Sabtu, 15 Februari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (39): Indorock, Sejarah Musik Pop Indonesia; Perpaduan Musik Keroncong dan Musik Rock Amerika


Musik Dangdut pada masa ini, musik Indorock pada tempo doeloe. Musik dangdut adalah musik yang bisa dibedakan dengan musik gambus dari Arab dan musik ‘Bollywood’ dari India. Demikian juga musik Indorock, musik yang bisa dibedakan dengan musik rock dari Amerika. Musik keroncong yang telah populer di Indonesia sejak tahun 1920an kemudian pada tahun 1940an mendapat nuansa baru dengan masuknya unsur musik Hawaiaan dan musik rock dari Amerika. Tentu saja belum ada televisi, para musisi Indonesia mengadopsinya melalui majalah Amerika dan musik Amerika melalui saluran radio Singapura dan Filipina. Ibarat sayur asem atau sayur lodeh, muncul pecal atau gado-gado yang khas rasanya.

Transformasi musik Indorock
Artikel ini merupakan kelanjutan dari empat artikel sebelum ini. Tentu saja sejarah musik Indonesia sejak era 1970an banyak ahlinya dan sudah ditulis di berbagai majalah dan surat kabar, meski belum terkompilasi hingga saat ini, namun sejak musik Indonesia sebelum tahun 1970an belum tersentuh sama sekali. Oleh karena itu, sejak musik Indonesia terdahulu menjadi penting untuk melandasi sejarah musik kontemporer masa kini (sejaka 1970an). Serial artikel sejarah musik Indonesia ini adalah salah satu wujud pengayaan eksistensi musik Indonesia sejak era musi tradisi (gamelan dan gondang). Artikel-artikel sebelumnya adalah: Sejarah Menjadi Indonesia (37): Ahli Musik Dunia Mau Ajari, Justru Berbalik Belajar Musik Indonesia; Keroncong dan Dangdut; Sejarah Menjadi Indonesia (35): Pemusik Indonesia, Dari Follower Menjadi Leader; Alip Ba Ta Buka Jalan Musik Dunia Maya; Sejarah Menjadi Indonesia (27): From Javaansche Rhapsody (1909) to Bohemian Rhapsody (1975); Fenomena Alip Ba Ta; Sejarah Menjadi Indonesia (24): Alip Ba Ta Gitaris Fingerstyle Mendunia; Ambassador dalam Penyusunan Sejarah Musik Indonesia.

Musik ‘asli’ Indorock adalah sebuah pergumulan para musisi Indonesia. Musik Indorock dibawa ke Belanda, dan kemudian berkembang di Jerman sebagai musik rock’n roll (Indorock). Musik Indorock kemudian diadopsi oleh The Beatles dan Rolling Stones dan Elvis Presley di Amerika Serikat. Musik rock’n roll yang juga berakar dari musik rock Amerika dengan mudah diterima di Amerika. Bagaimana proses transformasi itu berlangsung tentu masih menarik untuk diktehaui. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-simber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Indorock, Akar Musik Pop Belanda: Irama Musik Indonesia Sesuai Di Telinga Jerman

Penyanyi rock’n roll terkenal, Elvis Presley mengecat rambutnya dengan warna hitam (aslinya pirang) adalah cara untuk meniru gaya asli para musisi Indorock di Jerman (orang Indo asal Indonesia) yang berambut hitam misalnya Andy Tielman dan Eddie Chatelin. Masih di Jerman, ketika Tielman Brothers (empat bersaudara anak-anak Tielman) dan Crazy Rock (Eddie Chatelin) yang sangat terkenal, memang berambut hitam, sangat dipuji oleh personel The Beatles (saat itu dua grup Indo sudah masuk rekaman di Jerman sementara The Beatles masih ngamen). Lalu sengaja tidak sengaja gaya dan cara bermain musik para grup Indo ini ditiru oleh The Beatles dan The Rolling Stones. Musik Inggris dan musik Amerika tidak mengenal kasta.

Musik Belanda sangat diskriminatif. Para musisi asal Indonesia (genre musik Indorock) yang mulai berkembang di Belanda terusir di Belanda. Para kritikus musik Belanda yang rasial, seperti Willem Duys dan Mies Bouwman menyebut musik Indorock adalah musik hutan belantara dan para pemainnya monyet. Lalu muncullah kerusuhan tahun 1958 (antara para musisi Belanda dengan para musisi Indo). Kata-kata sarkas ini tidak membuat musisi asal Indonesia patah arang, lalu hijrah ke Jerman. Namun tidak terduga musik Indorock sangat sesuai di telinga orang-orang Jerman. Musik Indorock berkembang di Jerman yang dimulai dua grup musik The Tielman Brothers dan The Crazy Rockers. Musik rekaman dua grup musik inilah yang membuat grup musik Inggris yang masih ngamen (seperti The Beatles) kagum. Celakanya, musik piringan hitam ini dijual di Belanda. Laris manis diborong oleh gadis-gadis Belanda. Para musisi Belanda cemburu berat. Sejak inilah muncul musik pop Belanda yang sejatinya berirama Indorock. Musik tanpa mengenal batas-batas budaya (musik rock Amerika sendiri diadopsi di Indonesia yang melahirkan musik Indorock).

Jika kita mendengar musik-musik lawas seperti Rachmat Kartolo, Koes Bersaudara dan Panbers, musik-musik mereka sekilas tampak meniru musik-musik Amerika, tetapi sejatinya adalah garis continuum dari para musisi Indonesia yang banyak berhijrah ke Belanda sejak awal tahun 1950an. Pada akhir tahun 1940an dan awal tahun 1950an musik pop Indonesia terbagi dalam kelompok. Pada kelompok pertama adalah musisi asli Indonesia seperti Gordon Tobing dan Bing Slamet yang membawakan lagu paduan keroncong musik Hawaian, sementara pada kelompok kedua adalah musisi Indo seperti Tielman Brothers dari Soerabaja yang mengusung musik paduan musik keroncong dan musik rock Amerika. Kelompok Indo inilah yang membawa musik Indorock ke Eropa (Belanda dan Jerman). Sedangkan kelompok Gordon Tobing dan Bing Slamet melahirkan musisi-musisi baru seperti Rachmat Kartolo (Jakarta), Koes Bersaudara (Jogja) dan Panbers (Soerabaja). Dalam perkembangannya Rachmat Kartolo seakan tampak meniru Elvis Presley, padahal sejatinya Elvis Presley yang meniru gaya bermusik pada musisi Indorock di Jerman.

Kerontjong (1930)
Grup musik Indorock yang pernah mendominasi musik pop Belanda pada tahun 1950an dan 1960, selain The Tielman Brother dan The Crazy Rocker adalah The Black Arrows, Hot Jumpers, Poppy & Popcats, Firedevils, Padre Twins, Black Shadows, The Black Dynamites, Petty & the Real Rockers, The Hap-Cats, The Emeralds, The Real Room Rockers, The Black Rocking Cats dan lainnya. Yang masuk kategori musik Indorock yang beradaptasi dengan musik Belanda antara lain adalag The Blue Diomonds, Anneke Gronloh, Sandra Reemer, Lydia. Margie Ball, Wanda dan Jack Jersey. Sandra Reemer pada tahun 1970an pernah berduet dengan Muchsin Alatas (sebelum Titik Sandora); The Blue Diomonds (duo Ruud dan Riem de Wolff) meniru gaya bermusik The Everly Brothers; Anneke Gronloh terkenal dengan lagunya berjudul Soerabaja. Disamping itu ada beberapa musisi Belanda yang tertarik dengan Indorock, sebut saja misalnya Rene Nodelijk dengan group bandnya Rene and The Alligators. Rene Nodelijk bahkan mengecat rambutnya berwarna hitam sebagaimana Elvis Presley di Amerika Serikat. Anak-anak Indo juga banyak yang bermain di grup musik lainnya seperti Boy Brostowsky, Indo campuran Polandia dan Jerman (termasuk bermain di band The Crazy Rockers).

Eksistensi musik Indorock telah diteliti oleh seorang ahli musik dari Utrecht, Lutgard Mutsaers. Temuannya adalah bahwa musik Indorock menjadi landasan lahirnya musik pop Belanda. Lutgard Mutsaers adalah anggota Asosiasi Internasional untuk Studi Musik Populer.

Sejarah Indorock ini disajikan oleh Lutgard Mutsaers dalam buku yang berjudul Rockin' Ramona, een gekleurde kijk op de bakermat van de Nederpop. Buku ini diterbitkan oleh SDU, 's Gravenhage tahun 1989 (153 halaman). Pada sampul buku potret Andy Tielman (pimpinan band Tielman Brothers). Andy sendiri bukan yang paling tua dalam empat bersaudara itu, seperti hanya Benny Panjaitan yang memimpin tiga saudaranya yang lain. Buku Rockin' Ramona ini boleh dikatakan satu-satunya buku yang secara teliti mengisahkan kisah awal para musisi Indorock di Belanda. Dalam buku Rockin 'Ramona penulis membedakan peran band rock Indo dan Maluku.

Temuan Lutgard Mutsaers telah merehabiltasi yang mana padangan publik selama ini di Belanda menganggap musisi-musisi asal Indonesia tidak berperan penting. Boleh jadi anggapan ini karena adanya sikap rasial dari segelintir orang yang menyebut musik Indorock sebagai musik hutan belantara dan para pemainnya monyet. Namun publik Belanda keliru, karena para musisi Indorock terus survive di ‘hutan belantara’ Jerman dan mendapat perhatian yang besar. Dari Jerman album-album Indorock membanjiri toko-toko musik di Belanda yang sangat digandrungi gadis-gadis Belanda. Penafsiran inilah yang diplintir di Belanda seakan musisi asal Indonesia tidak punya peran. Lutgard Mutsaers melihatnya bahwa para musisi-musisi adal Indonesialah yang membentuk dasar dunia musik pop Belanda.

Gambus (1940)
Cara berpikir dan kuping Belanda berbeda dengan Jerman. Penelitian yang dilakukan oleh Lutgard Mutsaers ini, meski seperti yang dikatakannnya dengan terpaksa melakukan riset ini, yang telah mengorek data dan informasi yang selama ini disimpan oleh Andy Tielman, dengan sendirinya telah meluruskan sejarah musik di Belanda.

Apa yang dilakukan Lutgard Mutsaers bukanlah hal baru soal kekeliruan orang Belanda dalam menafsirkan dan mencerna musik, lebih-lebih musik yang aslinya dari Indonesia. Pada tahun 1934 lembaga pengetahuan di Batavia mengundang seorang peneliti musik Jerman dari Universitas Wina (Austria) Dr. Karl Halusa hanya karena tidak ada orang Belanda yang memahami betul musik asli Indonesia padahal Belanda sudah sekian ratus tahun berada di Indonesia. Dr. Halusa sangat tercengang karena begitu berwarnanya musik alami Indonesia dengan instrumen musik yang sangat beragam dan ragam nada-nada yang sangat bervariasi. Tampaknya hanya orang-orang Indo yang memahami hasil riset Dr. Halusa tersebut. Orang-orang Belanda tetap tidak peduli, bahkan nyinyir macam Willem Duys dan Mies Bouwman.

Beberapa dasarwarsa sebelum Dr. Karl Halusa, juga seorang berdarah Jerman yang menghargai musik asli Indonesia. Paul Seelig, seorang musisi yang banyak berguru di Jerman dan Amerika menemukan musik tradisi Indonesia (gamelan) dapat dipadukan dengan musik Eropa. Pada tahun 1909 memperkenalkan hasil karyanya yang diberi judul Javaanche Rhapsody.

Setelah sukses para musisi Indorock di Jerman (dan digandrungi gadis-gadis) Belanda, para musisi Belanda lambat laun menyadari dan mengadopsi musik Indorock, seperti Rene Nodelijk. Para pembela Willem Duys dan Mies Bouwman mulai ‘ngeles’ bahwa Willem Duys dan Mies Bouwman tidak bermaksud untuk menghina tetapi dikatakan bahwa Willem Duys dan Mies Bouwman hanya kurang suka dengan musik yang berayun (baca: roll) dan yang berisik (baca: rock).

Tampaknya ketidaksukaan orang-orang Belanda terhadap musik asli Indonesia tidaklah dalm arti teknis tetapi lebih pada masalah sosiologis. Orang-orang Belanda di Indonesia tampaknya menganggap musik asli Indonesia tidak memiliki nuansa musik. Permasalahan ini pernah muncul tahun 1934 ketika orang-orang Indonesia yang juga membayar pajak radio merasa ada kebijakan diskriminatif dalam soal progam musik di Radio Nirom, Tidak ada musik asli Indonesia hanya musik Eropa/Amerika yang ada. Lalu muncul suatu semacam petisi untuk menuntut Radio Nirom agar musik Indonesia mendapat tempat. Para manajemen Radio Nirom akhirnya terpaksa mengabulkan dengan mencari alasan bahwa mereka menggangap musik asli Indonesia kurang berterima di telinga orang Belanda. Oleh karenanya perjuangan para musisi asal Indonesia di Belanda tahun 1950an dan 1960an seakan mengulangi perjuangan yang dilakukan oleh para pendengar radio di Indonesia pada tahun 1930an.       

Orang Indo dan Orang Maluku: Diantara Orang Belanda dan Orang Indonesia  

Karena alasan politik, para orangtua mereka, anak-anak Indo dan sebagian orang-orang Maluku membawa mereka berpindah ke Belanda sejak tahun 1949. Dari kelompok migran anak-anak Indo inilah muncul grup-grup musik Indorock. Namun ternyata orang-orang Maluku dan juga orang Indo (campuran Eropa/Belanda dan pribumi) kurang berterima diantara orang-orang Belanda di Belanda. Willem Duys dan Mies Bouwman tampaknya termasuk dalam kelompok rasial garis keras.

Orang-orang Indo di Belanda tetap dianggap orang asing. Bahkan keluarga Alex dan Eddie van Halen (yang berdarah Indo) terpaksa harus merantau ke Amerika Serikat hanya untuk sekadar menyambung hidup. Seperti para musisi Indorock di Jerman, Alex dan Edie van Halen bisa sukses di Amerika. Daya juang anak-anak Indo tidak kalah dengan daya juang anak-anak Maluku yang ada di Belanda. Para musisi asal Indonesia tertolong mencapai kehidupan yang baik karena genetik musik asli Indonesia.  

Orang-orang Indo dan orang-orang Maluku di Belanda sangat mencintai Indonesia. Boleh jadi itu karena orang-orang Indo tetap tidak dipandang sebagai orang Belanda. Ada antusiasme para Indo ini ingin kembali ke Indonesia tetapi mereka merasa sangat banyak kesulitan. Orang Indonesia juga menganggap mereka bukan (lagi) sebagai orang (asli) Indonesia.

Orang Maluku adalah asli Indonesia yang secara politik (karena berpatisipasi dalam KNIL) telah memilih menjadi warga negara Belanda. Sementara orang Indo adalah orang keturunan yang berdarah Indonesia (Eropa/Belanda dan Indonesia). Dalam menamai band di antara dua kelompok sosial ini di Belanda tampak sebagian memiliki nama black untuk orang Maluku (seperti The Black Cats, The Black Knights atau Black Magic) dan blue untuk orang Indo (seperti The Blue Eagles dan Blue Diamonds).

Kesulitan orang Indo, berbeda dengan orang-rang Maluku, orang-orang Indo harus mengubah nama Belanda mereka. Sementara orang-orang Maluku tetap menggunakan marga mereka di belakang nama. Orang-orang Indo seakan berada di area yang tidak jelas (tidak mendapat tempat di negara tujuan dan juga tidak dianggap lagi di negara asal). Bahkan keluarga Alex dan Eddie van Halen mengakui bahwa di Amerika juga mereka mengalami tindakan diskriminatif.

Setelah situasi kondusif, para migran (Indo dan Maluku) banyak yang ingin berkunjung ke Indonesia. Mereka teringat alam yang indah, sawah-sawah yang cantik dan ngarai-ngarai yang eksotik. Namun antara orang Indo dan orang Maluku memiliki persepsi yang berbeda tentang kunjungan ke Indonesia. Ketika orang-orang Belanda menanyakan mereka mau kemana, orang-orang Indo hanya bisa menjawab mau ke Indonesia untuk berlibur; sementara orang Maluku dengan tegas menyakan mau pulang kampong (mudik). Dalam hal ini, orang Indo tidak memiliki kampong baru juga tidak memiliki kampong asal lagi, sementara orang-orang Maluku merasa masih memiliki kampong halaman.

Musik Indorock setelah mencampai sukses dan pernah mendominasi musik di Belanda akhirnya memudar lalu hanya terdengar sayup-sayup. Disamping band-band Inggris macam The Beatles dan The Rolling Stones yang merontokkan semua grup band Indorock sekitar pertengahan 1960am juga disebabkan semakin terjadinya polarisasi sosiologis antara orang-orang Belanda di satu pihak dan orang-orang Indo/Maluku di pihak lain. Musik pop Belanda mengambil alih estafet dari irama musik Indorock. Singkat kata: Indorock telah mengawali terbentuknya musik pop Belanda. Musik Indorock kemudian menjadi masa lalu, masa yang pertama.

Musik Indorock secara perlahan tenggelam, arus gelombang ke pantai telah terserap pasir. Hingga waktu yang lama kotak pandora itu dibuka oleh Lutgard Mutsaers dengan temuan bahwa musik Indorock adalah peletak dasar musik pop Belanda. Tentu saja para pionir musisi Indo dan Maluku itu masih ada yang masih hidup hingga ini hari paling tidak satu yang penting Eddie Chatelin, kelahiran Bandoeng, nenek dari Padang. Namun anehnya, pers Belanda hanya bilang Alex dan Eddie van Halen sebagai salah satu musisi kami yang terkenal di luar negeri tanpa pernah menyebut dari mana asal-usulnya. Alex dan Eddie van Halen adalah Indo yang terusir dari Belanda. Memang Alex dan Eddie van Halen lahir di Amsterdam, tetapi ibunya adalah kelahiran Rangkasbitung dan nenek asli Poerworedjo.

Musik Keroncong di Indonesia dan Musik Keroncong di Belanda  

Musik Indorock berakar dari musik keroncong yang dibawa dari Indonesia. Musik Indorock inilah yang kemudian di Belanda bertransformasi menjadi musik rock’n roll yang kemudian berkembang di Jerman dan Amerika Serikat. Namun van Halen di Amerika Serikat lebih fokus pada musik rock Amerika daripada musik rock’n roll ala Indorock.

Meski demikian, Eddie van Halen sangat piawai soal gitar dengan cara mempopulerkan cara tapping, Jari-jari Eddie van Halen seakan mengingatkan genetik musik Indonesia masih mengalir di dalam darahnya. Oleh karena pers Belanda tidak pernah menyebut asal-usulnya, belum lama ini Eddie van Halen menyebut dirinya seorang Indo, kelahiran Rangkasbitung.

Tentu saja musik keroncong masih hidup di Indonesia hingga ini hari. Akan tetapi ketika musik Indorock diperkenalkan di Belanda tahun 1950an, tidaklah dikenal musik keroncong di Belanda. Namun pada tiga dasawarsa yang lalu musik keroncong hadir di Belanda, paling tidak di Amsterdam (lihat De Volkskrant, 26-08-1989).

Grup musik keroncong ini menyebut dirinya Kroncong Orkest Amsterdam. Akan tetapi para musisi keroncong di Amsterdam ini bukan berasal dari Indonesia, melainkan orang-orang Suriname yang beretnis Jawa. Musik keconcong ini diperdengarkan secara reguler di radio Surinaamse Radio Bangsa Jawa. Gagasan ini muncul karena populasi orang Jawa asal Suriname cukup banyak di Belanda (bahkan melebihi warga Belanda etnik Jawa asal Indonesia). Musik keroncong di Suriname berasal dari musik keroncong di Indonesia. Ini sehubungan dengan banyaknya migran etnik Jawa asal Indonesia yang bekerja di Suriname sejak tahun 1880an.    

Musik keoncong Suriname hingga ini hari masih berkiblat ke Indonesia. Paling tidak nama Didi Kempot hingga ini hari masih sangat dikenal di Suriname. Namun anehnya musik keroncong asal Indonesia tidak pernah terdengar keberadaannya di Belanda.


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar