*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini
Pada era Pemerintah Hindia Belanda dilakukan
dua kali sensus. Hasil sensus pendudukan tahun 1920 (SP 1920) jumlah migran terbanyak
di Jawa berasal dari Minahasa. Orang Batak berada di urutan kedelapan (868
jiwa). Dalam SP 1930 bagaimana migrasi orang Jawa dan orang Madura
mengindikasikasi terdapat di banyak wilayah. Sejarah migrasi orang Madura
sendiri sudah berlangsung lama, dimulau di wilayah pantai timur Jawa terutama
di wilayah Soerabaja dan wilayah Tapal Kuda.
Migrasi Orang-Orang Madura Ke Jawa Timur Tahun 1870-1930. Andreas Kresnan Hadi (Skripsi 2016). Abstrak: Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan di Madura dan kota-kota di pantai Jawa Timur membawa dampak besar bagi kedua belah pihak, khususnya masyarakat Madura. Dengan munculnya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, membuat Jawa Timur menjadi kawasan perkebunan yang besar. Serta membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar pula. Masyarakat Madura dengan geografis dan ekonominya yang buruk, tidak melewatkan kesempatan ini. Atas dasar faktor ekonomi sebagian besar masyarakat Madura bermigrasi ke wilayah Jawa Timur. Banyak yang menetap dan tinggal disana, namun ada pula yang tetap pulang ke Madura tiap bulannya. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui faktor penarik dan pendorong, serta dampaknya bagi orang Madura dan masyarakat asli Jawa Timur dari adanya migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur tahun 1870-1930. Penelitian ini menggunakan metode penelitian historis, dengan tahapan. heuristik pencarian sumber sejarah, kritik sumber, interpretasai penulisan sejarah. Faktor ekonomilah yang menjadi motivasi utama, ketika masyarakat Madura bermigrasi ke Jawa Timur. Banyaknya lahan-lahan perkebunan baru yang membutuhkan tenaga kerja, membuat peluang kerja mereka semakin besar, proses migrasi tersebut tejadi secara berantai. Dampak migrasi di daerah tujuan pada akhirnya menyebabkan terjadinya pertumbuhan penduduk, bertambahnya tingkat kepadatan penduduk, perkembangan wilayah, diferensiasi sosial dan mobilitas sosial. (http://library.fis.uny.ac.id)
Lantas bagaimana sejarah migrasi orang Madura, orang Madura bermigrasi? Seperti disebut di atas, pada masa ini orang Madura terdapat di banyak tempat, tidak hanya di pulau Madura. Namun bagaimana orang Madura menyebar menjadi manarik dipelajari seperti di Tuban, Soerabaya dan timur Jawa di wilayah Tapal Kuda. Sejak kapan? Lalu bagaimana sejarah migrasi orang Madura, orang Madura bermigrasi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Migrasi Orang Madura, Orang Madura Bermigrasi; Tuban, Soerabaya dan Wilayah Tapal Kuda Timur Pulau Jawa
Madura adalah suatu pulau yang terpisah dari pulau Jawa. Itu yang tertulis dalam teks Negarakertagama (1365 era Majapahit) dalam zang 15. Nama Madura juga disebut dalam zang 28 dimana mantri dari Madura dan mantri dari Bali bertemu raja di Patukangan (sekitar Probolinggo yang sekarang). Nama tempat di pulau Madura baru ditemukan Kembali dalam teks Pararaton yang disebut Sungeneb (diduga kota/kampnng Sumenep). Teks Pararaton ditulis pada masa-masa terakhir era Majapahit. Dalam hal ini pulau Madura dan Sungeneb bagian penggiran dari pusat (kerajaan) Majapahit di daratan Jawa. Hal ini mengindikasikan arus orang dari daratan (pulau) Jawa ke pulau Madura.
Madura hanya disebut sebagai pulau saja, tetapi dalam era berikutnya
Sungeneb sebagai suatu nama tempat di pulau Madura. Sebagaimana biasanya, nama
suatu pulau merujuk pada nama tempat. Seperti halnya nama tempat Sungeneb
kemudian menjadi nama wilayah. Dimana nama tempat Madura (dalam teks Negarakertagama
disebut sebagai nama pulau)? Dalam hal ini Madura adalah nama tempat tertua di
pulau sebelah timur laut pusat kerajaan Majapahit. Dalam catatan Portugis hanya
ditemukan nama Madura sebagai pulau. Pada era kehadiran pertama pelaut Belanda
(1596) disebut nama kota Arosbaja di pulau Madura. Kota Arosbaja ini adalah
pelabuhan yang ramai. Pada era VOC (peta Francois Valentijn, 1724) nama
Arosbaja berada di pantai timur laut Maduram sedangkan nama (kerajaan)
Maduretna berada tidak jauh di pedalaman. Lalu yang terakhir pada awal era
Pemerintah Hindia Belanda, kampong Bangkalan menjadi kota, sementara nama Arosbaja
diidentifikasi sebagai kampong kecil. Sedangkan kota Maduretna tempo doeloe
hanya diidentifikasi sebagai kampong kecil dengan nama Madura. Kota Bangkalan
menjadi tempat kedudukan raja. Dalam urutan sejarah ini nama tempat Madura
diduga kuat berada di kota pedalaman yang menjadi pusat kerajaan Maduretna.
Lalu nama kota Madura/Maduretna menjadi nama wilayah sejak era Majapahit. Dalam
teks Negarakertagana Madura hanya disebut nama pulau, sedangkan dalam teks era
berikut nama Sungeneb sebagai nama tempat dimana adipate berkedudukan. Pulau
Madura tempaknya berada di bawah perlindungan (vassal) Majapahit tetapi dalam
perkembangannya hanya terbatas di bagian timur pulau (Sumenep). Sementara
bagian barat pulau (Masduretna) dengan pelabuhannya Arosbaja (karena posisi
geografisnya) menjadi wilayah mandiri yang terhubung dengan pengaruh luar.
Namun dalam perkembangannya wilayah Sumenep juga dipengaruhi dari luar (yang
diindikasikan dengan nama-nama tempat di wilayah Sumenep, bagian timur pulau
Madura).
Pulau Madura secara geografis dekat dengan daratan (pulau) Jawa, tetapi posisinya yang terbuka dan berada di jalur navigasi pelayaran perdagangan diduga gambaran keragamanan pendudukanya kurang lebih sama dengam kota-kota pantai umunya, termasuk kota-kota pantai di bagian timur pulau Jawa seperti Tuban, Sidajoe dan Gresik serta Soerabaja. Dalam hal ini kota-kota pantai, termasuk kota-kota pantai di pulau Madura asal usul penduduknya lebih beragam (mix pepulation). Suatu yang berbeda dengan populasi kota-kota di pedalaman Jawa di daerah aliran sungai Solo dan sungai Branta/Soerabaja (sungai Kediri). Hal itulah diduga yang menjadi sebab bahasa Madura dalam perkembangannya teridentifikasi banyak dipengaruhi bahasa Jawa dan bahasa Melayu (lingua franca). Dalam hal ini pulau Madura adalah tujuan migrasi pada fase awal.
Meski ada keterkaitan kerajaan Singhasari dan kerajaan Majapahit, secara
geopolitik keberadaan kerajaan Singhasari dan kerajaan Majapahit berbeda.
Kerajaan Singasari memiliki hubungan perdagangan yang intens dengan pedalaman
dan kerajaan-kerajaan di pedalaman (wilayah Mataram), sementara kerajaan
Majapahit memiliki hubungan perdagangan yang intens dengan kota-kota pantai di
pulau Jawa. Pengaruh luar di kerajaan Majapahit lebih intens dibandingkan di
kerajaan Singhasari. Setelah kerajaan Majapahit meredup, Mataram yang telah
beragama Islam mulai memiliki peran yang signifikan di pedalaman Jawa dan secara
berangsur-angsur meluaskan pengaruhnya ke kota-kota pantai termasuk Tuban,
Sidajoe, Gresik dan Soerabaja. Itu sudah dimulai sejak era kerajaan Demak dan
kerajaan Japara. Rembang dan Lasem adalah kota-kota di pantai utara yang memisahkan
bagian tengah/barat Jawa dengan bagian timur Jawa. Dalam hal ini timur Jawa
adalah rantau bagi orang Jawa (di pedalaman). Dalam catatan Cornelis de Houtman
(1596) ketika ekspedisi pertama Belanda di sekitar Japara, utusan dari
Banjoewangi meminta bantuan Belanda karena mereka tengah berperang melawan
pasukan dari Jawa (Mataram Islam). Cornelis de Houtman tidak bisa memenuhinya,
tetapi kemudian ekspedisi Belanda diterima dengan baik di Bali. Dalam
perkembangannya, Raja Bali meminta bantuan VOC (1635) untuk menyerang Jawa di
wilayah Banjoewangi. Sebagaimana diketahui pada tahun 1628 Mataram menyerang
ibu kota VOC di Batavia. Dalam hal ini wilayah timur Jawa terutama di wilayah
Tapal Kuda adalah remote area bagi Mataram, eks wilayah Majapahit yang menjadi
wilayah pergumulan politik yang tiada henti sejak era Oentoeng Soerapati (Bali)
hingga era Trunojojo (di Madura) yang kemudian berbalik arah pada era dinasti
Tjakranigrat.
Pada era VOC, Madura dan Bali menjadi lebih dekat satu sama lain di satu sisi dan Mataram di sisi lain. Ini menjadi situasi dan kondisi pendahulu bagi Madura dan Bali untuk mendapatkan kebebasannya, yang dalam perkembangannya Bali dan Madura menjadi bagian dari barisan pribumi (termasuk Maluku, Makassar) yang mendukung militer VOC untuk menaklukkan Mataram (di Jawa, bagian pedalaman). Pengaruh Mataram ke arah timur Jawa dengan sendirinya melemah. Era baru Madura dan Bali dimulai. Wilayah Soerabaja dan wilayah Tapal Kuda seakan menjadi menjauh dari (pusat) Mataram. Sebaliknya bagian barat Jawa pada akhirnya Mataram menyerahkannnya kepada VOC (dimana ekspedisi pertama VOC ke pedalaman Jawa bagian barat dimulai tahun 1687 di hulu sungai Tjiliwong).
Setelah Demak/Japara melemah, kota-kota di pantai utara Jawa menjadi
bagian integral dalam navigasi pelayaran perdagangan Belanda/VOC, termasuk kota
Tuban, Sidajoe, Gresik serta Pasoeroean dan Balambangan/Banjoewangi. Wilayah
Soerabaja yang sempat menjadi vassal Mataram (era Adipati Anom) lambat laun jatuh
ke tangan VOC. Ini dengan sendirinya antara Majapahit di masa lampau dan Mataram
di masa berikutnya, semakin memisahkan Madura di belakang VOC (wilayah
Soerabaja dan wilayah Pasoeroean). Wilayah Pasoeroean yang ditaklukkan VOC
mencapai wilayah Lumajang yang sekarang (sekitar gunung Semeru) yang dimasukkan
ke dalam district Malang (eks pusat Singhasari). Wilayah Soerabaja/VOC hanya terbatas
di wilayah hilir daerah aliran sungai bengawan Solo dan daerah aliran sungai
Kediri (sungai Soerabaja dan sungai Porong/Brantas).
Pada perkembangan lebih lanjut, seperti kita lihat nanti, di dalam lingkungan Mataram di pedalaman terjadi perpecahan yang mana peran Pemerintah VOC dalam memfasilitasi perjanjian Gianti (1755). Pasca perjanjian Gianti wilayah Mataram semakin berkurang (hingga batas Jawa Timur dan batas Jawa Barat yang sekarang minus wilayah Semarang). Era dinasti Mataram yang sangat digdaya di masa lampau, wilayahnya menjadi terbatas, yang berpusat di Soerakarta dan Jogjakarta. Ini seakan menggambarkan orang Jawa kembali ke Jawa. Lalu bagaimana dengan orang Madura sendiri?
Sebelumbnya, pada tahun
1743, dengan kontrak 11 November, Soesoehoerian Solo, Pakoe Boewono II mengalihkan
kepemilikan, antara lain, seluruh pulau Madoera kepada VOC/Belanda. Perjanjian
baru ini sebeanrnya merupakan perluasan dari district Pamakasan dan district Soemenep; dimana
perjanjian dibuat dengan kontrak tanggal 5 Oktober 1705 oleh Pakoe Boewono I
(Pangeran Poegèr) yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembangunan benteng VOC
di Soerabaja pada tahun 1707.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tuban, Soerabaya dan Wilayah Tapal Kuda Timur Pulau Jawa: Pepatah Lama Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung
Pada masa lampau tidak ada alasan bagi individu atau keluarga untuk melakukan migrasi jauh. Perpindahan penduduk antar pulau, karena keterbatasan alat angkut, itu hanya terjadi pada jarak dekat sebagaimana di daratan. Itu tidak dapat dikatakan migrasi tetapi perluasan wilayah (sebagaimana penduduk nomaden). Migrasi haruslah dikaitkan dengan perpindahan dalam jumlah besar karena eksodus (terancam dari kelompok populasi lain) tetapi itu tidak jauh; karena digerakkan oleh kekuatan besar dalam konteks kerajaan dalam hubungan perdagangan dan penaklukan wilayah (kerajaan) lain dengan navigasi pelayaran yang mumpuni. Lantas bagaimana dengan migrasi orang Madura?
Sulit
menemukan data migrasi pada masa lampau (di Nusantara), tetapi indikasi adanya
migrasi hanya dapat dipahami karena pemahaman terhadap bahasa, pola bertempat
tinggal, adat dan elemen budaya lain serta nama-nama tempat (toponimi). Migrasi
orang Nusantara ke (pulau) Madagaskar diduga terkait navigasi pelayaran
perdagangan orang Moor ke Eropa dan pelaut-pelaut Portugis pada era berikutnya.
Hal itulah mengapa ditemukan bahasa yang mirip di Madagaskar dengan di
nusantara (bahasa Melayu lingua franca). Adanya kumnunitas nusantara di Afrika
Selatan diduga baru terjadi pada era VOC/Belanda. Migrasi ke arah utara seperti
ke pesisir Indochina, pulau-pulau di Filipina hingga pulau Formosa (Taiwan)
diduga terjadi jauh sebelum kehadiran orang-orang Eropa seperti orang Moor dan
orang Portugis. Migrasi antar Jawa dan Sumatra (atau sebaliknya; di selatan
khatulistiwa) diduga terjadi sejak era Singhasari dan berlanjut pada era Majapahit.
Hal itulah mengapa terkesan ada pengaruh dari pulau Jawa di Lampong, Palembang
dan Jambi. Sebaliknya, orang Sumatra yang diduga melakukan migrasi jauh di atas
utara khatulistiwa terutama ke pulau-pulau Filipina sebagaimana diindikasikan
dalam prasasti yang ditemukan di pantai timur Indochina sejak abad ke-2 dan
prasasti di pulau Luzon abad ke-10. Migrasi Sumatra ke Filipina diduga semakin
intens pada era kerajaan Panai/Sriwijaya (prasasti Tanjore abad ke-11). Pada
era Majapahit (lihat teks Negarakertagama, 1365) tidak ditemukan nama tempat di
Filipina, tetapi koneksi kerajaan Panai di Sumatra dengan Filipina diduga kuat masih
eksis, bahkan hubungan itu masih eksis hingga abad ke-16 sebagaimana ditemukan
dalam laporan Mendes Pinto (1537) bahwa Kerajaan Aroe Batak Kingdom (suksesi
kerajaan Panai; pantai timur Sumatra bagian utara) memiliki kekuatan 15.000
tentara dimana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Jambi,
Indragiri, Minangkabau, Broenai (Kalimantan) dan Luzon (Filipina). Hal itulah
diduga sebab mengapa terdapat sejumlah kemiripan dalam hal bahasa, aksara, adat
dan system pemerintahan serta nama-nama tempat antara wilayah Tapanuli dan wilayah
Filipina. Migrasi dari (pulau) Jawa, selain ke Sumatra bagian selatan, juga
terdapat indikasi ke Kalimantan bagian selatan dan pulau-pulau di sebelah timur
Jawa seperti Bali, Lombok dan Soembawa. Selain yang disebut di atas, migrasi Sumatra
cenderung ke pantai utara Borneo, Sulawesi bagian utara dan Maluku bagian utara
(di wilayah yang berlawanan cenderung dari pulau Jawa). Pada saat kehadiran pelaut-pelaut
Eropa situasi dan kondisinya berubah, terutama sejak era Portugis dan era
VOC/Belanda.
Indikasi adanya migrasi orang Madura baru terjadi pada era VOC/Belanda. Hal itu terjadi, seperti disebut di atas, ada hubungan kausal antara orang Madura dengan VOC/Belanda di satu pihak dan antara orang Madura dan orang Jawa (Mataraman) di pihak lain. Migrasi orang Madura cenderung ke wilayah yang lebih dekat, terutama di wilayah Soerabaja dan wilayah Pasoeroean dan sekitar (wilayah Tapal Kuda).
Migrasi
jarak jauh pada era VOC/Belanda (khususnya ke wilayah Batavia dan sekitar)
serta kota-kota pantai utara Jawa, terutama terjadi pada orang Melayu (Malaka
dan Riaouw serta Bangka/Belitung), orang Bali, Tambora, Banda, Ternate, Ambonia,
Boeton dan Makassar. Lalu kemudian arah migrasi itu menyusul orang Jawa, Flores/Maggarai,
Banjar, Mandar (Sulawesi Barat) dan Sumbawa/Bima. Hal itulah mengapa pada era
VOC terdapat nama-nama kampong baru di wilayah Batavia seperti kampong Bandan,
kampong Ambon, kampong Bugis, kampong Makassar, kampong Tambora, kampong Melayu,
kampong Bali dan kampong Jawa. Tentu saja tidak ditemukan nama-nama kampong seperti
kampong Batak, kampong Madura, Manado dan Minangkabau. Mengapa? Namun demikian
pada era VOC, boleh jadi satu-satunya ditemukan nama kampong Madura di Makassar
(eks Kerajaan Gowa). Mengapa?
Tampaknya pada era VOC migrasi jauh orang Madura (hanya) ditemukan di Makassar. Tidak seperti kampong Makassar di wilayah Batavia yang merupakan kampong yang dibuka oleh para pasukan pribumi asal Makassar/Bugis yang mendukung militer VOC yang tidak ingin Kembali ke kampong halaman setelah pension, kampong Madura di Makassar diduga adalah kampong pedagang asal Madura (bukan pasukan pribumi pendukung militer VOC). Lantas kapan orang Madura berpartisi mendukung militer VOC? Tidak pernah. Mengapa? Orang Madura mendukung militer pada era Pemerintah Hindia Belanda. Mengapa?
Pada
era VOC/Belanda wilayah (pulau) Madura terbagi tiga wilayah: district Sumanap (bagian
timur), district Pamekasan (bagian tengah) dan district Sampang (bagian barat).
Pada tahun 1785 wilayah timur dan wilayah tengah berada di bawah perlindungan
VOC/Belanda, sementara wilayah timur memiliki pemerintahan otonom sendiri
dimana raja bekedudukan di Maduretna (di pedalaman). Singkat kata, pada
permulaan Pemerintah Hindia Belanda (sejak 1800), wilayah Madura menjadi bagian
wilayah (residentie) Soerabaja. Situasi berubah pada masa pendudukan Inggris
(1811-1816), setelah pengiriman ekspedisi militer tahun 1813, semua wilayah Madura
berada di bawah penguasaan Inggris.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda menerima kekuasaan kembali dari Inggris, wilayah Madura 1817 dibentuk sebagai satu residentie tersendiri (Residentie Madura en Soemanap) dengan ibu kota di Soemanap. Namun dalam perkembangan yang cepat, ibu kota residentie Madura (tidak lagi menggunakan nama Sumenep) direlokasi dari Sumanap ke kampong Bangkalan (radja di Maduretna juga relokasi ke kampong Bangkalan di pantai barat Madura) dimana ibu kota dikawal benteng Ledewijk di pulau Mangari. Sejak ibu kota di Bangkalan inilah era baru Madura dimulai. Dalam perkembangannya pada tahun 1825 terjadi penentangan otoritas pemerintah Pemerintah Hindia Belanda di Jogjakarta yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Dalam situasi dan kondisi yang kondusif di Madura, Pemerintah Hindia Belanda melibatkan orang Madura dalam Perang Jawa (1825-1830). Pada fase inilah orang Madura berpartisipasi dengan membentuk pasukan untuk mendukung militer (Pemerintah Hindia Belanda).
Satu
hal yang khusus tentang mingrasi orang Madura adalah karena hukuman pengasingan,
seperti yang diasingkan ke Bengkoeloe (lihat Leydse courant, 19-06-1826).
Disebutkan seluruh populasi Benkoelen, dihitung dari Indrapoera di utara sampai
Croe di selatan, diperkirakan 80.000 jiwa. Orang-orang di Marlborough dan
sekitarnya berjumlah 12.000 orang, termasuk orang Eropa, militer, Jawa,
Bangladesh, Cina, Melayu, dan Madura. Di antara yang terakhir adalah seorang
keturunan Pangeran Madura, yang telah diasingkan atau melarikan diri kesana
lebih dari lima puluh tahun yang lalu.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
infonya menarik
BalasHapus