavia pada Sabtu sore didampingi Lukman Hakim dan melakukan perjalanan ke
Djokja pada Minggu pagi, dimana--menurut kedatangannya di Kemajoran--ia
menyatakan kepada pers hadir untuk Presiden Soekarno akan mengembalikan
mandatnya sebagai pemerintah darurat. Sjafruddin, terbang dengan pesawat KLM
yang disediakan UNCL yang didampingi oleh Mr Leimena, Mr Natsir dan Halim.,,delegasi
bertemu Sjafroeddin di Suliki sekitar 20 km terletak di utara Bukittinggi..Sejumlah
anggota KNIP Minggu pagi juga berangkat dengan rombongan Sfafroeddin Prawiranegara
ke Djokjakarta...Sjafroeddin diterima oleh Presiden Soekarno pada hari Minggu. Pemimpin
Pemerintahan Darurat Republik [Indonesia] tiba pukul sebelas kurang seperempat waktu
setempat di bandara Magoewo, dimana ia diterima oleh Mohamd Hatta, Soeltan
Djokjakarta, Mohamad Roem, Assaat, Tadjoeddin Noor, Ki Hadjar Dewantoro dan
otoritas lainnya’.
Pada sore hari Minggu itu
juga Letnan Jenderal Soedirman tiba di Jogjakarta. Soedirman dijemput Kolonel
TB Simatupang di perbatasan Jogjakarta dan kemudian diterima oleh Sjafroeddin
Prawiranegara.
De vrije pers : ochtendbulletin, 11-07-1949:
‘Letnan Jenderal Soedirman pada hari Minggu sore tiba di Djokjakarta. Soedirman
disambut Soehardja, Kolonel Simatoepang dengan beberapa staf TNI lainnya di
perbatasan Djokjakarta. Lalu kemudian
dibawa ke Djokjakarta dengan upacara yang dihadiri Sjafroeddin Prawiranegoro, Mohamad
Roem, Mr. Dr. Koesoemoatmadja presiden pengadilan militer, Mr. Assaat Ketua KNIP,
Pakoe Alam, Ki Hadjardewantoro, Wakil Konsul Jenderal China Shun Tjun dan
otoritas militer dan sipil lainnya’
Mungkin para pembaca
sedikit bingung mengapa hanya Kolonel TB Simatupang dan Sjafroeddin
Prawiranegara yang menyambut Letnan Jenderal Soedirman. Ada apa dengang
Soekarno dan Mohamad Hatta? Ini dapat dijelaskan karena pimpinan Letnan
Jenderal Soedirman adalah Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia di
Bukittinggi. Ini bermula ketika Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta
ditangkap, diinternir dan diasingkan, di Bukittinggi Sjafroeddin Prawiranegara
muncul memimpin pemerintahan darurat. Pada waktu yang relatif bersamaan saat
mana Jenderal Soedirman bergerilya menjauh dari Jogjakarta juga ditangkap di
Poerworedjo dalam keadaan sakit. Kemudian sebagai Komandan TNI di Sumatra Kolonel
Hidayat sebagai panglima .
Setelah sedkit sembuh, Jenderal
Soedirman menghilang dan kembali ke pasukannya untuk bergerilya di wilayah selatan
Jogjakarta. Setelah Jenderal Sodirman kembali ke pasukan dan memimpin lalu
mengambil sikap berada di belakang Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang
dipimpin Sjafroeddin Prawiranegara di Bukittinggi. Sementara itu Komandan TNI
berada di bawah Kolonel Hidayat. Oleh karena itulah pers Belanda menulis
pangkat Soedirman sebagai Letnan Jenderal (yang dalam hal ini Kolonel Hidayat
diposisikan sebagai Jenderal). Ketika pengembalian Republik ke Jogjakarta, saat
kedatangan Letnan Jenderal Soedirman di Jogjakarta (tentu saja) disambut oleh Sjafroeddin
Prawiranegara. Saat penyambutan ini posisi Sjafroeddin Prawiranegara masih
pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (belum dilakukan penyerahan
kepada Presiden Soekarno).
Yang mungkin juga
sedikit membingungkan bagi pembaca mengapa Soeltan Hemengkoeboewono tidak turut
menyambut kedatangan Letnan Jenderal Soedirman? Apakah cukup diwakili oleh
Pakoe Alam? Untuk ini sangat sulit mencari jawabannya. Apakah ada pembaca yang
dapat menjelaskan? Lantas mengapa Soeltan Hemengkoeboewono menyambut kedatangan
Kolonel TB Simatupang? Hal ini dapat dijelaskan karena Kolonel TB Simatupang
yang pertama Republiken yang kembali ke Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar