Sabtu, 16 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (715): Sungai Kinabatangan di Sandakan, Sabah di Borneo Utara; Inabalu, Tjinabalu dan Kinabalu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Di Sabah ada dua nama lama penanda navigasi pelayaran perdagangan yang diduga berasal dari zaman lampau, yakni nama gunung Kinabalu dan nama sungai besar/panjang Kinabatangan. Pada masa ini dua nama kuno ini diinterpretasi sebagai Cina Balu dan Cina Batangan. Jika dua nama kuno ini dihubungkan dengan (kehadiran dan bahasa) Cina, itu berari masih baru, sebab sebutan China untuk Tiongkok diberikan oleh Inggris, sementara dua nama kuno ini sudah eksis sebelum kehadiran orang Eropa. Lalu apakah kedua nama kuno ini terhubung dengan bahasa Batak dan kehadiran orang Batak di Borneo Utara? Ina dalam bahasa Batak adalah ibu, balu adalah janda (suami meninggal) dan batang adalah sungai.


Kinabatangan ialah sebuah daerah dan kawasan parlimen yang terletak di Bahagian Sandakan, timur Sabah, Malaysia. Penduduknya dianggarkan seramai 86,783 orang pada 2000. Ahli parlimen daerah Kinabatangan adalah Datuk Bung Mokhtar Radin yang mewakili rakyat Kinabatangan dalam Dewan Rakyat, Parlimen Malaysia sejak tahun 1999. Nama Kinabatangan pada mulanya dipanggil Cinabatangan yang mana bermaksud Sungai Yang Panjang oleh Kerabat China bernama Ong Sung Peng yang telah tiba pada kurun ke-16 lagi. Dipercayai bahawa nama Kampung Mumiang, Sukau dan Bilit berasal dari bahasa China. Kinabatangan telah pun digunakan oleh penduduk tempatan seperti direkod dalam buku pengarang Perancis pada tahun 1782 dan 1837, lama sebelum kedatangan pendatang Cina ke kawasan ini. Selain itu rekod Brunei telah merakamkan mengenai perkahwinan Sultan Ahman, saudara Sultan Muhammad, dengan Puteri Kinabatangan, yang memerintah 1408-1426, juga lama sebelum kedatangan pendatang Cina ke situ. Nama Kinabatangan kemungkinannya dari kalimat yang terhasil dari nama pokok dan sebutan. Pada Mulanya daerah ini dikenali sebagai Pejabat Daerah Lamag yang ditubuhkan pada tahun 1905 oleh Kerajaan Chartered Company yang mana pusat pentadbiranya terletak di Lamag yang hanya berfungsi dalam urusan Pentadbiran dan Mahkamah sahaja. Kini ia di Kenali sebagai Pejabat Daerah Kinabatangan di mana ia mempunyai fungsi yang lebih meluas termasuklah dalam Perancang Pembangunan Daerah, Sosioekonomi, Kemudahan Infrastruktur dan juga Modal Insan. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah sungai Kinabatangan di Sandakan, wilayah Sabah di Borneo/Klaimantan Utara? Seperti disebut di atas, nama sungai ini disebut Cina dan Batangan. Namun faktanya nama Cina masih tergolong baru, sementara dalam bahasa kuno yang masih eksis dalam bahasa Batak adalah ina=ibu dan batang=sungai. Lalu bagaimana sejarah sungai Kinabatangan di Sandakan, wilayah Sabah di Borneo/Klaimantan Utara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Peta geomorfologi teluk Sandakan 1665

Sungai Kinabatangan di Sandakan Sabah Borneo Utara; Inabalu, Tjinabalu dan Kinabalu

Asal usul nama, apalagi nama-nama yang sudah dikenal lama sebagai nama kuno, pendekatan toponimi haruslah dijelaskan secara kontekstual dari berbagai aspek bukti yang mendukungnya. Seperti disebut di atas, nama Kinabatangan pada mulanya dipanggil Cinabatangan yang mana bermaksud Sungai Yang Panjang oleh Kerabat China bernama Ong Sung Peng yang telah tiba pada abad ke-16. Juga disebut nama Kampung Mumiang, Sukau dan Bilit berasal dari bahasa China. Kinabatangan digunakan oleh penduduk tempatan seperti direkod dalam buku pengarang Prancis pada tahun 1782 dan 1837, lama sebelum kedatangan pendatang Cina ke kawasan ini.


Kinabatangan merupakan gabungan kata Kina dan Batangan. Nama Kina inilah yang disebut merujuk pada nama China. Sementara Batangan berasal dari kata ‘batang’ yang artinya sungai. Penggunaan nama ‘batang’ untuk sungai diduga kuat bermula di wilayah pantai barat Sumatra (di daerah Tapanuli yang sekarang, yang mana hingga ini hari batang, bukan pokok kayu tetapi sungai). Dalam peta-peta Portugis nama Batang merujuk pada nam kota Batang di muara sungai di hilir kota Lingga Bayu. Dalam hal ini Batang, Lingga dan Bayu adalah kata-kata yang merujuk pada bahasa-bahasa di India. Kota Batang tempo doeloe itu kini yang menjadi nama sungai kemudian disebut (wilayah) Batang Natal (sungai dimana di muara terbentuk kota baru Natal). Sejak era Portugis ‘batang’ sebagai arti kata sungai menyebar ke berbagai wilayah di Sumatra, Semenanjung Malaya hingga Borneo. Konon, nama Batang merupakan sebutan (pengucapan) orang Arab untuk nama komunitas penduduk di Sumatra bagian Utara, yakni Batak sebagai penghasil produk kamper.

Nama Cina atau China adalah nama baru yang diperkenalkan oleh orang-orang Eropa. Nama China semakin luas ketika orang Inggris menjalin perdagangan di pantai timur Tiongkok (di sebelah utara Makao yang Portugis). Dalam sastra Inggris sudah muncul nama China (lihat JE Davis dalam bukunya berjudul ‘China en de Chinezen’ terbit 1841). Sementara itu pada abad ke-17 nama China sudah disebut untuk produk-produk yang berasal dari Tiongkok (lihat Tijdinghe uyt verscheyde quartieren, 16-09-1623). Pada masa ini yang menguasai pantai timur Tiongkok adalah orang Tartar.


Penulis-penulis Portugis sejak awal tidak menyebut nama China tetapi dengan nama (orang) Mandarin (lihat Mendes Pinto, 1537). Dalam buku tersebut, Mendes Pinto mencatat bahasa Kerajaan Aru Batak Kingdom memiliki kekuatan 15.000 pasukan dimana sebaanyak delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Minangkabau, Jambi, Indragiri, Brunai dan Luzon. Mendes Pinto juga menyebutkan yang mengawal pantai-pantai kerajaan Aru adalah orang-orang Mandarin. Kerajaan Aru Batak Kingdom berada di pantai timur Sumatra yang berseberangan dengan Malaka. Dalam hal ini, orang Batak di pantai timur Sumatra, sudah sejak lama terhubung dengan pantai utara Borneo.

Nama Cina atau China dalam hal ini jelas diperkenalkan oleh orang Eropa terutama orang Inggris yang kemudian lebih populer dari penyebutan oleh bangsa lain. Dari mana asal-usul nama China dirujuk terdapat berbagai versi. Sejak era Portugis, dimana pedagang-pedagang Portugis membuka pos perdagangan di muara sungai Kanton (pantai timur Tiongkok) pada tahun 1519, nama yang digunakan adalah Mandarin (untuk nama tunggal semua orang Tiongkok di dalam navihasi pelayaran perdagangan). Pedagang Portugis pertama yang mengunjungi pantai utara Tiongkok adalah Jemenez pada tahun 1524 (sejak itu nama pulau Kalimantan disebut pulau Borneo, merujuk pada nama pelabuhan Broenai). Dalam hal ini, jauh sebelum kehadiran Portugis di pantai utara Borneo sudah eksis sejak lama orang Batak yang berasal dari pantai timur Sumatra.


Nama Baroenai merujuk pada nama kata ‘aroe’ yakni sungai. Kerajaan Aroe Batak Kingdom (Aroe-Sungai) berada di daerah aliran sungai Baroemoen dan sungai Panai yang bermua di pantai timur Siumatra. Besar dugaan nama Baroenai merupakan sebutan orang Batak untuk nama tempat yang baru yang merupkan gabungan nama dua sungai Baroe-moen dan Pa-nai. Sebagaimana disebut di atas oleh Mendes Pinto (1537), pasukan Kerajaan Aroe Batak Kingdom juga didatangkan dari Brunai (orang-orang Batak yanfg telah menetap lama di pulau Kalimantan bagian utara).

Berdasarkan toponimi, tidak hanya nama Broenai yang merujuk pada nama geografis di Tapanoeli (Tanah Batak), juga diduga nama kota Sibu (merujuak pada Siabu), Bintulu (merujuk Bintuju), Tambunan (Tambunan), Lembang (Limbong), Tamparuli (Tapanuli) dan sebagainya. Nama-nama sungai di pantai utara Borneo disebut Batang (bahasa Batak) bukan sungai atau songi (bahasa Melayu). Nama-nama tempat di muara sungai tentu saja pada masa itu penting untuk penanda navigasi pelayaran perdagangan. Penanda navigasi pelayaran yang penting, selain sungai dan nama tempat juga saat itu adalah tanjung dan teluk serta nama gunung. Salah satu gunung utama di pantai utara Borneo adalah gunung Kinabalu. Lantas apakah Kinabalu merujuk pada nama Cina atau China? Bukankah itu merujuk pada nama Ina dan Balu yang kedua kata ini dapat dirujuk dalam bahasa Batak. Ina dalam bahasa Batak adalah ibu dan balu adalah seorang janda yang suami meninggal (ibu yang tidak menikah lagi karena suami meninggal dunia).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Inabalu, Tjinabalu dan Kinabalu: Orang Batak dan Orang Cina di Pantai Timur Sumatra dan di Pantai Utara Borneo

Jika di Sabah ada yang menyebut Kinabalu dan Kinabatangan merujuk pada nama China, Cina dan Kina, lalu bagaimana dengan ‘balu’ dan ‘batang/an’. Kalau bukan ‘kina’ bukan ‘Cina’ lalu apakah ‘kina’ merujuk pada nama ‘ina’. Bagaimana terbentuknya nama-nama geografis biasanya merujuk dari orang pendatang di wilayah pantai. Mereka yang datang lebih awal ini biasanya memberikan nama dari (sudut pandang) pantai (berbeda pula dari pedalaman). Dalam sejarahnya, wilayah kawasan yang luas ini pendatang pertama berasal dari pantai timur Sumatra pada era Hindoe/Boedha. Pada masa itu kerajaan yang kuat di Sumatra yang berada di pantai timur adalah Kerajaan Aru. Orang-orang Batak dari pantai timur Sumatra di daerah aliran sungai Baroemoen dan sungai Panai inilah yang melakukan navigasi pelayaran perdagangan dengan penduduk asli di pantai utara Borneo dan pulau-pulau di Filipina hingga ke Sulawesi dan Maluku. Hal itulah mengapa muncul kerajaan besar di pantai utara Borneo yang disebut Kerajaan Baroenai (Baroe-moen dan Pa-nai) dan mengapa muncul nama pulau Panai di Filipina.


Nama ‘ina’ dan ‘balu’ tentu saja tidak ditemukan dalam bahasa Melayu dan bahasa Tausuq. Nama itu haruslah dicari dalam bahasa (penduduk asli atau penduduk yang lebih awal). Yang jelas di (wilayah) Sabah yang sekarang terdapat sekitar 30 suku dengan budaya, bahasa, dan adat-istiadat yang berbeda satu sama lainnya. Lima yang terbesar adalah Dusun atau Kadazan yang merupakan suku mayoritas, Rungus, Lundayeh, Bajau, dan Murut. Mengapa begitu banyak etnik yang berbeda di wilayah yang kecil/sempit? Itu mengindikasikan bahwa banyak pendatang dari berbagai tempat. Komunitas etnik ini awalnya populasi-populasi yang kecil/sedikit seperti Sulu/k, Bisaya, Tidung dan Dayak.

Sisa peradaban awal di pantai utara Borneo dan pulau-pulau Filipina dan Sulawesi (dan Maluku) dapat ditelusuri pada elemen budaya termasuk bahasa. Di pulau Palawan ada etnik yang menamakan dirinya sebagai etnik Batac yang dalam banyak hal mirip dengan elemen budaya Batak di wilayah aliran sungai Baroemoen dan sungai Panai di pantai timur Sumatra. Bahasa etnik Batac di Palawan ini ‘ama’ diartikan sebagai ayah dan ‘ina’ sebagai ibu. Bahasa-bahasa di pulau Luzon juga dan juga bahasa Minahasa untuk ayah dan ibu adalah ‘ama’ dan ‘ina’,


Etnik lainnya di pulau Palawan adalah etnik Tagbanwa yang disebut awalnya memiliki hubungan dengan Brunei karena sultan pertama Brunyu berasal dari tempat yang disebut Burnay (lihat Wikipedia). Sejarah suku Tagbanwa dimulai pada tahun 1521 ketika kapal Magellan merapat di Palawan untuk mencari perbekalan. Antonio Pigafetta, penulis kronik Magellan, mencatat bahwa suku Tagbanwa mempraktikkan ritual penyatuan darah, budi daya pertanian, perburuan dengan sumpit dan panah kayu, menyimpan dan memakai cincin dan rantai kuningan, menggunakan lonceng, pisau, dan kawat tembaga untuk mengikat kait ikan, mengadu ayam, dan menyuling minuman beralkohol dari beras. Hingga akhir abad ke-17, Palawan selatan berada di bawah yurisdiksi Sultan Brunei, yang berujung pada gesekan antara Spanyol dan Sultan. Pada abad ke-19, suku Tagbanwa masih percaya pada dewa-dewa asli mereka. Setiap tahun, hari raya dirayakan setelah panen untuk menghormati dewa-dewa mereka. Disebutkan lebih lanjut Suku Tagbanwa atau Tagbanua adalah salah satu kelompok etnis tertua di Filipina yang banyak berada di bagian tengah dan utara Palawan. Penelitian telah menunjukkan bahwa suku Tagbanwa mungkin keturunan Orang Tabon. Sehingga, mereka merupakan salah satu penduduk asli Filipina. Secara fisik, mereka berkulit coklat, ramping, berdiri tegak, dan berambut lurus. Ada dua klasifikasi besar berdasarkan lokasi geografis tempat mereka berada. Tagbanwa Tengah adalah suku Tagbanwa di bagian barat dan pesisir timur dari pusat kota Palawan. Mereka terkonsentrasi di munisipalitas Aborlan, Quezon, dan Puerto Princesa. Tagbanwa Calamian berada di sisi lain, yaitu di Pantai Baras, Pulau Busuanga, Pulau Coron, dan beberapa bagian El Nido. Kedua subkelompok Tagbanwa ini berbicara dengan bahasa yang berbeda dan tidak benar-benar memiliki kebiasaan yang sama.

Bahasa-bahasa di pulau Palawan yakni bahasa Batac dan bahasa Tagbanwa Aborlan serta bahasa Tagbanwa Kalamian untuk ayah dan ibu adalah ‘qimak’ dan ‘qinak’. Dalam hal ini ‘ina’ mendapat fonem q, dan nama banwa atau banua bagi orang Batak adalah tanah atau negeri. Semenetara itu untuk ayah dan ibu dalam bahasa Minahasa adalah ‘ama’ dan ‘ina’, Dalam hal ini bisa ditambahkan bahasa Sulu/k untuk ayah dan ibu adalah ‘ama’ dan ‘ina’ dan untuk kakek adalah ‘apu' (yang dalam bahasa Batak di pnatai timur Sumatra disebut ‘opung’). Dalam hubungan ini di Minahasa ada nama gunung Empu/Ompu. Oleh karena itu nama gunung Kinabalu dan nama sungai Kinabatangan berasal dari kata ‘ina’ atau ‘qinak’. Dalam bahasa tersebut tidak terdaftar lagi kata ‘balu’ dan kata ‘batang’ tetapi masih terlestarikan sebagai nama gunung dan nama sungai. Di dalam bahasa Batak di pantai timur Sumatra ‘balu’ masih eksis sebagai ‘ibu yang kehilangan suami karena meninggal’ dan ‘batang’ diartikan sebagai sungai.


Dari analisis di atas, tidak ada bukti-bukti bahwa nama Kinabatangan maupun Kinabalu merujuk pada Cina atau China (karena nama China sendiri masih terbilang baru sebagai sebutan bagi pelaut-pelaut Eropa terutama Inggris). Nama ‘ina’ atau ‘qinak’ sebagai asli yang diartikan sebagai ibu dan nama ‘batang dan ‘balu’ masih dapat ditelusuri pada sumber-sumber bahasa awal yang masih relevan (bahkan hingga ini hari). Jauh sebelum muncul peradaban Eropa dan peradaban China di wilayah Sabah dan sekitar sudah eksis peradaban yang lebih awal yang berasal dari pantai timur Sumatra (etnik Batak). Dalam sumber Portugis (Mendes Pinto, 1537) menyebut pasukan Kerajaan Aroe Batak Kingdom di pnatai timur Sumatra ada yang berasal dari Brunai dan Luzon. Untuk sekadar menambahkan etnik-etnik di pulau Luzon bagian utara juga merujuk pada peradaban Batak, yang mana disebut mantan Presiden Filipina, Ferdinad Marcos beretnik Batak.

Kinabatangan diduga kuat merujuk Kina (ibu=qinak=kina) dam Batangan (batang=sungai). Batangan sendiri di wilayah Sandakan adalah nama tempat di daerah aliran sungai Kinabatangan di arah hulu, sedangkan Kina atau Ina adalah nama gunung. Besar dugaan kampong Batangan ini di masa lampau adalah muara sungai Kinabatangan di teluk Sandakan/teluk St Anne Baai.


Nama gunung Kinabalu atau Inabalu di Sabah, juga memiliki nama yang mirip dengan penamaan gunung di Sulawesi (Minahasa) yakni gunung Empung (Ompung=kakek). Kemudian nama gunung di Halmahera nama gunung Ibu (Ina) dan nama gunung di pulau Seram (Binaiya). Dalam hubungan ini nama gunung Kinabalu juga bisa diartikan sebagai gabungan dari Ina dan Balu. Dalam bahasa Batak bulu tidak hanya diartikan bambu tetapi juga tempat yang tinggi (bukit atau gunung). Hal itulah mengapa ada nama gunung di Sulawesi seperti Bulu Torompupu (Bulu Tor-Ompupu; dimana Tor dalam bahasa Batak adalah bukit/gunung dan ompupu adalah kakek), Bulu Kandela, Buyu Balease dan Buyu Lumut (bulu=buyu). Dalam hal ini nama Kinabalu bisa merujuk pada nama bulu, buyu atau balu.

Pada saat sungai Kinabatangan masih bermuara di kampong Batangan, sungai Kinabatangan sendiri masih sangat pendek (tidak sepanjang sekarang). Kampong Batangan ini tidak terlalu jauh dari gunung Kinabalu. Dalam hal ini pernamaan gunung Kinabalu dan sungai Kinabatangan di masa lampau saling berkaitan. Yang jelas tidak ada bukti nama Kinabalu dan nama Kinabatangan merujuk pada nama Cina. Sebaliknya penamaan nama gunung Kinabalu dan sungai Kinabatangan merujuk pada pantai timur Sumatra (Batak).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar