Minggu, 29 Maret 2020

Sejarah Air Bangis (5) Kerajaan Air Bangis; Tuanku Mudo di Air Bangis, Tuanku Besar di Natal dan Tuanku Sambali di Linggabayu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Ada Radja ada Kerajaan. Ada Kerajaan ada Radja. Kerajaan adalah tempat (wilayah) dimana raja berkedudukan (berkuasa). Ada Kerajaan besar dan ada kerajaan kecil. Keradjaan Air Bangis adalah sebuah kerajaan yang berada di muara sungai Air Bangis. Keberadaan kerajaan Air Bangis, paling tidak sudah eksis sejak era VOC. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, para raja menjadi pemimpin lokal. Radja Air Bangis yang bergelar Tuankoe Moeda menerima gaji sebesar f400 per tahun (lihat Bataviasche courant, 29-11-1826).

Kerajaan dan kraton Air Bangis
Pemimpin lokal (wilayah tertentu) disebut dalam banyak nama. Kepala kampong, kepala huta, kepala kota, kepala nagari, kepala luhak, kepala koeria dan sebagainya. Juga ada pemimpin lokal yang disebut Radja atau Sultan. Saat itu jabatan pemimpin lokal umumnya diwariskan (berdasarkan keturunan). Pemerintah VOC atau Pemerintah Hindia Belanda juga ada pemimpinnya. Gubernur Jenderal VOC mendapat mandat dari Heeren XVII. Sedangkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda mendapat mandat dari Raja Belanda. Gubernur Jenderal membawahi beberapa gubernur; Gubernur membawahi Residen; Residen membawahi Asisten Residen dan atau Controleur. Asisten Residen dan Controleur bekerjasama dengan pemimpin lokal dalam mengatur pemerintahan dalam hubungannya dengan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal memposisi kedudukan para pemimpin lokal ini sesuai kapasitasnya. Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda di Pantai Barat Sumatra tahun 1826 di Residentie Padang terdapat empat pemimpin lokal yang diberi posisi bupati (regent), yakni: Tanah Datar, Agam, Pariaman dan Indrapoera. Di Padang disebut Toeankoe Panglima.

Bagaimana Kerajaan Air Bangis bermula adalah satu hal, bagaimana Kerajaan Air Bangis di era Pemerintah Hindia Belanda adalah hal lain lagi. Lalu bagaimana di era Republik Indonesia? Semua itu menjadi satu kesatuan sejarah Kerajaan Air Bangis. Tipologi Kerajaan Air Bangis mirip dengan Kerajaan Natal. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Kerajaan Air Bangis

Bagaimana Kerajaan Air Bangis bermula tidaklah mudah diketahui. Sangat minim data yang ada. Nama Air Bangis paling tidak sudah eksis sejak era VOC. Namun tidak diketahui secara pasti apakah nama tersebut menunjukkan suatu kerajaan atau baru sekadar suatu nama tempat. Nama kerajaan atau nama tempat diidentifikasi pada sesuai era (sesuai kepentingan/keutamaannya pada eranya). Posisi GPS nama Air Bangis berada di sisi utara muara sungai Air Bangis.

Peta 1724
Pada peta-peta lama. Nama-nama tempat yang diidentifikasi di pantai barat Sumatra antara lain adalah Indrapoera, Pariaman, Tikoe, Batahan dan Baros (lihat Peta 1598). Nama Pariaman sudah diidentifikasi pad peta selanjutnya (Peta 1705). Nama Air Bangis sebagai suatu nama tempat baru teridentifikasi satu abad kemudian (lihat Peta 1724). Dalam Peta 1724 ini nama yang berdekatan dengan Air Bangis adalah (kota lama) Batahan dan Taboejoeng. Nama Natal belum teridentifikasi.

Segera setelah perjanjian Inggris-Belanda (Traktat London, Maret 1825), Pemerintah Hindia Belanda menyusun stuktur pemerintahan di pantai barat Sumatra. Sejumlah bupati (regent) diangkat. Di Noordelijk Afdeeling sejumlah pemimpin lokal (raja-raja) diangkat sebagai bagian dari pemerintahan Hindia Belanda termasuk penetapan Tuankoe Moeda di Air Bangis dengan gaji f400 per tahun  dan Tuankoe Besar di Natal dengan gaji f600 per tahun (lihat Bataviasche courant, 29-11-1826).

Pada tanggal 31 Desember 1825 dikeluarkan peraturan (Staatsblad No. 48) bahwa pelabuhan Natal ditutup untuk perdagangan grosir, hanya kapal-kapal milik Hindia Belanda dan kapal-kapal pribumi yang serupa, yang setara dengan kapal-kapal tersebut, akan diizinkan untuk bongkar barang impor dan muat barang ekspor. Bahwa, di sisi lain, pelabuhan Air Bangis untuk selanjutnya akan dibuka untuk perdagangan grosir, bebas memasuki pelabuhan Aijer Bangies untuk semua kapal dan kapal semua bangsa, ke mana pun datang dan pergi. dan di sana keluar masuk, membongkar dan memuat sebagaimana ditentukan oleh peraturan tentang hak masuk dan keluar di lepas pantai.

Pimpinan tertinggi di pantai barat Sumatra yang berkedudukan di Padang seorang komandan militer dengan gaji tertinggi seebsar f15.000 per tahun. Di Noordelijk Afdeeling sejumlah pejabat Belanda ditempatkan. Di Tapanoeli seorang Komisi dengan gaji f5000 per tahun, di Natal seorang kamandan militer dengan pangkat Majoor dengan gaji f2.400 per tahun dan masing-masing di Air Bangis dan Baros seorang posthouder dengan gaji f600 pert tahun. Pelabuhan Air Bangis dijadikan sebagai pelabuhan internasional.

Pemimpin pribumi tertinggi di Padang disebut Toeankoe Panglima dengan gaji f5.600 prt tahun. Sedangkan bupati Tanah Datar yang tertinggi kedua sebesar f2.400 per tahun dan bupati Agam dengan f1.200 per tahun. Bupati Pariaman dan Indrapoera masing-masing hanya f600 per tahun (setara dengan Toeankoe Besar di Natal).

Toeankoe Moeda di Air Bangis mendampingi posthouder (kepala pelabuhan Air Bangis). Toeankoe Moeda sebagai Radja Air Bangis memimpin empat penghoeloe yang masing-masing digaji sebesar f100 per tahun. Para penghoeloe ini adalah Datoe Simpoena, Datoe Bilangan, Datoe Ammah, dan Datoe Todoeng. Untuk membantu Toeankoe Moeda diangkat seorang kepala para penghoeloe (Radja Poetoe) dengan gaji f120 per tahun.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar