Rabu, 26 Mei 2021

Sejarah Bangka Belitung (1): Pulau Bangka dan Belitung Zaman Kuno; Selat Karimata Antara Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini

Dalam navigasi pelayaran (perdagangan) zaman kuno, selain gunung, pulau yang lebih kecil juga penanda navigasi yang penting untuk memasuki wilayah pedalaman melalui muara-muara sungai. Pada fase inilah sejarah zaman kuno pulau Bangka dan pulau Belitung dimulai. Namun masalahnya adalah sulit membedakan mana yang lebih dahulu ditemukan apakah muara sungai Musi dan muara sungai Batanghari atau pulau Bangka dan pulau Belitung. Meski tidak terlalu penting, tetapi dua penanda geografis itu dalam pelayaran (muara dan pulau) saling berhubungan.

Sejarah pulau Bangka dan sejarah pulau Belitung sulit dipahami jika hanya semata-ata melihat kedua pulau itu berdiri sendiri di tengah lautan. Pada blog ini sudah lebih dahulu dipelajari sejarah Sumatra Selatan (serial artikel sejarah Kota Palembang), sejarah Banten (serial artikel sejarah Banten), sejarah Kalimantan Barat dan sejarah Kalimantan Selatan (serial artikel sejarah Kalimantan) dan sejarah Riau (serial artikel sejarah Riau). Pada saat yang bersamaan dengan sejarah Bangka Belitung ini sedang dipeljari sejarah Jambi dan sejarah Lampung. Dengan demikian diharapkan sejarah Bangka dan sejarah Belitung menjadi lebih kaya dan lebih luas.

Lantas bagaimana sejarah zaman kuno pulau Bangka dan pulau Belitung? Dalam berbagai tulisan disebut pulau Bangka dan pulau Belitung sudah dikenal pada zaman kuno. Namun sejak kapan, perlu diteliti lebih lanjut tidak hanya berdasarkan keterangan tertulis (prasasti atau dokumen lain) tetapi juga dengan analis spasial dalam posisi GPS pulau Bangka dan pulau Belitung di lintasan navigasi pelayaran perdagangan pada zaman kuno. Kedua pulau ini harus dihubungkan dengan tiga daratan luas (Sumatra, Jawa dan Kalimantan). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pulau Karimata: Pulau Bangka dan Pulau Belitung

Pada peta-peta Portugis sudah diidentifikasi nama pulau Karimata dengan nama Crimata. Ada juga peta yang menulis dengan nama Crimatan. Pulau yang berada diantara daratan pulau Kalimantan dan pulau Belitung. Dari penulisan ini, diduga pelaut-pelaut Portugis mengeja nama Kalimatan atau Kalimantan (yang merujuk pada nama India). Nama tersebut diduga nama awal pulau Kalimantan pada era Hindoe Boedha sebelum orang-orang Portugis menyebutnya pulau Borneo. Pada era Portugis inilah nama pulau Bangka dan pulau Belitung diidentifikasi dalam peta-peta Eropa.

Sulit menemukan peta-peta kuno, pelaut-pelaut Eropa (yang terawal Porugis dan Spanyol) yang tidak hanya intens membuat peta navigasi pelayaran, juga peta-peta Eropa masih tersimpan dengan baik hingga dapat dibaca pada masa kini, Sejak era Hindoe Boedha nama pulau Crimata sudah dikenal, dan nama pulau ini diantara daratan Kalimantan dan pulau Belitung dipetakan sebagai selat Karimata (hingga ini hari). Orang-orang Portugis yang sejak 1511 di Malaka pada tahun 1521 yang dipimpin oleh George Menesez mengunjungi pelabuhan ramai di utara pulau Kalimantan yakni Boernai.  Sejak inilah nama Boernai (menjadi Borneo) diidentifikasi dalam peta Portugis sebagai nama pulau Kalimantan. Nama pulau Borneo pada era masa kini (RI) dikembalikan ke nama lama (Kalimantan) yang dalam identifikasi Portugis sebagai pulau Crimata atau Crimatan.

Tentu saja nama Bangka dan Belitung sudah eksis jauh sebelum kehadiran pelaut-pelaut Portugis. Hal ini karena dua pulau ini terbilang pulau besar diantara daratan Sumatra dan daratan Kalimantan. Prasasti Kota Kapur (686 M) yang ditemukan di pulau Bangka mengindikasikan pulau ini sudah dikenal pada era Sriwijaya. Dalam prasasti ini Sriwijaya sebagai suatu kerajaan. Pada prasasti Kedukan Bukit (682 M). nama Sriwijaya adalah nama raja. Dalam hal ini nama raja menjadi nama kerajaan.

Dalam prasasti Kedukan Bukit menceritakan kehadiran raja Dapunta Hiyang dengan bala tentaranya dari Minana dan tiba di hulu Upang. Yang membuat prasasri (menandatangani) raja Sriwijaya. Satu hal yang menarik dalam prasasti dua nama tempat Minana dan Hulu Upang. Pada masa ini Upang adalah nama sungai yang bermuara ke pantai barat pulau Bangka dan nama Minana sangat sesuai dengan nama Binanga di muara sungai Barumun (Padang Lawas). Jika membandingkan teks prasasti Kedukan Bukit dengan prasasti Kota Kapur ada perbedaan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang digunakan. Aksara prasasti Kedukan Bukit tampak lebih tua dari aksara prasasti Kota Kapur. Meski disebut tahun yang berdekatan antara dua prasasti, besar dugaan prasasti Kota Kapur adalah sebuah replika (ditulis ulang kembali kemudian dengan bahasa yang lebih baik). Hal yang menguatkan bahwa prasasti Kota Kapur sebagai replika dari baris kespuluh ‘pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa’. Namun yang jelas pengaruh kerajaan Sriwijaya di Bangka (prasasti Kota Kapur) sudah eksis sejak 686 M. Dengan demikian pulau Bangka sudah dikenal sejak lama yang boleh jadi berdasarkan dua informasi pada dua prasasti tersebut (682 M dan 686 M) raja Sriwijaya ber ibu kota di pulau Bangka (bukan di Palembang tempat ditemukan prasasti Kedukan Bukit). Besar dugaan pada masa itu kota Palembang dan kota Jambi yang sekarang masih muara sungai Musi dan muara sungai Batanghari di pantai (sebagai kota-kota pelabuhan muara sungai) yang saling berhadapan dengan ibu kota Sriwijaya di pantai barat pulau Bangka. Dalam konteks (ruang dan waktu) inilah nama pulau Crimata atau Kalimantan sudah memiliki nama.

Pada era Sriwijaya, nama pulau Bangka, pulau Belitung dan pulau Karimata sudah begitu penting. Posisi GPS Kerajaan Sriwijaya pada saat itu masih di Pulau Bangka. Sementara kerajaan yang sudah eksis di pulau (pedalaman) Sumatra adalah Kerajaan Aru dengan pelabuhan utamanya di pantai timur Sumatra adalah Binanga (prasasti Kedukan Bukit mencatatnya sebagai Minana) dan pelabuhannya di pantai barat Sumatra adalah Baroes.

Dalam literatur Eropa terdapat keterangan bahwa sejak abad ke-2 M, lewat tulisan Ptolemaeus yang menyebutkan (pulau) Sumatra bagian utara dianggap sebagai daerah berbahaya karena diduga dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal, tetapi wilayah itu kaya dengan kamper, khususnya yang diekspor sejak abad ke-5 atau ke-6 M melalui sebuah tempat yang bernama Barus. Keterangan ini sedikit membantu bahwa paling tidak nama Barus sudah diketahui (di Eropa) sejak abad ke-5. Artinya apa? Prasasti Kedukan Bukit bertarhk 682 (awal Sriwijaya) mengindikasikan Barus sudah dikenal jauh sebelum dikenal Sriwijaya (Palembang). Seperti disebut di atas, jika memperhatikan isi teks prasasti itu ditemukan nama Minana yang besar dugaan Binanga yang sekarang sebagai pelabuhan di pantai timur (pelabuhan Kerajaan Aru). Dalam teks itu mengindikasikan Minana atau Binanga sebegai kerajaan yang jauh lebih kuat dari Sriwijaya. Dalam hal ini, Kerajaan Aru (berpusat di Angkola Mandailing) terhubung dengan pelabuhan di pantai timur (Binanga) dan pelabuhan di pantai barat (Baroes). Sebagai catatan tambahan: Jika Sumatra bagian utara pada abad ke-2 sebagai kaya kamper, maka masuk akal jika pelabuhan Barus jauh lebih awal jika dibandingkan dengan pelabuhan Soenda di Jawa (prasasti Tugu, Cilincing abad ke-5) dan pelabuhan Koetai di Borneo (prasasti Mulawarman di Muara Kaman, awal abad ke-6).

Dalam konteks navigasi pelayaran perdagangan (dari pedagang-pedagang India), haruslah dipandang pantai barat Sumatra lebih awal berkembang sebelum pantai timur Sumatra berkembang. Perdagangan menjadi faktor kunci terbentuknya kerajaan dan faktor pendukung ekspanasi kerajaan. Perdagangan menimbulkan kekayaan, dan kekayaan adalah sumber pembiayaan yang penting dalam menjalankan pemerintahan dan membiaya pasukan. Seperti disebut di atas (lihat juga prasasti Kedudkan Bukit), Raja Dapunta Hyang dari Minana membawa 20.000 tentara ke hulu Upang (yang diduga di pulau Bangka yang sekarang).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pulau Bangka dan Pulau Belitung: Dari Sriwijaya hingga Banten

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar