Tampilkan postingan dengan label Sejarah Yogyakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Yogyakarta. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (16): Dr. Groneman di Jogjakarta, Pembela Kraton; KF Holle di Preanger, Pembela Kebudayaan Sunda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Tidak semua orang Indonesia baik, tidak semua orang Eropa/Belanda jahat. Yang baik adalah baik, yang jahat adalah jahat. Meski demikian, tetap ada perbedaan antara orang baik Eropa/Belanda dengan orang baik Indonesia yakni mereka orang asing Eropa.Belanda yang menjajah terhadap orang Indonesia yang terjajah. Perbedaan esensial diantara orang Eropa/Belanda adalah soal rasial. Sementara perbedaan esensial diantara orang Indonesia adalah penghianatan, suatu penghianatan yang berkolaborasi dengan penjajah untuk menjajah bangsanya sendiri.

Dr. Isaac Groneman, 1879
Sejarah kolonial Belanda di Indonesia berakhir pada saat pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Memasuki era penuh kedaulatan Indonesia mulai disusun siapa yang pantas dan siapa yang tidak pantas untuk ditabalkan sebagai nama situs. Penabalan nama seseorang dalam nama jalan apakah Belanda atau Indonesia mengindikasikan siapa yang dimaafkan dan dihargai di sisi Indonesia yang baru berdaulat. Ada beberapa nama Eropa/Belanda diantaranya Edward Douwes Dekker alias Multatuli di Medan; Louis Pasteur di Bandoeng; dan Dr. Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi di Jakarta. Pada masa kini juga nama-nama orang Indonesia sebagai nama jalan di Belanda, sebut saja Pattimura, Martha Ch. Tiahahu, RA Kartini, Irawan Soejono, Soetan Sjahrir dan Mohamad Hatta. Tentu saja tidak perlu mempertanyakan nama Soekarno sebagai nama jalan di Maroko dan Mesir.

Lantas mengapa nama Dr. Groneman tidak muncul di Yogyakarta, paling tidak sebagai nama situs. Tentu saja ada pertimbangannya. Akan tetapi nama Dr. Groneman masih menarik untuk diperhatikan sebagai seorang tokoh Eropa/Belanda di Yogyakarta pada masa lampau. Dr. Groneman adalah seorang mantan dokter Sultan, pembela kraton dan pencinta kebudayaan Jawa sebagaimana KF Holle sebagai seorang planter di Preanger, pencinta kebudayaan Sunda, pembela pendidikan.

Sabtu, 02 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (15): Kota Gede, Kota Kecil Dalam Kota Yogyakarta; Malioboro, Nama Ibukota pada Era Kerajaan Mataram


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Kota Gede di Kota Yogyakarta sudah banyak ditulis. Namun tetap masih ada hal yang tercecer dan bahkan ada hal yang terabaikan. Perihal yang tercecer dan terabaikan itu yang akan diuraikan dalam artikel ini. Satu hal yang tidak pernah ditulis adalah Malioboro sendiri. Pada era VOC, Malioboro dicatat sebagai area kraton, area yang menjadi ibukota Kerajaan Mataram. Dari Malioboro inilah Kota Gede berkembang.

Pasar Gede, 1876
Kraton Jogjakarta secara filosifis baru dimulai tahun 1755. Ini terjadi setelah adanya perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian: Kesunanan Soeracarta dan Kesultanan Jogjakarta. Pada era Pemerintahan Hindia Belanda (1800an) area kraton Jogjakarta diidentifikasi sebagai ibukota Residentie Djocjocarta. Dari area kraton inilah berkembang menjadi Kota Yogyakarta. Malioboro sebagai nama jalan di Kota Yogyakarta baru muncul pada tahun 1910. Secara filosofis Jalan Malioboro adalah Nieuwe Mataram.    

Bagaimana jalan ceritanya? Itulah yang menjadi soal. Suatu soal yang dapat dijawab yang dapat diselesaikan berdasarkan data-data. Data-data inilah yang di dalam artikel ini dianggap tercecer sehingga terabaikan dalam analisis asal usul kota. Mari kita mulai dari nama Malioboro.

Jumat, 01 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (14): Sejarah Surat Kabar di Jogjakarta, Surat Kabar Pertama Mataram 1877; Kini, Era Kedaulatan Rakyat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Pertumbuhan dan perkembangan surat kabar tempo dulu merupakan gambaran pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Sebelum muncul surat kabar di Djokdjakarta (baca: Yogyakarta), surat kabar sudah berkembang di Batavia, Soerabaja, Semarang dan Padang. Di kota-kota tersebut surat kabar yang muncul pertama kali adalah surat kabar berbahasa Belanda. Demikian juga halnya di Djokdjakarta. Surat kabar pertama di Djokdjakarta adalah surat kabar berbahasa Belanda yang diberi nama Mataram, terbit perdana tanggal 15 Januari 1877.

Java-bode, 27-03-1879
Pemberian nama surat kabar diasosiasikan dengan luas sirkulasinya. Seperti di era awal Pemerintahan Hindia Belanda, surat kabar pertama diberi nama Bataviasche koloniale couran yang terbatas di Batavia yang terbit pertama tahun 1810. Di era pendudukan Inggris surat kabar satu-satunya adalah Java Government Gazette yang terbit pertama tahun 1812. Kedua surat kabar pemerintah tersebut terbit di Batavia. Lalu dalam perkembangannya muncul surat kabar di kota-kota lain: di Soerabaja dan Semarang memberi nama sesuai nama kota untuk cakupan sirkulasi di wilayah sekitar kota; sedangkan di Padang memberi nama Sumatra courant untuk cakupan semua (pulau) Sumatra. Di Djokdjakarta bukan nama kota Djokdjakarta, tetapi mengusung nama wilayah yaitu Mataram. Hal yang sama kemudian muncul di Medan (Deli Courant) dan di Bandoeng (Preanger Bode).

Lantas bagaimana perkembangan surat kabar selanjutnya di Jogjakarta? Setelah surat kabar berbahasa Belanda (Mataram), menyusul kemudian surat kabar berbahasa Jawa dan surat kabar berbahasa Melayu. Namun surat kabar berbahasa Jawa dan surat kabar berbahasa Melayu tidak mudah untuk bertahan. Hanya surat kabar berbahasa Belanda, Mataram yang mampu eksis untuk waktu yang lama. Baru setelah era kemerdekaan Indonesia muncul surat kabar berbahasa Melayu yang tangguh yaitu Kedaoelatan Rakjat yang terbit perdana 27 September 1945. Surat kabar ini mampu eksis hingga ini hari.

Rabu, 27 Februari 2019

Sejarah Yogyakarta (13): Sejarah Hotel Grand Inna Malioboro; Grand Hotel 1911; Isu Hotel Merdeka vs Garuda 1950; Hotel di Jogjakarta Bermula Losmen Malioboro 1865


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Hotel Grand Inna Malioboro di Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang. Nama hotel ini awalnya adalah Grand Hotel yang mulai beroperasi pada tahun 1911. Grand Hotel dibangun untuk bersaing dengan Hotel Mataram yang sudah eksis sejak tahun 1869. Investor Grand Hotel adalah investor Grand Hotel di Soekaboemi. Namun dalam perjalanannya, Grand Hotel beberapa kali harus berganti nama hingga namanya kini disebut Grand Inna Malioboro.

Nama dan usia Hotel Grand Inna Malioboro (1908-1919)
Grand Hotel adalah hotel terbaik di Jogjakarta di era kolonial Belanda. Hotel ini dirampas menjadi properti pada pendudukan Jepang. Segera setelah kemerdekaan Indonesia, hotel ini diambilalih para Republiken dan memberinya nama baru Hotel Merdeka. Pada perang kemerdekaan, pasca Agresi Militer Desember 1948, kepemilikan hotel dikembalikan kepada pemilik lama NV Grand Hotel. Pasca pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda 1950 muncul sengketa apakah Hotel Merdeka milik pemerintah atau milik swasta. Kisruh kepemilikan ini bahkan terkait dengan mertua Wakil Presiden Mohamad Hatta. Akhirnya nama Hotel Merdeka diubah menjadi Hotel Garuda. Bagaimana itu bisa terjadi? Mari kita lacak.

Sejarah Hotel Grand Inna Malioboro adalah bagian dari sejarah hotel di Yogyakarta. Hotel yang pertama muncul di Jogjakarta adalah Losmen Malioboro yang didirikan pada tahun 1865. Losmen ini kemudian diakuisisi oleh Hotel Mataram. Dalam perkembangannya lokasi eks Losmen Malioboro ini dijadikan sebagai Loge Mataram. Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda) 1950, Loge Mataram (eks Loge Malioboro) dijadikan sebagai gedung dewan (kini di lokasi tersebut berada Gedung DPRD).

Minggu, 27 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (12): Diponegoro 1825, Pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat; Luit.Col. HG Nahuijs, Residen di Soeracarta


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Dua tokoh penting dalam Perang Jawa (1825-1830) adalah Pangeran Diponegoro dan Residen Nahuijs. Dalam hal ini, Diponegoro adalah pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat, sementara Luitenant Colonel HG Nahuijs adalah mantan Residen Soeracarta. Keduanya adalah sama-sama pahlawan. Pangeran Diponegoro menjadi pahlawan (nasional) Indonesia dan Residen Nahuijs menjadi pahlawan (lokal) Belanda.

Dalam penulisan sejarah di berbagai tempat di Indonesia, setiap tokoh lokal digambarkan melawan (keseluruhan orang) Belanda dan sebaliknya orang Belanda hanya menyebut pejabat tertentu menghadapi perlawanan pemimpin lokal tertentu. Karena itu terkesan pemimpin lokal tertentu muncul sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi Belanda, sementara nama pejabat tertentu tenggelam sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi pemimpin lokal. Faktanya Hindia (baca: Indonesia) itu sangat luas dan orang-orang Belanda menyebar di berbagai tempat sebagai pejabat. Oleh karena itu dalam sejarah Indonesia hanya muncul nama-nama sebelum dan sesudah Pangeran Diponegoro seperti Sultan Hasanoedin dan Radja Sisingamangaradja. Sementara siapa itu Admiral Spelman dan siapa itu para Gubernur Sumatra’s Weskust kurang dikenal. Setali tiga uang, bagaimana pemimpin lokal (pahlawan nasional) menghadapi musuh lokal (penghianat bangsa) juga kurang terinformasikan. Akibatnya pahala para pahlawan nasional dicatat dengan rinci (bahkan ada yang ditambahkan) sementara seberapa besar dosa para penghianat bangsa dilupakan begitu saja, seakan tidak memiliki kesalahan apa-apa.  

Bagaimana Pangeran Diponegoro berhadapan (head to head) dengan Residen Nahuijs jarang atau nyaris tidak terinformasikan. Padahal kedua tokoh ini berada di waktu dan tempat yang sama. Residen Nahuijs adalah satu-satunya pejabat tertinggi di wilayah Djocjocarta sementara Pangeran Diponegoro adalah satu-satunya pemimpin lokal terkenal yang terang-terangan melakukan perlawanan terhadap kehadiran orang asing. Dalam penulisan sejarah, detail peristiwa kurang tergambarkan dengan jelas akibatnya kita kurang mendapatkan landasan (domain) sejarah. Untuk itu mari kita telusuri ke TKP berdasarkan sumber-sumber yang ada pada masa lampau.

Jumat, 25 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (11): 1001 Teks Nama Yogyakarta; Jogja, Djogja, Djokja Jogdja, Jocja, Jogya, Djokjo, Jugya dan Lainnya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama Yogyakarta sudah lama diproklamirkan, tetapi tidak semua orang munuruti. Masih banyak yang menuliskannya dengan nama Jogjakarta. Tahun 1884 warga Semarang sudah mengusulkan agar nama Jogjakarta ditulis dengan Djokjakarta (lihat De locomotief, 26-08-1884). Namun usul itu nyatanya tidak dituruti. Akibatnya hingga kini nama Yogyakarta dan Jogjakarta, keduanya masih eksis.

De locomotief, 26-08-1884
Ketika kota-kota lain sudah beres soal penulisan nama, Yogyakarta nyatanya belum selesai. Padang, Medan, Bogor dan Depok sejak doeloe tidak ada masalah. Jacatra menjadi Djakarta lalu Jakarta. Samarang menjadi Semarang. Sourabaja, Soerabaija berakhir dengan Surabaya. Soeracarta, Soerakarta berakhir dengan Surakarta. Bandong, Bandoeng menjadi Bandung. Tidak ada lagi orang Bandung menulis Bandoeng. Yogyakarta dan Jogjakarta hingga kini masih eksis. Penulisan nama Yogyakarta dan Jogjakarta di satu sisi dan di sisi lain Djokjakarta (versi Semarang) tidak hanya itu tetapi juga persoalan apakah perlu disingkat: Yogya, Jogja, Djokja. Yang sudah lama beres adalah penulisan karta, kerta dan carta akhirnya mengerucut menjadi karta. Sesungguhnya, orang Yogyakarta sendiri belum sepenuhnya tuntas menulis nama kotanya. Jogja Istimewa, Jogja Never Ending.

Pada masa lampau, penulisan nama Yogyakarta tidak hanya dua tiga macam, tetapi sangat banyak ragamnya. Boleh dikatakan 1001 macam penulisan. Itu semua bersumber dari apa yang dipikirkan, diucapkan dan ditulis tidak sejalan dengan apa yang diinginkan, didengar dan dibaca. Bagaimana itu semua terjadi? Mari kita telusuri.

Rabu, 23 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (10): Cartasoera dan Soeracarta 1745, Mataram dan Jogjacarta 1755; Vastenburg Solo, Vredeburg Yogya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta adalah dua kraton yang berpangkal dari satu: Kerajaan Mataram. Dua kraton menjadi terpisah karena perbedaan-perbedaan di sisi internal. Pada sisi eksternal VOC/Belanda ingin menjalankan kebijakan baru yang menjadikan penduduk (pribumi) sebagai subjek. Sebelumnya VOC hanya menjalankan kontak perdagangan yang longgar terutama di kota-kota pantai hingga tahun 1666.

Cartasoera dan benteng VOC/Belanda (1724)
Kerajaan Mataram lahir terkait dengan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Mataram ini bermula di Padjang. Lalu dalam perkembangannya, pusat kerajaan dipindahkan ke Kota Gede yang sekarang berada di Yogyakarta. Pada era Sultan Agung kebijakan ekspansi dimulai (untuk menguasai seluruh Jawa dan Madura). VOC/Belanda yang telah memindahkan pusat perdagangannya dari Ambon ke muara sungai Tjiliwong (Batavia) tahun 1619 menjadi batu sandungan. Lalu pada tahun 1628 Sultan Agung (bersama Chirebon dan Banten) menyerang Batavia. Serangan ini gagal. Pada tahun 1666 kebijakan VOC/Belanda diubah (untuk seterusnya) bahwa penduduk dijadikan sebagai subjek. Satu yang pertama dimulai dengan menaklukkan Kerajaan/Kesultanan Gowa-Tallo di Somba Opoe (Macassar) tahun 1667 di bawah pimpinan Admiral Spelmann yang turut dibantu Aroe Palaka. Peta 1724

Lantas bagaimana selanjutnya dengan Mataram? Babak baru VOC/Belanda dimulai. Setelah melakukan ekspedisi-ekspedisi ke pedalaman di Sulawesi dan Sumatra, VOC/Belanda mulai melakukan beberapa ekspedisi ke pedalaman di wilayah Jawa. Ekspedisi dilakukan ke hulu sungai Tjiliwong (eks Kerajaan Padjadjaran) pada tahun tahun 1687. Ekspedisi ini dimulai dari muara sungai Tjimandiri (Pelabuhan Ratu yang sekarang). Sebelumnya telah dilakukan ekspedisi ke ke Kerajaan Mataram melalui benteng Missier di Tegal pada tahun 1681.

Sejarah Yogyakarta (9): Yogyakarta Jelang Pendudukan Jepang; Belanda Takut Sekali, Rangkul Madjelis Rakjat Indonesia di Jogja


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Indonesia dan sejarah kota-kota di Indonesia cenderung memisahkan peristiwa sejarah menjadi dua: era kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang. Padahal ada satu sepotong masa sejarah yang kerap terlupakan yakni pada masa transisi antara era kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang. Pada masa transisi ini kedudukan Madjelis Rakjat Indonesia (MRI) menjadi penting bagi Belanda. Dalam suasana ketakutan Belanda meminta bantuan kepada MRI di Jogjakarta, suatu bentuk organisasi yang sejak dari awal dimusuhinya. Belanda telah merendahkan dirinya.  

Panama Maru, 1933
Belanda menelan ludah sendiri. Sejak dari awal Belanda sangat sadar kebangkitan Indonesia dan berusaha keras menghambat pergerakan politik para revolusioner Indonesia. Polisis rahasia Belanda dibentuk untuk mematai-matai setiap aktivitas oraganisasi kebangsaan dan organisasi politik serta individu yang bersifat revolusioner dan radikal. Namun organisasi kebangsaan dan organisasi politik tidak pernah berhenti. Mati satu tumbuh sepuluh. Untuk memperkuat persatuan dan kesatuan lalu pada tahun 1927 dibentuk supra organisasi yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia  (PPPKI). Organisasi ini menaungi organisasi kebangsaan dan organisasi politik. Dalam perkembangannya PPPKI bertransformasi menjadi supra organisasi yang baru yang disebut: Madjelis Rakjat Indonesia. Saat Belanda berada di ujung tanduk, sehubungan dengan invasi Jepang ke Hindia Belanda, Belanda coba merangkul Madjelis Rakjat Indonesia di Jogjakarta.

Bagaimana bisa Belanda merangkul MRI? Itu semua karena ketakutan Belanda yang hanya menunggu waktu untuk invasi ke Hindia Belanda. Ketakutan Belanda yang sesungguhnya adalah kehilangan Hindia Belanda (baca: Indonesia) yang telah lebih dari tiga abad menjadi rumah bagi mereka. Belanda berpikir hanya MRI yang mampu melawan Jepang untuk menjaga kepentingan mereka. Lantas apakah Belanda berhasil merangkul MRI? Bagaimana selanjutnya dan apa sikap kraton/Sultan Jogjakarta? Mari kita telusuri.

Selasa, 22 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (8): Madjelis Rakjat Indonesia Didirikan di Jogjakarta, 1941; Parada Harahap dan MH Thamrin 1927


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ada satu hal yang besar terjadi di Jogjakarta, tidak hanya Boedi Oetomo melebur (merger) dengan Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang kemudian menjadi Partai Indonesia Raja (Parindra) pada tahun 1935, tetapi adalah dibentuknya Madjelis Rakjat Indonesia tahun 1941. Kepemimpinan Madjelis Rakjat Indonesia yang disingkat MRI ini disebut Dewan Pimpinan yang didirikan pada tanggal 13 September 1941 di Jogjakarta. Madjelis Rakjat Indonesia, dasarnya demokratis, saat itu dianggap sebagai Badan Perwakilan Rakyat Indonesia.

Bataviaasch nieuwsblad, 18-09-1941
Pada era reformasi masa ini pernah dideklarasikan Majelis Rakyat Indonesia (MARI) pada tanggal 12 November 2013 di Jakarta. Namun ada perbedaan yang besar antara Madjelis Rakjat Indonesia (MRI) tempoe doeloe di Jogjakarta dengan Majelis Rakyat Indonesia (MARI) pada masa kini di Jakarta. Suasananya juga berbeda: pada masa itu para pemimpin politik Indonesia berada di pengasingan seperti Soekarno dan Mohamad Hatta, sementara yang pada masa ini pemimpin Orde Baru, Soeharto telah dilengserkan

Madjelis Rakjat Indonesia adalah ujung perjalanan dari proses persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi penjajah Belanda. Hanya dengan persatuan dan kesatuan energi besar penduduk Indonesia dapat digabung untuk melawan kekuatan Belanda. Persatuan dan kesatuan yang berakhir pada Madjelis Rakjat Indonesia ini bermula pada saat pembentukan Permofakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada tahun 1927 di Batavia. Bagaimana kronologisnya hingga terbentuk Madjelis Rakjat Indonesia? Mari kita telusuri.

Senin, 21 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (7): Sejarah Pendidikan di Yogyakarta; Doeloe Sangat Terbelakang, Tetapi Sangat Populer Pada Era Masa Kini


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Kota Yogyakarta adalah salah satu kota pendidikan di Indonesia. Predikat itu semakin kuat karena di Kota Yogyakarta terdapat universitas besar, universitas negeri UGM (Universitas Gadjah Mada). Sebagaimana diketahui, UGM adalah universitas negeri pertama di Indonesia yang diresmikan pada tahun 1949.

Sekolah guru (kweekschool) di Jogjakarta (1915)
Pada masa kini ada anggapan umum bahwa kota pendidikan hanya beberapa kota: Jogjakarta, Bandoeng, Jakarta, Malang, Solo, Padang dan Makassar. Boleh jadi itu karena adanya universitas terkenal dan atau karena kedudukannya sebagai pusat regional. Namun sebuah kota tidak hanya diukur dari keberadaan universitas, tetapi juga ukuran kuantitas dan kualitas sekolah-sekolah menengah dan sekolah-sekolah dasar. Singkat kata: jumlah angka partisipasi sekolah pada berbagai golongan umur.

Sejatinya, Kota Yogyakarta mulai dikenal sebagai kota pendidikan baru setelah kemerdekaan. Tepatnya ketika ibukota RI pindah dari Jakarta ko Jogjakarta pada tahun 1946. Lantas bagaimana dengan sebelumnya. Itu satu pertanyaan. Pertanyaan berikutnya: bagaimana perkembangan pendidikan di Yogyakarta setelah menjadi ibukota RI. Intinya adalah pada era kolonial Belanda pendidikan di Yogyakarta terbilang sangat terbelakang. Perpindahan ibukota RI dari Djakarta ke Jogjakarta pada tahun 1946 menjadi berkah dalam perkembangan pendidikan di Yogyakarta. Mari kita telusuri.

Jumat, 18 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (6): Sejarah Ibukota RI di Yogyakarta, Jogja Istimewa dan Apa Istimewanya Djokjakarta; Inilah Faktanya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ibukota Republik Indonesia pernah di Yogyakarta yang secara de facto dimulai tanggal 4 Januari 1946. Hal ini menyusul tidak amannya ibukota RI di Djakarta. Sebelum ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta, wilayah Jogjakarta sudah ditabalkan sebagai salah satu provinsi di Indonesia dengan gelar Istimewa. Gelar yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia ini sedikitnya dalam tiga hal: sejarah, bentuk dan kepala pemeritahan

Pada masa kini keistimewaan Yogyakarta paling tidak masih eksis nama provinsi sebagai Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu provinsi lagi yang kini masih mendapat gelar Istimewa adalah Provinsi Aceh, Tentu saja daerah Istimewa dibedakan dengan daerah Khusus (Jakarta). Daerah Istimewa dan Daerah Khusus sudah dipatenkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pertanyaannya: Apa istimewanya Djogjakarta? Satu hal Jogjakarta pernah menjadi ibukota Republik Indonesia dan keistimewaannya dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Namun bukan itu inti pertanyaannya, tetapi mengapa Jogjakarta harus diberi gelar Istimewa dan mengapa ibukota RI dipindahkan ke Jogjakarta. Dua pertanyaan ini saling terkait. Mari kita telusuri.

Selasa, 15 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (5): Gunung Merapi dan Daftar Panjang Letusan; Ekspedisi Pertama 1820 oleh Nahuijs dan Merkus (Jung Huhn)


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Gunung Merapi di Yogyakarta (juga terlihat dari Solo) adalah salah satu gunung di Jawa yang terbilang aktif dari dulu hingga kini. Di era VOC/Belanda, letusan gunung Merapi kali pertama dicatat pada tahun 1760. Gunung Merapi yang berada di sekitar penduduk yang padat ini selalu menjadi menarik perhatian. Tidak hanya penduduk di sekitar gunung, juga orang-orang Eropa/Belanda.

Bataviasche courant, 14-10-1820
Pada tahun 1820 Residen Soeracarta HG Nahuijs penasaran dengan indahnya gunung Merapi tetapi selalu membuatnya was-was. HG Nahuijs lalu berkekuatan hati untuk ‘memanjat’ gunung Merapi. HG Nahuis yang berpangkat kolonel tersebut tidak sendiri tetapi juga mengajak tiga temannya untuk melihat langsung kawah gunung Merapi. Tiga temannya itu adalah S van de Graaf, P. Merkus en  H. Mac Gillavry. Pada pagi tanggal 9 September 1820 HG Nuhuijs bersama tiga temannya plus 76 orang Jawa untuk membantu memulai ekspedisi ke gunung tersebut. Mereka berhasil hingga ke puncak gunung.. Pieter Merkus kelak menjadi Gubernur Jenderal (1841–1844). Pieter Merkus pada tahun 1840 merekrut FW Jung Huhn untuk meneliti dan memetakan geologi dan botani di Tanah Batak. Setelah menyelesaikan bukunya berjudul Die Battaländer auf Sumatra, Jung Huhn melakukan pemetaan gunung-gunung di Jawa, termasuk gunung Merapi. Satu tanaman asli Indonesia pinus ditemukan Jung Huhn di Sipirok (Tapanuli Selatan). Nama tanaman ini lalu diabadikan namanya dengan Pinus merkusii Jungh, yang mengambil nama Pieter Merkus dan Jung Huhn. Pieter Merkus meninggal di Soerabaja (1844) yang diduga disebabkan malaria. FW Jung Huhn membawa pohon kina dari Brasil dan mengembangkannya di Preanger. Jung Huhn meninggal di Lembang (1864).

Lantas bagaimana sejarah gunung Merapi selanjutnya? Gunung Merapi nyaris tidak ada matinya. Gunung Merapi telah banyak menimbulkan korban, tetapi juga gunung Merapi telah memberi manfaat. Untuk melengkapi sejarah gunung Merapi, ada baiknya disusun daftar panjang letusan yang pernah terjadi. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo dulu.

Senin, 14 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (4): Fakta Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dan Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ada dua tanggal penting kejadian di Yogyakarta pada era perang kemerdekaan RI: Tanggal 19 Desember 1948 dan tanggal 1 Maret 1949. Kejadian-kejadian di seputar dua tanggal tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan. Perdebatan yang muncul bukan di kalangan orang Belanda tetapi justru di kalangan orang Indonesia masa kini. Di kalangan Indonesia, duduk soal kejadian tanggal 1 Maret 1949 bukan pada peristiwa yang terjadi tetapi siapa yang menjadi inisiator serangan tersebut. Pada era Orde Baru, nama Suharto mengemuka dalam hal ini. Akan tetapi tidak semua orang sepakat. Kontroversi muncul di era Reformasi (termasuk reformasi sejarah).

Kontroversi lainnya adalah kejadian-kejadian pada tanggal 19 Desember 1948, tanggal kapan militer Belanda melakukan pendudukan di Yogyakarta. Kontroversi yang terjadi bukan di kalangan Indonesia, tetapi di dunia internasional. Salah satu peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 Maret bahkan membuat Dewan Kemanaan PBB marah besar dan meminta Kerajaan Belanda melakukan investigasi sesegera mungkin. Seperti kita lihat nanti, Kerajaan Belanda di Den Haag menggelar segera pengadilan darurat. Lantas kontroversinya dimana? Peristiwa yang dibicarakan dunia internasional ini tidak dimasukkan dalam sejarah Indonesia masa kini.

Dua peristiwa tanggal 19 Maret 1948 (yang disebut Agresi Militer Belanda II) dan tanggal 1 Maret 1949 (Serangan Umum oleh Republiken), faktanya dapat diikuti di dalam pemberitaan surat kabar hari demi hari. Dalam penulisan sejarah Indonesia, berita-berita ini dapat dianggap lebih otentik karena diberitakan apa adanya (belum masuk angin). Lalu seperti apa duduk perkaranya? Mari kita sarikan dari berita-berita di seputar tanggal tersebut: bad news, good news.

Kamis, 10 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (3): Nama Jalan Tempo Dulu di Yogyakarta, Malioboro Paling Tua; Kini Ada Nama Pajajaran dan Siliwangi


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Pada masa kini, di Yogyakarta terdapat nama jalan hampir 500 buah. Itu semua bermula dari tiga nama jalan: Residentie, Petjinan dan Malioboro. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, nama-nama jalan baru terus bertambah. Namun nama-nama jalan itu diubah sejak pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Hanya satu nama jalan yang tetap abadi, yakni Jalan Malioboro.
.
Peta Yogyakarta (1903)
Sementara nama jalan terus bertambah, soal penggantian nama jalan di Yogyakarta tidak hanya berhenti pada tahun 1950. Baru-baru ini terdapat enam nama jalan yang diganti dengan nama jalan yang baru, yakni: Majapahit, Pajajaran, Siliwangi, Brawijaya, Ahmad Yani dan Wirjono Prodjodikoro. Lantas mengapa nama-nama jalan Majapahit, Pajajaran, Siliwangi dan Brawijaya baru sekarang? Jawabnya: Karena di Kota Bandung dan Kota Surabaya juga ada pergantian nama jalan,

Mengapa tidak ada daftar nama jalan tempo dulu di Yogyakarta yang dapat dibaca pada masa ini? Tentu saja bukan karena tidak tersedia data. Masalahnya adalah tidak ada yang tertarik untuk menulisnya. Padahal nama-nama jalan tempo dulu adalah suksesi nama jalan masa kini. Nama jalan tempo dulu lahir berproses secara alamiah. Sifat alamiah ini adalah filosofi (karakter) awal tumbuhnya sebuah kota. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 05 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (2): Sejarah Asal Usul Nama Jalan Malioboro di Yogyakarta; Nama Gedung, Penamaan Jalan Braga Bandung


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama jalan Malioboro di Yogyakarta, bukanlah nama jalan kuno, tetapi juga bukan nama jalan baru. Nama Jalan Malioboro sudah eksis di era kolonial Belanda. Nama jalan Malioboro tidak hanya terkenal di Yogyakarta tetapi di seluruh Indonesia. Hal ini juga di Bandung, nama jalan yang juga sangat dikenal yakni Jalan Braga. Hanya dua nama jalan ini di Indonesia yang tetap populer sejak era kolonial Belanda hingga masa kini.

Nama jalan adalah penanda navigasi di dalam kota. Nama jalan terkenal selalu menjadi starting point. Nama jalan terkenal yang sudah eksis sejak tempo doeloe kerap dijadikan sebagai heritage. Sebagaimana jalan Braga di Bandung, nama jalan Maliboro di Yogyakarta juga suatu heritage. Memang ada nama jalan di sejumlah tempat yang menjadi heritage, seperti Jembatan Merah di Surabaya, jalan Multatuli di Medan dan jalan  Kramat dan jalan Salemba di Jakarta. Namun nama jalan Braga dan nama jalan Malioboro memiliki daya tarik sendiri. Karena itu, sebagaimana jalan Braga di Bandung, nama jalan Malioboro selalu lebih populer dibanding nama-nama jalan lainnya.

Lantas bagaimana asal usul nama Malioboro di Yogyakarta? Pertanyaan ini memang penting, tetapi yang lebih penting adalah mangapa nama jalan tersebut, terusan jalan utara Kraton Yogyakarta, disebut nama Malioboro? Lalu mengapa kita tetap mengusutnya. Hal itu karena masih banyak yang bertanya-tanya. Artikel ini mendeskripsikan asal usul mengapa nama jalan di Yogyakarta disebut Malioboro.

Selasa, 03 Juli 2018

Sejarah Yogyakarta (1): Dr. Sardjito, Ph.D, Dokter Bergelar Doktor; STOVIA, Boedi Oetomo, Leiden, Pasteur Instituut, UGM


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Sardjito, hanya itu namanya: singkat dan padat. Namun kapasitas Sardjito tidak hanya seorang dokter lulusan Stovia, tetapi Dr. Sardjito adalah dokter Indonesia generasi pertama yang berhasil meraih gelar doktor (Ph.D). Tidak hanya itu, Dr. Sardjito, Ph.D juga adalah tokoh penting organisasi kebangsaan Boedi Oetomo. Nama dokter Sardjito juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari Pasteur Instituut dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dr. Sardjito, Ph.D
Dr. Sardjito, Ph.D adalah orang Indonesia kedua yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran (1923). Dr. Sardjito, Ph.D adalah pribumi pertama yang menjabat direktur Pasteur Instituut. Sementara itu, perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran adalah Dr. Ida Loemongga, Ph.D (1931). Sedangkan Dr. Achmad Mochtar, Ph.D adalah orang pribumi pertama yang menjabat direktur Eijkman Instituut. Ida Loemongga kelahiran Padang dan Achmad Mochtar kelahiran Bondjol adalah sama-sama berasal dari Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean, Tapanoeli). Ida Loemongga adalah anak Dr. Haroen Al Rasjid Nasution dan Achmad Mochtar adalah anak guru Omar Loebis.

Namun sangat disayangkan, riwayat Dr. Sardjito ditulis sangat singkat, padahal Dr. Sardjito catatan karirnya sangat fantastik: Dokter doktor kedua, Direktur Pasteur pertama dan Rektor UGM pertama. Data riwayat Dr. Sardjito, Ph.D yang singkat tersebut ternyata banyak informasinya yang ditulis keliru. Satu hal lain tidak pernah ditulis ternyata Dr. Sardjito juga 'master' dalam permainan catur. Untuk itu, sejarah Dr. Sardjito, Ph.D perlu ditulis kembali (selengkap mungkin dan seakurat mungkin). Mari kita telusuri surat kabar sejaman.