*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini
Banyak topik yang tidak masuk, bahkan tidak tersentuh
dalam narasi sejarah Indonesia, seperti tanah, air, geologi, geomorfologis dan
sebagainya. Topik yang ada antara lain teknologi pelayaran, rempah-rempah dan produk
perdagangan lainnya, teknologi irigasi dan pertanian. Beberapa topik lain yang tidak/jarang
diperhatikan adalah tentang hal kebumian dan gempa bumi serta kegunungan dan letusan
gunung api.
Gempa bumi Sumatra 1797 merupakan gempa bumi pertama dari serangkaian gempa bumi besar yang terjadi pada bagian segmen Sumatra di Sesar Sunda megathrust. Gempa ini memicu gelombang tsunami yang menyebabkan kerusakan parah di Kota Padang. Kapal-kapal Inggris seberat 150-200 ton didorong hingga sejauh 1 km ke pedalaman Batang Arau. Letusan Gunung Tambora terjadi pada 15 Juli 1815, di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Hindia Belanda. Letusan ini adalah letusan gunung berapi yang paling kuat dalam sejarah modern, dan diklasifikasikan sebagai peristiwa dengan Indeks Daya Ledak Vulkanik VEI-7. Gunung tertinggi di Indonesia: Puncak Jaya Wijaya, 4.884 M dpl; Kerinci 3.805 M; Rinjani 3.762 M; Semeru 3.676 M; Sanggar 3.564 M (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah kebangsaan Indonesia berawal dari situasi dan kondisi alam? Seperti disebut di atas, tentang hal kebumian dan gempa bumi serta kegunungan dan letusan gunung api, tidak dianggap penting dalam narasi sejarah Indonesia. Mengapa? Sejarah Indonesia cenderung terkait dengan aktivitas manusianya. Apakah dengan demikian aktivitas kebumian dan kegunungapian dianggap sebagai musuh yang tidak perlu diperhatikan? Lalu bagaimana sejarah kebangsaan Indonesia berawal dari situasi dan kondisi alam? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Kebangsaan Indonesia Berawal dari Situasi dan Kondisi Alam; Gempa Bumi dan Letusan Gunung Api
Gunung api tidak hanya menyemburkan lava panas, gunung api juga dapat memicu terjadinya gempa bumi (bersifat vulkanik). Lava panas atau wedhus gembel dan gempa bumi dapat mengancam keselamatan manusia di sekitar. Gempa bumi juga dapat terjadi akibat pergeseran lempeng magma (bersifat tektonik). Meski gempa yang bersifat vulkanik dapat menyebabkan tsunami (gelombang laut), tetapi tsunami terbesar biasanya karena gempa tektonik. Pada tahun 1506 terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat di Jawa (kemungkinan mirip dengan gempa Jogja tahun 2006). Gempa bumi dahsyat terjadi di Banda tahun 1629 yang mengakibatkan tsunami dan gempa bumi besar di Amboina. Pada tahun 1644 terjadi gempa bumi sangat dahsyat di Amboina. Hal yang sama terjadi lagi di Amboina pada tahun 1671 dan 1673 (12 Juni) serta tahun 1674 (17 Februari). Gempa bumi dahsyat terjadi di Banda pada tahun 1683 (beberapa rumah runtuh, banyak gunung retak besar, dan batu-batu jatuh dari gunung Lonthair).
Kronologis kejadian gempa bumi dan letusan gunung api disusun oleh Ir FW Jung Huhn yang dipublikasikan Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 7, 1845 (1e deel) [volgno 2]. Dalam kronologis ini gunung Ringit di Jawa meletus tahun 1586 menewaskan 10.000 orang. Pada tahun ini juga gunung Api Banda meletus. Pada tahun 1597 tangal 18 Januari kembali gunung Ringit meletus dengan mengeluarkan kolom asap hitam. Gunung Api Banda meletus lagi pada tahun 1598. Puncak Ternate meletus tahun 1608 yang kemudian disusul gunung Api Banda tahun 1609. Gunung Api Banda meletus lagi tahun 1615 dan 1632, Puncak Ternate kembali meletus tahun 1635. Gunung berapi di pulau Makjan meletus tahun 1646. Kemudian diantara gunung-gunung yang meletus setelah adalah gunung Merapi di Jawa yang meletus hebat pada tahun 1664. Lebih ringkasnya dari daftar berikutnya gunung Api di Banda kembali meletus pada tahun 1690, 1691, 1692, 1693 dan 1694. Pada tahun 1694 juga terjadi letusan gunung api lain yakni gunung api di pulau Serua. Gunung api di Banda kembali meletus pada tahun 1695 dan 1696 1696 (lihat juga Nouvelles extraordinaires de divers endroits, 27-04-1764 dan Middelburgsche courant, 03-05-1764).
Pada tahun 1699 gunung Salak di Bogor meletus pada malam tanggal 4-5 Januari. Letusan gunung Salak sangat dahsyat; massa besar abu dan lumpur hanyut melalui sungai Tjiliwong ke Batavia. Sehubungan dengan letusan gunung Salak malam tanggal 4-5, gempa bumi terjadi di Jawa dan Lampong dan wilayah yang lebih jauh di Sumatra. Banyak rumah di Batavia runtuh, dan sungai Tjisadane/sungai Tangerang beserta banyak kanal tersumbat oleh lumpur yang terbawa arus dan meluap.
Lantas mengapa gempa dahsyat di Padang tahun 1797 tidak
terdapat dalam daftar kronologis oleh FW Jung Huhn. FW Jung Huhn baru
melaporkannya dalam bukunya berjudul Java, zijne gedaante, zijn plantentooi en
inwendige bouw (Deel Tweede afdeling tweede gedeelte), 1853-1854. FW Jung Huhn
mengutip du Puij di dalam Tijdschr. v. Neêrl. Indië, jaarg. VII. aflev. 7,
bladz. 115, 1845, sebagai berikut: ‘Pada tahun 1797 di Soematra pada tanggal 10
Februari, di malam hari pada pukul 10, terjadi gempa dahsyat di pulau.
Goncangan besar pertama, yang berlangsung selama satu menit,bagian dari tanah
dibanjiri oleh (air) laut; kapal terdorong ke darat. Penjara dan rumah hancur;
air laut ini kembali lagi ke atas setelah sungai Padang benar-benar kering, dan
air laut diulang tiga kali. Kampong Ajer Manis, terletak di utara Padang begitu
kewalahan oleh air yang tinggi, pada hari berikutnya ditemukan mayat tersangkut
di cabang-cabang pohon menggantung. Luas permukaan kerak bumi terlalu jauh
Padang menunjukkan retak, dengan lebar dua inci; Tapi kemudian ia bergabung
lagi. Tanggal 11 Februari tetap kerak bumi ke permukaannya stabil dalam satu
gerakan bergelombang; pada interval 15 sampai 20 menit diulang guncangan, dan
butuh delapan hari sebelum fenomena ini sepenuhnya berhenti. sepenuhnya. Hampir
semua dinding rumah retak’. Catatan: Saat itu Du Puij sebagai Residen di
Padang.
Peristiwa tsunami telah terjadi beberapa kali, diantaranya di Banda tahun 1629, di Batavia tahun 1699, di Ambina tahun 1754 (lihat Oprechte Haerlemsche courant, 10-06-1755) dan di Padang tahun 1797 (lihat juga Ommelander courant, 20-04-1798). Letusan gunung Tambaro tahun 1815 juga menyebabkan tsunjami (lihat Java government gazette edisi 20-05-1815). Seperti kita lihat nanti, letusan gunung Krakatau tahun 1883 juga menyebabkan tsunami (lihat Bataviaasch handelsblad edisi 29-08-1883). Tsunami juga terjadi di Donggala tahun 1927 (lihat Bataviaasch nieuwsblad edisi 03-12-1927). Tsunami terakhir terjadi pada tahun 2004 di Aceh.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Gempa Bumi dan Letusan Gunung Api: Mendaki Gunung Saat Tenang, Hewan dan Manusia Bersatu Menyelamatkan Diri Saat Ada Bencana Alam
Gunung tinggi dan laut dalam di masa lalu ada suatu wilayah misteri bagi penduduk. Di gunung tinggi adalah tempat Batara, tetapi kemudian juga diketahui pemicu bencana sebagai letusan gunung api yang menyebabkan lahar panas keluar dan terjadinya gempa (kemarahan arawah para leluhur). Sementara di lautan adalah tempat para raksasa atau para monster berada, tetapi kemudian juga diketahui awal mula datangnya tsunami (orang asing yang menyerang dan menjajah).
Pada masa ini orang sudah bisa melihat puncak gunung, bahkan masuk ke dalam
kawah gunung api, melalui video yang menggunakan drone. Pada masa ini orang juga
sudah bisa mencapai palung laut dengan echosounder (peralatan sonar) dan kapal
selam khusus yang dirancang untuk menahan tekanan ekstrem di kedalaman laut dan
juga dengan menggunakan robot bawah laut (remotely operated vehicle-ROV).
Oleh karena itu, secara khusus tentang gunung, jarak waktu antara gunung sebagai tempat Batara dengan gunung yang dapat dicapai drone, dapat dikatakan sebagai perbedaan antara pemahaman penduduk pada masa lampau dengan pengetahuan masyarakat pada masa kini di era modern. Lantas mengapa keberadaan gunung menjadi penting bagi penduduk? Yang jelas penduduk paham gunung-gunung api juga memberi berkah bagi ketersediaan mineral berharga dan terbentuknya kesuburan tanah. Dalam hal ini gunung menjadi pembeda antara ancaman dan penderitan di satu sisi dan kemerdekaan dan kemakmuran di sisi lain. Seperti kita lihat nanti, analogi gugur gunung menjadi pemicu terbentuknya kesadaran gotong royong, persatuan dan kekuatan baru yang dapat melawan penguasa yang berkuasa lalim.
Sebagaimana disebut di atas, pengetahuan penduduk tentang gunung di
berbagai tempat, telah dicatat oleh orang Eropa. Pada awal kehadiran orang
Eropa sejak era Portugis, merasa perlu untuk mengidentifikasi gunung api.
Awalnya hanya diidentifikasi sebagai penanda navigasi pelayaran (lihat
peta-peta Portugis dan peta-peta masa Belanda yang telah menggunakan alat teropong
dan kompas). Lalu kemudian mencatat kapan gunung-gunung tertentu meletus karena
letusan gunung api diketahui dapat menimbulkan gelombang laut yang radikal yang
membahayakan pelayaran. Namun sejauh ini setinggi apa gunung belum diketahui
(paling tidak belum ada yang melaporkan).
Seiring dengan perkembangan teknologi navigasi pelayaran, pengetahuan tentang bagaimana menghitung tinggi mulai diterapkan untuk mengukur tinggi gunung dengan bantuan teropong dan kompas. Namun itu tidak cukup, karena teropong diarahkan dari bawah, para pelaut juga juga tidak bisa mengidentifikasi pada titik mana area ketinggian gunung yang menjadi titik puncak (piek point).
Gubernur Jenderal VOC mengirim satu ekspedisi ke Nova Guinea (baca: wilayah Papua) pada tahun 1623 yang dipimpin oleh Kaptein J Carstenz. Namun laporan Kaptein J Carstenz baru terinformasikan secara luas pada tahun 1859 1623 (lihat Algemeen Handelsblad, 28-09-1859). Disebutkan dalam buku berjudul Mededeelingen uit het Oost Indisch Archief yang ditulis oleh Mr LCD van Dijk yang didalamnya termasuk penemuan wilayah Papua pada tahun 1623. Tampaknya ada yang kurang dari buku van Dijk tersebut. Sumber van Dijk tidak lengkap. Indikasi itu dapat diketahui pada tahun 1866 (lihat Nederlandsche staatscourant, 18-02-1866). Disebutkan bahwa pelayaran Carstenz ke Papua sangat penting karena inilah pelayaran pertama Belanda ke Papua (Nova Guinea). Akan tetapi sumber yang digunakan van Dijk tidak lengkap karena peta pelayaran Kaptein J Carstenz sendiri yang mengidentifikasi gunung tertinggi di Papua hilang dan seperti kita lihat nanti, baru ditemukan kemudian (setelah buku van Dijk terbit). Laporan Kaptein J Carstenz tahun 1623 sudah menyebut adanya lapisan es di puncak gunung.
Hingga permulaan Pemerintah Hindia Belanda identifikasi gunung hanya sebatas hasil observasi dengan menggunakan teropong laut dan pengukuran sudut untuk menghitung ketinggian (dari atas permukaan laut). Hal itu juga tentang soal gunung Carstenz yang sudah diidentifikasi pada tahun 1623. Sejak era Portugis, baru pada tahun 1838 di Indonesia (baca: Hindia Belanda) dilakukan pengukuran gunung untuk kali pertama dengan cara mendaki dan memanjatnya.
Di Eropa tampaknya gunung Ophir sangat terkenal, tidak hanya karena ada di
dalam Injil tetapi orang Eropa tampaknya merasa bahwa persepsi orang Eropa
gunung Ophir adalah gunung paling tinggi di Hindia. Nama Ophir diberikan oleh
pelaut-pelaut Portugis untuk gunung yang tampak sangat tinggi yang berada di
pantai barat Sumatra.
Tulisan-tulisan yang kerap dipersepsikan di Eropa bahwa gunung tertinggi di Hindia adalah gunung Ophir (lihat Letterkundig magazijn van wetenschap, kunst en smaak, 1818 No 14). Disebutkan di Sumatra, tepat di bawah garis khatulistiwa, gunung Ophir terkenal yang tinggi sekitar 12,000 kaki, tinggi, hampir setinggi gunung-gunung Eropa yang tinggi.
Pada tahun 1820 Residen Soeracarta HG Nahuijs penasaran dengan indahnya
gunung Merapi tetapi selalu membuatnya was-was. HG Nahuijs lalu berkekuatan
hati untuk ‘memanjat’ gunung Merapi. HG Nahuis yang berpangkat kolonel tersebut
tidak sendiri tetapi juga mengajak tiga temannya untuk melihat langsung kawah
gunung Merapi. Tiga temannya itu adalah S van de Graaf, P. Merkus en H Mac
Gillavry. Pada pagi tanggal 9 September 1820 HG Nuhuijs bersama tiga temannya
plus 76 orang Jawa untuk membantu memulai ekspedisi ke gunung tersebut. Mereka
berhasil hingga ke puncak gunung. Catatam: Pieter Merkus kelak menjadi Gubernur
Jenderal (1841–1844).
Tampaknya persepsi yang terus berkembang di Eropa, diduga memancing minat dua orang Eropa untuk membuktikan ketinggian gunung Ophir. Dr Horner dan Krusenstern benar-benar membuktikannya (lihat Leydse courant, 19-11-1838). Dr Horner adalah seorang ahli geologi. Pendakian gunung sebelumnya (Merapi dan Salak) masih bersifat pelancongan.
Leydse courant, 19-11-1838: ‘De beklimming van den berg Ophir, door L.
Horner, medegedeeld uit eetien brief aan H. L. Osthoff. Setelah tinggal di
Parit Batoe pada tanggal 9 Mei, saya yakin bahwa saya dapat mendaki Ophir
yaitu, atau puncak sebelah timur, yang disebut Goenoeng Telamau disini. Puncak
sebelah barat, setidaknya setengah lebih rendah, disebut Goenoeng Passaman.
Tidak ada seorang pun, baik Melayu atau Eropa, yang memanjatnya. Dikatakan
seorang Malim (guru agama) yang mencoba mengirim doanya kepada Tuhan disana,
tetapi harus menahan diri darinya. bahwa ada di atas danau kecil {Telaga},
penuh ikan, bahwa ikan ini sangat mudah ditangkap dan bahkan dapat direbus dan
dimakan, tetapi begitu seseorang ingin memakannya, mereka meloncat kembali ke
danau. Kepala daerah yang paling setuju bahwa gunung di sisi utara harus
didaki, kebetulan di Parit Batoe seorang pria yang memiliki ladang (sawah
kering) di kaki gunung, dekat kampung Sawa lima jam di timur laut, dari Parit
Batoe. Jalur ini dulunya untuk menjerat kambing liar (antelope suraatrensis)
yang memanjat gunung dengan baik, dan berpikir lebih baik naik lebih tinggi
lagi. Letnan Donleben, komandan distrik Ophir, yang ingin sekali mendaki gunung
yang terkenal ini, segera memerintahkan para kepala kampung di pagi hari di
kampung Sawa berkumpul...Setelah saya meninggalkan botol kosong dengan kertas
di dalamnya dengan tanggal dan semua nama pendaki Ophirs yang sampai di puncak tertinggi,
saya memerintahkan semua untuk turun kembali. Kami bermalam. Keesokan harinya
tanggal 35 Mei kami melajutkan penurunan dan pukul tiga sore kami tiba di
kampong Sawa lagi. Pada pagi hari tanggal 36 Mei pukul delapan saya sudah
menuju Parit Batoe dan tiba bukul 11 di Parit Batoe...’.
Gunung Ophir adalah gunung pertama di Indonesia (baca: Hindia Belanda) yang pertama diukur secara langsung (gunung Merapi di Jogja sebelumnya belum diukur dan belum mencapai puncak pieknya). Hasil pengukuran mereka pada puncak tertinggi gunung (piek) kurang lebih sama dengan hasil pengukuran yang sekarang. Setelah L Horner, seorang Jerman mendaki gunung Talamau/Pasaman tahun 1838, seorang Jerman lainnya Ir FW Jung Huhn melakukan pendakian gunung Salak di Jawa.
Pada bulan Agustus 1838 Dr L Horner berangkat dari pulau Pontjang di teluk Tapanoeli dengan perahu ke Lumut. Dr L Horner dari Sisoendoeng pada tanggal 27 Agustus 1938 untuk selanjutnya menuju Pijor Koling (lihat (lihat Reis van Pitjar Kolling Mandaheling Naar Rau door Dr Muller en Dr L Horner, 1855. Pada tahun 1839 Wijlen LH Oosthoff juga melakukan ekspedisi di pantai barat Sumatra (lihat Wijlen LH Osthoff berjudul Fragmenten over Sumatra (1839) yang dimuat dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 7, 1845. Seperti disebut dii atas, Wijlen LH Oosthoff melaporkan hasil pendakian Dr. Horner dan Krusenstern ke puncak gunung Talamau (lihat Leydse courant, 19-11-1838). Jika ada perbedaan waktu pelayaran antara Sumatra (Padang) dan Belanda (Leiden) beberapa bulan, Dr L Horner sudah mendaki gunung (Mei 1838) sebelum melakukan ekspedisi geologi pada bulan Agustus ke wilayah Angkola Mandailing.
Sarjana-sarjana Jerman merupakan andalan Pemerintah
Hindia Belanda untuk urusan kebumian dan kegunungan. Saat Dr L Horner dan Dr
Muller serta HL Osthoff bekerja di pantai barat Sumatra, FW Jung Huhn sedang
bekerja di Jawa. Boleh jadi karena Dr L Horner berhasil mendaki gunung Talamau
hingga ke puncaknya, FW Jung Huhn mendaki gunung Salak (lihat Dr. F. W. Jung
Huhn dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 5, 1843). Disebutkan FW Jung
Huhn melakukan pendakian hingga puncak gunung Salak pada bulan Oktober 1838.
Satu hal yang mengejutkan FW Jung Huhn ketika sampai ke puncak gunung Salak adalah bahwa sudah ada orang yang mendahuluinya. FW Jung Huhn menyebutkan pada tahun 1831, tangga 22 Juli, gunung Salak didaki oleh Machlot, Korthals, Muller dan van Oort. Seperti dikatakan Jung Huhn, ini saya ketahui secara kebetulan, pada tahun 1838, di bulan Oktober, saat aku di top Gagak dan untungnya menyadari bahwa puncak gunung ini sudah dikunjungi oleh para pelancong sebelumnya. Sangat disayangkan bahwa orang-orang yang pantas ini tidak memiliki memorial kunjungan mereka yang lebih tahan lama yang hanya mereka menulis nama di batang pohon diukir.
Pemerintah Hindia Belanda mengirim FW Jung Huhn ke
Angkola pada tahun 1840. Rute yang dilalui Jung Huhn mengikuti rute dari Dr
Horner, Satu keutamaan ekspedisi Jung Huhn ini adalah membawa seorang pelukis
Jerman von Rosenverg (yang melukis sungai Batangtoru dan gunung Lubuk Raja pada
tahun 1840).
Satu temuan terpenting Jung Huhn adalah menemukan pohon tusam (pinus) di
Wilayah Angkola di Sipirok. Pohon tusam, yang tipikil pohon di wilayah utara
seperti Eropa ditemukan di ekuator di wilayah pegunungan Sipirok ini mirip
dengan pohon cemara di Eropa yang berbatang lurus. Salah seorang koleganya
adalah Prof. Vriese yang menjadi komisi untuk Botani di Hindia Belanda yang
berkantor di Buitenzorg tertarik mendiskusikan temuan Jung Huhn. Dengan Vriese
sejumlah temuan didiskusikan. Prof. lalu memberikan gambaran botani pertama
dari spesies baru tersebut dengan menamainya Pinus merkusii Junghuhn et de
Vriese. Penamaan ini merujuk pada alm Gubernur Jenderal P. Merkus yang
mememerintahkan Jung Huhn. Pohon tusam asli Sipirok itu kemudian mendapat nama
ilmiah.
Pada bulan Juni 1842 FW Jung Huhn dari Tapanoeli kembali ke Batavia. FW Jung Huhn mulai memetakan gunung-gunung di Jawa. Dalam hal ini gunung dihubungkan dengan geologi, karena gunung juga dikaitkan dengan letusan gunung vulkanik. Para sarajan geologi Jerman mengambilam bagian pertama dari sejarah kebumian dan kegunungapian di Indonesia. Meski demikian, seorang pendaki gunung (Pieter Merkus yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal) yang menginisiasi awal penyelidikan geologi di Indonesia.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar