Sabtu, 13 Agustus 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (771): Pantai Barat Malaya dan Geomorfologi; Nama Tua Malajoer=Jambi dan San Bo Tsai=Tambusai


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Malaka hingga kini masih kerap menjadi perdebatan. Orang Malaysia masa kini sangat mengagungkan peradaban awal Melayu di (kerajaan) Malaka. Namun nama Melayu sendiri pada era Hindia Belanda para peneliti berbeda pendapat. Ada yang menyebut Malajoer (sebagaimana dicatat dalam prasasti Tanjore 1030) adalah Malaka dan ada juga tempat itu adalah Jambi. Satu yang penting dalam perdebatan soal nama Melayu itu adalah nama tempat San Bo Tsai yang disebut Jambi (Tembesi). Namun hingga saat ini tidak ada yang menginterpretasi San Bo Tsai itu adalah Tamboesai di Padang Lawas (Tapanuli/Rokan).


Pantai barat semenanjung Malaya adalah bagian sejarah zaman kuno yang tidak terpisahkan dengan sejarah zaman kuno Nusantara. Pantai barat semenanjung Malaya berseberangan dengan pantai timur pulau Sumatra yang dipisahkan oleh selat Malaka. Selat Malaka ini menjadi salah satu jalur penting antara barat (India, Persia, Arab dan Eropa) dengan timur (Nusantara dan Tiongkok). Jalur penting lainnya adalah selat Sunda (di pantai selatan pulau Sumatra).

Lantas bagaimana sejarah geomorfologi pantai barat Semenanjung Malaya dan nama Malajoer=Jambi dan nama San Bo Tsai=Tambusai? Seperti disebut di atas, para peneliti era Hindia Belanda ada yang menyebut nama Malajoer adalah Jambi atau Malaka dan nama San Bo Tsai adalah Jambi. Lalu bagaimana sejarah geomorfologi pantai barat Semenanjung Malaya dan nama Malajoer=Jambi dan nama San Bo Tsai=Tambusai? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Geomorfologi Pantai Barat Semenanjung Malaya;  Era Portugis dan Belanda (VOC)

Sejak kehadiran Eropa/Portugis di Nusantara, semuanya secara berangsur-angsur berubah peta sejarah. Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Sejak itu secara bertahap semakin banyak orang Eropa yang datang. Di satu sisi permintaan produk nusantara semakin meningkat, di sisi lain di wilayah nusantara produksi semakin iintens termasuk di Semenanjung Malaya. Dampaknya terjadi perubahan geomorfologi wilayah.


Pada saat mana pelaut-pelaut Portugis membuat peta-peta pelayaran (pantai barat dan timur India, pulau Ceylon dan hingga ke selat Malaka dan seterusnya Sumatra dan Jawa serta Maluku plus Borneo), para ahli kartografi di Eropa belum paham sepenuhnya bagaimana bentuk Asia Selatan (termasuk Ceylon) (lihat Libro di Benedetto Bordone nel qual si ragiona de tutte l'isole del mondo con li lor nomi antichi & moderni, historie, fauole, & modi del loro uiuere, & in qual parte del mare stanno, & in qual parallelo & clima giacciono. Con il breve di Papa Leone, 1526). Bahkan hingga tahun 1561 Asia Tenggara dan pulau-pulau Nusantara belum mereka kenal bentuknya. Kota Malaka yang telah diduduki Portugis (sejak 1511), kota Malaka ditempatkan para ahli kartografi Portugis di dalam peta-peta kuno era Ptolomeus yakni semenanjung Aurea Chersonesus (lihat Peta 1561). Oleh karena bentuk pulau Ceylon mirip pulau Taprobana (Ptolomeus) mereka yakini pulau Taprobana adalah pulay Ceylon. Namun tampaknya para ahli kartografi tidak menyadari bahwa pulau Taprobana era Ptolomeus dilintasi oleh garis ekuator. Peta Sumatra dan Jawa yang ditemukan bahkan terkesan digambarkan masih jauh dari bentuk yang mendekati. Boleh jadi pelaut-pelaut Portugis navigasi pelayaran di nusantara masih terbatas (hanya pada jalur utama saja).

Akibat intensitas produksi, untuk memenuhi produk ekspor, banyak kegiatan penduduk di pedalaman yang bersifat eksploitatif dan eksploratif. Perladangan dan pertambangan meningkat, sementara aktivitas gunung api terus berlangsung. Akibatnya wilayah-wilayah pantai mengalami perubahan, perluasan daratan akibat proses sedimentasi jangka panjang. Pantai barat Semenanjung Malaya berubah tidak secara radikal, tetapi secara perlahan dan terbatas (mengapa?. Perubahan yang radikal terjadi di pantai timur Sumatra dan pantai barat/selatan Borneo (mengapa?). Dalam hal ini dapat dikatakan peningkatan pengetahuan orang Eropa terhadap geografi nusantara, juga terjadi proses perubahan bentuk pulau-pulau (akibat proses sedimentasi jangka Panjang).


Dalam perkembangannya, pasokan peta-peta pelayaran ke Eropa, para ahli kartografi Eropa mulai menyadari bahwa pulau Taprobana bukanlah pulau Ceylon, tetapi mereka telah meyakini itu adalah pulau Sumatra (lihat Peta 1576). Dalam hal ini mereka menjadikan peta pulau Taprobana sebagai peta dasar dengan menambahkan nama-nama baru dalam peta Taprobana seperti Pedir (Pidi), Pacem (Pasai), dan Kampar. Dalam peta tindih Taprobana/Samotra ini tidak diidentifikasi nama Atjeh (mengapa?). Apakah pelaut-pelaut Portugis belum ke Atjeh sehingga mereka buta sama sekekali Atjeh? Sebenarnya tidak. Jika membaca buku Mendes Pinto (1537) Atjeh baru mulai muncul yang tengah berperang dengan Kerajaan Aru Batak Kingdom. Nama Aru juga tidak dipetakan dalam Peta 1576. Ini mengindikasikan bahwa pelaut Portugis selain Malaka, sudah mengenal nama Pedir, Pacem dan Kampar. Boleh jadi laporan Mendes Pinto ini belum dikutip para ahli kartografi Eropa/Portugis. Dalam hal ini dapat dikatakan ada perbedaan waktu ketika pelaut-pelaut melakukan pemetaan dan penulisan dan pelaporan dengan pengumpulan data, pembuatan (update) peta dan publikasi. Peta 1556

Sudah barang tentu dalam analisis geomorfologis, tidak cukup hanya peta saja, dan juga tidak cukup dengan laporan-laporan (Portugis) saja. Keduanya harus digabungkan untuk memenuhi kebutuhan analisis geomorfologis. Dalam peta-peta Portugis semasa, pulau Borneo jauh berbeda dengan situasi dan kondisi saat ini. Para ahli kartografi tidak pernah membayangkan pulau Taprobana adalah pulau Kalimantan (mereka awalnya menduga Ceylon lalu kemudian meyakini pulau Sumatra, bahkan hingga masa ini). Catatan: Pulau Taprobana sudah dibuktikan adalah pulau Kalimantan (lihat artikel sebelumnya di dalam blog ini).


Pemetaan pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya mulai tampak lebih baik pada akhir abad ke-16. Pengetahuan pelaut-pelaut Portugis (dan juga Spanyol) terus meningkat. Namun masih terbatas pada Sumatra, Semenanjung Malaya, pantai utara Jawa dan Maluku. Pulau Borneo meski sudah dikunjungi pelaut Portugis sejak 1524 tetap penggambaran pulau Borneo masih (hanya) sebagian dari pulau Borneo di utara khatulistiwa. Sebagaimana rute perdagangan Portugis adalah Ceylon, selat Malaka, pantai utara Borneo hingga Maluku (dimana pelaut Portugis bertemu pelaut Spanyol). Hal itulah mengapa pulau Borneo belum sepenuhnya tergambat. Pantai utara Jawa adalah perdagangan sekunder Portugis dan itu yang menyebabkan peta pulau Jawa tidak terpetakan di bagian selatan pulau. Peta 1598

Pada saat ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597) peta-peta yang digunakan adalah peta-peta Portugis yang lebih baru (lihat Diarivm navticvm itineris Batavorum in Indiam Orientalem ... His accedunt, narratio historica nationum, regionum, & civitatum, quas adnavigarunt; negotiationes, monetae species ... quibus adiungitur explicatio praecipuarum dictionum Iavanicarum, 1598). Pulau Sumatra sudah menunjukkan bentuk yang sesuai. Pada ekspedisi kedua Belanda juga dapat diperhatikan peta pulau Borneo yang lebih baik (Peta 1601, peta pelayaran Oliver Noort). Sejak era Belanda (VOC) inilah peta-peta pulau di nusantara semakin baik. Boleh jadi karena teknologi navigasi semakin baik. Namun demikian, khususnya pulau-pulau kecil dan wilayah yang kurang penting belum sepenuhnya dipetakan dengan baik (seperti pulau Sulawesi dan pulau Papua plus daratan Australia). Peta pulau Sumatra, Semenanjung Malaya dan Jawa semakin sempurna seiring dengan pos utama perdagangan Belanda/VOC relokasi dari Amboina ke Jawa (Batavia) pada tahun 1619. Catatan: laporan-laporan ekspedisi Belanda dipantau di Portugal, sebaliknya laporan-laporan terbaru Portugis dipantau di Belanda (dan negara lainnya).

 

Pengetahun tentang wilayah geografi Semenanjung Malaya terbilang semakin baik sejak kehadiran Belanda/VOC (lihat Peta 1611) dan lebih-lebih setelah tahun 1641 VOC menaklukkan Malaka dan mengusir Portugis. VOC/Belanda juga manaklukkan Portugis di Kamboja hingga di teluk Tonkin. Praktis Portugis hanya tersisa di Timor bagian utara dan Makao (pantai timur Tiongkok). Era pemetaan di nusantara, dilanjutkan oleh Belanda/VOC. Peta 1619

Satu yang perlu dicatat dalam hal ini adalah berdasarkan Peta 1619 nama (kerajaan) Djohor tidak diidentifikasi. Namun yang diidentifikasi di wilayah itu adalah (kerajaan) Singapoera. Nama Singapoera sudah diidentifikasi pada peta ekspedisi Belanda pertama (lihat Peta 1598). Nama (kerajaan) Djohor baru muncul kemudian (lihat antara lain Peta 1707).


Seperti kita lihat nanti, pulau Singapoera masih kecil (Pada Peta 1707) dan nyaris tidak berpenghuni. Kota/kampong Singapoera bahkan masih berada di (ujung selatan) daratan Semenanjung Malaya. Pada masa ini dua tempat terpenting di (pantai barat) Semenanjung Malaya adalah Malaka dan (kerajaan) Johor (dimana di sebelah utara terdapat kerajaan Kedah dan Ligor). Di Sumatra bagian utara sendiri hanya tersisa tiga kerajaan yakni Atjeh, Pedir dan Pasai. Kerajaan Aru yang begitu kuat sebelum kehadiran Portugis, telah lama meredup. Peta 1707

Siapa yang mendirikan kerajaan Singapoera (jauh sebelum terbentuk Kerajaan Djohor)? Satu pertanyaan penting dalam hal ini adalah sejak kapan nama Singapoera muncul? Dalam teks Negarakertagama (1365) nama Tumasek dan Batam sudah diidentifikasi sebagai nama-nama kerajaan di kawasan ujung semenanjung. Pulau Bintan baru diidentifikasi setelah dikunjungi oleh para pelaut/pedagang Portugism dimana mereka membangun pos pedagangan di muara sungai (rhio) yang kemudian menjadi cikal bakal nama kota/kampong Riau. Boleh jadi koloni Portugis di Rhio/Bintan untuk menarik batas dengan orang-orang Malaka yang melarikan dari sejak 1511 ke selatan semenanjung Malaya (Singhapura).


Nama-nama lain yang sudah diidentifikasi dalam Negarakertagama 1365 di semenajung Malaya antara lain adalah Ujung Medini, Pekan Muar, Kelang, Trengganu, Kelantan, Kedah dan Langkasuka.  Dalam hal ini nama Malaka belum ada, nama yang ada di sekitar adalah Kelang dan Pekan Muar. Nama Singapoera juga tidak ada, yang ada adalah nama Tumasek. Sementara itu di pantai timur Sumatra juga diidentifikasi sejumlah tempat. Singhapura dalam hal ini diduga adalah suksesi Tumasik. Peta teks 1365.

Dalam perspektif era pemetaan (kehadiran orang Eropa) di nusantara (abad ke-16 dan abad ke-17), dijadikan sebagai dasar untuk memahami lebih lanjut bagaimana situasi dan kondisi geomorfologis pantai barat Semenanjung Malaya (sebelumnya hingga ke zaman kuno dan sesudahnya hingga ke masa kini).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Nama Malajoer=Jambi dan San Bo Tsai=Tambusai: Analisis Geomorfologis Pantai Barat Semenanjung Malaya dan Pantai Timur Pulau Sumatra

Satu nama terpenting di pantai barat Semenanjung Malaya adalah Malaka. Hal ini karena sejak terbentuk kota/kampong Malaka menjadi kerajaan besar yang menjadi sasaran pertama Portugis dalam pelayaran-pelayarannya di nusantara. Dalam hubungan ini pada era Hindia Belanda para peneliti belum menemukan kata sepakat sejak kapan Malaka terbentuk dan apakah nama Malajoer yang disebut sejak zaman lampau adalah Malaka atau tempat yang lain. Bebeberapa peneliti diantaranya Rouffaer meyakini Malajoer adalah Jambi di pantai timur Sumatra [(lihat Was Malakka emporium vóór 1400 A.D., genaamd Malajoer? En waar lag Woerawari, Mā-Hasin, Langka, Batoesawar? (met terreinschetsen van Djambi, oud-singhapoera en de Djohor-rivier), 1921].


Nama Malajoer disebut pertama dalam prasasti Tanjore (1030 M). Dalam catatan Tiongkok dari Dinasti Sung ke-2 (905-1178) disebut nama San-bo-tsai (atau San-fo-ts'i). Dapat ditambahkan di sini dari sumber Arab (846-1321) disebut nama Shembodia atau Sambodia dan nama Pau-lin-pang pada tahun 1374 (catatan Tiongkok dari Dinasti Ming). Pangkal mula perdebatan nama Malajoe dipicu dalam artikel  Ferrand yang menyebutkan antara sekitar 800 dan 1400 ada dua Malajo; satu, daerah Malajoe atau Djambi-Minangkabau di Sumatera; dan kedua, kota Malaka di semenanjung dengan nama itu, yang kotanya disebut Malaka setelah kira-kira tahun 1400, sebelum tahun 1400 disebut Malajoer (Malayur). Catatan: munculnya angka 800 M karena laporan Portugis yang saat mereka di Malaka dikatakan Malaka sudah berusia 700 tahun, sementara angka 1400 adalah perkiraan dimana pangeran Palembang membentuk kerajaan baru di pantai barat Malaya dengan nama Malaka. Catatan: nama Melayu ini pada masa kini begitu penting dan diangung di Malaysia.

Secara geomorfologis di selat Malaka (pantai barat semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatra), posisi geografis Malaka tidak istimewa dan tidak terlalu penting dalam navigasi pelayaran perdagangan. Nama Kedah (yang disebut dalam prasasti Tanjore 1030 dan Negarakertagama 1365) jauh lebih penting dari Malaka). Berdasarkan catatan arkeologi masa kini wilayah Kedah adalah sumber pertambangan biji besi. Wilayah Malaka dapat dikatakan wilayah marjinal.


Kedah berada di suatu teluk besar, boleh jadi teluk terbesar di pantai barat Semenanjung Malaya (teluk kedua terbesar di Kelang. Kini muara sungai Kelang di Selangor). Di bagian dalam teluk Kedah ini di muara sungai di zaman kuno terbentuk kampong/kota Kedah Tua (yang kemudian kota Kedah ini bergeser dari utara teluk ke tenggara teluk). Jalur ke pedalaman dari teluk terbuka dimana populasi penduduk berada. Di wilayah Malaka, kota Malaka bukan suatu teluk tetapi hanya berada di muara sungai kecil, yang di belakangnya berada perbukitan. Kota/kampong ini berada begitu dekat dengan garis pantai (bandingkan dengan Kedah). Benteng Malak (sebelum kehadiran Portugis) berada di atas perbukitan (untuk mempertinggi keamanan). Malaka dalam hal ini yang betada di sisi selatan sungai Malaka, sungai yang terbilang pendek (sungai Muar dimana dimuara sungai terbentuk Pekan Muar, jauh lebih panjang ke pedalaman). Oleh karena itu, wilayah Malaka dimana terdapat/terbentuk kerajaan Malaka dapat dikatakan wilayah marjinal (wilayah sisa) yang hanya dimanfaatkan karena tidak ada pilihan (yang lebih baik lagi). Hal itulah mengapa nama Malaka tidak muncuk pada peta teks Negarakertagama 1365 (yang muncul adalah Tumasik/Singapoera (kini Djohor), Pekan Muar, Kelang dan Kedah.

Lantas bagaimana dengan di wilayah pantai timur Sumatra? Dalam prasasti Tanjore (1030) disebut nama Sriwijaya dan Malajoer. Nama Sriwijaya adalah nama kuno yang telah disebut dalam prasasti Kedoekan Boekit 682 M dan prasasti Kota Kapoer 686 M. Namun nama tempat penting yang dicatat dalam prasasti Kedoekan Boekit adalah Minanga (dari mana pasukan raja berangkat). Sementara nama tempat yang dicatat dalam prasasti Kota Kapoer adalah nama Jawa (tujuan berperang). Dalam hal ini para peniliti pada era Hindia Belanda nama Minanga ini adalah nama kota Binanga di daerah aliran sungai Barumun di pnatai timure Sumatra (kini Padang Lawas, Tapanoeli).


Nama Minanga diduga adalah nama kuno (sejak abad ke-7) yang terus eksis. Di wilayah dimana Minanga, pada prasasti Tanjore 1030 disebut nama Panai (nama Panai juga disebut dalam teks Negarakertagama 1365). Minanga/Panai ini di pantai timur Sumatra berada sejajar di pantai barat Semennjung Malaya yang hanya dipisahkan oleh selat Malaka. Dalam teks Negarakertagama di wilayah dimana disebut Sriwijaya berada hanya dicatat nama Palembang. Seperti disebut di atas nama Palembang disebut dengan nama Pau-lin-pang pada tahun 1374 (catatan Tiongkok dari Dinasti Ming).

Nama penting lainnya di pantai timur Sumatra adalah San-bo-tsai (atau San-fo-ts'i). dari catatan Tiongkok dari Dinasti Sung ke-2 (905-1178). Nama tempat ini tampaknya menjadi nama penting bagi Tiongkok (sebelum dana sesudah serangan Chola, lihat prasasti Tanjore 1030). Nama ini tidak ditemukan dalam teks Negarakertagama (1365). Besar dugaan nama  San-bo-tsai adalah Tambusai di daerah aliran sungai Rokan di panati timur Sumatra. Ada peneliti era Hindia Belanda yang berbendapat nama itu adalah (muara) Tembesi (di daerah aliran sungai Batanghari yang sekarang). Hal itulah yang diduga menyebabkan Roiffaer mengarahkan nama Malajoer (dalam Prasasti Tanjore 1030) berada di Jambi.


Dalam prasasti Tanjore 1030 disebut nama Malajoer dan nama Panai. Dalam teks Negarakertagama 1365 hanya disebut nama Panai dan nama lain seperti Rokan, H/aru, Mandailing dan Siak. Dalam hal ini diduga kuat nama San-bo-tsai (atau San-fo-ts'i). dari catatan Tiongkok dari Dinasti Sung ke-2 (905-1178) telah berubah menjadi nama Rokan (teks Negarakertagama 1365). Nama-nama Panai, Rokan, H/aru, Mandailing dan Siak saling berdekatan.

Lantas dimana nama Malajoer yang disebut dalam prasasti Tanjore 1030 berada? Seperti disebut di atas ada yang berpendapat di Jambi dan ada yang berpendapat di Malaka. Namun nama Malajoer di Malaka kecil kemungkinan karena bukan wilayah strategis dalam navigasi pelayaran perdagangan. Dalam teks Negarakertagama 1465, nama Malajoer tidak disebut (hanya Muar dan Kelang).


Dalam teks prasasti Tanjore 1030 disebut: Setelah banyak kapal dikirim berputar di tengah laut dan tertangkap Sangrama-Vijayaottungavarman, raja Kadaram, bersama dengan gajahnya, yang disiapkan melawan dan kemenangan besar,... tumpukan harta yang banyak, Vidyadhara-torana membuka gerbang kota pedalaman yang luas yang dilengkapi perlengkapan perang, berhiaskan permata dengan kemuliaan besar, gerbang kemakmuran Sriwijaya; Pannai dengan kolam air, Malaiyur dengan benteng terletak di atas bukit; Mayirudingam dikelilingi oleh parit; Ilangasogam yang tak gentar dalam pertempuran sengit...; Mappappalam dengan air sebagai pertahanan; Mevilimbangam, dengan dinding tipis sebagai pertahanan; Valaippanduru, memiliki lahan budidaya dan hutan; Takkolam yang memiliki ilmuwan; pulau Madamalingam berbenteng kuat; Ilamuri-Desam, yang dilengkapi dengan teknologi hebat; Nakkavaram yang memiliki kebun madu berlimpah; dan Kadaram berkekuatan seimbang, dengan tentara memakai kalal. (Wikipedia)  

Nama-nama yang disebut dalam prasasti Tanjore 1030 di wilayah Semenanjung Malaya diduga hanya nama Kedah sebagai Kadaram. Nama-nama lainnya tampaknya berada di pantai timur Sumatra. Nama Malajoer diasosiasikan dengan nama Malaka didiuga karena dalam teks prasasti disebut ‘Malaiyur dengan benteng terletak di atas bukit’. Tidak hanya itu, para peneliti era Hindia Belanda nama Valippanduru diasosiasikan dengan nama Panduranga (di pantai timur/tenggara Vietnam). Namun ini sangat berlebihan, karena dari Kedah, katakanlah lalu ke Malaka, lalu apakah terus melompat jauh ke Indochina? Mengapa tidak ada yang berpikir bahwa satu-satunya tempat di Semenanjung Malaya yang diserang Chola hanyalah Kedah/Kadaram? Selainnya berada di Sumatra?


Jika diperhatikan nama-nama yang disebut di wilayah pantai timur Sumatra pada teks prasasti Tanjore 1030 M memiliki nama yang mirip dengan nama masa kini: Vidyadhara-torana (Torgamba); Pannai (Pane); Malaiyur (Malea); Mappappalam (Sipalpal); Mevilimbangam (Limbong); Ilangasogam (Binanga/Langga Sunggam); Valaippanduru (Mandurana); Takkolam (Akkola); Madamalingam (Mandailing). Semua nama-nama tersebut pada masa ini adalah nama-nama yang masih eksis di Tapanuli Selatan (daerah aliran sungai Baroemoen, pantai timur Sumatra). Di wilayah ini kini ditemukan puluhan candi-candi Hindoe-Boedha.

Sangat kecil kemungkinan nama Malajoer yang disebut dalam prasasti Tanjoera 1930 berada di Malaka maupun di Jambi. Nama Malajoer justru diduga berada di wilayah Padang Lawas yang sekarang di lereng gunung Malea (merujuk pada nama Himalaya?). Nama Malea/Malajoer secara geografis berdekatan satu sama lain dengan Panai, Takkolam (Angkola) dan Mandailing (Madamalingam). Di sebelah barat di lereng gunung Malea kini ditemukan candi yang berasal dari abad ke-9 yakni candi Simangambat (yang diduga menjadi pusat kerajaan Aru kuno). Nama Ilangasogam (Binanga-Sunggam, duan ama tempat yang masih eksis hingga kini) boleh jadi sangat terkait dengan nama Minanga dalam prasasti Kedoekan Boekit 682 M.


Nama-nama yang disebut dalam prasasti Tanjore 1030. yakmi Vidyadhara-torana (Torgamba); Pannai (Pane); Malaiyur (Malea); Mappappalam (Sipalpal); Mevilimbangam (Limbong); Ilangasogam (Binanga/Langga Sunggam); Valaippanduru (Mandurana); Takkolam (Akkola); Madamalingam (Mandailing), kini secara geomorfologis seakan berada di pedalaman (pantai timur Sumatra). Selama hamper 1000 tahun (prasasti Tanjore 1030-masa kini) haruslah dipandang bahna nama-nama tempat tersebut saat itu berada di pantai atau tidak jauh di belakang pantai.

Dalam hubungan ini jika nama Malajoer berada di lereng gunung Malea (Padang Lawas), maka secara geomorfologis nama San-bo-tsai (atau San-fo-ts'i). dari catatan Tiongkok dari Dinasti Sung ke-2 (905-1178) haruslah dipandang sebagai nama Tambusai, Nama Tambusai pada masa kini adalah nama kota kecamatan di daerah aliran sungai Rokan, yang tidak jauh dari lereng gunung Malea (yang diduga nama Malajoer dalam prasasti Tanjore).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar