Selasa, 09 Mei 2023

Sejarah Cirebon (31): Carang Sambong dan Parakan Moentjang Jalan Trans Java Sejak Daendels; Jalan Rute Baru via Bandoeng


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Cirebon dalam blog ini Klik Disini

Bagaimana sejarah Carang Sambong? Maksudnya tempat dimana? Pada masa ini banyak tempat dengan nama Karangsambung, tidak hanya di Cirebon, juga ada di Majalengka, Kebuman dan bahkan di Bekasi. Ada juga nama Karangsembung, suatu nama kecamatan di kabupaten Cirebon. Lalu yang mana Carang Sambong? Lupakan dulu. Mari kita mulai dari awal, nama Carang Sambong begitu terkenal di masa lampau di perbatasan Cirebon di pedalaman. Nama tempat Carang Sambong menjadi bagian penting dalam rencana pembangunan jalan pos trans-Java semasa Daendels.


Jalan Raya Pos (De Groote Postweg), disebut juga Jalan Daendels, adalah sebuah jalan pos sepanjang 1.000 kilometer (620 mi) di Jawa yang membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jalan ini kini menjadi bagian dari Jalan Nasional Rute 1 (Cilegon-Jakarta, Cirebon-Panarukan). Jalan ini dibangun atas perintah dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (m. 1808-1811). Pada awalnya, penggunanan jalan ini hanya untuk kebutuhan pos dan militer hingga akhirnya dibuka untuk umum pada tahun 1857. Selain itu, jalan ini juga tidak boleh dilewati oleh kendaraan milik orang Jawa yang harus menggunakan jalur khusus gerobak yang berada di sisi jalan. Jalan Raya Pos hanya dapat dilewati oleh kereta kuda Belanda yang dilengkapi oleh kusir dan kenek. Karena keterbatasan biaya, Daendels hanya meratakan jalan dari Batavia ke Buitenzorg (kini Bogor) dan membangun petak jalan di Preanger. Sisanya, yaitu jalan dari Cirebon hingga Surabaya dikerjakan oleh para bupati di daerahnya masing-masing. Pembangunan Jalan Raya Pos pertama dimulai dari Buitenzorg ke Karangsambung (kini Kecamatan Tomo di Sumedang) berdasarkan perintah Daendels pada 5 Mei 1808. Jalur ini direncanakan melalui Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, Parakan Muncang, dan Sumedang. Secara teknis, jalur tersebut harus dibuat selebar 2 rijnlandse roeden (~7.5 meter) dan didirikan tiang di setiap 400 rijnlandse roeden (~1.5 kilometer) untuk menunjukkan jarak dan menandai batas distrik. (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah Carang Sambong, Parakan Moentjang dan jalan Trans Java sejak era Daendels? Seperti disebut di atas, nama Carang Sambong tempo doeloe begitu dikenal. Bagaimana masa kini? Pada masa ini Carang Sambong dengan nama Karangsambung hanya disebut bagian dari kecamatan Tomo di kabupaten Sumedang. Apakah kini hanya tinggal sekadar nama dusun? Nama Carang Sambong tempo doeloe tetap terkenan meski trans Java rute baru via Bandoeng. Lalu bagaimana sejarah Carang Sambong, Parakan Moentjang dan jalan Trans Java sejak era Daendels? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Carang Sambong, Parakan Moentjang dan Jalan Trans Java Sejak Era Daendels; Trans Java Rute Baru via Bandoeng

Tunggu deskripsi lengkapnya

Trans Java Rute Baru via Bandoeng: Carang Sambong Masa ke Masa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar