Sabtu, 02 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (15): Kota Gede, Kota Kecil Dalam Kota Yogyakarta; Malioboro, Nama Ibukota pada Era Kerajaan Mataram


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Kota Gede di Kota Yogyakarta sudah banyak ditulis. Namun tetap masih ada hal yang tercecer dan bahkan ada hal yang terabaikan. Perihal yang tercecer dan terabaikan itu yang akan diuraikan dalam artikel ini. Satu hal yang tidak pernah ditulis adalah Malioboro sendiri. Pada era VOC, Malioboro dicatat sebagai area kraton, area yang menjadi ibukota Kerajaan Mataram. Dari Malioboro inilah Kota Gede berkembang.

Pasar Gede, 1876
Kraton Jogjakarta secara filosifis baru dimulai tahun 1755. Ini terjadi setelah adanya perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian: Kesunanan Soeracarta dan Kesultanan Jogjakarta. Pada era Pemerintahan Hindia Belanda (1800an) area kraton Jogjakarta diidentifikasi sebagai ibukota Residentie Djocjocarta. Dari area kraton inilah berkembang menjadi Kota Yogyakarta. Malioboro sebagai nama jalan di Kota Yogyakarta baru muncul pada tahun 1910. Secara filosofis Jalan Malioboro adalah Nieuwe Mataram.    

Bagaimana jalan ceritanya? Itulah yang menjadi soal. Suatu soal yang dapat dijawab yang dapat diselesaikan berdasarkan data-data. Data-data inilah yang di dalam artikel ini dianggap tercecer sehingga terabaikan dalam analisis asal usul kota. Mari kita mulai dari nama Malioboro.

Satu hal yang saya kagumi tentang Kerajaan Mataram adalah visi dan keberanian Soeltan Agoeng menyerang VOC/Belanda di Batavia tahun 1628. Memang tidak berhasil, tetapi Soeltan Agoeng tidak kalah. Secara defacto, VOC/Belanda tidak pernah menaklukkan (kerajaan) Mataram. Hanya saja Kerajaan Mataram pecah kongsi menjadi dua kerajaan: Kesunanan Soeracarta dan Kesultanan Jogjakarta. Pangeran Diponegoro dari Kesultanan Jogjakarta berani melawan Pemerintah Hindia Belanda. Memang tidak berdaya dan kalah, tetapi harga diri tetap terjaga. Soeltan Agoeng dan Pangeran Diponegoro hidup dalam dua era yang berbeda: era Mataram dan era Jogjakarta.

Malioboro, Ibukota Kerajaan Mataram

Situasi di area kraton Mataram (lukisan 1676)
Orang Eropa sudah sejak lama mengetahui keberadaan Kerajaan Mataram tetapi tidak pernah ada yang mengenalnya. Bahkan hingga tahun 1628 ketika Soeltan Agoeng menyerang VOC/Belanda di Batavia, tak seorang pun orang Eropa yang pernah ke pusat (ibukota kerajaan) Mataram. Orang Eropa, apakah Portugis, Spanyol, Belanda atau Inggris, hanya mendapat informasi sekilas tentang Kerajaan Mataram di pantai-pantai. Informasi sekilas inilah yang digunakan dalam menyusun peta-peta mereka. Pusat (ibukota kerajaan) Mataram tetap menjadi misteri bagi orang-orang Eropa selama hampir dua abad (sejak era Portugis).

Kraton Mataram (lukisan 1676)
VOC/Belanda yang semakin menguat di Hindia Timur (Oost Indisch) dan dengan latar belakang perubahan kebijakan VOC/Belanda yang ekspansif sejak 1666, lebih-lebih setelah sukses dalam Perang Gowa (1667) mendorong Pemerintahan VOC/Belanda untuk menjadikan penduduk Jawa sebagai subjek. Langkah pertama yang dilakukan adalah ekspedisi ke pusat (kerajaan) Mataram pada tahun 1681. Ekspedisi ke Mataram ini dilakukan melalui benteng Missier di Tegal dan dari muara Kali Code di pantai selatan Jawa. Dalam ekspedisi inilah untuk kali pertama orang Eropa, yang dalam hal ini VOC/Belanda melihat langsung Dalam Kerajaan Mataram.

Hasil-hasil dari ekspedisi ke Mataram tahun 1681 dinarasikan dan dipetakan sebagai dokumen pemerintah (VOC/Belanda). Dua peta pertama yang diterbitkan pada tahun 1695 mengindikasikan rute yang digunakan oleh Command. Couper dari benteng Missier di Tegal dan rute yang digunakan oleh Majoor Govert Knol dari Semarang ke wilayah timur di Soerabaja.

Peta ekspedisi Jacob Couper (1695)
Rute yang dilalui oleh Jacob Couper adalah sebagai berikut: Benteng Missier terus ke selatan di Banjoemas, lalu ke arah timur menuju Mataram. Setelah Mataram menuju ke timur dan berbelok ke utara dan kemudian berbelok ke arah barat melalui Cartasoera. Dari Cartasoera ke arah barat lalu ke benteng Missier kembali. Sementara rute yang dilalui oleh Govert Knol adalah dari Semarang menuju Mataram via Cartasoera, Dari Mataram menuju ke timur di Blitar lalu ke Soerabaja. Dari Soerabaja mengikuti rute pantau utara hingga kembali ke Semarang.

Satu peta lagi yang diterbitkan tahun 1700 mengindikasikan area (dalam) kraton Mataram. Area kraton ini berada di sisi selatan/timur sungai besar, sungai yang diduga sebagai Kali Code. Area kraton tersebut dalam peta yang disebut Marbongh atau Malioboro diduga kuat sebagai ibukota kerajaan Mataram yang tidak lain adalah adalah Kota Gede yang sekarang.

Nama Marbongh, area Kraton Mataram (Peta 1700)
Peta ini menggambarkan lokasi-lokasi strategis di lingkungan kerajaan Mataram. Wujud peta ini dibuat dari sisi pantai di selatan Jawa. Peta tersebut diberi judul Remvoy van de Pagger en Campement op Marbongh. Di dalam narasi peta tersebut, area kraton oleh pembuat peta sebagai Marbongh. Pelapalan lidah Eropa/Belanda menyebut Marbongh diduga kuat untuk menyatakan Malioboro. Asal usul kata malioboro sendiri menurut Dr. Peter Carey berasal dari bahasa Sanskerta yakni malyhabara yang diartikan sebagai untaian bunga. Namun tidak begitu jelas apa yang dimaksud malyhabara atau malioboro dalam hubungannya dengan Marbongh. Yang jelas, Marbongh atau Malioboro dalam peta mengindikasikan area kraton Mataram. Dengan demikian Marbongh atau Malioboro adalah pusat (ibukota kerajaan) Mataram.

Malioboro, Cikal Bakal Kota Gede

Pada peta ekspedisi VOC/Belanda hanya diidentifikasi Mataram dan Marbongh. Pada peta-peta selanjutnya (kraton) Mataram masih eksis. Area kraton Mataram tampak lebih luas jika dibandingkan dengan area kraton Cartasoera. Pada Peta 1724 area kraton Mataram digambarkan berbentuk melingkar. Gambaran melingkar ini sesuai dengan yang digambarkan pada peta hasil ekspedisi pertama (Peta 1700).

Malioboro, Kota Mataram (1724)
Sebelumnya, pasca ekspedisi ke Mataram, dua benteng besar di bangun pada periode 1706-1708 di Semarang dan Soerabaja. Sebagai benteng utama, benteng Semarang telah menggantikan benteng Missier. Garis pertahanan Batavia, Semarang dan Soerabaja semakin diperkuat. Pada era inilah VOC/Belanda memposisikan Bupati Semarang dan Bupati Soerabaja sebagai awal dari kolonisasi di luar Batavia. Setelah terbentuknya dua benteng utama di Semarang dan Soerabaja, VOC/Belanda mulai secara perlahan memasuki pedalaman Jawa. Kontak VOC/Belanda dengan Cartasoera lambat laun semakin intens. Benteng VOC/Belanda kemudian dibangun di Cartasoera.     

Pada tahun 1745 VOC/Belanda dan kraton Cartasoera secara bersama-sama memindahkan ibukota dari Cartasoera ke lokasi yang baru di arah timur. Lokasi baru ini kemudian disebut Soeracarta (Solo). Pada Peta 1724 terlihat sudah ada benteng VOC/Belanda di Cartasoera. Antara Semarang dan Cartasoera terdapat jalur lalulintas yang dibeberapa tempat terdapat benteng-benteng kecil seperti di Oengaran, Toentang dan Salatiga.

Peta jalur Semarang-Cartasoera (1724)
Kedekatan hubungan VOC/Belanda dengan Radja Mataram di kraton Soeracarta membuat kegelisahan para pangeran di berbagai tempat termasuk para pangeran di kraton Mataram. Hal inilah diduga yang menjadi sebab mengapa Kerajaan Mataram harus dibagi dua berdasarkan perjanjian Giyanti tahun 1755: Kesunanan Soeracarta dan Kesultanan Jogjakarta.

Dalam perkembangannya Sultan Jogjakarta memindakan kraton dari Mataram ke tempat yang baru yang kemudian namanya disebut Jogjakarta. Kraton Jogjakarta ini dirancang sedemikian rupa sehingga tampak lebih modern jika dibandingkan dengan lanskap kraton di Mataram.

Area kraton Jogjakarta (1771)
Pada Lukisan 1771 yang dibuat oleh Johannes Rach kraton Jogjakarta dikelilingi oleh pagar kayu. Di dalam area kraton tampak sejumlah bangunan. Dalam lukisan juga tampak dua pohon yang dilindungi oleh pagar di depan kraton. Dua pohon yang masih kecil ini diduga yang menjadi pohon beringin yang kelak terlihat di aloon-aloon kraton Jogjakarta.

Pohon beringin kembar di aloon-aloon Jogajakarta (1910)
Dua pohon beringin yang dilindungi tersebut kelak pada tahun 1910 sudah sangat besar. Dua pohon ini tampaknya sejak kecil telah dirawat sedmikian rupa sehingga bentuk kanopinya sangat unik. Jika mebanding Lukisan 1771 dengan Foto 1910 terlihat bahwa pagar kraton telah digeser lebih dekat kraton di belakang dua pohon beringin. Area di luar kraton menjadi aloon-aloon kota Jogjakarta dimana di tengah aloon-aloon ini terlihat dua pohon beringin tersebut berada.  

Jogjakarta dan Jalan Malioboro

Setelah VOC/Belanda dibubarkan dan diambil alih oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda (1800), pulau Jawa dibagi ke dalam beberapa provinsi. Dua diantaranya Provinsi Soeracarta dan Provinsi Jogjakarta. Program pemerintah yang dilakukan pertama adalah membangun jalan trans-Java antara Anjer dan Panaroekan pada era Gubernur Jenderal Daendels. Jalan trans-Java ini termasuk ruas jalan Semarang ke Soeracarta dan Djogjakarta. Namun tidak lama kemudian terjadi pengabilalihan kekuasaan oleh Inggris tahun 1811.

Dalam pemerintahan baru Inggris yang berpusat di Buitenzorg (pulau) Jawa dibagi ke dalam 16 residentie, yaitu: Bagelen, Bantam (Banten), Banyumas, Basoeki (Besuki), Buitenzorg (Bogor), Tjirebon (Cirebon), Batavia (Jakarta), Karawang, Kediri, Kedoe (Karanganyar), Madioen (Madiun), Madoera (Madura), Pasoeroewan (Pasuruan), Djapara (Jepara), Preanger (Priangan), Pekalongan, Rembang, Samarang (Semarang), Soerabaja, Soerakarta dan Jogjakarta. Dalam era pendudukan Inggris sempat terjadi perlawanan Djogjakarta pada tahun 1812 namun berhasil diredakan oleh militer Inggris.

Pendudukan Inggris tidak berumur panjang dan kembali diambilalih oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1816. Hubungan yang intim antara kraton Soeracarta dengan orang Eropa/Belanda sejak era VOC/Belanda memudahkan pemulihan hubungan antara Pemerintahan Hindia Belanda dengan kraton Soeracarta. Lalu kemudian Gubernur Jenderal datang ke Soeracarta dan diterima dengan baik oleh Soesoehoenan (lihat Middelburgsche courant, 10-02-1820). Sejak kedatangan Gubernur Jenderal di pedalaman Jawa, secara bertahap dan secara perlahan-lahan Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan pemerintahan secara efektif. Tetapi tidak di Jogjakarta.

Peta Pasar Gede dan Kraton Tua (1830)
Pemerintah Hindia Belanda mulai menempatkan pejabat di Soeracarta sebagai Residen. Pejabat yang diangkat adalah Luitenant Colonel HG Nahuijs tahun 1820. Pada tahun 1823 HG Nahuijs ditempatkan di Djogjakarta sebagai Residen. Kantor Residen berada di dekat Toegoe. Namun persoalannnya tidak sepenuhnya pulih di Djogjakarta. Perang melawan Inggris masih membekas apalagi hubungan Belanda dengan Djogjakarta sejak era VOC bersifat pasang suut. Internal kraton Jogjakarta belum sepenuhnya menerima kehadiran Belanda. Terjadilah perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan dan menjadi perang terbuka pada tahun 1825. Perang ini baru berakhir tahun 1830..

Pemerintahan di Residentie Djogjakarta dimulai kembali setelah usai perang 1830. Namun pemerintahan masih bersifat militer. Kolonel Cohius membangun markas besar di dekat kraton Jogjakarta. Markas tersebut tidak di dalam benteng Vredeburg, melainkan di suatu tempat di sebelah barat benteng. Area antara benteng (Vredeburg) dengan markas militer (garnisun) mulai didirikan sejumlah bangunan sipil. Sementara di dalam benteng difungsikan untuk pertahanan. Barak-barak militer dibangun di belakang benteng.

Peta Jogjakarta dan Pasar Gede (1890)
Pada fase inilah benteng Vredeburg di Jogjakarta direnovasi sehingga mencapai bentuknya seperti yang masih terlihat sekarang. Dalam perkembangannya kantor Residen (sebelim perang) di dekat Toegoe dipindahkan ke dekat kraton dengan membangun kantor/rumah residen di depan benteng Vredeburg. Kantor Residen ini terus mengalami perkembangan hingga mencapai bentuknya sekarang yang dikenal sebagai Gedung Agoeng.

Dalam perkembangannya di seputar benteng Vredeburg dan kantor Residen menjadi ramai dan membentuk kota. Pasar yang berada di utara benteng yang telah eksis sejak era VOC/Belanda semakin ramai sehubungan dengan kedatangan orang-orang Tionghoa dan Arab (dari Semarang). Area di utara pasar (kini Pasar Beringhardjo) tumbuh menjadi perkampungan Tionghoa. Sementara perkampungan orang Arab dan Melayu berkembang di dekat kraton yang dikenal sebagai Kaoeman. Dengan semakin kondusifnya keamanan, para investor Eropa/Belanda mulai berdatangan dimana kraton menyewakan lahan-lahan dalam bentuk konsesi untuk pengembangan perkebunan (plantation).

Jalan Malioboro (1920)
Sejak berakhrnya perang, sejak itu pula tidak ditemukan kerusuhan atau pemberontakan yang berarti di Jogjakarta. Situasi dan kondisi telah berangsur-angsur kondusif sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Jalan utama dari kraton menuju Toegoe secara bertahap dari kota (seputar benteng dan kantor residen) berkembang hingga didirikannya stasion kereta api tahun 1890 di sekitar Toegoe. Area antara Kantor Residen/benteng dengan Toegoe menjadi koridor bisnis yang kemudian dieknal sebagai Jalan Malioboro. Dalam perkembangannya terbagi ke dalam empat ruas jalan: Jalan Residentie, Jalan Petjinan, Jalan Malioboro dan Jalan Toegoe.

Kota Jogjakarta mulai terbentuk. Wilayah kota berada di sepanjang jalan utama antara kraton dan Toegoe. Kota Gede tidak menjadi bagian kota, tetapi berada di luar kota. Perkembangan yang pesat di dalam Kota Jogjakarta, menjadi titik balik eksistensi Kota Gede. Kota Jogjakarta adalah kota masa depan, Kota Gede adalah kota masa lampau.

Kota Gede Sebagai Heritage

Sesungguhnya warisan sejarah yang paling penting di Kota Jogjakarta bukanlah kraton Jogjakarta. Juga bukan benteng Vredeburg dan juga bukan kantor Residen. Akan tetapi, warisan terpenting adalah Kota Gede.

Pada masa ini situs yang paling terkenal di Kota Jogjakarta adalah Jalan Malioboro, suatu jalan yang namanya disebut Malioboro sejak 1910. Malioboro sendiri adalah area (pusat) kraton Mataram tempo dulu yang menjadi pusat (ibukota) Kerajaan Mataram. Tanpa kita sadari, Jalan Malioboro sekarang ini adalah wujud baru pusat Kerajaan Mataram tempo dulu.

Kota Gede haruslah dipandang sebagai warisan sejarah terpenting. Namun karena letak Kota Gede yang terkesan berada di pinggir kota, sering terlupakan sebagai warisan sejarah terpenting di Jogjakarta. Para wisatawan hanya mengenal Jalan Malioboro sebagai warisan sejarah penting. Itu tidak salah, karena kita sendiri salah memposisikan Kota Gede di dalam Kota Jogjakarta. Keutamaan Kota Gede karena di masa lampau Kota Gede disebut sebagai Malioboro, ibukota Kerajaan Mataram.

Lantas kapan nama Kota Gede muncul? Nama Kota Gede tidak dikenal di masa lampau. Yang dikenal adalah Pasar Gede. Nama Kota Gede diduga kuat baru muncul pada awal tahun 1950an. Inilah kronologis nama Kota Gede.

Terbentuknya Kerajaan Mataram (Ki Gede Pamanahan).
Penembahan Senapati memperkuat Kerajaan Mataram dan terbentuknya Kraton Mataram sebagai ibukota (malyabhara atau Malioboro).
Ibukota Kerajaan Mataram dipindahkan ke Pleret (Kraton Mataram atau Malioboro tetap eksis).
Ibukota Kerajaan Mataram dipindahkan ke Cartasoera (Kraton Mataram atau Malioboro tetap eksis). Jalan raya terbentuk antara Mataram dan Cartasoera. VOC/Belanda berkolaborasi dengan Kerajaan Mataram di Cartasoera dan kemudian membangun jalur penghubung antara Semarang dengan Cartasoera. Kraton Cartasoera dipindahkan tahun 1745 dan namanya menjadi Soeracarta (Solo).
Kerajaan Mataram pada tahun 1755 dibagi dua berdasar Perjanjian Giyanti): Kesunanan Cartasoera dan Kesultanan Jogjacarta.
Ibukota Kesultanan Jogjacarta berada di Kraton Mataram atau Malioboro.
Ibukota Kesultanan Jogjacarta dipindah dengan dibangun baru Kraton Jogjacarta (hingga sekarang).
Pemerintah Hindia Belanda pada era Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811) membangun jalan trans-Java antara Anjer da Panaroekan. Jalan trans-Java diperluas dari Semarang hingga ke Soeracarta dan kemudian diperluas dari Soeracarta melingkar gunung Merapi melalui wilayah Jocjacarta dan Magelang lalu kemudian tersambung di Ambarawa menuju Semarang.
Pasar Gede semakin penting.
Pada era pendudukan Inggris (1812-1816) dibangun loji di Jogjakarta. Kantor Residen berada di Boeloe (di belokan jalan Trans Java Soeracarta-Magelang).
Setelah pendudukan Inggris, Pemerintah Hindia Belanda mengubah loji menjadi benteng (Vredeburg).
Pasar baru muncul di sisi utara benteng (kelak disebut Pasar Beringhardjo). Pasar Gede secara perlahan meredup dan Pasar Beringhardjo semakin populer (sehubungan dengan masuknya pedagang-pedagang Tionghoa dan Arab dari Semarang).
Perang Diponegoro (1825-1830).
Pasca perang, Kantor Residen dibangun di seberang jalan benteng Vredeburg.
Selain sudah ada pasar, muncul penginapan pertama di Jogjakarta yang diberi nama Loge Malioboro tahun 1865.
Pada tahun 1872 dibuka jalur kereta api ke Jogjakarta dan stasion Toegoe dibangun. Jalur kereta kemudian diperluas hingga ke Tjilatjap.
Pada tahun 1910 jalan utama antara kraton Jogjakarta dengan stasion Toegoe disebut jalan Malioboro (mengambil nama dari loge/losmen pertama di Jogajkarta Losmen Malioboro)
Pasar Beringhardjo menjadi pasar terbesar di Jogjakara. Pasar Gede masih eksis. Nama jalan Malioboro semakin populer, nama Pasar Gede semakin meredup.
Pada tahun 1950an nama Kota Gede muncul sebagai nama lain Pasar Gede.
Kini, Kota Gede atau Pasar Gede atau Malioboro menjadi heritage Jogjakarta.

Anda ingin berkunjung ke Jogjakarta? Jangan lupa ke Kota Gede. Di Kota Gede terdapat Pasar Gede.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar