Sabtu, 07 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (575): Pahlawan Indonesia-Membaca Ulang Prasasti Sumatra Abad ke-7; Teori Rupa Bumi Nusantara

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Prasasti bukanlah prosa atau kumpulan puisi, tetapi ibarat buku pelajaran yang semakin sering dibaca tidak hanya menjadi hafal tetapi semakin memahami makna isinya. Lebih-lebih semakin banyak yang kita pelajari dari sumber buku lain. Membaca ulang buku tentulah hasilnya tidak sia-sia, membaca ulang teks prasasti akan semakin dipahami relasi satu dengan yang lainnya: tidak hanya di Sumatra juga di wilayah lainnya. Di Sumatra ditemukan banyak prasasti, tetapi ada enam prasasti yang berasal dari abad ke-7.

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan CJ Batenburg 29 November 1920 di Kedukan Bukit, Palembang, Batu kecil ukuran 45×80cm, aksara Pallawa, bahasa Melayu Kuno.  Tahun 682 M. Prasasti Talang Tuo ditemukan LC Westenenk 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang. Ukuran 50×80cm. Tahun 684 M, aksara Pallawa, bahasa Melayu Kuno. Sarjana pertama membaca dan alihaksarakan prasasti adalah van Ronkel dan Bosch. Prasasti Kota Kapur berupa tiang batu bersurat ditemukan di pesisir barat pulau Bangka, di dusun Kota Kapur. Tahun 686 M. Aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno, Prasasti dilaporkan oleh JK van der Meulen Desember 1892, Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H Kern menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes kemudian mengungkapkan Śrīwijaya nama kerajaan di Sumatra. Prasasti Karang Berahi ditemukan tahun 1904 oleh LM Berkhout di Batang Merangin. Batu andesit ukuran 90x90x10 cm. Bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa, tahun 680-an. Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru. 3 Ilir, Palembang, tahun 1935. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang berisi tentang keberadaan suatu vihara. Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Batu andesit ukuran tinggi 118x148cm. Di bagian atas terdapat hiasan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di bagian bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran). Aksara Pallawa bahasa Melayu Kuno. Prasasti Palas Pasemah ditemukan 1956 di Palas Pasemah, Lampung. Aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah di dalam teks prasasti di Sumatra yang berasal dari abad ke-7? Seperti disebut di atas, teks prasasti-prasasti dibaca ulang. Semakin sering dibaca semakin dipahami makna isinya. Apalagi semakin banyak teori yang digunakan. Lalu bagaimana sejarah di dalam teks prasasti di Sumatra yang berasal dari abad ke-7? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia dan Membaca Ulang Prasasti di Sumatra: Teori Rupa Bumi Pulau Nusantara

Prasasti tertua di Sumatra adalah prasasti Kedoekan Boekit bertarih 682 M. Prasasti itu ditemukan CJ Batenburg di kampong Kedoekan Boekit Palembang 1920. Yang pertama membaca teks prasasti itu adalah Prof Dr. Ph S van Ronkel (lihat Acra Orientale II, 1925) dan G Coedes (lihat BEFEO, 1930). Membaca hasil bacaan mereka tampak ada perbedaan. Oleh karenanya terjemahannya menjadi berbeda. Kita perhatikan baris 1 hingga baris empat.

Ronkel menerjemahkan ke dalam bahasa Belanda: ‘Salam! Pada tahun Saka 605 pada tanggal sebelas setengah terang bulan Waisakha, raja dan pangeran kita naik Sambo untuk mendapatkan kekuatan sihir. Pada tanggal 7 setengah terang dari bulan Jyestha tuan kita membebaskan dirinya dari Minanga’. Coedes menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis: ‘Kemakmuran! Harta benda! Di tahun Saka 605, hari kesebelas dari dua minggu terang bulan Vaigakha, Yang Mulia naik kapal untuk mengambil kekuatan sihir. Hari ketujuh dari dua minggu yang cerah pada bulan Jyestha, raja membebaskan dirinya dari…..’.

Dengan mengabungkan bacaan dua teks tersebut, saya menerjemahkan berbeda, sebagai berikut: ‘Selamat! Pada tahun Śaka 605, pada hari ke sebelas pada paruh bulan terang Waiśakha Dapunta Hyang dalam sampan menjemput siddhayātra. pada hari ke tujuh pada paruh bulan terang  Jyestha Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Temuan.

Teks tersebut dilanjutkan sebagai berikut: ‘membawa pasukan 200.000 orang dengan dua ratus bekal di sampan dan dengan berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya datang di Mataya. Bersukacita di Pancami pada hari kelima paruh bulan terang bulan..... ceria, datang dan membuat negara. Sriwijaya, diberkahi dengan kesaktian penaklukan’.

Teks prasasti Kedoekan Boekit menggambarkan raja Dapunta Hyang berangkat dari suatu tempat pada bulan April dengan sampan. Pada bulan Mei raja Dapunta Hyang berangkat dengan pasukan dari Minanga. Tiba di Pancami dan sebanyak 1.312 orang jalan kaki ke Mataya. Setelah pulang dari Mataya lalu di Pancami pada bulan….dikukuhkan negara Sriwijaya.

Dalam teks ada informasi yang hilang yakni bulan apa Sriwijaya dikukuhkan di Pancami. Teks prasasti Kedoekan Boekit digabungkan dengan prasasti yang lain. Dalam prasasti Karang Berahi ditemukan di sungai Batang Merangin (Jambi) Isinya tentang perjanjian dengan hukuman bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada raja dan orang-orang yang berbuat jahat. Apakah 1.312 orang jalan kaki ke Mataya (prasasti Kedoekan Boekit) adalah sungai Batang Merangin? Isi perjanjian hukum Merangin ini kurang lebih sama dengan teks prasasti yang ditemukan di prasasti Kota Kapur (Bangka) dan prasasti Telaga Batu (Palembang) dan prasasti Palas Pasemah (Lampoeng).

Lalu bagaimana relasi prasasti Talang Tuwo yang ditemukan di kaki Bukit Siguntang (Palembang) dengan prasasti-prasasti lainnya, khususnya prasasti Kedoekan Boekit? Prasasti Talang Tuo (684 M) adalah prasasti kedua setelah prasasti Kedoekan Boekit (682 M). Dua prasasti ini ditemukan berdekatan di Palembang (plus prasasti Telaga Batu).

Isi teks prasasti Talang Tuo dibaca G Coedes dalam bahasa Prancis sebagai berikut (terjemahan):  Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula aur, buluh, betung, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka menjadi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Boddhi dan persahabatan (...) dari Tiga Ratna, dan semoga mereka tidak terpisah dari Tiga Ratna itu. Dan juga semoga senantiasa (mereka bersikap) murah hati, taat pada peraturan, dan sabar; semoga dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan. Lagi pula semoga mereka teguh pendapatnya, bertubuh intan seperti para mahāsattwa berkekuatan tiada bertara, berjaya, dan juga ingat akan kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya, berindra lengkap, berbentuk penuh, berbahagia, bersenyum, tenang, bersuara yang menyenangkan, suara Brahmā. Semoga mereka dilahirkan sebagai laki-laki, dan keberadaannya berkat mereka sendiri; semoga mereka menjadi wadah Batu Ajaib, mempunyai kekuasaan atas kelahiran-kelahiran, kekuasaan atas karma, kekuasaan atas noda, dan semoga akhirnya mereka mendapatkan Penerangan sempurna lagi agung. (Wikipedia)

Dalam prasasti Talang Tuo ini Dapunta Hyang Sri Jayanaga membangun taman di bukit Siguntang, Dalam hal ini radja Sriwijaya bernama Sri Jayanaga dengan gelar Dapuntra Hyang. Lalu dimana kraton radja Dapunta Hyang? Ibu kota Kerajaan Dapunta Hyang yang baru kini berada di Kedoekan Boekit tidak lagi di Pancami (Djambi). Dalam hal ini prasasti yang pertama dibuat kerajaan Sriwijaya adalah di Kedoekan Boekit (682 M) dan kemudian prasasti Boekit Siguntang (684 M).

Prasasti Kota Kapoer di Bangka dibuat pada tahun 686 M. Suatu prasasti berisi perjanjian hukum yang dibuat sama dengan prasasti Karang Berahi (Batanghari), Telaga Batu (Palembang), dan Palas Pasemah (Lampoeng). Tiga prasasti perjanjian hukum ini dibuat relatif sama sekitar tahun 686 M sebelum pasukan (Sriwijaya) berangkat menyerang ke Jawa.

Berdasarkan prasasti Kedoekan Boekit sebelum kerajaan Sriwijaya dikukuhkan di Pancami (Jambi) diduga kuat radja Dapunta Hyang berasal dari wilayah Tapanoeli yang mana disebutkan pasukan raja berangkat dari Minanga (kini kota Binanga) di muara sungai Baroemoen. Yang menjadi raja di Sriwijaya adalah Sri Jayanaga dengan gelar Dapunta Hyang, gelar yang sama dengan ayahnya yang berasal dari Tapanoeli.

Bagaimana bisa dikatakan di Tapanoeli? Tidak ada candi tertua di Sumatra selain candi Simangambat di Siabu (Tapanuli Selatan). Candi menjelaskan banyak hal. Pusat religi, pusat peradaban dan pusat kemakmuran, Minanga adalah pelabuhan kerajaan di Tapanoeli di pantai timur, sedangkan pelabuhannya di pantai barat adalah Baroes. Sumber utama dari wilayah Tapanoeli adalah emas dan kamper..

Lantas mengapa Sriwijaya segera menyerang Jawa? Ada kemiripan candi Simangambat dengan candi Sewu di Jawa Tengah. Artinya ada dua pusat kerajaan di Tapanuli dan di Jawa bagian tengah. Besar dugaan bahwa kerajaan Tapanuli dan kerajaan Sumatra bagian Selatan yang telah menjadi Budha ingin memperluas pengaruh Boedha di Jawa..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Membaca Ulang Prasasti di Sumatra: Menulis Ulang Sejarah

Dimana posisi GPS tempat-tempat ditemukan prasasti-prasasti Sumatra pada abad ke-7 tersebut? Satu yang pasti prasasti Kota Kapoer berada di sebuah pulau (pulau Bangka). Kota Kapoer ini sekarang berada di sebelah barat pulau yang berhadap dengan daratan Sumatra. Lalu dimana posisi GPS tempat prasasti Kedoekan Boekit dan prasasti Talang Tuo di Boekit Siguntang? Dari nama geografisnya diduga kuat berada di pulau yang berbeda di sekitar muara sungau Musi. Sedangkan prasasti Telaga Batu, berdasarkan toponimi juga berada di sebuah pulau dimana di tengahnya terdapat telaga (semacam pulau atol)..

Pada masa ini posisi GPS Kota Palembang yang sekarang masih imajiner, dimana kawasannya masih berupa perairan, yang paling tidak terdapat tiga pulau kecil, yakni pulau-pulau dimana ditemukan prasasti. Tempat dimana ditemukan prasasti Kedukan Bukit dan prasasti Talang Tuo adalah pulau yang relatif tinggi dari permukaan air/laut yang kini diidentifikasi sebagai dua bukit yang berbeda. Sementara pulau Telaga Batu, suatu pulau yang terbentuk baru sebagai proses sedimentasi jangka panjang. Area Telaga Batu sebagai daratan rendah yang mana ditengahnya terdapat perairan berupa telaga. Dalam hubungan ini tempat prasasti Kota Kapoer di (pulau) Bangka terhubung dengan tiga pulau di muara sungai dihubungkan oleh perairan/laut yang dengan demikian lalu lintas air dengan perahu dan sampan masih mudah dilakukan.

Pulau prasasti Telaga Batu diduga adalah pulau yang telah berpenghuni dengan penduduk yang ramai sebagai pusat perdagangan. Sementara pulau prasasti Kedukan Bukit dan pulau prasasti Talangtuo di bukit Siguntang adalah pulau yang masih sepi yang ditutupi oleh hutan belantara. Sebagai area yang kosong di dua pulau yang lebih dekat ke muara Sungai Musi terlindung oleh daratan (pulau) Telaga Batu dari lautan. Hal itu menjadi strategis bagi pendirian ibu kota Sriwijaya yang baru (di Bukit Siguntang) dan pembangunan taman raja di Bukit Siguntang.

Ada empat prasasti yang berisi perjanjian hukum yang dibuat raja Sriwijaya (Dapunta Hyang/Dapunta Hyang Sri Jayanaga) yakni prasati Telaga Batu (wilayah Palembang), prasasti Kota Kapoer (wilayah Bangka), prasasti Karang Brahi (wilayah Jambi) dan prasasti Palas Pasemah (wilayah Lampoeng). Empat tempat prasasti perjanjian hukum ini diduga sebagai pusat perdagangan (kerajaan-kerajaan pra Sriwijaya) yang berada di empat penjuru mata angin: Karang Brahi (utara), Kota Kapoer (timur), Telaga Batu (selatan) dan Palas Pasemah (barat). Dalam hubungan ini ada satu pertanyaan penting. Mengapa dilakukan perjanjian hukum di seluruh wilayah empat penmjuru mata angin? Besar dugaan empat arah mata angin adalah wilayah taklukan baru (yang disebut Sriwijaya) oleh kerajaan yang kuat. Untuk menjamin stabilitas wilayah diperlukan perjanjian hukum. Lalu dimana letak kerajaan yang kuat ini (induk kerajaan Sriwijaya)? Jawaban yang masuk akal adalah berada di yang stabilitasnya tinggi di wilayah utara dengan pelabuhan besar di pantai timur Sumatra di Minanga. Wilayah kerajaan yang kuat ini berada di Tapanoeli/Padang Lawas  dimana terdapat pusat religi dan peradaban di candi Simangambat yang juga memiliki pelabuhan besar di pantai barat Sumatra (Baroes).

Lantas dimana posisi GPS prasati Palas Pasemah dan prasasti Karang Brahi? Tampaknya dua tempat ini tidak berada di garis pantai, diduga berada di wilayah pedalaman. Seperti disebut dalam prasasti Kedukan Bukit, bahwa ada sekitar seribuan pasukan melakukan jalan darat  (ssebagian yang lain dengan perahu/sampan) ke Mataya (kini Merangin) yang diduga sebagai ibukota suatu kerajaan di daerah aliran sungai Batanghari. Sedangkan tempat dimana Pancami dimana kerajaan Sriwijaya dikukuhkan berada di sebuah pulau di sekitar muara sungai Batanghari (suatu area yang kini menjadi Kota Jambi).

Posisi GPS prasasti Palas Pasemah, seperti halnya Karang Brahi, berada di pedalaman (kini sekitar Martapura) di daerah aliran sungai yang mana muara sungai ini berada di sekitar pulau-pulau Kedukan Bukit, Bukit Siguntang dan Telaga Batu.

Besar dugaan pada saat prasasti-prasasti itu dibuat pada abad ke-7 Kota Palembang dan Kota Jambi secara imajiner masih berada di perairan. Pada saat ini kedua kota ini seakan jauh ke pedalaman melalui sungai Musi dan sungai Batanghari. Dalam hal ini dimana sebenarnya pusat (kerajaan) Sriwijaya? Peneliti-peneliti Inggris, Belanda dan Prancis pada era Hindia Belanda belum ada kata sepakat (sama-sama menerima atau membuktikan sama di suatu tempat tertentu.

Ada enam prasasti yang ditemukan di Sumatra (bagian selatan) yang tarihnya relatif bersamaan. Dua yang pertama mengindikasikan terbentuknya dua pusat kerajaan yakni penabalan banua (prasasti Kedoekan Boekit) dan pembangunan pertanian (prasasti Talang Tuwo). Dua pusat kerajaan ini mengindikasikan bahwa eksistensi kerajaan (Sriwijaya) belum lama berlangsung (baru terjadi sejak 682 M). Empat prasasti yang lain isinuya kurang lebih sama: menunjukkan kekuasaan kerajaan (Sriwijaya), mengatur tatanan hukum pada penduduk yang berada di wilayah yang berbeda yakni di wilayah Pelembang (prasasti Telaga Batu); di Bangka (prasasti Kota Kapoer); di Djambi (prasasti Karang Brahi); dan di Lampung (prasasti Pasemah). Pertanyaannya: jika di wilayah Sumatra (bagian selatan) masih baru sebagai (bagian) Sriwijaya, lantas dimana pusat utama kerajaan Sriwijaya / dimana pusat kerajaan Sriwijaya sebelumnya. Dimana pusat kerajaan Sriwijaya, kuncinya terletak pada prasasti Kota Kapoer. Disebutkan pasukan akan berangkat untuk menyerang Jawa. Oleh karena ada empat prasasti yang menegaskan hukum (balasan bagi yang melanggar) ini mengindikaasikan pasukan yang menyerang ke Jawa (dari Bangka) bukan direkrut dari Sumatra bagian selatan. Lalu, jawabnya darimana? Dari berbagai tempat (di luar Sumatra bagian selatan). Lalu dimana pusat (kerajaan) Sriwijaya? Jawabnya terdapat pada prasasti Kedoekan Boekit. Mengapa? Pasukan yang dipimpin raja Dapunta Hyang dengan kekuatan 20.000 pasukan berangkat dari Minana.

Lalu dimana posisi GPS Minanga yang disebut dalam prasasti Kedukan Bukit? Idem dito, Minanga juga berada di garis pantai di sekitar muara sungai Baroemoen di wilayah Padang Lawas (Tapanuli Selatan) yang sekarang. Oleh karenanya pelayaran dari Binanga ke Pancami (Jambi) dan ke Kedukan Bukit (Palembang) yang sama-sama berada di sekitar pantai mudah melakukan pelayaran sepanjang pantai timur (daratan) pulau Sumatra. Dan itu berarti jaraknya relatif pendek (satu bulan pelayaran) dibandingkan sekarang.

Seperti yang kita lihat nanti mengapa ada kekuatan dari Jawa yang memusuhi kerajaan-kerajaan di Sumatra bagian selatan. Kekuatan-kekuatan antara lain kerajaan Singhasari dengan radjanya yang terkenal Kertagama. Dalam hal ini mengapa ada relasi Singasari (pada era Kertanegara) dengan kerajaan di utara (yang ditunjukkan kemiripan satu candi di Singhasari dengan candi-candi di Sumatra bagian utara (Padang Lawas) pada abad ke-13. Bukti-bukti yang lebih awal ada kemiripan candi-candi di Jawa bagian tengah dengan candi Simangambat di Sumatra bagian utara yang berasal dari abad ke-8. Lalu mengapa pada era berikutnya kerajaan di Jawa (Madjapahit) ingin ‘menaklukkan’ semua kerajaan-kerajaan yang ada termasuk kerajaan-kerajaan di Sumatra bagian utara, termasuk di Padang Lawas? Jawabnya: Madjapahit juga ‘memusuhi’ Singhasari. Seperti disebut di atas: kerajaan mana yang diserang di Jawa pada prasasti Kota Kapoer 686 M? Tentu saja bukan di Jwa bagian tengah, tetapi di Jawa bagian barat. Lalu terbentuk kerjasama raja yang membawa pasukan dari Minana (Sriwijaya) dengan raja-raja Jawa bagian tengah dengan adanya gelar raja Dapunta di Jawa yakni Dapunta Seilendra (prasasti Sojmerto).   

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar