*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Ada sebanyak 17 orang Pahlawan Naisonal wanita Indonesia. Ada yang yang sudah berumur dan ada yang masih belia. Ada yang berasal dari zaman lampau dan ada yang muncul pada era perang kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan senjata, ada yang berjuang lewat pendidikan dan pengembangan masyarakat. Empat Pahlawan Nasional dari wilayah berbeda antara lain adalah Martha Christina Tiahahu (Saparua, Maluku), Cut Nyak Dien (Aceh, Sumatra) Raden Ajeng Kartini (Jepara, Jawa) dan Maria Walanda Maramis (Minahasas, Sulawesi), Empat Pahlawan Nasional ini dibuat dalam dua artikel.
Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional wanita Indonesia? Seperti disebut di atas, terdapat sebanyak 17 orang yang sudah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Dalam hal ini akan diperhatikan empat diantara Pahlawan Nasional yang mewakili pulau yang berbeda yakni Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, Raden Ajeng Kartini dan Maria Walanda Maramis yang dideskripsikan dalam dua artikel. Lalu bagaimana sejarah Martha Christina Tiahahu asal Nusa Laut, Maluku dan Cut Nyak Dien dari sungai Woyla, Aceh di pantai barat Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Pahlawan
Nasional Wanita Asal Pulau Nusa Laut, Maluku: Martha Christina Tiahahu (Bersama Sang Ayah dan Kapiten Pattimura)
Martha Christina Tiahahu adalah Pahlawan Nasional Indonesia termuda (usia 17 tahun), salah satu Pahlawan Nasional wanita. Martha Christina Tiahahu lahir 4 Januari 1800 di Abubu, Nusa Laut (meninggal 2 Januari 1818 di Laut Banda). Martha Christina Tiahahu berjuang bersama sang ayah, yang satu era dengan Kapiten Pattimura dari Saparua (juga telah ditabalkan Pahlawan Nasional). Martha Christina Tiahahu ditabalkan Pahlawan Nasional tanggal 20 Mei 1969.
Berdasarkan berita 's Gravenhaagsche courant. 10-12-1817 perang di tiga pulau di Maluku (yang dipimpin oleh Kapten Pattimura) dapat dikatakan bukan perang kecil. Surat kabar Bataviasche courant, 21-02-1818 merangkum perang yang dilakukan pada ekspesisi pada tanggal 2 November dengan kemenangan besar. Disebutkan dalam perang itu yang dipimpin Major Meijer juga dengan menyertakan satu korvet Zualuv dan kapal sewaan Dispatch (milik Inggris?). Dalam perang ini dibantu oleh Alifurun ( penduduk asli Maluku) dan orang Eropa di Ambon. Perang dimulai di Kailolo dan Pelau di Harokoe tanggal 2 dan 3 November dan tangal 8 menuju Saparoea. Pada tanggal 11 di Oelat dan Ouw menghadapai lawan dalam jumlah besar. Pada akhirnya Para pemimpin perlawanan Thomai, Matuleisie, Antonie Reebok dan Pattie van Tiouw dapat ditangani dan para tahanan dengan armada kora-kora Ternate (para pemimpin Ternate yang menyertai ekspedisi ini telah memberikan banyak jasa) dibawa ke Loehoe untuk dihukum.
Major Meijer yang memimpin ekspedisi ke pulau-pulau di timur Amboina ini juga disebutkan meninggal setelah mengalami luka-luka yang diperolehnya di Saparoea (lihat Bataviasche courant, 28-03-1818).
Dalam konteks inilah Martha Christina Tiahahu disebutkan berjuang bersama sang ayah di pulau Nusa Laut. Martha Christina Tiahahu adalah Pahlawan Nasional Indonesia termuda (usia 17 tahun), salah satu Pahlawan Nasional wanita. Martha Christina Tiahahu lahir 4 Januari 1800 di Abubu, Nusa Laut (meninggal 2 Januari 1818 di Laut Banda).disebutkan menjinggal muda usia 17 tahun pada tanggal 2 Januari 1818 di Laut Banda.
Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien pada tahun 1880, Almarhum suaminya Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda. Teuku Umar berdamai dengan pemerintah pada tahun 1883. Pada tahun 1884 kapal Inggris Nicero terdampar dan disandera oleh raja Teunom dan menuntut tebusan senilai 10 ribu dolar tunai. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda. Namun ekspedisi yang pimpin oleh Teuku Umar berhasil disergap Trumon. Sejak itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Pada bulan September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang Panglima bawahannya, Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. uku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah. Pada Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat di perbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya dan dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh (lihat Wikipedia).
Sebelum gugur, Teuku Umar sempat menemui istrinya Cut Nyak Dhien (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-01-1899). Disebutkan Teuku Umar baru diketahui bahwa dia, dengan ditemani sekitar 70 orang bersenjata, telah pergi dari Tereunom ke Paseh-Atjeh di sungai Wojla untuk mengunjungi istrinya Tjoet Din disana, Seperti kita lihat nanti, dari kampong istrinya, Cut Nyak Dien di Waijla berhasil mengumpulkan sebanyak 500 pucuk senjata (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 21-03-1899).
Dalam upaya Teuku Umar ke Meulaboh, pemerintah telah mengantisipasi (sejak tanggal 3 Februari). Batalyon Keenam dibagi menjadi lima kompi, salah satunya menempati bivak di Marit di sungai Merbau sedangkan empat kompi lain dan Brigade Marechaussee maju melawan Umar. Gubernur dan Ajudannya juga pergi ke Melaboe (lihat Deli courant, 22-02-1899). Di pantai timur sendiri sudah mulai kondusif karena kereta api sudah dibangun dari Medan ke Sigli. Pemerintah sudah banyak membentuk cabang pemerintahan, Hanya tinggal yang tersisa di pantai barat dimana Teuku Umar akan datang (pemerintah tinggal menunggu perangkap). Menurut pers begitu sering pemerintah ditipu, kini gilirannya. Teuku Umar terjebak dan tertembak. The Last Mochican van West Atjeh tamat.
Limburger koerier, 28-02-1899: ‘Hindia Belanda. Kami diberitahu kemarin bahwa Teuku Umar dimakamkan pada tanggal sepuluh hari ini. Laporan di majalah kami ini ditentang oleh korespondensi dari Batavia ke Rotterdammer yang baru dan dengan telegram ke N. v.d. D. keduanya menunjukkan tanggal sembilan belas sebagai hari penguburan. Jadi sepertinya reporter kami tidak diberi tahu dengan benar apakah ada kesalahan yang menyusup ke dalam telegram. Belakangan dikabarkan bahwa janda Teuku Umar, Tjoet Nja Din. Berada di Langgo. Tjoet Nja Din adalah seorang wanita yang sangat cerdas, yang, seperti yang dikehendaki, tahu bagaimana menjaga Teuku Umar tetap di bawah kendali. Dia adalah keponakan Teuku Umar dan saudara perempuan dari kepala VI Mukim (selatan stelling). Karena saudara ini bodoh, Tjoet Nja Din sebenarnya menguasai lanskap itu dan dia memerintah dengan tangan yang kuat. Ini seharusnya tidak mengejutkan, karena pemerintahan perempuan sering terjadi’. Teuku Umar dimakamkan pada tanggal 19 Februari di Mogat dimana ibunya dimakamkan (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 28-02-1899). Disebutkan mata-mata melaporkan bahwa Teuku Umar telah terbunuh atau terluka parah demikian telegram yang kami distribusikan pada tanggal 15.
Teuku Umar telah tiada. Hanya tinggal satu lagi yang yang memimpin perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda yakni Sisingamangaradja XII di Tanah Batak. Tampaknya Tjoet Nyak Dien melanjutkan perjuangan sang suami, Tjoet Nyak Dien sendiri adalah pemimpin di kampongya (mengambil peran saudara-saudaranya). Dalam hal ini Tjoek Nyak Dien adalah dari pemimpin dan tetap pemimpin, Deli courant, 01-03-1899 melaporkan pasukan Van der Dussen ditarik kembali ke Meulaboh dan sekarang akan dilanjutkan melawan Tjut Nja Din, yang merupakan bagian dari komplotan di hulu Sungai Merbau.
Sisingamangaradja XII di Tanah Batak sejak 1876 tidak pernah bekerjasama dengan Belanda dan terus menentang Pemerintah Hindia Belanda. Seperti Teuku Umur ruang geraknya hanya tersisa di Meulaboh, Sisingamangaradja XII ruang geraknya hanya tersisa di barat laut danau Toba (Dairi) wilayah yang langsung terhubung dengan Acheh (bagian barat daya). Sisingamangaradja XII dalam suatu pengejaran dan pengepungan tertembak dan gugur pada tangga 17 Juni 1907.
Tjut Nja Din telah bergabung dengan sisa pasukan Teuku Umar (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad. 11-03-1899). Disebutkan Radja Batak, putra Tjoet Nja Din, telah bertindak sebagai pemimpin perlawanan, di bawah asuhan Teungkoe Itarn Tabor, Said Manoet dan Panglima Harom, sementara Teungkoe Kabla dan Habib Hoesin bertindak sebagai penasihat. Sementara di sisi lainnya Teungkoe Gedong, putra sulung mendiang Toekoe Umar mengklaim kekuasaan di Melaboeh dengan sangat kuat.
Bagaimana Raja Batak memimpin perang, atas persetujuan, sang ibu Tjut Nyak Dien tentulah sangat menarik. Sebab perang pantai barat Aceh dapat dikatakan adalah perang keluarga. Sang suami telah gugur pada tanggal 11 Februari. Kini Tjut Natk Dien sebagai istri melanjutkan perang dengan menunjuk sendiri panglimanya, yang notabene putranya sendiri, Radja Batak. Apakah bentuk perlawanan baru keluarga Tjut Nyak Dien ini terhubung dengan perlawanan tidak henti di tetangga sebelah yang dipimpin oleh Radja Sisingamangaraja XII?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar