Sabtu, 19 Agustus 2023

Sejarah Mahasiswa (27): Caroline V Tan di Belanda, Pejuang Kesetaraan Wanita Cina di Hindia; RA Kartini hingga Ida Loemongga


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini

Siapa Caroline V Tan? Membicarakan Caroline V Tan sebenarnya membicarakan soal emansipasi di Hindia (baca: Indonesia tempo doeloe) diantara orang Cina. Membicarakan emansipasi wanita Cina sejatinya juga membicarakan emansipasi wanita pribumi. Dalam hal inilah kita menghubungkan antara RA Kartini dengan Caroline V Tan. Lalu kemudian kita menghubungkan antara Caroline V Tan dengan Ida Loemongga.


RA Kartini menikah 12 November 1903. Anak tunggalnya Soesalit Djojoadhiningrat lahir 13 September 1904. Sebelumnya, pada bulan April 1903 Alimatoe’saadiah menikah dengan Dr Haroen Al Rasjid di Padang. Anak pertama mereka tanggal 22 Maret 1905 lahir diberi nama Ida Loemongga. RA Kartini dan Alimatoe’saadiah sama-sama disekolahkan orang tua mereka di sekolah dasar Eropa (ELS). Alimatoe’ Saadiah melanjutkan studi ke sekolah guru sebelum menikah (ayahnya Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah seorang guru alumni sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean). Dalam konteks inilah Tan Thwan Soen rela meninggalkan keluarga dan bisnis di Indonesia (baca: Hindia Belanda) demi mewujudkan cita-cita dua putrinya yang masih kanak-kanak untuk melanjutkan studi di Belanda yakni CV Tan Thwan Soen dan LG Tan Thwan Soen pada tahun 1905. Caroline V Tan Thwan Soen kemudian menjadi pionir perjuangan perempuan Cina di Hindia.

Lantas bagaimana sejarah Caroline V Tan di Belanda, pejuang kesetaraan wanita Cina di Hindia? Seperti disebut di atas, Caroline V Tanda dapat dikatakan pionir emansipasi Wanita Cina di Hindia. Bagaimana dengan wanita pribumi? RA Kartini hingga Ida Loemongga. Lalu bagaimana sejarah Caroline V Tan di Belanda, pejuang kesetaraan wanita Cina di Hindia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Caroline V Tan di Belanda, Pejuang Kesetaraan Wanita Cina di Hindia; RA Kartini hingga Ida Loemongga

Banyak perjuang emansipasi perempuan di Indonesia sejak era Hindia Belanda, namun kurang terinformasikan. Untuk urusan emansipasi itu para perempuan non Eropa/Belanda, seperti perempuan pribumi dan perempuan Cina berjuang dengan caranya masing-masing. Tentu saja sejak awal para perjuang perempuan itu mendapat dukungan, atau paling tidak mendapat perhatian dari orang tua atau kerabatnya.


Pada 16 Januari 1904, ia mendirikan Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung, berkat dukungan dari kakeknya yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bandung, Raden Adipati Aria Martanagara, dan Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910. Ia mengajarkan para wanita membaca, menulis, berhitung, pendidikan agama dan berbagai keterampilan. Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920. Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi. (Wikipedia)

Awal munculnya upaya untuk memperjuangkan emansipasi perempuan tersebut bermula di dalam keluarga. Para orang tua mendorong dan menyekolahkan putri-putrinya bersekolah, apakah di sekolah pribumi atau di sekolah Eropa (ELS). Dalam hal ini orang tua non Eropa/Belanda yang menyekolahnya putri-putri di sekolah ELS adalah keluarga bupati di Jepara, keluarga guru Haji Dja Endar Moeda di Padang dan keluarga pengusaha Tan Thwan Soen di Semarang.


Para perempuan pribumi dan perempuan Cina di Hindia, berada di dalam konteks (situasi dan kondisi) para perempuan Eropa/Belanda. Fakta bahwa, di sekolah-sekolah menengah (HBS) di Batavia, Semarang dan Soerabaja sebenarnya sangat jarang nama perempuan. Artinya setelah lulus sekolah dasar (ELS) umumnya yang mengikuti sekolah HBS adalah anak-anak laki-laki Eropa/Belanda (boleh jadi karena diproyeksikan selepas HBS melanjutjan studi ke Belanda dan setelah sarjana kembali ke Hindia). Hingga tahun 1903 ketika pemberlakuan desentralisasi di Hindia disahkan parlemen, nyaris tidak ada perempuan Eropa/Belanda yang dicatat sebagai pejabat (lihat Almanak Hindia Belanda dari berbagai tahun). Ketika dewan kota (gemeenteraad) dibentuk, seiring dengan pemberlakuan desentralisasi, fakta bahwa tidak ditemukan anggota dewan yang dipilih dari golongan perempuan Eropa/Belanda. Fakta lainnya bahwa para perempuan Eropa/Belanda tidak disertakan dalam memilih. Catatan: siswa non Eropa/Belanda (pribumi dan Cina) diizinkan diterima di sekolah HBS baru pada tahun 1876. Itu berarti di sekolah dasar (ELS) jauh sebelum itu. Syarat masuk HBS adalah lulusan ELS.

Do Jepara, bupati menyekolahkan putri-putrinya di ELS. Putri tertuanya adalah RA Kartini. Besar dugaan RA Kartini telah menyelesaikan pendidikan ELS tahun 1898 (dua tahun setelah abangnya Raden Kartono, setelah lulus HBS di Semarang melanjutkabn studi ke Belanda). Di Padang, Hadji Dja Endar Moeda juga menyekolahkan putri-putrinya di sekolah ELS, diantaranya Alimanatoe’ Saadiah. Alimanatoe’ Saadiah diduga menamatkan ELS sebelum tahun 1900, karena pada tahun 1903 sudah disebut telah mengikuti sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock. Di Semarang, Tan Thwan Soen juga menyekolahkan putra-putrinya di ELS, yakni CV Tan Thwan Soen dan LG Tan Thwan Soen.


RA Kartini tidak melanjutkan studi selepas ELS. Oleh karena Kartini telah memilki teman-teman ERopa/Belanda, dengan kemampuan berbahasa Belanda memungkinkannya berkorespondensi. Pada tahun 1900, saat mana Mr JH Abendanon, Inspektur Pendidikan yang baru diangkat melakukan kunjungan dinas ke Jepara. Saat inilah ada dialog antara antara Inspektur dengan bupati Jepara tentang putri-putrinya. Ada keinginan yang kuat dari putrinya, khususnya RA Kartini untuk melanjutkan studi tetapi secara adat masih sangat kuat halangannya. Namun di Padang, Hadji Dja Endar Moeda dapat merealisasikan putrinya Alimanatoe’ Saadiah bersekolah di sekolah guru. Boleh jadi hal itu, putri Dja Endar Moeda dapat terealisasi karena jauh dari lingkungan budaya mereka. Hadji Saleh gelar Dja Endar Moeda di Padang (kota melting pot) adalah perantau berasal dari Padang Sidempoean (Tapanoeli) sedikit lebih bebas dari kekangan adat, dan tanpa halangan menyekolahkan putrinya di sekolah guru Fort de Kock (yang berada di wilayah budaya Minangkabau). Kekangan adat yang dimaksud dalam hal ini, bukan soal boleh tidaknya para perempuan bersekolah lebih tinggi, tetapi tentang soal para perempuan jika sudah remaja (biasanya setelah lulus sekolah dasar) harus dipingit dan kemudian diarahkan segera berumah tangga).

Di Semarang, Tan Thwan Soen yang telah menyekolahkan putri-putrinya di ELS, yakni CV Tan Thwan Soen dan LG Tan Thwan Soen harus berkorban karena keinginan putri-putrinya. Tan Thwan Soen, demi kedua putrinya, melakukan langkah yang tidak lazim (bahkan juga jika dibandingkan orang Eropa/Belanda) rela meninggalkan keluarga dan bisnisnya di Hindia terutama di Semarang, demi mewujudkan cita-cita dua putrinya yang masih kanak-kanak untuk melanjutkan studi ke Belanda. Bersama kedua putrinya CV Tan Thwan Soen dan LG Tan Thwan Soen diketahui pada tahun 1905 Tan Thwan Soen sudah berada di Belanda.


Pada tahun 1905 di Belanda, sudah ada sejumlah siswa/mahasiswa pribumi dan Cina yang berasal dari Hindia. Satu yang terpenting adalah Raden Kartono (abang alm. RA Kartini); Abdoel Rivai (Bengkulu), Soemardji (Madioen), Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (Padang Sidempoean), Djamaloedin (Padang) serta dua yang tiba di Belanda tahun 1905, Hoesein Djajadiningrat (Batavia) dan Asmaoen (Malang).

Kehadiran siswa Cina asal Hindia di Belanda tidak terinformasikan pada tahun 1905. Besar dugaan CV Tan Thwan Soen dan LG Tan Thwan Soen adalah dua yang pertama.  Jika disandingkan dua Tan Thwan Soen bersaudara van Semarang ini, kurang lebih berada di era yang sama dengan RA Kartini di Djepara dan Alimatoe’ Saadian Harahap di Padang. Nama-nama merekalah diantara perempuan Eropa/Belanda yang terinformasikan hingga tahun 1905.


Siswa Cina asal Hindia sebelum Tan Thwan Soen bersaudara yang pernah terinformasikan adalah dua yang pertama, namun sudah lama, yakni Oei Jan Lee lulus sarjana hukum tahun 1888 (anak kapten Cina di Bandanaira) dan Tan Tjoen Liang yang lulus sarjana teknik tahun 1894 (anak alm Kapten Cina di Buitenzorg). Sementara itu siswa pribumi yang pernah menyelesaikan pendidikan di Belanda, nama yang terakhir adalah JH Wattimena tahun 1886 dan sebelumnya seperti Jozias Ratulangi, Kandow, Raden Soejoed, Raden Kamil, Ismangoen Danoe Winoto, dan Sati Nasoetion. Sati Nasoetion adalah siswa pribumi pertama studi ke Belanda (1857-1861).

Tunggu deskripsi lengkapnya

RA Kartini hingga Ida Loemongga: Alimatoe’ Saadiah Harahap dan dan RA Kartini  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar