Jumat, 27 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (616): Nama Alam Melayu, Raja Laut; Candi Borobudur, Situs Gunung Padang Bagian Alam Melayu?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pada artikel sebelumnya, Alam Minangkabau meliputi wilayah penduduk penutur dan budaya Minangkabau khususnya di Sumatra plus Semenanjung (Negeri Sembilan). Dalam sejarah tidak terdapat Alam Batak, Alam Jawa, Alam Sunda dan Alam Bugis. Dalam hal ini kemudian muncul Alam Melayu. Pada masa kini Alam Melayu muncul dari sudut pandang Malaysia (khususnya wilayah Semenanjung) dan jarang atau nyaris tidak ditemukan Alam Melayu dari sudut padang Indonesia (khususnya pantai timur Sumatra dan kepulauan Riau).

Dalam konteks Jawa pada era Hindu-Budha  (Singhasari dan Madjapahit), tidak pernah muncul Alam Jawa. Yang ada adalah kekuasaan di Jawa khususnya Singhasari dan Madjapahit. Pada masa ini muncul terminologi Pamalayu. Terminologi ini hanya diartikan sebagai upaya untuk menaklukkan atau mempersatukan pusat-pusat navigasi pelayaran perdagangan di bawah satu kekuasaan super power. Apakah upaya ini dapat direalisasikan sepenuhnya tidak terinformasikan. Pasca Madjapahit berkembang kekuasaan maritim Demak. Saat Portugis menduduki Malaka, Demak kemudian mencoba melakukan perlawanan atau pertahanan terhadap kemingkinan ekspansi Portugis ke Jawa maupun pulau-pulau lainnya. Namun Demak tidak kuasa menahan Portugis. Selama era Portugis, Jepara yang telah menggantikan Demak hanya terbatas di Jawa hingga Nusantara di Lombok atau Bima. Kekuatan Belanda kemudian berhasil mengusir Portugis, tidak hanya dari Maluku, Nusa Tenggara dan Jawa, juga mengusir Portugis dari Malaka (1641). Lantas sejak kapan muncul Alam Minangkabau dan Alam Melayu?

Lantas bagaimana sejarah nama Alam Melayu? Seperti disebut di atas, terminologi Alam Melayu belum/tidak ditemukan Alam Melayu, yang sudah ada pada era Pemerintah Hindia Belanda adalah Alam Minangkabau. Alam Melayu yang sekarang disebut termasuk wilayah Indonesia termasuk di dalamnya candi Boroboedor dan sirus Gunung Padang..Bagaimana bisa? Lalu bagaimana sejarah Alam Melayu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Sumber: Buku pelajaran sekolah di Malaysia

Nama Alam Melayu, Raja Laut: Candi Borobudur dan Situs Gunung Padang Bagian Alam Melayu

Dalam laman Wikipedia disebut Alam Melayu ialah istilah yang lazim dipakai di Malaysia untuk merujuk kepada Asia Tenggara Maritim. Tidak ada rekod sejarah pasti asal-usul dan penerangan kawasan yang termasuk "Alam Melayu". Tetapi mengikut beberapa rujukan abad ke-21 asal Malaysia, istilah ini lazim dipakai untuk merujuk kawasan yang berkait Nusantara.

Disebutkan lebih lanjut “Bahasa serumpun di Alam Melayu mempunyai perkaitan dengan bahasa etnik peribumi. Persamaan ini boleh dikenal pasti melalui kata-kata tertentu.Apabila membuat perbandingan bahasa-bahasa serumpun ini, terdapat pertalian kekeluargaan bahasa-bahasa ini dengan Bahasa Melayu”, Profeser Emeritus Dato' Dr.Asmah Haji Omar, tokoh bahasa”. “Bahasa Melayu telah digunakan secara meluas di Alam Melayu sejak awal masihi lagi. Sifat orang Melayu yang gemar belayar telah mengembangkan lagi bahasa Melayu ke Alam Melayu. Tambahan pula sifat bajasa Melayu yang sederhana dan mudah dipelajari membolehkan bahasa ini diterima di alam Melayu”, Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh bahasa”. “Sejak awal lagi, budaya di Alam Melayu ini telah berkembang maju dengan munculnya beberapa kepandaian tertentu dalam bidang kesenian Antaranya termasuklah pembuatan gangsa dan seni mempertahankan diri. Kedua-kedua kepandaian ini merupakan ciptaan asli di Alam Melayu. Selain itu, nilai-nilai serumpun wujud dalam masyarakat Alam Melayu terutamanya gotong-royong. Dalam aspek seni persembahan pula, muncul wayang kulit di Kelantan dan Pulau Jawa”, Dato' A. Aziz Deraman, budayawan.

Masih dalam laman Wikipedia. Alam Melayu juga sinonim dengan Dunia Melayu adalah sebuah konsep atau ungkapan yang telah digunakan oleh penulis dan kelompok yang berbeda dari waktu ke waktu untuk menunjukkan beberapa pengertian yang berbeda, yang berasal dari beragam interpretasi mengenai Kemelayuan, baik sebagai kelompok rasial, sebagai suatu kelompok linguistik, atau sebagai kelompok kultural politik. Penggunaan istilah "Melayu" di sejumlah besar konseptualisasi terutama didasarkan pada pengaruh budaya Melayu lazim, yang terwujud secara khusus melalui penyebaran bahasa Melayu di Asia Tenggara seperti yang diamati oleh kekuatan kolonial yang berbeda selama Zaman Penjelajahan.

Disebutkan lebih lanjut: Konsep ini dalam jangkauan teritorial terluasnya dapat diterapkan untuk suatu kawasan yang identik dengan Austronesia, tanah air bagi suku bangsa Austronesia, yang membentang dari Pulau Paskah di timur ke Madagaskar di Barat. Gambaran seperti itu berasal dari pengenalan istilah ras Melayu pada akhir abad ke-18 yang telah dipopulerkan oleh orientalist untuk menggambarkan suku bangsa Austronesia. Dalam arti yang lebih sempit, dunia Melayu telah digunakan sebagai Sprachraum, mengacu pada negara dan wilayah berbahasa Melayu di Asia Tenggara, di mana standar bahasa Melayu yang berbeda adalah bahasa nasional, atau variasinya adalah bahasa minoritas yang penting. Istilah tersebut dalam pengertian ini mencakup Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan, dan kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan konsep "Kepulauan Melayu" dan "Nusantara". Sebagai alternatif, para sarjana modern memperbaiki gagasan dunia Melayu yang diperluas ini, alih-alih mendefinisikannya sebagai suatu area politik dan budaya. Dalam konteks ini, dunia Melayu direduksi menjadi suatu kawasan yang merupakan tanah air bagi orang-orang Melayu, yang secara historis diperintah oleh kesultanan-kesultanan Melayu yang berbeda, di mana berbagai dialek bahasa Melayu dan nilai budayanya adalah dominan. Daerah ini meliputi Semenanjung Malaya, daerah pesisir Sumatra dan Kalimantan, dan pulau-pulau kecil di antaranya. Penggunaan konsep ini yang paling menonjol adalah pada awal abad ke-20, yang dianut dengan gaya iredentis, oleh para nasionalis Melayu dalam bentuk "Malaya Raya" (Melayu Raya), sebagai aspirasi untuk perbatasan "alami" atau yang diinginkan dari sebuah bangsa modern bagi ras Melayu.

Terminologi Alam Melayu, atau Dunia Melayu dan Melayu Raya tidak ditemukan dalam sejarah lama. Terminologi yang sudah muncul pada era kolonial hanyalah Malay Archipelago yang diperkenalkan oleh para peneliti Inggris di Semenanjung, sementara terminologi Indian Arhipel yang sudah jauh lebih dulu ada, tetap eksis. Yang terkait dengan penggunaan kata Alam dalam Alam Melayu, yang sudah eksis pada era kolonial hanya Alam Minangkabau (sejak 1912). Lalu apakah pada masa kini, Alam Melayu merujuk pada terminologi Alam Minangkabau?

Alam Minangkabau mengindikasikan bahasa dan budaya Minangkabau di wilayah yang doeloe centrum Pgararoejoeng (Sumatra Barat) plus wilayah-wilayah dimana terdapat populasi penutur bahasa dan adat yang mirip dengan di wilayah centrum Minangkabau. Wilayah-wilayah tersebut adakalanya disebut wilayah rantau yang dibedakan dengan wilayah dareh. Wilayah-wilayah rantau ini umumnya wilayah yang berdekatan dengan wilayah dareh, tetapi sudah berada di wilayah daerah administrasi Sumatra Barat. Wilayah rantau ini juga disebut termasuk wilayah Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya (negara Malaysia). Pemahaman Alam Minangkabau menjadi khas dan tampaknya hanya ada dalam Alam Minangkabau. Populasi dan penutur bahasa Jawa yang tersebar luas, seperti di Sumatra Timur, Lampong dan bahkan Suriname tidak disebut Alam/rantau Jawa. Hal itu juga dengan populasi dan penutur bahasa Batak di Atjeh (Aceh Selatan/Kotacane), Riau (Rokan) dan Sumatra Barat (Pasaman) tidak disebut Alam/rantau Batak. Demikian juga populasi dan penutur bahasa Bali, Bugis, Sunda dan sebagainya.   

Secara epistemologi, terminologi Alam Melayu merujuk pada terminologi Alam Minangkabau. Dalam Alam Minangkabau, wilayah dareh sebagai sentrum, yang dalam Alam Melayu, wilayah Semenanjung Malaya sebagai sentrum. Oleh karena Alam Minangkabau termasuk wilayah rantau, yang secara administratif berada di luar batas teritorial, Alam Melayu juga melampuan batas teritorial Semenanjung Malaya (Malaysia). Negeri Sembilan di Malaysia, sebagai wilayah rantau juga termasuk bagian dari Alam Minangkabau. Hal ini pula yang digunakan di Semenanjung dengan terminologi Alam Melayu juga termasuk Indonesia, Brunai, Filipina dan bahkan hingga ke wilayah Pasifik dan Madagaskar. Itu hanya semata-mata karena ditemukan penutur bahasa Melayu atau yang mirip bahasa Melayu, meski ras dan budaya penuturnya bukan ras/etnik Melayu.

Terminologi Alam, apakah di dunia Minangkabau maupun dunia Melayu seperti disebut khas, dan tidak bersifat generik. Sebab tidak ditemukan pengertian yang sama seperti di Jawa, Batak, Bali dan Bugis serta wilayah yang lebih luas seperti Inggris, Cina dan Arab. Oleh karena pemahaman yang mirip antara Sumatra Barat dan Semenanjung, maka terminologi Alam Melayu dapat dikatakan merujuk (hanya) pada Alam Minangkabau. Seperti disebut di atas, terminologi Alam Minangkabau baru muncul pada tahun 1912 di ranah Minangkabau, yang diduga merujuk pada kerajaan Pagaroejoeng di masa lampau dimana pemimpinnya disebut Radja Alam. Tidak ditemukannya data sejarah, terminologi Alam Melayu diduga baru muncul belakangan ini.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Candi Borobudur dan Situs Gunung Padang Bagian Alam Melayu: Bagaimana Ambisi Alam Melayu Muncul?

Secara historis, wilayah tradisi telah berubah dari waktu ke waktu menjadi wilayah administratif. Penarikan batas wilayah administratif ini dimulai pada era kolonial dan sudah final dilakukan. Batas wilayah administratif antara Indonesia (dulu Hindia Belanda) dan Malaysia (Semenanjung dan Borneo Utara) sudah ditegaskan pada tahun 1824 (Traktat London 1824). Setelah itu kemudian menyusul batas-batas administratif yang lebih rendah, yang di Indonesia (Hindia Belanda) dibedakan antara batas provinsi, kabupaten/kota dan distrik (setara kecamatan) dan desa/wijk).

Wilayah (province) Sumatra’s Westkust dibagi ke dalam beberapa residentie yang mana pada tahun 1840 terdiri dari Residentie Padangsche Benelanden (ibukota di Padang), Residentie Padangsche Bovenlanden (ibukota di Fort de Kock) dan Residentie Tapanoeli (ibukota di Sibolga). Pada tahun 1905 Residenti Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Lalu pada tahun 1921 dua residentie yang tersisa digabung menjadi satu residentie dengan nama Residentie West Sumatra. Dalam hal ini Residentie West Sumatra bertetangga dengan Residentie Tapanoeli, Residentie Bengkoeloe, Residentie Riau dan Residentie Djambi. Namun pada permulaan kemerdekaan Indonesia (1945) dilakukan kocok ulang yang mana pulau Sumatra menjadi satu provinsi tetapi dalam era pengakuan kedaualatan Indonesia (1950) dipecah menjadi tiga provinsi (Sumatra Utara, Seumatra Tengah dan Sumatra Selatan). Pada tahun 1953 dibentuk provinsi Atjeh, pada tahun 1956 provinsi Sumatra Tengah dipecah menjadi tiga provinsi (Sumatra Barat, Riau dan Jambi). Demikian seterusnya. Sementara itu di wulayah Semenanjung dibentuk federasi Malaysia pada tahun 1957 yang meliputi Semenanjung, Penang, Singapoera, Sabah dan Sarawak (minus Brunai). Pada tahun 1965 terbentuk negara Singapoera.

Pada saat munculnya nama Alam Minangkabau tahun 1912 sebagai sarikat, pada dasarnya hanya merujuk pada wilayah Sumatra Barat saja (residentie West Sumatra). Sarikat ini muncul sebagai wujud dari wilayah politik dalam hubungannya dengan gerakan Sarikat Islam di Sumatra Barat. Selanjutnya, Alam Minangkabau dipakai terus pada saat pembentukan dewan resiudentie tahun 1938 yang disebut Minangkabau Raad.

Dalam sejarahnya wilayah rantau tidak ditemukan pada era kolonial (Hindia Belanda). Yang eksis hanyalah Alam Minangkabau, dan Alam Minangkabau hanya terbatas di Residentie West Sumatra. Kapan terminologi wilayah dareh dan wilayah rantau muncul tidak diketahui secara jelas. Bahkan hingga tahun 1956 (saat pemekaran provinsi Sumatra Tengah) terminologi wilayah rantau belum ditemukan. Kapan terminologi wilayah rantau ini muncul tetap tidak bisa dipastikan. Hal serupa itu dengan terminologi Alam Melayu di Semenanjung.

Terminologi Alam Minangkabau masa kini maupun terminologi Alam Melayu yang muncul belakangan ini tidak merujuk pada aspek sejarah (penulisan sejarah), tetapi lebih pada aspek ke-budaya-an yang secara kontemporer muncul dari wacana budaya yang diduga diusulkan oleh para budayawan tempatan.

Pada akhir-akhir ini penggunaan terminologi Alam Melayu (khususnya di Malaysia) menjadi sangat rancu, karena sejarawan Malaysia tanpa malu-malu mengklaim wilayah Indonesia juga menjadi Alam Melayu, dan bahkan ada sejarawan Malaysia juga mengklaim candi Borobudur dan situs Gunung Padang sebagai Alam Melayu. Tentu saja itu di era masa kini tidak relevan, karena klaim tersebut hanya akan mengundang reaksi saja. Lalu, apakah Alam Minangkabau masih relevan untuk mengklaim wilayah rantau sebagai Alam Minangkabau? Yang jelas, meski orang Jawa telah menyebar dan terdapat diseluruh provinsi di Indonesia (bahkan di Malysia) tidak akan pernah mengatakan Alam Jawa.

Seperti disebut di atas, sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Alam Melayu pada masa kini menjadi semacam pegambaran yang tidak realistik.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar