Sabtu, 20 Februari 2021

Sejarah Ternate (8): Lingua Franca Bahasa Melayu di Ternate; Ragam Bahasa Daerah pada Masa Kini di Provinsi Maluku Utara

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Ternate dalam blog ini Klik Disini 

Begitu banyak bahasa daerah (etnik) di nusantara (Hindia Timur), dalam wilayah yang lebih kecil di Ternate (Halmahera) juga begitu banyak bahasa daerah. Lantas bagaimana itu semua bermula? Yang jelas di masa lampau sebelum kehadiran orang-orang asing (Moor, Portugis dan Spanyol) sudah ada penduduk di pulau Halmahera dan sekitar. Penduduk asli inilah yang membentuk bahasa daerah. Kehadiran orang asing dipersatukan dengan menggunakan lingua franca bahasa Melayu. Bahasa-bahasa asli dan bahasa Melayu ini saling memperkaya.

Pada masa ini di pulau Halmahera, pulau Ternate dan pulau-pulau lainnya (kini Provinsi Maluku Utara) paling tidak terdapat sebanyak 19 bahasa daerah (bahasa etnik), yaitu: Bacan, Bajo, Buli, Galela, Gane, Gorab, Ibu, Kadai, Makian Dalam, Makian Luar, Melayu, Modole, Patani, Sahu, Sawai, Sula, Taliabu, Ternate dan Tobelo. Sebagai lingua franca di masa lampau, bahasa Melayu di Maluku Utara penuturnya terdapat di di kelurahan Togafo, kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate (dialek Melayu Ternate) dan desa Bobaneigo, kecamatan Kao Teluk, kabupaten Halmahera Utara (dialek Melayu Gorap).

Bagaimana sejarah penyebaran bahasa Melayu di Maluku Utara? Pada masa lampau di nusantara sudah terbentuk lingua franca. Dimana awal bahasa lingua franca ini terbentuk tidak diketahui secara jelas. Lingua franca itu digunakan dalam perdagangan di berbagai kota-kota pelabuhan yang diduga sebagai perkembangan lebih lanjut bahasa Sanskerta. Prasasti Kedukan Bukit (Palembang) akar bahasa lingua franca ini sudah terlihat. Pada era Portugis (yang berpusat di Malaka), lingua franca ini dipopulerkan sebagai bahasa Melayu. Lantas bagaima bahasa Melayu eksis hingga ini hari di Maluku Utara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Lingua Franca di Nusantara: Bahasa Melayu

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Melayu di Maluku Utara

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar