*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Hotel Grand Inna Malioboro di Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang. Nama hotel ini awalnya adalah Grand Hotel yang mulai beroperasi pada tahun 1911. Grand Hotel dibangun untuk bersaing dengan Hotel Mataram yang sudah eksis sejak tahun 1869. Investor Grand Hotel adalah investor Grand Hotel di Soekaboemi. Namun dalam perjalanannya, Grand Hotel beberapa kali harus berganti nama hingga namanya kini disebut Grand Inna Malioboro.
Hotel Grand Inna Malioboro di Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang. Nama hotel ini awalnya adalah Grand Hotel yang mulai beroperasi pada tahun 1911. Grand Hotel dibangun untuk bersaing dengan Hotel Mataram yang sudah eksis sejak tahun 1869. Investor Grand Hotel adalah investor Grand Hotel di Soekaboemi. Namun dalam perjalanannya, Grand Hotel beberapa kali harus berganti nama hingga namanya kini disebut Grand Inna Malioboro.
Nama dan usia Hotel Grand Inna Malioboro (1908-1919) |
Sejarah Hotel Grand Inna
Malioboro adalah bagian dari sejarah hotel di Yogyakarta. Hotel yang pertama
muncul di Jogjakarta adalah Losmen Malioboro yang didirikan pada tahun 1865. Losmen
ini kemudian diakuisisi oleh Hotel Mataram. Dalam perkembangannya lokasi eks
Losmen Malioboro ini dijadikan sebagai Loge Mataram. Pasca pengakuan kedaulatan
RI oleh Belanda) 1950, Loge Mataram (eks Loge Malioboro) dijadikan sebagai
gedung dewan (kini di lokasi tersebut berada Gedung DPRD).
Grand Hotel Jogjakarta
Di Soekaboemi terdapat
sebuah hotel bernama Grand Hotel. Investor Grand Hotel di Soekaboemi diduga
yang menjadi investor dalam pembangunan hotel Grand Hotel di Jogjakarta.
Pelaksanaan pembangunan Grand Hotel di Jogjakarta dimulai tahun 1908. Grand
Hotel Jogjakarta mulai beroperasi pada tahun 1911. Sebelumnya, di Jogjakarta
sudah ada tiga tempat penginapan yaitu Losmen Malioboro, Losmen/Hotel Mataram
dan Hotel Centrum.
Grand Hotel Jogjakarta, 1910 |
Setelah dioperasikannnya
besi (kereta api) di Jogjakarta, moda transportasi dari dan ke Jogjakarta tetap
eksis kereta kuda. Fungsi dua losmen yang ada tetap menyediakan fasilitas
istal. Hal ini karena kereta kuda jarak jauh masih intens digunakan seperti
dari dan ke Magelang. Dengan semakin tingginya arus orang dari Semarang dan
Soerakarta ke Jogjakarta dengan mengginakan moda kereta api, seperti pejabat
dan pelancong, maka kualitas penginapan semakin dibutuhkan dan kemudian dibukan
hotel di dekat kantor Residen. Hotel itu disebut Hotel Centrum. Hotel ini
paling tidak sudah beroperasi pada tahun 1898 (De locomotief : Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 01-11-1898).
Foto sebuah losmen di Magelang, 1864 |
Hotel Centrum dan Hotel
Mataram kemudian mendapat saingan baru dengan adanya rencana investor baru
membuka hotel di Jogjakarta. Hotel baru itu disebut Grand Hotel. Pembangunan
hotel baru ini dimulai tahun 1908 dan selesai pada tahun 1911. Bangunan dan
fasilitas Grand Hotel cukup mewah. Jalan yang berada di depan hotel kemudian disebut
Jalan Malioboro. Dengan kehadiran Grand Hotel, nama Hotel Centrum tidak pernah
muncul lagi. Terakhir terdeteksi Hotel Centrum tahun 1905. Grand Hotel dapat
dikatakan suksesi Hotel Centrum yang terus bersaing dengan Hotel Mataram.
Pada tahun 1912 nama Losmen Malioboro sudah diidentifikasi oleh publik sebagai
pananda navigasi dalam kota (pada Peta 1909 ruas jalan tersebut sudah ditandai
sebagai Malioboro). Area sekitar losmen juga kerap disebut sebagai kawasan
Malioboro (lihat misalnya Bataviaasch nieuwsblad, 09-12-1912). Pada tahun 1918
sudah ada yang secara eksplisit menyebut jalan di depan Losmen Malioboro
sebagai jalan (weg) Malioboro. Disebutkan perusahaan NV Djokjasche
Machinehandel mangadakan rapat umum di Toko Van Biene yang terletak di Jalan
Malioboro (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-11-1918). De Indische
courant, 09-08-1923 menyebutkan jalan utama (di) Jogjakarta adalah ruas jalan
Toegoe, Malioboro, Patjinan dan Résidentielaan.
Area di sekitar Grand
Hotel semakin berkembang. Pada tahun 1924 dibuka jalan baru di Jogjakarta (De
Indische courant, 11-02-1924). Disebutkan bahwa pada hari Sabtu pagi diadakan
di gedung Nillmij pembukaan jalan baru sebagai jalan penghubung dengan
lingkungan baru (nieuwe wijk) Malioboro. Pembukaan jalan baru ini dilakukan
oleh Sultan dan Residen. Jalan baru ini terletak dekat dengan Grand Hotel.
Masyarakat akan diizinkan untuk berjalan di jalan/jembatan tersebut pada pukul
12 siang.
Lokasi Grand Hotel di Jogjakarta (Peta 1925) |
Lantas bagaimana dengan
Losmen Malioboro?.Meski sudah ada hotel besar (Hotel Grand dan Hotel Mataram)
di Jalan Malioboro, keberadaan Losmen Malioboro masih tetap eksis, paling tidak
hingga tahun 1924 ini (lihat De Indische
courant, 15-08-1924). Disebutkab bahwa di Loge Malioboro diadakan pertemuan
umum. Jalan Malioboro lambat laun menjadi sangat ramai. Akan tetapi dalam perkembangannya
Loge Malioboro tidak pernah muncul lagi. Pada Peta 1925 di sekitar Jalan
Malioboro tidak ditemukan lagi nama Losmen Malioboro. Nama-nama bangunan di
seputar Jalan Malioboro yang terkenal adalah Hotel Grand, Hotel Mataran dan
Loge Mataram.
Hilangnya nama Loge Malioboro
sepintas adalah teka-teki. Tetapi sesungguhnya mudah ditebak. Penjelasannya
adalah sebagai berikut: Pada tahun 1909 Loge Malioboro berada di taman kota
(stadtuin), Losmen Maliboro dan Losmen Mataram berdampingan. Lalu pemilik
Losmen Mataran membangun Hotel Mataram. Dalam perkembangannya, pemilik Losmen
Mataran tidak hanya membangun hotel, tetapi juga mengakuisisi Losmen Malioboro.
Lalu Hotel Mataram tetap di tempatnya, sedangkan losmen yang sebelumnya bernama
Malioboro diganti dengan nama Loge Mataram. Lantas bagaimana dengan losmen
Mataram? Area losmen ini telah diubah menjadi perluasan Hotel Mataram. Dengan demikian di area sisi timur Jalan
Malioboro ini hanya eksis Hotel Mataram dan Loge Mataram.
Losmen Maliboro telah
tamat. Nama Losmen Malioboro adalah situs paling tua di kawasan jalan utama.
Nama Losmen Malioboro telah bertransformasi menjadi nama jalan utama yakni
Jalan Malioboro. Situs baru yang kian populer di Jalan Malioboro adalah Grand
Hotel. Hal yang mirip dengan ini di Bandoeng, gedung seni Braga telah
bertransformasi menjadi nama Jalan Braga.
Grand Hotel di Jalan Malioboro di
bawah kepemilikan NV Grand Hotel de Djokja menjadi penanda navigasi terpenting
di Jalan Malioboro. Grand Hotel memiliki daya tarik tersendiri tidak hanya
sebagai tujuan tempat penginapan bagi tamu yang datang ke Jogjakarta, tetapi
juga bagi para investor. De Sumatra post, 25-06-1929 melaporkan emisi Grand
Hotel Djokjakarta. Disebutkan obligasi 6 persen Grand Hotel di Djokja sehingga
hanya sekitar 50 persen dapat digunakan. Bataviaasch nieuwsblad, 30-11-1933 melaporkan
bahwa keputusan Pemerintah memberikan persetujuan atas perubahan anggaran dasar
dari NV yang didirikan di Jogjakarta: NV Grand Hotel de Djokja.
Seperti di tempat
lainnya, ketika pada bulan Maret 1942 militer Jepang mendarat di Jawa, Grand
Hotel de Djokjakarta di Jalan Malioboro adalah salah satu hotel terbaik di Jawa
yang dimiliki publik di bawah kepemilikan nama NV Grand Hotel de Jogjakarta. Grand
Hotel menjadi salah satu tempat (penginapan) militer Jepang.
Direktur NV Grand Hotel de
Jogjakarta, Ny Trutenau menyatakan otoritas pendudukan Jepang tinggal di hotel dengan
cara mereka sendiri, menggunakan properti tanpa memikirkan sewa apa pun dengan
pemilik yang sah. Lambat laun hotel itu yang mewah tersebut tidak lagi memenuhi
syarat sebagai kualifikasi untuk hotel dalam tempo yang singkat. Hanya hotel
ini yang terakhir yang berstatus hotel tetapi orang Jepang membuat hotel itu
beralih fungsi.
Pada tanggal 17 Agustus
1945 diumumkan kemerdekaan Indonesia. Dengan kedatangan sekutu hotel
ditinggalkan. Pada saat itu, sekitar 75 persen interior hotel itu tidak memadai
lagi. Properti yang tidak memadai terutama tempat tidur. Grand Hotel kemudian
diambil alih dan digunakan pemerintah Republik. Setelah pengambilalihan ini hotel
diberi nama Merdeka.
Kepemilikan hotel yang kini disebut
Hotel Merdeka berada di bawah Departemen Perhubungan melalui salah satu
bidangnya. Orang yang ditunjuk sebagai pejabat yang menangani adalah A. Rachim
yang juga akan menjadi pemimpin (manajer) untuk hotel-hotel pemerintah (Staatshotels).
Hotel-hotel yang dimaksud selain Grand Hotel juga beberapa hotel lainnya
sebagai hotel pemerintah.
Meski sudah dibentuk
badan pengelola hotel pemerintah dan menunjuk A. Rachim, namun uang pemerintah
tidak cukup untuk melakukan renovasi atau perbaikan yang diperlukan. Saat
inilah inisiatif A Rachim untuk mengumpulkan dana dengan meminjam uang ke
berbagai pihak dan juga melakukan peminjaman barang untuk menjaga agar hotel bisa
beroperasi kembali. A. Rachim telah berusaha keras menjalankan hotel sesuai
standar hotel.
Namun dalam perkembangannya, A.
Rachim yang sejatinya mengoperasikan Hotel Merdeka untuk Pemerintah, tetapi
pada kenyataannya sebagai individu pribadi. Ini dapat dipahami karena yang
bekerja keras adalah A. Rachim sementara Departmen Perhubungan yang memberikan
penugasan tidak pernah meminta pertanggungjawaban/ Hal ini boleh jadi karena
pemerintah melalui Departemen Perhubungan tidak pernah mengalokasikan anggaran.
Pada bulan Desember 1948
terjadi Agresi Militer Belanda, yang dalam hal ini termasuk menduduki
Jogjakarta. Otoritras pemerintah Republik terbilang berakhir dan digantikan
otoritas Belanda. Sehubungan dengan itu, Hotel Merdeka kembali bernama Grand
Hotel. Kepemilikan Grand Hotel diberikan (kembali) kepada pemilik yang sah
yaitu NV Grand Hotel de Djokjakarta. Ny Trutenau kembali mengelola hotel. Namun
pengelolaan itu harus berakhir pada tanggal 27 Juni 1949.
Oleh karena terjadi gencatan senjata
antara Republik Indonesia dan Belanda yang akan dilanjutkan pada konferensi
(LMB), Ny Trutenau mulai meninggalkan Jogjakarta. Ny Trutenau memberikan
pengelolaannya kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen
Perhubungan dengan risko sendiri dalam perjanjian. Di dalam perjanjian tersebut
penyelesaian akhir akan dibahas kemudian. Dalam hal pengelolaan sepeninggal Ny Trutenau,
hotel kembali dikelola oleh A Rachim.
Permasalahan kembali
berulang. A Rachim melakukan inisiatif sebaliknya pemerintah melalui Departemen
Perhubungan tidak pernah mengalokasikan anggaran. Tidak diketahui sebab yang
jelas, sejatinya A Rachim adalah seorang pegawai negeri sipil (pejabat) yang
bertugas untuk menempatkan hotel-hotel yang harus dia kelola atas nama
Departemen tetapi dalam kenyataannya menjadi perusahaan publik Perseroan
Terbatas, terlepas dari apakah hal ini dilakukan dengan atau tanpa
sepengetahuan Pemerintah.
Perusahaan perseroan terbatas
tersebut diberi nama NV Hotel Negara dan Touri.snie disingkat NV Honet. Dalam
perseroan ini disebutkan sebagai pemegang saham adalah A Rachim, Tjipto Roeslan
dan Djody.
Isu Hotel Merdeka dan Namanya
Berganti Menjadi Hotel Garuda
Hotel Merdeka di Jogjakarta dan NV Honet dipertanyakan (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-08-1950). Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana hal itu mungkin, bahwa seorang pejabat dengan perusahaan negara mendirikan NV. Sementara itu pemerintah pemerintah melalui Departemen Perhubungan mengeluarkan keputusan pendirian perusahaan perseroan terbatas Marba.
Pada tanggal 15 Agustus, Pemerintah melalui
Departemen Perhubungan mengesahkan pendirian perusahaan perseroan terbatas
Marba. Perusahaan ini kemudian membeli semua saham NV Grand Hotel de Jogjaltarta
(pemilik sebelum perang) dan dengan demikian mempertahankan haknya atas hotel.
Keputusan pembelian itu diterbitkan oleh VV Marba melalui iklan di surat kabar
harian yang terbit di Djokjakarta, Anehnya, di surat kabar yang sama juga NV
Honet memasang iklan bahwa NV Honet memberi tahu ke publik bahwa pengelolaan
Hotel Merdeka adalah NV Honet.
Melihat kenyataan
tersebut, pihak NV Marba bereaksi. Dalam keterangannya ke media, A Loebis
mewakili NV Marba mengatakan bahwa pada hari Sabtu 19 Agustus datang ke Hotel
Merdeka untuk pengambilalihan. Namun pihak NV Honet menolak. Pada tanggal 20
Agustus hari berikutnya, A Loebis datang
ke Hotel Merdeka untuk mengganti plang nama Hotel Merdeka dengan nam Grand
Hotel. Namun kembali pihak NV Honet menolak. Oleh karena surat keputusan yang
dipegang oleh A Lubis resmi, polisi yang tadinya berjaga-jaga kemudian
membolehkan A Loebis masuk dan tinggal di hotel serta mulai menjalankan tugas
operasional hotel.
Pada saat yang sama pejabat
pengadilan di Djogjakarta telah mengirim surat panggilan kepada manajemen NV Honet.
Surat panggilan tersebut dikirim sebagai tanggapan terhadap iklan dimana
keputusan Departemen Perhubugan diabaikan. Permasalahannya tidak sampai disitu,
sebab selain Departemen Perhubungan telah secara resmi menempatkan A Rachim sebagai
manajer hotel juga telah memerintahkan A Rachim untuk tanggal 25 Agustus untuk
melakukan pertanggungjawaban.
Isu Hotel Merdeka
menjadi semakin terbuka ke publik. Surat kabar De locomotief : Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 13-09-1950
memberitakan perselisihan antara NV Marba dan NV Honet tentang manajemen Hotel
Merdeka di Djokjakarta. Disebutkan Menteri Perhubungan Ir. Djuanda menyatakan kementerian
saat ini sedang melakukan penyelidikan. Ir. Djuanda disebutkan secara eksplisit
menyatakan bahwa Hotel Merdeka Djokjakarta telah dijual kepada NV Marba. Dengan
demikian, NV Marba adalah pemilik sah hotel.
Sementara kasus antara NV Marba dan NV
Honet sedang diselidiki. Surat kabar De vrije pers: ochtendbulletin, 07-11-1950
memberitakan bahwa sampai saat ini hanya kantor Honet di Bandung dan Djoj'ja
yang dibuka. Pembukaan kantor pusat di Jakarta akan segera menyusul demikian
juga dengan cabang di Surabaya. Juga kemungkinan dibuka kantor baru di Bali, yang
mana delegasi dari Jakarta akan segera pergi untuk kunjungan eksplorasi. Selanjutnya
ada rencana untuk membuka kantor di Medan, Padang, Makasar dan Manado.
Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 16-11-1950 memberitakan bahwa di Bandung belum lama ini didirikan
kantor Honet (Badan Hotel Negara dan Tourisme), sebuah layanan resmi untuk
industri perhotelan dan tourisme, yang merupakan bagian dari Departemen
Pehubungan. Kantor tersebut berlokasi di Tjikinilaan No. 16 dan saat ini berada
dibawah kepemimpinan Mr MRA James. Juga disebutkan bahwa Honet didirikan di
Djogjakarta sebelum pengalihan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia. Tujuan
utama Honet adalah untuk mempromosikan pariwisata di seluruh Indonesia oleh semua
kedutaan Indonesia di luar negeri untuk dijual kepada para peminat yang ingin
mengunjungi Indonesia. Honct mengatur perjalanan domestik, mempromosikan antara
berbagai wilayah Indonesia. Honet disebutkan tidak dimaksudkan untuk bersaing
dengan bisnis hotel swasta. Sebaliknya, Honet membantu diri sendiri dan juga untuk
membantu bisnis hotel swasta berdasarkan bisnis dan dengan demikian
mengoperasikan hotel itu sendiri.
Sementara Honet, badan
pemerintah di bidang perhotelan dan tourism memperluas cabang di berbagai kota
di Indonersia, di Djogjakarta diadakan Kongres Staf Hotel (lihat De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 02-12-1950). Dalam kongres ini
resolusi dibuat yang meminta kepada pemerintah memutuskan secara jelas status NV
Hotel Negara dan Tourism (NV Honet) sesegera mungkin dengan ketentuan bahwa
hotel-hotel di bawah NV Honet murni sebagai staatshotels (hotel pemerintah) dan
staf mendapatkan status sebagai pegawai pemerintah.
De locomotief: Samarangsch handels-
en advertentie-blad, 02-12-1950 juga memberitakan bahwa pengadilan telah
menyatakan keputusannya tentang masalah Hotel Merdeka. NV Honet yang dalam hal
ini A Rachim dan Mr Tjipto Roeslan harus menyerahkan kepada NV Marba. Jika pihak
NV Honet tidak mematuhi ini maka penggusuran akan dilakukan di bawah pengawasan
polisi. NV Honet dimohonkan untuk (naik) banding. Java-bode : nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-12-1950 juga memberitakan masalah
hotel di Djokjakarta. Pada hari Kamis, Dewan Pertanahan di Djokjakarta
mengumumkan keputusan dalam isu Hotel Merdeka yang terkenal. NV Honet yang
diwakili oleh direkturnya, Mr Rachim dan Mr Tjipto Roeslan tidak berhasil dan
harus mengosongkan gedung hotel secepat mungkin untuk NV Marba. NV Honet telah
mengajukan banding.
Dalam kasus Hotel Medeka
di Jogjakarta NV Honet tampaknya tidak berhasil dalam banding. Kekuatan hukum
dan pemilik yang sah dari Hotel Merdeka tetap di tangan NV Marba. Surat kabar De
nieuwsgier, 05-01-1951 memberitakan bahwa per 31 Desember 1950 Hotel Merdeka di
Jogjakarta secara resmi dipindahkan dari NV Honet kepada NV Manba. Disebutkan
dengan izin dari Wali Kota Djokjakarta nama hotel diubah menjadi Garuda.
Algemeen Indisch dagblad:
de Preangerbode, 13-01-1951: ‘Pemberitahuan Kepada khalayak ramai umumnja dan pihak-pihak
yang berkepenüngan khususnja dengan mi kami permaklumkan bahwa: SEJAK TANGGAL
30 DESEMBER 1950 kami telah menyelenggarakan sendiri perusahaan hotel kami di Jalan
Malioboro No. 24 Jogjakarta (dulu ditempati olch perusahaan Hotel Merdeka)
dengan memakai nama HOTEL GARUDA. Jogjakarta, 30 Desember 1950. Direksi NV
GRAND HOTEL de DJOKJA. A LOEBIS.
Selesai sudah
permasalahan yang timbul pada Hotel Merdeka Jogjakarta yang kemudian namanya
diubah Direksi NV Grand Hotel de Djokja. Alamat Direksi NV Grand Hotel de
Djokja diketahui berada Djakarta (lihat Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-11-1951). Ini terkait dengan
pengumuman NV Grand Hotel de Djokja yang membuka lamaran untuk manager yang
berpengalaman yang mana disebutkan surat lamaran disertai dengan salinan
suratsurat keterangan dialamatkan kepada: Direksi NV Grand Hotel de Djokja,
Djalan Tjengkeh 1 Djakarta.
Hotel Grand Inna Malioboro
Mohon info, apakah NV Marba yg dimaksud di situ sama dg pemilik gedung Marba di Semarang serta rumah proklamasi Pegangsaan 56 Jkt ? Atau hanya namanya saja yg sama ?
BalasHapusNV Marba adalah perusahaan baru orang Belanda yang belum lama didirikan di Singapoera dan membuka cabang di Djakarta tahun 1947. Pada tahun 1948 cabang NV Marba sudah ada di Semarang, dan kemudian menyusul di Soerabaja. Sebagai perusahan commanditer maka pemilik saham bisa lebih dari satu orang. NV Marba cab Soerabaja adalah orang Indonesia. Pada tahun 1949 NV Marba diketahui berkantor pusat di Amsterdam (mungkin telah dipindahkan dari Singapoera ke Belanda). Soal Gedung Indonesia (rumah proklamasi)saya tidak nelihat relasinya karena rumah itu sudah sejak 1945 sebagai gedung proklamasi sementara NV Marba baru didirikan tahun 1947. Pada tahun 1949 Gedung Indonesia itu semacam gedung Keduber RI di wilayah federal (Belanda/NICA).
HapusDemikian. Hanya itu yang saya ketahui.
Saya punya teman yang kakek nya pernah bekerja di bagian pembukuan waktu bernama Hotel Merdeka Yogyakarta. Nama nya : Djojodihardjo. Apakah ada informasi yang di temukan tentang hal ini? Terima kasih
BalasHapusDalam catatan saya ada beberapa orang dengan nama Djojodihardjo, tetapi tidak ada yang berkaitan dengan hotel.
HapusSaya ada Foto yang menunjukan Sdr. Sugijono Djojodihardjo sedang duduk menulis di Meja dengan Plakat : Direksi Pusat NV HONET. Apakah ada informasi tetang foto NV Honet yang Bapak miliki? Terima Kasih sebelumnya.
BalasHapusAda satu yang terkait Roeslan. Silahkan dialamatkan ke email di atas
Hapus