Jumat, 09 Desember 2022

Sejarah Madura (25): Garam dan Industri Garam di Madura; Asam di Gunung Garam di Laut, Mangapa Ada Garam di Grobogan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Garam dan Industri Garam di Madura. Keren ya. Nah, itulah pulau Madura. Satu hal yang penting soal garam, karena menjadi sumber mineral yang esensial bagi tubuh dan garam itu banyak diproduksi di Madura. Kontribusi Madura soal garam sudah berlangsung sejak lama, dan begitu penting pada er Hindia Belanda. Hal yang lain soal garam adalah mengapa ada garam di pedalaman Jawa di Grobogan? Lalu pada era VOC/Belanda, di kampong saya di district Angkola di pedalaman Sumatra bagiuan utara (kini Tapanuli Selatan) garam dijadikan sebagai alat tukar (lihat Daghregister 3 Maret 1703). 


Kompas.com mengkompilasi dari beberapa sumber: Pulau Madura memiliki julukan Pulau Garam, karena penghasil garam terbesar di Indonesia. Semua kabupaten di Pulau Madura memiliki tambak garam, dengan proses penjemuran untuk memanen kristal garam sebelum diolah. Cara pengolahan garam rakyat dikenal dengan sebutan 'Madurese', cara orang Madura untuk membuat garam. Garam diambil mulai dari lapisan terbawah hingga atas, dan para petani garam secara tradisional memindahkan air laut antarmeja garam. Secara nasional Indonesia mencatat produksi garam sebanyak 1.020.925 ton. Sebanyak 372.728 disumbangkan dari Jawa Timur dimana Sumenep mencatat produksi garam sebanyak 126.662 ton. Capaian itu menjadi jumlah produksi garam terbesar di Jatim. Masih tahun 2017 Sumenep jadi produsen garam terbesar kedua di Tanah Air setelah Indramayu di urutan pertama produksi 167.930 ton. Sampang menghasilkan garam sebanyak 110.343 ton, Pamekasan 40.613 ton, dan Bangkalan sebanyak 3.352 ton. Salah satu keunikan Madura adalah pekatnya air laut di perairan sungai dan muara yang memiliki kandungan mineral garam tinggi. Hal ini disebabkan oleh tidak banyaknya sungai dan muara serta sumber air tawar di wilayah tersebut. Topografi yang relatif datar di sisi selatan juga memudahkan untuk membangun tambak garam. Selain itu Pulau Madura juga memiliki musim kering yang panjang antara 4 hingga 5 bulan yang memungkinkan petani garam mendapatkan hasil maksimal (ttps://surabaya.kompas.com/)

Lantas bagaimana sejarah garam dan industri garam di Madura? Seperti disebut di atas pulau Madura terkenal dengan garam karena produksi yang tinggi Produksi garam di Madura sudah sejak lama. Soal garam sesuai pepatah ‘asam di gunung dan garam di laut’. Namun pepatah itu tidak berlaku di tempat lain sebab ada sumber garam di Grobogan di pedalaman Jawa. Lalu bagaimana sejarah garam dan industri garam di Madura? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Garam dan Industri Garam di Madura; Asam di Gunung Garam di Laut, Mangapa Ada Garam di Grobogan

Garam diduga menjadi salah satu komoditi perdagangan kuno sejak era awal perdagangan emas, kamper dan kemenyan (era Hindoe Boedha). Pada era Portugis tidak ada indikasi pentingnya garam sebagai komoditi perdagangan. Garam sebagai komoditi perdagangan baru tampak secara intens pada awal era Pemerintahan VOC, paling tidak tahun 1661 (lihat Daghregister, 26-10-1661). Oleh pedagang-pedagang VOC, garam dibawa ke Maluku (Banda dan Amboina). Besar dugaan garam ini dijadikan oleh pedagangan VOC untuk pertukaran dengan rempah-rempah.


Besar dugaan komoditi garam didapatkan di Jawa dan kemudian dibawa ke Maluku. Namun tidak diketahui dimana sentra produksinya. Dalam catatan kasteel Batavia, Daghregister, 18-11-1684 kapal Hellevoetsluys berangkat ke Sumatra’s Westcust dengan muatan garam Jawa dengan nilai f 35.083. Kapal fluyt de Geele Beer dengan kargo garam Bersama orang-orangnya tenggelam di laut (lihat Daghregister, 02-02-1685). Tidak disebutkan dimana tenggelam. Kapal Bootje't Wout berangkat ke Poulo Chinco dengan muatan garam (lihat Daghregister, 27-10-1685). Demikian seterusnya hingga pada tahun 1803 dilaporkan kapal brik Inggris dengan garam tiba di Bencoolen (lihat Daghregister, 04-02-1803). Selama era VOC/Belanda tidak disebutkan nama Madura atau nama-nama tempat di pulau Madura terkait garam, melainkan kota Rembang dan Semarang. Selama itu juga ada beberapa kapal dengan garam ke Goede Hoop (Afrika Selatan). Dimana sentra produksi garam selama era VOC tidak diketahui secara pasti apakah di Rembang, Semarang atau tempat lain. Yang jelas pelabuhan Rembang dan Semarang cukup berperan.

Setelah era (kerajaan) Arosbaja meredup (kota pertama yang dikunjungi olehpelaut-pelaut Belanda pada tahun 1596), selama era VOC/Belanda tidak pernah disebut nama Madoera atau nama-nama tempat di pulau Madura (Arosbaja, Sampan/Sampang. Pamakassan dan Sumanap serta Madura/Maduretna) dalam hubungannya dengan perdagangan garam. Ini mengindikasikan bahwa sentra produksi garam masih terbatas hanya di pantai utara Jawa (dimana jelasnya kurang terinformasikan).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Asam di Gunung Garam di Laut, Mangapa Ada Garam di Grobogan: Sejak Kapan Produksi Garam di Pulau Madura?

Nama-nama tempat di pulau Madura dihubungkan dengan garam baru muncul pada era (pendudukan) Inggris (lihat Java government gazette, 18-09-1813). Disebutkan dalam satu keputusan bea dikeluarkan atas ekspor garam dihapuskan sejak tanggal ini namun setiap yang mau melakukan ekspor harus mangujukan permohonan ke Agen Garam Distrik dimana tempat dimana terdapat Storekeeper. di Batavia, Cheribon, Samarang, Grissee, Sourabaya, atau Sumanap. Harga yang ditetapkan 7 Dolar Spanyol per Coyang sebanyak 30 piculs. Dari informasi ini diketahui di (pulau) Madura (Sumanap) sebagai salah satu sentra produksi garam.


Tampaknya pemerintah pendudukan Inggris telah menerapkan kebijakan yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya Pemerintah Hindia Belanda (hingga era Gubernur Jenderal Daendels). Pada era Daendels pendapatan bea dari perdagangan garam cukup signifikan (lihat Bataviasche koloniale courant, 31-05-1811). Boleh jadi strategi Inggris ini dimaksudkan untuk menarik simpati bagi stakeholder sebagai pengausa baru di Hindia khususnya di Jawa. Produk-produk yang dikenal bea pedagangan antara lain barang pecah belah, kayu bakar, garam, padie (lihat  Bataviasche koloniale courant, 08-03-1811).

Berdasarkan keputusan yang baru Depot (Gudang) garam terdapat di Bantam, Batavia, Cheribon, Tagal, Samarang, Rembang, Grissee dan di (pulau) Madoera di Sampang (di Bangcallang), Chandy di Pamakassan dan di Sumanap (lihat Java government gazette, 04-12-1813. Keputusan ini ditandatangani Thos. S Raffles di Semarang tanggal 22 November 1813 yang diundangkan (ordonansi) di Batavia oleh sekretaris tanggal 29 November 1813. Catatan: meski ibu kota selama pendudukan Inggris di Batavia/Buitenzorg, tetapu secara defacto Luit. Generaal Raffles lebih sering di Semarang.


Pendudukan Inggris (terutama di Jawa) tidak berlangsung lama (berakhir 1816). Pemerintah Hindia Belanda Kembali berkuasa. Dalam masa konsolidasi baru ini Komisaris Jenderal menetapkan sejumlah individu untuk mewakili pemerintah di sejunlah tempat (semacam pendahulu Resident) termasuk di Madura yakni EJ Roesler di Soemanap (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 14-01-1817). Dalam keputusan ini juga disebut untiuk posisi Superintenden Departemen Garam adalah P Veeris.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar