Jumat, 01 September 2017

Sejarah Kota Depok (42): Setu Babakan di Srengseng Dibangun 1830; Kini Menjadi Pusat Perkampungan Budaya Betawi

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Setu Babakan berada di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Setu ini kini dijadikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat perkampungan budaya Betawi. Dalam artikel ini, kita tidak sedang menelusuri sejarah terbentuknya Setu Babakan sebagai pusat perkampungan budaya Betawi (itu akan menjadi artikel Sejarah Jakarta), tetapi ingin menelusuri sejarah terbentuknya setu itu sendiri. Pembentukan setu di Srengseng yang kini disebut Setu Babakan dalam hal ini juga menjadi bagian dari Sejarah Depok.

Peta Lenteng Agoeng, 1900
Sejauh ini, bagaimana setu Babakan bermula tidak pernah ditulis. Padahal setu Babakan adalah setu (danau) buatan. Boleh jadi pada saat ini setu besar yang berada di Srengseng tidak terlihat lagi penampakan sebagai setu buatan karena umurnya memang sudah tua. Untuk menambah pengetahuan kita, mari kita telusuri.

Cornelis Chastelein

Ada tiga lahan (land) yang terbilang paling awal di sisi barat sungai Tjiliwong yang diperuntukkan (diserahkan) pada era VOC untuk pengembangan pertanian sebagai lahan kelas satu, yaitu: di Sringsing (Srengseng), Tjinirie (Tjinere) dan Tjitajam. Tiga area ini dianggap paling subur (vegetasi baik dan memiliki sumber air). Land Srengseng menjadi milik Cornelis Chastelein (pejabat sipil VOC) sedangkan Land Tjinere dan Land Tjitajam menjadi milik St. Martin (komandan militer VOC).

Pajak lahan di Afd. Buitenzorg, 1926
Pada tahun 1696, Chastelein membeli lahan baru di Depok. Mampang dan Karang Anyar. Lahan-lahan ini adalah lahan kelas dua yang berada diantara tiga lahan kelas satu (Land Srengseng, Land Tjinere dan Land Tjitajam). Dalam perkembangannya, diduga kuat, Land Sringsing (yang berpusat di Lenteng Agung sekarang) tidak bisa dikembangkan lebih luas (karena keterbatasan air), Cornelis Chastelein menjualnya dan fokus hanya di Land Depok (memiliki sumber air). Pembeli lahan Sringsing menjadikan lahan yang luas itu menjadi peternakan Tandjong West (nama Land Sringsing berubah menjadi Land Tandjong West). Peternakan ini mengusahakan ribuan sapi Frisian untuk memproduksi susu dengan mempekerjakan ratusan budak. Catatan: Land Pondok Tjina (Pondok Tjina, Kemiri Moeka dan Bedji) belum terbentuk (baru dibentuk kemudian), karena tergolong lahan kelas tiga, lahan kering yang terdiri dari semak-semak dan alang-alang yang luas.  

Sebagaimana diketahui, Cornelis Chastelein pada tahun 1714 mewariskan lahan-lahannya (Land Depok) kepada para pekerjanya. Lahan-lahan di Land Depok diteruskan oleh para pekerja Cornelis Chastelein. Sedangkan lahan-lahan di Land Tjinere dan Land Tjitajam belum sempat dikembangkan, Sersan St. Martin meninggal muda (belum kawin) dan lahan-lahan itu diambilalih pemerintah VOC (kembali). Lahan-lahan di Land Tjinere dan Land Tjitajam adalah pemberian Pemerintah VOC karena prestasinya meredakan gejolak di Banten. Lahan-lahan eks St. Martin kelak dijual pemerintah kepada publik.

Pembangunan Setu di Land Tandjong West

Pada era Pemerintahan Hindia Belanda (yang dimulai tahun 1800, karena VOC bangkrut), Gubernur Jenderal Daendels memulai pembangunan ekonomi wilayah: perluasan perkebunan penduduk, pengembangan jalan raya dan pencetakan sawah baru. Rencana pencetakan sawah baru sudah ada 1810 namun baru terealisasi pada awal tahun 1820an (pada era Inggris 1811-1816 masih sibuk dengan perluasan perkebunan). Saat itu lahan-lahan persawahan beririgasi baru terdapat di hulu sisi timur sungai Tjiliwong (rintisan bendungan Katoelampa). Pencetakan sawah baru dimulai di hulu sisi barat sungai Tjiliwong di Land Kedong Badak dan Land Tjiliboet dengan membangun irigasi yang airnya bersumber dari sungai Tjipakantjilan (mengalihkan air sungai Tjipkantjilan yang jatuh ke sungai Tjisadane dengan membuat kanal menuju Kedong Badak melalui Jembatan Merah yang sekarang. Irigasi ini berfungsi sekitar tahun 1825.

Pembangunan kanal Tjipakantjilan dan irigasi Kedong Badak dipimpin oleh Asisten/Residen Buitenzorg yang dibantu oleh Bupati Bogor dengan mengerahkan penduduk. Selama ini di Land Kedong Badak, Land Bloeboer (pusat kota Bogor sekarang) dan Land Tjiliboet hanya terbatas perkebunuan komoditi ekspor. Dengan adanya irigasi ini dimungkinkan untuk pencetakan sawah (diusahakan penduduk) dan menambah kesuburan lahan perkebunan (yang diusahakan oleh para Planter).

Sukses pencetakan sawah di Afdeeling Buitenzorg, Pemerintah di Afdeeling Meester Cornelis mulai berinisiatif membangun sawah-sawah (baru). Asisten/Residen Meester Cornelis memimpin perencanaan dan pembangunan sawah baru. Namun itu tidak mudah, karena air berada di bawah (sungai Tjiliwong, sungai Kroekoet dan sungai Kalibata). Dengan kata lain lahan-lahan yang potensial untuk sawah (subur dan luas) lebih tinggi dari permukaan aliran air yang ada. Lahan-lahan di Land Tandjong West dan lahan-lahan di Pasar Minggoe sangat sesuai dengan rencana pencetakan sawah baru. Lalu, tentu saja, mulai dilakukan studi kelayakan. Sumber air untuk mengairi sawah baru dapat diperoleh dengan membangun bendungan di Srengseng. Bendungan ini yang kelak disebut Setu Babakan.

Bendungan ini di satu pihak untuk menampung air dari sungai-sungai kecil, di pihak lain permukaan air yang semakin tinggi dengan terbentuknya setu (danau) dimungkinkan untuk membangun kanal dari setu menuju Land Tandjong West dan Pasar Minggoe. Kanal ini masih dapat dilihat hingga ini hari dari Srengseng, sepanjang jalan raya (di bawah stasion Lenteng Agung sekarang) dan area Tanjong Barat. Air dari kanal yang bersumber dari Setu Babakan inilah yang mengairi persawahan dalam upaya pencetakan sawah baru di Afdeeling Meester Cornelis. Srengseng sendiri adalah bagian wilayah Afdeeling Meester Cornelis terjauh dari ibukota di Meester Cornelis (kini Jatinegara) yang langsung berbatasan dengan Afdeeling Buitenzorg di Land Pondok Tjina (kampus UI Depok yang sekarang).  Ini berarti Srengseng adalah wilayah terjauh Batavia, tempat dimana sumber air untuk kebutuhan di Batavia seperti di Tandjong Barat, Pasar Minggoe dan Menteng.

Bendungan Srengseng ini mulai dibangun tahun 1830 dan selesai sekitar awal tahun 1830an dengan menelan biaya yang sangat besar (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-04-1866). Pembiayaan pembangunan setu dan kanal ini kontribusi terbesar berasal dari pemilik (Landheer) Land Tandjong West. Ibukota (landhuis) Land Tandjong West ini kira-kira berada di sekitar Gedung Antam yang sekarang.

Peta, 1901
Di Depok muncul inisiatif untuk membangun irigasi sendiri. Gemeente Depok mulai membangun situ dengan menampung limpahan air dari sawah-sawah penduduk di Land Tjitajam melalui Ratoedjaja. Setu yang terbentuk ini disebut Situ Pitara (lokasinya berada di belakang Carrrefour jalan Dewi Sartika Depok yang sekarang). Situ ini sudah terdeteksi sekitar tahun 1850an. Situ ini berfungsi ganda bagi penduduk di Gemeente Depok yakni untuk perikanan dan sumber air pencetakan sawah di Land Depok dan Land Pondok Tjina. Limpahan air dari Depok/Pondok Tjina ini dialirkan ke Setu Babakan (yang dengan sendirinya menambah kapasitas air di Setu Babakan).

Dalam perkembangan lebih lanjut, pada pertengahan tahun 1860an saluran irigasi di sisi barat sungai Tjiliwong di Afdeeling Buitenzorg mulai diintegrasikan dari Land Kedong Badak, Land Tjiliboet, Land Bodjong Gede, Land Tjitajam hingga Land Depok. Untuk menambah kapasitas air (debit air) menuju Land Tjitajam dan Land Depok kanal Tjipakantjilan ditingkatkan (diperlebar dan diperdalam) lalu diikuti dengan memulai menyodet air dari sungai Tjisadane dengan membangun bendungan di Empang. Bendungan Empang di sungai Tjisadane ini selesai dibangun tahun 1872. Khusus untuk pembagunan kanal di ruas Land Bodjong Gede, Land Tjitajam menuju Depok ini menelan biaya yang cukup besar.

Dengan semakin meningkatnya debit air menuju Land Depok, volume air di Situ Pitara di Depok makin besar (permukaan air makin tinggi). Pada fase inilah dibangun kanal dari Situ Pitara menuju barat melalui jalan Sawangan yang sekarang dan kemudian berbelok ke kanan sepanjang jalan Tanah Baroe untuk pencetakan sawah baru. Terusan kanal ini diarahkan melalui Koekoesan dan berakhir di Setu Babakan. Dampaknya, irigasi di hilir Tandjong Barat diperluas hingga ke Kalibata dan Menteng di Pegangsaan lalu air dibuang ke sungai Tjiliwong. Dalam hal ini pemilik Land Tandjong West yang berinvestasi di Setu Babakan memberikan konpensasi kepada Gemeente Depok (karena kapasitas air di Setu Babakan dapat ditingkatkan karena adanya Situ Pitara di Depok). Konpensasi ini berupa iuran air yang dibayarkan setiap tahun.  

Persoalan Setu Babakan dan Land Tandjong West ternyata muncul lagi. Lambat laun, pada saat kemarau, ketinggian air di Setu Babakan menurun dan debit air melalui kanal menuju Land Tandjong West semakin kecil, sementara kebutuhan air di Batavia/Meester Cornelis yang semakin banyak karena telah terjadinya perluasan sawah (terutama di Land Tandjong West). Untuk mengatasi persoalan ini Pemerintah Batavia mulai membicarakan dengan Pemerintah Buitenzorg dan juga mempertemukan pihak Gemeente Depok dan pihak Land Tandjong West.

Setu Babakan Srengseng pada masa kini (Wikipedia)
Pada tahun 1930 suatu keputusan bersama dibuat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-07-1930). . Untuk menolong Batavia agar kebutuhan air terus terjaga sepanjang tahun maka mau tak mau Situ Pitara harus ditutup. Negosiasi ini sangat alot, tetapi akhirnya Gemeente Depok mengalah dan menutup Situ Pitara dan Pemerintah Batavia dan Land Tandjong West memberi konpensasi (ganti rugi) atas penutupan situ tersebut. Aliran air irigasi dari Land Tjitajam (sumber air Empang) melalui Kalibaru tidak lagi masuk ke (eks) Situ Pitara, melainkan airnya langsung dialirkan menuju kanal yang sudah ada di jalan Sawangan, jalan Tanah Baroe, Koekoesan dan terus menuju Setu Babakan. Dan, Situ Pitara di Depok tamat (1930), dan Setu Babakan yang mulai dibangun 1830 di Srengseng tetap eksis hingga ini hari, yang area setu tersebut kini dijadikan sebagai situs Perkampungan Budaya Betawi.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

2 komentar:

  1. Pak MATUA kalau sejarah mampang ada ga yaa. Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Secara khusus setahu saya tidak/belum. Untuk Mampang di Depok informasinya mungkin terdapat di beberapa artikel sejarah Depok. Demikian juga untuk Mampang Jakarta di beberapa artikel sejara Jakarta. Coba search kata 'mampang' di kolom pencarian search di atas.

      Hapus