Suatu
tempat di hulu sungai Tjiliwong sudah dilaporkan sejak era Portugis. Tempat
tersebut menurut orang-orang yang berada di Sunda Kelapa dikatakan daio atau dayo
(dajeuh). Namun dimana posisinya tidak diketahui dengan jelas (lihat Thome
Pires, 1534). Dayo ini kemudian diduga sebagai Kerajaan Pakwan-Padjadjaran yang
berada diantara persinggungan terdekat dua sungai di pedalaman yang mengalir ke
laut Java: sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane. Pakuan-Pajajaran sendiri
sempat meminta bantuan kepada Portugis tahun 1521. Kerajaan Pakuan beribukota
di Pajajaran menurut laporan Portugis barhasil ditaklukkan Islam dari Banten
tahun 1527 (Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, DG Stibbe, cs. 1919).
Istana Buitenzorg, 1834 (pasca gempa 1824) |
Selama
era Portugis tidak pernah dilaporkan ada orang asing (Eropa) yang penah
mengunjungi dayo tersebut. Baru di era Belanda (VOC) sejumlah ekspedisi pernah
dilakukan ke dayo Pakwan-Padjadjaran. Belanda memulai koloni di Batavia, 1619.
Ekspedisi pertama dilakukan pada tahun 1687 dan disusul ekspedisi kedua (1690).
Kemudian beberapa kali ekspedisi dipimpin oleh Abraham van Riebeeck sejak 1703
(lihat DG Stibbe, cs. 1919). Sebagaimana diketahui Abraham van Riebeeck pada
tahun 1711 diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC.
Dari
berbagai ekspedisi yang telah dilakukan ke Dayo tidak pernah ditemukan hasil
visual kunjungan dalam bentuk lukisan. Sebagaimana diketahui, pada era itu,
belum ada alat teknik merekam. Satu-satunya cara untuk mendapatkan visual di
suatu wilayah ekspedisi baru adalah dengan membuat lukisan. Hasil
lukisan-lukisan sejaman, umumnya berupa visual terhadap hal tertentu yang ingin
menceritakan apa adanya. Dengan kata lain, lukisan adalah pelukisan suatu objek
tertentu secara detail. Lukisan pada masa itu dapat dianggap sebagai
data/informasi otentik.