*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini
Bandara Sultan Iskandar Muda, kini telah menjadi bandara internasional. Bandara ini dulu disebut Lapangan Terbang Blang Bintang. Hal ini karena area dimana lapangan terbang dibangun berada di Blang Bintang (seperti halnya Poloni di Medan dan Tabing di Padang serta Tjililitan di Batavia atau kini Jakarta). Lapangan terbang Blang Bintang saat itu dibangun untuk perluasan jaringan transportasi udara dari Medan ke Kota Radja. Kini bandara Sultan Iskandar Muda tidak hanya melayani jaringan transportasin udara antar kota antar provinsi (AKAP) tetapi sudah antar negara dan antar kota dalam provinsi (AKDP).
Lantas bagaimana sejarah bandara Sultan Iskandar Muda? Kita harus kembali ke era Lapangan Terbang Blang Bintang. Tidak seperti lapangan terbang Polonia, tetapi suatu lapangan terbang yang dirintis sejak era pendudukan militer Jepang. Setelah sempat vakum lama, pada tahun 1953 Ir Tarip Abdullah Harahap mengaktifkannya kembali. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Lapangan Terbang Blang Bintang: Ir. Tarip Abdullah Harahap
Pembangunan lapangan terbang di Blang Bintang, pada dasarnya tidak hanya karena faktor geografis dan navigasi penerbangan tetapi juga karena faktor (kebutuhan) militer Jepang. Seperti di berbagai tempat, militer Jepang tidak mengambil posisi pertahanan di pantai tetapi agak jauh di belakang pantai. Hal itulah mengapa lokasi yang ditetapkan sebagai lapangan terbang baru berada di Blang Bintang.
Di kawasan Blang Bintang inilah kemudian pada era pendudukan militer Jepang dibangun lapangan terbang. Kawasan Blang Bintang tidak hanya terkenal penghasil beras yang utama, juga riwayat perang di Blang Bintang selalu dikenang. Hal ini pernah dikisahkan seorang veteran perang Atjeh.
Sumatra-bode, 24-01-1933: ‘di benteng kami di Toengkoep, dari sana membentang hampir ke selatan dan terus ke benteng kami. Pajaoe, Senelop dan Montassik adalah daerah yang cukup berawa dan terpencil, berpotongan dengan labirin anak sungai, dan sisanya merupakan hutan belantara tropis sejati yang dilalui oleh beberapa jalan setapak yang sempit dan diantaranya terletak disana-sini beberapa rumah bambu yang berdiri, yang kemudian disebut apa yang disebut kampung. Di sebelah timur, di luar jalur yang padat rimbun itu, medannya lebih terbuka dan ada Blang Bintang yang sangat luas yang terkenal di Aceh, rantai lapangan sawab yang sangat besar, dimana manusia memiliki pandangan yang luas dan tidak terhalang tetapi juga di sisi lain. Cakrawala di mana-mana dibatasi oleh tumbuhan rimbun dan kampung-kampung. Pada catatan yang lain diketahui bahwa sejak 1921 di kawasan Blang Bintang ini semua aktivitas militer telah dikosong karena dinyatakan sudah sangat kondusif. Pasukan marsose direlokasi ke tempat lain di wilayah Hindia Belanda (lihat Deli courant, 29-06-1935).
Sejak berakhirnya era kolonial Belanda dan pendudukan militer Jepang, nama Blang Bintang tidak pernah diberitakan lagi. Blang Bintang kembali sepi sendiri. Baru setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dan dibubarkannya RIS pada 17 Agustus 1950 kebandaraan dan aviasi penerbangan diambilalih oleh Republik Indonesia dari orang Belanda. Sebagai Direktur Penerbangan Sipil diangkat Ir. Tarip Abdullah Harahap.
Tarip Abdullah Harahap lulus dari Techniche Hoogeschool di Bandung pada tahun 1939. Awalnya bekerja sebagai konsultan teknik sipil di Bandoeng dengan mendirikan perusahaan konsultan hingga pendudukan militer Jepang. Pada saat Belanda (NIC) menguasai Djakarta, Buitenzorg dan Bandoeng Ir. Tarip Abdullah Harahap ikut berhijrah ke ibu kota Republik Indonesia di Djogjakarta. Saat itu yang menjadi Menteri Pertahanan RI adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Di Djogjakarta, Ir. Tarip Abdullah Harahap ditunjuk untuk mengorganisir transportasi darat di wilayah Republiken. Ir. Tarip Abdullah Harahap mendirikan perusahaan jawatan peerintah dengan nama Djawatan Angkoeta Motor Republik Indonesia yang disingkat DAMRI. Inilah awal eksistensi DAMRI hingga ini hari.
Setelah selesai urusan penerbangan dan kebandaraan di (pulau) Jawa, Palembang dan Medan, Ir Tarip Abdullah Harahap mulai mengembangkan pengoperasian jalur penerbangan ke ujung barat Indonesia di Kota Radja dan ke wilayah timur Indonesia. Pada bulan Mei 1951, Ir Tarip Abdullah Harahap mengumumkan kesiapan bandara Blang Bintang untuk didarati pesawat Convairs (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-05-1951).
Dari pihak maskapai GIA di Medan mengumumkan bahwa terhitung mulai 1 Mei hubungan udara antara Medan dan Kotaradja dikelola oleh GIA empat kali seminggu, yaitu setiap hari Selasa, Rabu, Jumat dan Sabtu. Pesawat berjadwal dari Jakarta selanjutnya akan terbang ke Aceh setelah singgah di Medan. Juga diberitakan bahwa lapangan terbang Blang Bintang dekat Kutaradja telah selesai dibangun, lapangan udara ini akan cocok sebagai tempat pendaratan Convairs. Sudah dilakukan uji terbang dengan Convair dan hasilnya sangat memuaskan. Namun masih ada persoalan dengan Blang Bintang yang harus diselesaikan yang terkait berbagai kendala teknis. Misalnya, tidak ada bangunan stasiun, tidak ada layanan meteorologi, tidak ada mesin kerek, dll. Selain juga jalan dari bandara ini ke Kutaradja belum sepenuhnya selesai dan hingga sekarang ruas jalan sepanjang 8 Km tidak bisa dilewati. Dari Kutaradja kantor berita Aneta mengabarkan bahwa AURI jika GIA sudah mengoperasikan lapangan terbang Blang Bintang, AURI akan segera menggunakan lapangan terbang Nga Sekarang.
Tampaknya bandara Blang Bintang disegerakan diduga terkait dengan kunjungan Presiden Soekarno ke Atjeh. Sementara persiapan pengoperasian layanan GIA ke Atjeh dan segera setelah sistem aviasi lapangan terbang Blang Bintang selesai, Presiden Soekarno berkunjung ke Atjeh di Koeta Radja. Presiden Soekarno pernah berkunjung ke Kota Radja pada tahun 1948 pada era Perang Kemerdekaan (saat itu ibu kota RI di Djogjakarta).
Presiden Soekarno melakukan kunjungan dinas ke Atjeh pada bulan Agustus 1951 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-08-1951). Dalam kunjungan dua hari di Kota Radja Presiden Soekarno didampingi Gubernur Sumatra Utara Abadul Hakim Harahap, Kolonel Simbolon (panglima) dan Darwin Karim (kepala kepolisian Sumatra Utara). Catatan: Provinsi Sumatra Utara terdiri dari tiga residentie (Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur).
Pada bulan Oktober Ir. Tarip A. Harahap berangkat ke Australia untuk mempelajari sistem penerbangan sipil yang mencakup kontrol lalu lintas udara, komunikasi, pelatihan staf dan pilot, serta penerbangan umum di Australia. (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-10-1951).
Sehubungan dengan semakin banyaknya lapangan terbang yang dioperasikan dan untuk mengantisipasi standardisasi penerbangan sipil serta peningkatan kapasitas (berbagai jenis) pesawat-pesawat komersil, Departemen Penerbangan Sipil mulai bembentuk komisi penerbangan sipil. Komisi dibentuk untuk memperkuat kinerja Departemen Penerbangan Sipil dan juga melakukan pengawasan langsung terhadap kelayakan lapangan terbang. Komisi ini terdiri dari berbagai bidang keahlian.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1952 melaporkan di Medan telah dibentuk sebuah komisi penerbangan (civil aviation) dalam rangka mengevaluasi kelayakan bandara Polonia Medan dan juga untuk melakukan studi persiapan bandara Blang Bintang di Kota Radja (kini Banda Aceh) untuk persiapan pendaratan jenis pesawat Convalrs. Komisi terdiri dari Tarip Abdullah Harahap (ketua).
Selama Ir. Tarip Abdullah Harahap menjabat sebagai Kepala Departemen Penerbangan Sipil (yang pertama), sebanyak 30 bandara dioperasikan untuk penerbangan sipil dan sebanyak 20 buah bandara baru yang dibangun (termasuk bandara Curug, Tangerang. Pembangunan bandara di Tjurug, Tangerang, untuk pelatihan pilot, menelan biaya sebesar Rp 1952. 1.900.000 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-02-1953).
Sementara itu sebanyak 100 siswa saat ini sedang dilatih untuk menguasai bandara, operator menara, operator telegraf radio, mekanik dan insinyur radio di Tangerang, disebutkan sudah ada tiga orang yang pelatihan dari Schiphol dan dua dari Australia yang sudah kembali. Mereka telah mengikuti pelatihan Airtraffic Controller selama enam bulan. Pada bulan April, seorang insinyur penerbangan akan berangkat ke Australia, seorang pejabat ekonomi untuk Kanada, seorang perwira teknis radio untuk Amerika, dan seorang wakil ketua bandara untuk Inggris. Mereka akan mengikuti kursus enam hingga dua belas bulan di sana (lihat De nieuwsgier, 03-03-1953).
Pada bulan Juni 1953 bandara di Indonesia mulai dimodernisasi (lihat De nieuwsgier, 12-06-1953). Disebutkan peralatan kontrol lalu lintas radio yang baru mulai dioperasikan yang pertama di bandara Talang Betutu di Palembang pada hari Rabu pagi. Unit ini, yang sangat modern, yang tahun lalu oleh Kementerian Koneksi dipesan di Inggris. Ir Tarip Abdullah Harahap dari kementerian menyatakan kepada PIA bahwa total ada sebanyak 30 unit yang dipesan oleh kementerian di Inggris. Bandara kedua yang akan mendapatkan unit seperti itu setelah Palembang adalah bandara Makassar, demikian menurut Ir. Harahap.
Setelah jalur Soerabaja ke Ambon via Makassar selesai, Direktorat Penerbangan Sipil memastikan kelayakan lapangan-lapangan terbang yang ada di Denpasar, Sumbawa, Waingapu, Kupang, Mauere dan Makassar (lihat Java-bode:nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1954). Sejak saat inilah lapangan terbang Denpasar direvitalisasi dari lapangan terbang militer menjadi bandara sipil. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-06-1954: ‘Ir. T Harahap, kepala departemen teknis dari Layanan Penerbangan Sipil dari Kementerian Perhubungan, yang telah melakukan perjalanan orientasi satu bulan ke Prancis, baru-baru ini kembali ke Indonesia. Ir. Harahap menjelaskan kepada PI dan Aneta bahwa perjalanannya terutama ditujukan untuk mempelajari teknologi untuk pembangunan bandara.
Dalam perkembangannya, setelah sistem penerbangan sipil nasional berjalan dengan baik, akhirnya Ir. Tarip Abdullah Harahap diangkat menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) yang baru di Medan (lihat Sumatra, 15-11-1957).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bandara Sultan Iskandar Muda: Bandara Internasional
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar