Jumat, 15 April 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (534): Pahlawan Indonesia - Tjan Tjoe Siem Studi di Leiden: Islamolog - Javanolog Universitas Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pada artikel sebelum ini dideskripsikan narasi sejarah Tjan Tjoe Som. Pada artikel ini akan dideskripsikan narasi sejah Tjan Tjoe Siem. Keduanya adalah bersaudara dari Solo yang sama-sama melanjutkan studi ke Leiden dan sama-sama pernah menjadi guru besar di Universitas Indonesia, Disebutkan Tjan Tjoe Som adalah seorang Sinolog, sedangkan Tjan Tjoe Siem adalah seorang Islamolog dan Javanolog.

Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem (03 April 1909 – 30 Desember 1978) adalah seorang pakar Sastra Jawa dan seorang guru besar Universitas Indonesia kelahiran Surakarta. Ia promosi di Universitas Leiden, negeri Belanda pada tahun 1938. Judul disertasinya adalah "Hoe Koeroepati zich zijn vrouw verwerft". Disertasinya mengenai sebuah lakon wayang pernikahan Suyodana yang diambil dari wiracarita Mahabharata. Nama lain Suyodana adalah Kurupati (Koeroepati) yang artinya adalah "raja para Korawa". Sekembalinya di Jawa, ia menjadi asisten Prof. Dr. Poerbatjaraka. Menurut Rosihan Anwar di bukunya, ia pernah mengajar di sekolah AMS (baik A dan B) di Yogyakarta. (Wikipedia). Dalam blog Agni Malagina artikel berjudul Tjan Tjoe Siem: Islamolog dan Javanolog dari Universitas Indonesia disebutkan Siem muda berangkat ke Universitas Leiden pada tahun 1930 setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Pada tahun 1940-an, Universitas Leiden hanya tercatat dua nama etnis Cina dari Indonesia, Tjan Tjoe Siem (1930) dan Tjan Tjoe Som (1936), Siem dikenal sebagai javanolog dan islamolog, sedangkan Som sang kakak dikenal sebagai seorang sinologi sekaligus ahli hokum Islam yang sama-sama mengabdi di Universiteit Indonesie sekembalinya dari belajar di Leiden (https://staff.blog.ui.ac.id)

Lantas bagaimana sejarah Tjan Tjoe Siem? Seperti disebut di atas, Tjan Tjoe Siem adalah adik dari Tjan Tjoe Som. Mereka berdua memiliki perhatian yang berbeda. Lalu bagaimana sejarah Tjan Tjoe Siem? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (533): Pahlawan Indonesia - Mengapa Kini Warga Malaysia Menjadi Terkotak; Melayu, Cina dan India

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada berita lama yang menyita perhatian pada akhir-akhir ini. Tidak di Indonesia, tetapi di Malayasi. Berita tersebut bahwa di (negara) Malaysia warga seakan terkotak-kota dimana warga pribumi (asli) terpisah dengan warga pendatang terutama Cina dan India. Dalam bidang pendidikan masing-masing warga menyelenggarakan sistem pendidikannya sendiri dengan bahasa pengantar sesuai bahasa ibu: Melayu, Cina dan India. Hal itu tentulah berbeda dengan di Indonesia.

Memang di Indonesia belum sepenuhnya terjadi asimilisasi yang diharapkan, terutama golongan Cina yang terkesan sebagian (saja) yang bersikap eksklusif. Namun itu tentu tidak menjadi masalah besar, karena masalah preferensi. Berbeda dengan di Malaysia, penyatuan banyak hal telah dan dicapai dan terselesaikan seperti dalam bidang pendidikan. Di seluruh Indonesia, semua sekolah menggunakan bahasa pengantar yang sam (bahasa Indonesia) dengan kurukulum yang seragam. Itu berlaku pada sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah dan sekolah-sekolah swasta. Banyak sekolah-sekolah swasta yang dikelola oleh warga Cina di Indonesia tetapi seperti disebut tadi semuanya merujuk pada satu ukuran: persamaan (bahasa pengantar dan kurikulum). Oleh karena itu, permasalahan yang ada di Malaysia tidak terdapat di Indonesia. Permasalahan itu serupa itu di Indonesia pernah ada tetapi itu doeloe pada era Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu Pemerintah Republik Indonesia, terutama sejak 1950 permasalahan dapat dieliminasi.

Lantas bagaimana sejarah warga Malaysia terkotak-kotak sehingga menimbulkan permasalahan sendiri pada masa ini? Seperti disebut di atas, permasalahan yang dihadapi Malaysia pernah dialami di Inoneesia namun sudah selesai. Lalu bagaimana sejarah warga Malaysia terkotak-kotak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 14 April 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (532): Pahlawan Indonesia dan Dr Tjan Tjoe Som Studi ke Belanda;Sinologi Universitas Leiden dan UI

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Siapa Tjan Tjoe Som? Dalam laman Wikipedia dengan entri Tjan Tjoe Som disebutkan sebagai guru besar Universitas Indonesia (UI) yang secara khusus memperhatikan bidang Sinologi. Namun narasi sejarahnya yang ditulis sangat minim. Okelah, Untuk memperkaya narasi sejarah Tjan Tjoe Som masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Mari!

Tjan Tjoe Som (1903-1969) adalah guru besar di Jurusan Sinologi, Universitas Indonesia, di Jakarta. Salah seorang murid bimbingannya adalah Mely G. Tan yang juga menjadi seorang Sinolog terkemuka di Indonesia. Tjan Tjoe Som dilahirkan di Surakarta dari sebuah keluarga Tionghoa Muslim. Tjoe Som belajar di Universitas Leiden, Belanda jurusan Sinologi dengan thesis Po Hu T'ung (Kelenteng Harimau Putih). Dia kemudian bekerja sebagai pustakawan di Perpustakaan Sinologi di Leiden. Ia menerbitkan thesisnya pada tahun 1949, dan pada tahun 1950 dia diangkat menjadi Profesor Filosofi Chinese di Leiden. Tjan pada tahun 1952 kembali ke Indonesia walaupun banyak yang kolega yang menginginkan ia tetap tinggal di Belanda. Ia dan saudaranya, Prof. Tjan Tjoe Siem disingkirkan oleh pemerintah Orde Baru karena menjadi anggota Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang dianggap sebagai organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu hasil tulisannya adalah Po Hu T'ung, The Comprehensive Discussions in the White Tiger Hall (Leiden: E.J. Brill, 1949 & 1952) (Wikipedia). Jadi teringat nama Ibu Mely G Tan yang pernah menjadi dosen saya dalam mata kuliah metodologi riset dan tentu saja suami beliau yang menjadi pimpinan saya dalam tim penelitian pengembangan transportasi di wilayah Jabodetabek (1994).

Lantas bagaimana sejarah Tjan Tjoe Som? Seperti disebut di atas, Tjan Tjoe Som adalah seorang guru besar du Universitas Indonesia tempo doeloe. Ada yang menyebut Tjan Tjoe Som adalah Bapak Sinologi Indonesia. Lalu bagaimana sejarah Tjan Tjoe Som? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (531): Pahlawan Indonesia dan Sinologi di Indonesia; Peneliti Peneliti Belanda Memerlukan Ahli Sinologi

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dalam sejarahnya, studi tentang Tiongkok (sinologi) terbentuk karena ada kebutuhan para peneliti jaman kuno (kepurbakalaan) diantara peneliti-peneliti Inggris dan Belanda. Secara khusus peneliti-peneliti Belanda di Indonesia (baca: Hindia Belanda) menemukan banyak soal dan pertanyaan yang membutuhkan keahlian khusus yang terkait dengan penemuan kepurbakalaan. Itu bermula ketika seorang peneliti Inggris menemukan arah bahwa Sriwijaya berpusat di Pantai Timur Sumatra (khususnya Palembang) yang mengkomunikasikan kepada para peneliti dan peminat kepurbakalan yang yang tergabung dalam lembaga ilmu dan pengetahuan di Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sinologi adalah ilmu pengetahuan tentang bahasa dan kebudayaan Cina. Dalam laman Wikipedia sudah ada entri Sinologi, tetapi masih membutuhkan narasi dan rujukan. A Dahana dalam artikelnya  Tentang Istilah: Antara “Cina, China, Tiongkok, Tionghoa dan Cungkuo yang diupload dalam situs https://www.sinologi-indonesia.id menyatakan: Istilah yang lebih umum yakni Tiongkok untuk negeri dan Tionghoa untuk mengacu ke etnis. Sebagai konsekuensi selanjutnya, kami juga menggunakan istilah “Sinologi” sebagai pengganti sebutan “Studi Cina”. Istilah Sinologi memang berbau kuno karena Sinologi yang berasal dari istilah Sinology–mengacu ke studi tentang Tiongkok klasik yang berkembang di Barat sejak awal abad-20. Istilah yang umum dipakai di Barat sejak menjamurnya studi mengenai Tiongkok modern adalah Chinese Studies, tanpa ada muatan bernuansa negatif. Di Universitas Indonesia mahasiswa para peminat Sinologi memiliki organisasi yang diberi nama Ikatan Mahasiswa Sinologi (IMSI) Universitas Indonesia, suatu himpunan mahasiswa Program Studi Cina yang telah dibentuk sejak tahun 70-an. Sebelumnya himpunan mahasiswa ini benama IMSI (Ikatan Mahasiswa Sinologi Indonesia) karena pada saat itu, Universitas Indonesia adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang memiliki jurusan yang mempelajari ilmu tentang Cina. Akan tetapi karna disadari bahwa himpunan ini tidak mencakup seluruh Indonesia, maka pada tahun 2003 namanya berganti menjadi IMSi. Anggota IMSi adalah seluruh mahasiswa Program Studi Cina yang telah mengikuti rangkaian kegiatan orientasi jurusan dan aktif berpartisipasi dalam segala kegiatan IMSi (https://fib.ui.ac.id).

Lantas bagaimana sejarah Sinologi di Indonesia? Seperti disebut di atas, terbentuknya bidang peminatan dalam pengetahuan Tiongkok (Sinologi) terkait dengan penelitian-penelitian kepurbakalaan diantara peneliti-peneliti Inggris dan Belanda khususnya yang dihubungkan dengan penyelidikan sejarah dan kepurbakalaan di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Lalu bagaimana sejarah Sinologi di Indoesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 13 April 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (530): Pahlawan Indonesia dan Pangeran Hadiwidjojo dari Solo; Letnan Pribumi Pengagum Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pada era Pemerintah Hindia Belanda tidak sedikit yang membenci Belanda, cukup banyak yang tidak perduli (tidak memiliki sikap) dan tidak banyak yang menjadi pengagum Belanda. Dari yang tidak banyak itu, hanya sedikit yang benar-benar pengakum Belanda, salah satu diantaranya adalah Pangeran Ario Hadiwidjojo dari Solo. Lalu, bagaimana dengan para pangeran dari Jogjakarta?

Kesunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745. Selanjutnya, sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, disepakati bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Berlakunya Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Jatisari sejak tahun 1755 menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Sunan Pakubuwana III; sedangkan Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Adanya Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 turut memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Adipati Mangkunegara I. Kasunanan Surakarta dianggap sebagai pengganti dan penerus Kesultanan Mataram bersama dengan Kesultanan Yogyakarta, karena raja-rajanya merupakan keturunan raja-raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta bergelar susuhunan atau sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar sultan (Wikipedia)..

Lantas bagaimana sejarah Pangeran Ario Hadiwidjojo? Seperti disebut di atas, Pangeran Ario Hadiwidjojo adalah satu dari para pengagum (peradaban) Belanda. Memang tidak ada yang salah. Sebab saat itu belum ada dikotomi yang berjarak antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia. Akan mulai berbeda ketika mulai muncul gerakan pribumi untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Lalu bagaimana sejarah Pangeran Ario Hadiwidjojo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (529): Pahlawan Indonesia dan Perjuangan Pegawai Negeri; Kini, Jumlah Pegawai PNS Semakin Sedikit

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sudah sejak lama, bahkan hingga ini hari status sebagai pegawai pemerintah (PNS/ASN) dipandang sebagai posisi yang bergengsi di tengah masyarakat Indonesia. Namun, tentu saja tidak semua pemuda, lulusan sekolah menengah/perguruan tinggi, ingin berkarir sebagai pegawai pemerintah (pegawai negeri). Hal ini karena semakin luasnya lapangan pekerjaan di bidang swasta. Tempo doeloe, pada era Hindia Belanda status pegawai pemerintah masih belum jelas. Para pegawai mulai menyadari dan melakukan perjuangan untuk memastikan status mereka sebagai pegawai pemerintah. Dalam hal ini status tidak diberikan pemerintah tetapi diperjuangkan para pegawai pemerintah. Status yang diperjuangkan itulah yang kini disebut PNS atau ASN.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) merilis data statistik Aparatur Sipil Negara (ASN), meliputi data Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) periode Juni – Desember 2021. Dari data tersebut, BKN mencatat adanya penurunan jumlah PNS sebesar 4,1 persen atau total 3.995.634 (per Desember 2021), dibandingkan dengan jumlah PNS tahun 2020 sebesar 4.168.118. Mengutip data Kedeputian Bidang Sistem Informasi Kepegawaian, penurunan angka PNS aktif disebabkan oleh jumlah PNS yang pensiun setiap tahun lebih banyak dibandingkan dengan penerimaan CPNS yang diselenggarakan pada tahun tersebut. Sementara jumlah PPPK diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan karena adanya kebijakan rekrutmen PPPK yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Hingga Desember 2021, total PPPK berjumlah 50.553. Hal ini sejalan dengan target pemerintah yang ingin memodernisasi birokrasi, salah satunya dengan berupaya menerapkan komposisi jumlah PPPK lebih besar dibanding jumlah PNS. Tidak hanya itu, sampai dengan tahun 2023, pemerintah juga akan menata kembali kebutuhan jenis pekerjaan ASN pada berbagai lini di semua instansi, sehubungan dengan transformasi digital yang sedang berlangsung menuju implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Adapun dari total 3.995.634 PNS aktif di Indonesia, terhitung 76,6 persen diantaranya atau 3.058.775 bekerja pada instansi pemerintah daerah. Sementara 23,4 persen atau 936.859 bekerja pada instansi pemerintah pusat. (Merdeka.com)

Lantas bagaimana sejarah perjuangan para pegawai pemerintah untuk mendapatkan status? Seperti disebut di atas, perjuangan itu dimulai pada era Pemerintah Hindia Belanda. Tidak hanya sampai disitu perjuang berikutnya adalah untuk mengkonsolidasi para pensiunan pegawai pemerintah. Kini, mulai berbalik arah, pemerintah akan menurunkan jumlah pegawai pemerintah. Lalu bagaimana sejarah para pegawai pemerintah untuk mendapatkan status? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.