Senin, 20 September 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (122): Sejarawan Anhar Gonggong, Pangeran Mahkota dari Kerajaan Alitta; Riwayat Tragedi Westerling

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarawan kawakan, Sartono Kartodirdjo sudah lama tiada (meninggal di Yogyakarta 7 Desember 2007). Tapi tentu saja masih banyak sejarawan Indonesia. Salah satu sejarawan Indonesia terkenal masa ini adalah Anhar Gonggong. Lantas apa keutamaan Anhar Gongong dalam sejarah Indonesia? Tentu saja bukan hanya karena ahli sejarah Indonesia. Anhar Gongong juga dapat disebut yang mengalami sejarah masa lampau Indonesia. Pangeran mahkota dari Kerajaan Alitta ini, tidak terlalu mengenal ayahnya, tetapi sangat mengenal sejarah Indonesia, lebih-lebih di Sulawesi Selatan.

Dr. Anhar Gonggong, M.A. (lahir 14 Agustus 1943) adalah sejarawan Indonesia (lihat Wikipedia). Menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada, (1976), lalu melanjutkan studi di Universiteit te Leiden dan mendapat gelar doktor dalam bidang ilmu sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 1990 (pada tahun ini saya diangkat sebagai asisten peneliti di Universitas Indonesia). Anhar Gonggong pernah menjabat sebagai Direktur Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1996-1999); Deputi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Bidang Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia (2001-2003); dan dosen pembimbing bidang studi sejarah pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (sejak 1991). Beberapa karya Anhar Gonggong, diantaranya adalah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (1984); Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot hingga Pemberontak (1992); dan Amendemen, Konstitusi, Otonomi Daerah dan Federalisme, Solusi untuk Masa Depan (2001).

Lantas bagaimana sejarah sejarawan terkenal Anhar Gonggong? Seperti disebut di atas, Anhar Gonggong adalah salah satu sejarawan Indonesia masa kini. Tentu bagaimana sejarah beliau sudah ada yang menulisnya. Mungkin itu sudah cukup. Namun bagaimana latar belakang Anhar Gonggong sehingga menjadi sejarawan tentu saja belum sepenuhnya digali. Anhar Gonggong, boleh jadi tidak sekadar putra mahkota dari Kerajaan Alitta di Sulawesi Selatan, tetapi keluarga mengalami peristiwa sejarah berdarah akibat ulah Kapten Westerling (1946/1947). Bagaimana semua itu terhubung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kerajaan Alitta hingga Raja Andi Pananrangi

Kerajaan Alitta tergolong sebagai kerajaan tua, namun tidak diketahui secara pasti kapan terbentuk. Berdasarkan Peta 1753 nama-nama Sidenreng dan Soppeng diidentifikasi sebagai wilayah yang luas dan kerajaan besar di  pedalaman. Kerajaan yang lebih besar diidentifisikasi di pantai timur (Bone). Kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di pantai barat antara lain Tanette, Barroe dan Sawito. Diantara kerajaan-kerajaan pedalaman dan kerajaan pantai barat ini diidentifikasi nama (kerajaan) Latta yang diduga sebagai kerajaan Alitta. Pada saat permulaan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda, nama (kerajaan) Alitta diberitakan (lihat  Bataviasche courant, 26-07-1825).

Pasca pendudukan Inggris (1811-1816). Pemerintah Hindia Belanda masih konsolidasi di (pulau) Jawa. Sementara itu Inggris masih sangat kuat di pantai barat Sumatra (terutama di Bengkoeloe dan Padang). Hal itu yang menyebabkan ketika pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra, ibu kota ditetapkan di Tapanoeli dengan dengan menempatkan seorang Asisten Residen (sejak 1819). Segera setelah Tractaat London, 1824, ibu kota direlokasi dari Tapanoeli ke Padang. Pada saat inilah Pemerintah Hindia Belanda di Makassar memperluas cabang pemerintahan ke arah utara pantai barat Sulawesi (termasuk wilayah di belakang pantai) seperti Sidenreng dan Soppeng. Seperti halnya di pantai barat Sumatra di wilayayh belakang pantai, para pemimpin lokal (terutama Padri) menolak kehadiran pemerintah Hindia Belanda, para pemimpin (kerajaan) Bone juga menolak dan melakukan perlawanan. Aliansi kerajaan Bone dalam hal ini termasuk kerajaan-kerajaan di pedalaman (Soppeng dan Sidenreng) yang melakukan perlawanan terhadap kehadiran pemerintah. Sejumlah kerajaan kecil yang merujuk kepada Soppeng dan Sidenreng juga terlibat perang seperti (kerajaan) Alitta. Namun menjadi masalah ketika perang berlangsung selama setahun, para pemimpin Soppeng dan Sidenreng serta sekutu-sekutunya seperti Alitta mulai kewalahan karena dikeja-kejad militer Hindia Belanda (yang dibandu pasukan Sumanap). Oleh karena permintaan bantuan ke Bone tidak kunjung datang, para pemimpin lokal mulai menyadari bahwa situasi telah berubah dan boleh jadi atas ketidak pedulian Bone tersebut para pemimpin lokal seperti kerajaan Alitta bersedia bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian disusul yang lainnya termasuk Sidenreng dan Soppeng (lihat kembali (lihat  Bataviasche courant, 26-07-1825). Sejak inilah kerajaan Alitta bekerjasama dan menjadi bagian dari cabang pemerintahan Hindia Belanda. Sementara kerajaan Bone masih terus melakukan perlawan dan tidak bersedia bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Sejak 1825, meski sudah ada beberapa kerajaan yang bekerjasama dalam pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda, namun situasi dan kondisi di semenanjung selatan Sulawesi tidak pernah kondusif. Perlawasan Bone masih terus berlangsung. Untuk mengatasi situasi yang berlarut-larut, Batavia mempromosikan Residen Tapanoeli Kolonel Alexander van der Hart untuk menjadi Gubernut Celebes en Onderh tahun 1853. Dia dianggap telah berhasil selama di Residenrtie Tapanoloe (sejak 1845). Selama awal kepemimpinannya di Makassar banyak membuat kemajuan bahkan di ke Paloe (teluk Donggala),

Dua wilayah yang tengah bergolak pada dekade tersebut adalah Bali dan semenanjung selatan Sulawesi (terutama pantai timur). Untuk mengatasi di Bali dikirim Gubernur Sumatra;s Westkust (Gen, Maj) AV Michiels dan Kol A van der Hart ke Makassar. A van der Hart sendiri adalah anak buah terbaik Kol AV Michiel ketika Perang Padri. Saat itu A van der Hart yang masih berpangkat kapten, dengan detasemennya berhasil masuk ke jantung pertahaan Padri di Bondjol tahun 1837 yang menyebabkan Tuanku Imam Bondjol dapat dilumpuhkan dan ditangkap. Pasca Perang Padri, Kol AV Michiel dipromosikan sebagai gubernur Sumatra;s Westkust (yang pertama) pada tahun 1838. Beberapa tahun kemudian ketika Residentie Tapanoeli dibentuk 1845, AV Michiels memanggil Major A van der Hart dari Batavia untuk dipromosikan menjasdi Residen Tapanoeli dengan kenaikan pangkat menjadi Luit. Kol. Namun dalam perkembangannya, Kol A van der Hart mati konyol terbunuh oleh pembantunya sendiri di Makassar (1855). Nasib sial A van der Hart. Jago tembak memang tidak pernah mati tertembak, tetapi dapat mati konyol dengan cara lain bahkan dengan alasan yang sepele dan dengan cara yang justru sangat sederhana. Sejak kematian A van der Hart pemerintah Hindia Belanda semakin menekan (kerajaan Bone) dan berhasil dilakukan.  

Kerajaan Alitta sebagai kerajaan kecil dan berada (jauh) di belakang pantai kurang terinformasikan. Namun tentu saja semua aspek kehidupan berjalan normal sejak menjadi bagian dari cabang Pemerintah Hindia Belanda. Nama kerajaan Alitta baru diberitakan kemudian pada tahun 1861. Pada saat situasi dan kondisi di wilayah semenanjung selatan Sulawesi sudah kondusif (setelah pembebasan Bone).

Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 16-12-1861: ‘Sebuah surat diterima dari Ratu (vorstin) Alitta, berisi pemberitahuan resmi bahwa kerajan Soepa telah memilih ratu, Maddellong Aroe Kajoeara, putri berusia 16 tahun dari Ratu Boni yang diturunkan tahtanya’. Kerajaan Soepa berada di pantai barat yang menjadi tetangga kerajaan Alitta. Dua kerajaan ini mengindikasikan dipimpin oleh masing-masing seorang ratu.

Untuk menjaga perdamaian di wilayah semenanjung selatan Sulawesi, pemerintah Hindia Belanda mempromosikan JA Bakker sebagai Gubernur Celebes untuk menggatikan WF Kroesen (sejak 6 Juli 1865). JA Bakker sendiri berposissi sebagai pejabat tinggi di kantor Gubernur. Ini seakan mengingatkan ketika Kol A van der Hart dipromosikan menjadi Gubernur Celebes tahun 1853. Saat JA Bakker menjadi Gubernur situasi perang hanya terjadi di Bandjarmasin (perlawanan Pangeran Antasari).

JA Bakker pada tahun 1824 ketika terjadi ekspedisi militer di wilayah Soppeng dan Sidenreng masih berpangkat letnan. JA Bakker saat itu dengan pletonnya adalah pasukan pertama yang memasuki wilayah pedalaman dan berhasil melakukan tugas dan tanpa ada korban di pihaknya. Hal serupa itu yang pernah terjadi pada saat Kapten A van der Hart berhasil memasuki wilayah yang tidak dikenal di pusat pertahanan Bondjol tahun 1837.

JA Bakkers masih tetap sebagai Gubernur untuk waktu yang lama. Sejak 1870 fungsi Gebernur di Amboina telah dilikuidasi dan diturunkan hanya setingkat Residen. Dengan demikian, Gubernur hanya terdapat di Celebes (JA Bakkers) dan Sumatra’s Westkust (Elisa Netscher, sejak 1870). Dalam situasi dan kondisi yang kondusif di semenanjung selatan Celebes tiba-tiba muncul berita tentang (kerajaan) Alitta (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 19-06-1872). Disebutkan antara kerajaan Alitta dan (kerajaan) Sidenreng terjadi permusuhan (keributan) soal perbatasan. Kedua belah pihak disebutkan telah sama-sama meminta pemerintah di Makassar turun tangan.

Sesungguhnya antara dua kerajaan di masa lampau cukup damai (karena berasal dari asal-usul yang sama). Sejak ditempatkan gubernir militer di Makassar 1824, wilayah utara dijadikan satu residentie (Noorder Afdeeeling) ibu kota di Maros. Dalam pembentukan pemerintahan lokal dibentuk federasi kerajaan Adja Tamparang yang dipimpin oleh Raja Sidenreng. Pada era Gubernur van der Hart adalah Mohamad Ali gelar La Pangorisang (lihat Almanak 1854). Federasi Adja Tapparang yang merupakan kerajaan di wilayah pantai barat Sulawesi terdiri dari lima kerajaan: Sidenreng, Soeppa, Rappang, Sawitto, dan Alitta.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kekejaman Westerling: Sejarawan Anhar Gonggong

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar