*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini
Siapa
Ida Loemongga Nasoetion? Nyaris tidak terinformasikan hingga saya menemukan
dokumennya dan menulis riwayatnya di dalam blog saya. Sejak itu banyak dikutip.
Kini nama Ida Loemongga Nasoetion sudah ada yang menulisnya di dalam laman
Wikipedia. Dalam hal ini nama Ida Loemongga Nasoetion dideskripsikan kembali
dalam konteks sejarah mahasiswa dihubungkan dengan soal emansipasi wanita pribumi.
Tentu saja ada data baru yang memperkayanya.
Ida Loemongga Nasution lahir di Padang, 22 Maret 1905 adalah perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (PhD), di bidang kedokteran. Diberitakan kantor berita Aneta dari Amsterdam, 29 April 1932. Dari Universiteiten Van Utrecht en Leiden nama Ida Loemongga Haroen al Rajid Nasution dinobatkan wanita pribumi pertama meraih gelar Doktor, tesis Diagnosis dan Prognosis Cacat Jantung Bawaan. Ayahnya adalah Haroen Al Rasjid Nasution, dokter lulusan Docter Djawa School 1902. Ibunya adalah Alimatoe Saadiah br. Harahap, perempuan pribumi pertama mendapat pelajaran dari sekolah Eropa. Orang tuanya berasal Padang Sidimpuan. Ida Loemongga Nasution belajar di ELS Tandjong Karang, dan Prins Hendrik School (afdeeling-B/IPA) di Batavia 1918. Ia lulus 1922, diterima ujian masuk STOVIA. Berkat kecerdasannya Ida direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pada usia 18 tahun, ia berangkat sendiri ke Amsterdam. Ia memperoleh gelar sarjana kedokteran di Universiteit Utrecht 1927. Ida langsung mengambil dokter spesialis di Universiteit Lieden. Setelah menjadi asisten Dr. Caroline Lang, ia meneruskan pendidikan doktoral di Amsterdam. Ia dipromosikan 1931 sebagai doktor di bidang kedokteran dengan promotor Dr. Lang dengan judul disertasi, ‘Diangnose en Prognose van aangeboren Hartgebreken (Diagnosa dan Prognosa Cacat Jantung Bawaan)’. (Wikipedia: sumber: Sumut24 diakses tanggal 2023-03-11; Kaldera 2023-03-11; Padangkita.com 2023-03-11; Warta Mandailing 2023-03-11).
Lantas bagaimana sejarah Ida Loemongga Nasoetion berjuang di Belanda? Seperti disebut di atas, Ida Lomongga adalah perempuan pribumi studi ke Belanda. Perempuan pribumi asal Hindia yang mampu meraih gelar doctor dalam bidang kedokteran. Lalu bagaimana sejarah Ida Loemongga Nasoetion berjuang di Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Ida Loemongga Nasoetion Berjuang di Belanda; Perempuan Pribumi Hindia Mampu Raih Gelar Doktor
Siapa Ida Loemongga Nasoetion? Untuk menjawab itu haruslah dilihat dari belakang. Itu bermula pada tahun 1901 di Batavia dimana Docter Djawa School melakukan ujian akhir (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 29-11-1901). Dusebutkan sebanyak 10 siswa Dokter Djawa School telah berhasil dalam ujian tingkat empat dan dipromosikan menjadi dokter, diantaranya ada yang bernama Haroen Al Rasjid. Sebelumnya dalam pertengahan tahun juga telah dilakukan wisuda terhadap lulusan Dokter Djawa School yang salah satu diantaranya Mohammad Hamzah.
De locomotief: Samarangschhandels- en advertentie-blad edisi 29-12-1902: Dokter-dokter baru yang lulus
tahun ini diangkat menjadi pegawai pemerintah dan di tempatkan di kota-kota
yang berbeda. Dalam berita ini disebutkan Haroen Al Rasjid ditempatkan di
Padang dan Mohammad Hamzah di Telok Betoeng. Keduanya kemudian berangkat bersama dari Batavia ke
Sumatra (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 03-01-1903). Disebutkan kapal s.s. ‘Van Riemsdijk’ pagi
ini pukul 08.30 melakukan pelayaran (dari Batavia) menuju Telok Betoeng, Kroe,
Benkoelen, Padang en Atjeh. Di dalam manifest pelayaran ini terdapat nama yang
disebut Dr. Djawa Mohammad Hamzah dan Dr. Djawa Haroen Al Rasjid. Catatan: Mohammad Hamzah adalah cucu
dari kepala koeria Batoe na Doewa, Pertoewan Soripada yang pernah mengundang
Dja Endar Moeda ketika pulang kampong pada tahun 1900 dalam suatu hordja.
Sedangkan Haroen Al Rasjid adalah anak dari seorang pejabat pemerintah yang
memulai karir dari Padang Sidempoean hingga menjadi ajudan demang di Kebajoran, Residentie Batavia yang bernama Soetan Abdoel
Azis.
Dalam perjalanan dua dokter djawa, dua sekawan Mohammad Hamzah dan Haroen Al Rasjid, mereka harus berpisah di pelabuhan Telok Betoeng, dimana Mohammad Hamzah memulai tugas baru di Telok Betoeng, sementara Haroen Al Rasjid meneruskan perjalanan dan turun di pelabuhan Padang untuk bertugas di Kota Padang. Yang lulus Dokter Djawa School tahun 1902 yang berasal dari Sumatra hanya keduanya, sementara dalam berita-berita sebelumnya ada empat tempat yang ditunjuk di Sumatra yakni Medan, Padang, Palembang dan Telok Betoeng.
Lantas mengapa
Haroen Al Rasjid memilih ke Padang dan Mohammad Hamzah ke Telok Betoeng? Secara teknis Teluk Betoen
dan Padang adalah dua kota dalam satu garis pelayaran dari Batavia ke pantai
barat Sumatra hingga Tapanoeli dan Atjeh. Kampong dua dokter muda ini ada di Afdeeling
Padang Sidempoean (residentie Tapanoeli). Ke Palembang adalah jalur pelayaran yang
khusus. Sementara ke Medan ada jalur pelayaran yang baik via Muntok dan
Singapoera, tetapi dari Medan ke Tapanoeli belum ada jalur darat, kereta api
hanya baru sebatas Rantau Prapat. Tentu saja melalui wilayah Toba belum ada akses,
apalagi saat itu masih ada perlawanan dari pengikut dan Sisingamangardja yang
menentang kehadiran otoritas Pemerintah Hindia Belanda di Toba.
Di Padang sudah barang tentu Haroen Al Rasjid telah mengetahui siapa Dja Endar Moeda, pemilik sekolah swasta dan pemimpin surat kabar Pertja Barat. Boleh jadi Haroen Al Rasjid telah berkunjung ke rumah Dja Endar Moeda (yang juga masih kerabat temanya Mohamad Hamzah). Dalam situasi dan kondisi inilah, Haroen Al Rasjid telah dijodohkan dengan boru (putri) dari Dja Endar Moeda di Padang yang bernama Alimatoe Sadiah. Dalam hal ini Mohammad Hamzah dari koeria Batoe na Doewa marga Harahap, sementara Haroen Al Rasjid dari Mandailing bermarga Nasoetion. Ini dengan sendirinya, Alimatoe Sadiah adalah ito dari Mohammad Hamzah dan kemudian kedua dokter itu tidak lagai hanya sekadar teman, tetapi juga menjadi ipar-lae.
Di Padang diadakan horja godang dalam rangka pernikahan Haroen Al Rasjid dan Alimatoe’. Fiesta yang maha besar ini
adalah wajar karena Alimatoe Sadiah adalah putri seorang aktor kaya terkenal di
Padang, sementara Dr. Haroen Al Rasjid adalah anak mantan pejabat pemerintah,
Soetan Abdul Azis di Batavia (sebagai Demang di
Kebajoran).
Anak pertama Haroen Al Rasjid dan Alimatoe Sadiah lahir yang diberi nama Ida Loemongga. Lahir di Padang 22 Maret 1905. Lalu dalam perkembangannya Haroen Al Rasjid dipindahkan dari Padang ke Sibolga. Keluarga (anak dan istri) mud aini cukup lama tinggal di Siboga. Karena sudah berdinas sebagai pegawai pemerintah lebih dari lima tahun, Haroen Al Rasjid tidak memperpanjang kontraknya dan memilih pension dini. Lalu, Haroen Al Rasjid mengusulkan pension dini. Department Civieal mengabulkan permintaan Haroen Al Rasjid dan diberitakan di dalam koran pada edisi 6 Oktober 1909. Namun efektifnya baru berlaku jika sudah ada penggantinya. Haroen Al Rasjid berencana akan pindah ke Telok Betoeng untuk membuka klinik dokter praktek.
Pilihan Telok Betoeng karena dua alasan: pertama karena tempatnya berada
di tengah antara orang tua di Batavia dan mertua di Padang. Alasan kedua,
karena rekomendasi kawan karib dan lae Dr. Muhamad Hamzah yang akan sudah
pension dini dan lebih memilih pindah ke Pematang Siantar agar lebih dekat
dengan orangtua. Dr. Mohamad Hamzah sudah bertugas di Telok Betoeng sejak 1903.
Dr. Haroen Al Rasjid dan Dr. Mohamad Hamzah berencana membuka praktek dokter
untuk sasaran utama untuk orang-orang Eropa yang sudah banyak berdomisili baik
di Telok Betoeng maupun Pematang Siantar. Namun
pengganti Haroen Al Rasjid tidak kunjung datang, mungkin karena penugasan
dokter baru lebih mendesak di kota-kota lain yang membutuhkan. Haroen Al Rasjid
tampaknya tidak keberatan, apalagi mertua dari Padang sering berkunjung ke
Siboga baik karena urusan bisnis persuratkabaran maupun dalam rangka pulang
kampong ke Padang Sidempoean. Selama mereka di Siboga, keluarga Haroen Al Rasjid kerap pulang
kampong ke Padang Sidempoean, kota dimana tempat lahir Haroen Al Rasjid dan
Alimatoe Sadiah. Anak mereka Ida Loemongga juga pernah diajak pulang kampong di
Padang Sidempoan, namun frekuensi pulang kampong ini mulai berkurang karena
Alimatoe Sadiah sudah hamil lagi. Pada tanggal 6 Desember 1910 Sibolga anak kedua Haroen Al Rasjid
lahir yang diberi nama Gele.
Akhirnya pengganti Haroen Al Rasjid datang juga. Keluarga Haroen Al Rasjid bersiap-siap untuk pindah ke Lampung. Di Telok Betoeng keluarga muda ini memulai hidup baru, dan Dr. Haroen Al Rasjid membuka praktek dokter swasta. Anak pertama Haroen Al Rasjid, Ida Loemongga dimasukkan ke sekolah Eropa, ELS di Telok Betoeng. Singkat kata: setelah lulus ELS, pada tahun 1918 Ida Loemongga didaftarkan di sekolah elit di Batavia, Prins Hendrik School, afdeeling HBS.
Kemudian keluarga Haroen Al Rasjid pindah ke Tanjong Karang karena ada
keinginan keluarga (termasuk Dja Endar Moeda) untuk membuka klinik baru dan
agar cakupannya menjadi lebih luas untuk mampu menjangkau masyarakat
biasa. Kepedulian Dja Endar Moeda yang
selama ini focus bidang pendidikan, kini tampaknya sudah mulai menyentuh bidang
kesehatan. Investasi Dja Endar Moeda yang selama ini di bidang media mulai
dialokasikan di bidang kesehatan. Di Padang sendiri industri media sudah mulai
ada tanda-tanda kurang memberi prospek bagus lagi karena pertumbuhan jumlah
orang-orang Belanda di Sumatr's Westkust sudah stagnan, sebaliknya pertumbuhan
jumlah orang-orang Belanda/Eropa di Sumatra's Oostkust sedang
kencang-kencangnya. Ini sehubungan dengan berkembangnya perkebunan skala besar
di Medan dan sekitarnya. Oleh karena pendapatan iklan menjadi sumber terbesar
koran-koran, maka yang merasakan lebih awal dampak ini adalah koran berbahasa
Belanda. Koran Sumatra Courant akhirnya tahun akhir tahun 1900 ditutup. Lantas keluarga Dja Endar Moeda
mengalihkan investasi bisnisnya ke Aceh di bidang media dan ke Lampong di
bidang kesehatan. Praktis nilai finansial Dja bEndar Moeda tidak ada lagi di
Padang. Pilihan Aceh karena wilayah Aceh baru kondusif setelah perang dan
dipandang perlu untuk meraih peluang pasar media untuk pendidikan bagi penduduk
Aceh, sementara di Medan sudah ketat persaingan koran berbahasa Melayu. Dja
Endar yang sudah mulai menua ingin memberi estafet kepemilikan media kepada
anak-anaknya, sementara dia ingin lengser. Daerah Aceh yang merupakan pasar
media yang masih terssa waktu itu akan sesuai bagi anak-anaknya yang baru mulai
menekuni industri media persuratkabaran. Dja Endar Moeda tampaknya ingin hidup
selamanya di tanah serambi Mekah
ini. Sementara putri sulungnya
dan cucu di ujuang Sumatra lainnya di Lampoeng.
Pada tahun 1922 Ida Loemongga lulus afdeeling-B (IPA) di Prins Hendrik School, lantas diterima ujian masuk di STOVIA. Namun karena Ida Loemongga tergolong cerdas, maka Ida Loemongga termasuk yang direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda. Keluarga Ida Loemongga tidak keberatan dan sangat mendukung. Ida Loemongga yang diterima di Universiteit Utrecht didukung semua keluarga besar ompungnya Dja Endar Moeda dan keluarga besar Soetan Abdul Azis. Ida Loemongga lantas berangkat sendiri pada tahun 1923. Sebelum berangkat, Ida Loemongga sempat menemui 'tulang' Soetan Casajangan yang kini menjadi Direktur Normaal School di Meester Cornelis (Batavia). Sebab belum lama berselang, Soetan Casajangan baru pulang berkunjung dari Nageri Belanda.
Soetan Casajangan adalah saudara dari Dr Mohamad Hamzah. Radjieoen Harahap gelar Soetan Casajangan
berangkat studi ke Belanda tahun 1903. Lalu pada tahun 1908 Soeran Casajangan
mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa pribumi asal Hindia di Belandan yang
diberi nama Indische Vereeniging. Setelah lulus sarjana pendidikan, Soetan
Casajangan kembali ke tanah air dan menjadi direktur sekolah guru di Fort de
Kock, sekolah dimana doeloe Alimaatoe Saadiah (ibu Ida Lomongga) bersekolah.
Setelah beberapa kali pundang akhirnya Soetan Casajangan dari sekolah guru di
Ambon pada tahun 1921 dipindahkan ke sekolah guru Normaalschool di Batavia. Masih
di Batavia, sudah barang tentu Ida Loemongga menemui Sorip Tagor Harahap,
dokter hewan yang ditempatkan di Batavia, dokter hewan pribumi pertama yang belum
lama kembali ke tanah air setelah meraih gelar docter hewan tahun 1921. Ida
Loemongga akan kuliah di bidang kedokteran di Utrecht.
Ketika Ida Loemongga memulai perkuliahan bidang kedokteran di Utrecht, ada beberapa anak-anak Padang Sidempoean yang juga tengah studi di Belanda. Sementara yang lainnya sudah pulang seperti Dr Sorip Tagor Harahap (1921) dan Toedoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (1919).
Di Leiden tentu saja Ida
Loemongga menemui abang Alinoedin Siregar gelar
Radja Enda Boemi, anak Batang Toroe yang tengah sibuk mempersiapkan desertasi untuk menyelesaikan studi dan
memperoleh gelar doktor (PhD) di bidang hukum dan juga ada Amir Sjariefoeddin Harahap di Haarlem
Ida Loemongga kemudian berhasil memperoleh gelar sarjana kedokteran pada tahun 1927 di Universiteit Utrecht. Setelah dipromosikan menjadi dokter di universitas tersebut, Ida Loemongga pada tahun berikutnya mengambil dokter spesialis di Universiteit Lieden. De Tijd :godsdienstig-staatkundigdagblad, 21-03-1929: 'Mij. I. Rasjid kelahiran Padang Sidempoean (tercetak, seharusnya Padang) dinyatakan lulus dan berhak sebagai dokter. Lantas kemudian, Ida Loemongga ternyata diminati oleh banyak institute.
Setelah beberapa waktu sebagai asisten Dr. Caroline Lang, Ida Loemongga
meneruskan pendidikan doktoral di Universiteit Amsterdam. Sementara itu, Radja
Enda Boemi setelah meraih doktor bidang hukum pada 1925 kembali ke tanah air. Namun pada tahun 1926 tiba
di Belanda Dr Sjoeib Proehoeman untuk melanjutjan studi di bidang kedokteran
dan kemudian menyeusul Dr Diaparie Siregar dan Dr Amidnoedin Pohan, Dr Gindo
Siregar dan lainnya. Semua yang disebut berasal dari Padang Sidempoean. Pada
tahun 1930 Dr Sjoeib Proehoeman berhasil meraih gelar doctor di bidang
kedokteran di Universiteit Amsterdam.
Pada tahun 1931, Ida Loemongga dipromosikan sebagai doctor di bidang kedokteran dengan promotor Dr. Lang sendiri. Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931 memberitakan bahwa Nona Haroen Al Rasjid yang dalam hal ini Mej. I.L. Haroen Al Rasjid yang menandai dari sisi adat sebagai perempuan pribumi pertama yang meraih doctor di bidang kedokteran. Di dalam berita ini disebut Mej. Haroen adalah putri seorang dokter pribumi di Padang Sidempoean (mungkin mengacu pada tempat lahir Dr. Haroen Al Rasjid).
Pada tahun ini juga di koran-koran Belanda, nama Padang Sidempoean
beberapa kali disebut. De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 08-05-1931
memberitakan bahwa Aminoedin Pohan (lahir di Sipirok) dipromosikan menjadi
dokter (spesialis) dengan judul tesis: ‘Abortus, voorkomen en deproefshrift’
(Aborsi, pencegahan dan pengobatan’. Dalam beberapa bulan kemudian Algemeen
Handelsblad, 17-12-1931 memberitakan bahwa di Leiden, dipromosikan menjadi
dokter (spesialis), Diapari Siregar (lahir di Sipirok). Dr. Aminoedin Pohan dan
Dr, Diapari Siregar menyelesaikan tingkat sarjananya di STOVIA, Batavia. Pada
tahun berikutnya, adik kelas mereka, anak Batang Toroe yang langsung datang ke
Belanda untuk studi tingkat sarjana—seperti Ida Loemongga doeloe—yakni
Parlindoengan Loebis yang sudah diterima dalam bidang kedokteran di
Universiteit Leiden. 1932.
Dengan demikian, Ida Loemongga yang mungkin satu-satu perempuan pribumi yang studi di Negeri Belanda waktu itu sesungguhnya merasa tenang, aman dan menggembirakan. Ida Loemongga yang fasih berbahasa Batak ini secara tak langsung dan dengan sendirinya mendapat 'pengawalan' secara adat di rantau orang baik oleh seniornya maupun juniornya yang silih berganti berasal dari Padang Sidempoean. Apalagi sudah diketahui umum bahwa Soetan Casangan adalah tulang dari Ida Loemongga. Dan tentu saja pengaruh Soetan Casajangan masih ada sebagai pelopor dan presiden pertama perhimpunan Indonesia, apalagi di tengah-tengah komunitas anak-anak Padang Sidempoen di Negeri Belanda.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Perempuan Pribumi Hindia Mampu Raih Gelar Doktor: Doktor Perempuan Diantara Doktor-Doktor Laki-Laki
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar