Ibukota
Provinsi Jawa Barat berada di Kota Bandung. Kabupaten Bandung dan Kota Bandung
dipisahkan. Ibukota Kabupaten Bandung kini berada di Soreang. Kota Bandung pada
masa ini sudah sangat luas jika dibandingkan luas Gemeente (kota) Bandoeng.
Gemeente Bandoeng dibentuk pada tanggal 1 April 1906.
Kota (gemeente) Bandoeng, 1920 |
Ketika Gemeente Bandoeng dibentuk, maka
sebagian wilayah Regentschap (kabupaten) Bandoeng dipisahkan menjadi wilayah
Gemeente Bandoeng. Meski demikian, ibukota Regenschap Bandoeng tetap berada di
Gemeente Bandoeng. Dalam pengertian territorial urban, pemerintah Gemeente
Bandoeng dan Regentschap Bandoeng berada di dalam kota (town) yang sama.
Jika
ibukota Kabupaten Bandung telah pindah ke Soreang, lantas kapan kota Bandoeng
ada? Kota bandoeng yang menjadi pusat Gemeente Bandoeng, dan kota yang pernah
menjadi ibukota Kabupaten Bandung. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, akan
tetapi jawaban itu sangat diperlukan mengingat hari kelahiran Kota Bandung dengan
sendirinya menjadi dasar menentukan hari ulang tahun Kota Bandung.
Kota Bandung dan Kabupaten Bandung memiliki
‘hari jadi’ atau ‘hari ultah’ yang berbeda. Kota Bandung menetapkan hari jadi
pada tangga 25 September 1810 (era Pemerintah Hindia Belanda). Kabupaten
Bandung, lebih tua lagi yakni 20 April 1641 (era Mataram/VOC).
Pemerintahan Hindia Belanda
Setelah
VOC dibubarkan 1899 (berdiri tahun 1619 di Batavia), lalu kemudian dibentuk
Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda ini di awal belum
efektif, karena situasi dan kondisi di Batavia yang terus ‘menghangat’ karena
eskalasai politik yang juga terus ‘memanas’ di Eropa terutama antara Belanda,
Perancis dan Inggris. Pemerintahan Hindia Belanda mulai efektif ketika Herman
Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal tahun 1808. Daendels
memerintah dengan cara ‘tangan besi’.
Pada era VOC, Gubernur Jenderal tidak
membentuk pemerintahan melainkan penguasaan tempat-tempat strategis saja
(seperti Batavia) dan melakukan hubungan ‘diplomatic’ dengan pemerintah local
(tradisional) untuk melakukan kerjasama perdagangan (timbal-balik). Hubungan
diplomatic itu termasuk dengan radja-radja Mataram.
Satu
hal yang terpenting, Daendels memulai program pembangunan jalan pos trans Jawa.
Keputusan ini dimulai dengan terbitnya keputusan tentang Aturan Umum tanggal 1
Januari 1810 tentang nama-nama tempat utama (hoofdplaats) sebagai pos-pos
utama, seperti Bantam, Batavia, Buitenzorg, Tjisaroa, Tjiandjoer, Baybang (Radjamandala),
Sumadang, Tjirebon dan seterusnya ke Surabaija. Keputusan ini dimuat di dalam
surat kabar Bataviasche koloniale courant, edisi pertama tanggal 05-01-1810.
Hal lain yang juga penting, Daendels mengusir Sultan (di Mataram).
Sebelumnya Herman Willem Daendels juga telah
mengeluarkan surat keputusan (instruksi) tanggal 8 Agustus 1808 tentang
penataan pemerintahan di Batavia. Surat keputusan ini dalam perkembangannya
ditambahkan pada tanggal 2 bulan Lemtemaand tahun 1811 tentang wilayah-wilayah
Preanger yang masuk Prefect (provinsi) Jacatrasche en Preanger Bovenlanden dan
Chirebon en Preanger Bovenlanden. Regentschp (kabupaten) Tjianjoer, Bandong,
Sumadang en Prakamontjang masuk Provinsi Jacatrasche en Preanger Bovenlanden.
Sedangkan Limbangan dan Soekapoera masuk Province Chirebon en Preanger
Bovenlanden. Kabupaten-kabupaten ini menjadi dasar penetapan rute jalan pos
trans-Java.
Pembuatan
jalan pos trans-Java ini tidak hanya untuk jalan untuk mengantarkan pos, tetapi
yang lebih penting untuk membuka akses agar produksi kopi di Preanger dapat
mengalir ke pelabuhan (Batavia dan Chirebon). Intinya, aliran kopi lebih
penting daripada aliran surat-surat pos. Kopi-kopi di Preanger ini tentu saja
produksinya telah berlimpah yang merupakan kontrak-kontrak para bupati di
Preanger di era VOC.
Batas Regentschap (kabupaten) Bandoeng, 1811 |
Berdasarkan
surat keputusan tanggal 2 bulan Lentemaand tahun 1811 tentang wilayah-wilayah
Preanger, kabupaten Bandoeng memiliki batas-batas, sebelah utara sungai Tjitaroem
dan seterusnya, sebelah timur gunung Boekit Toenggal, Tjileunji dan seterusnya,
sebelah selatan adalah laut dan sebelah barat adalah Tjiandjoer. Dalam
keputusan ini disebutkan gaji Bupati Bandoeng sebesar 250 per tahun, sedangkan
bupati Sumedang, Prakkamontjang dan Tjiandjoer masing-masing 330, 180 dan 40.
Para bupati inilah yang diduga mengerahkan penduduk untuk pembangunan ruas
jalan pos trans-Java. Bagi pemerintah Daendels, berlaku bahasa ekonomi colonial
‘tidak ada makan siang gratis’. Daendels hanya mengorbankan 800 Gulden per
tahun tetapi sebaliknya mendapat pembuatan jalan gratis dan harga pembelian
kopi Preanger yang murah. Herman Willem Daendels belum sempat menikmati hasil
jerih payahnya sudah muncul pendudukan Inggris yang merapat di pantai
Tjilintjing (kelak menjadi Tandjong Priok) dimulai pada tanggal 4 Agustus 1811.
Meski demikian, Daendles masih sempat menikmati ketika pemerintah Hindia
Belanda mendirikan pemerintah di Buitenzorg menjual sepersepuluh lahan
pemerintah di Buitenzorg ke swasta (pribadi). Pendudukan Inggris berlangsung
hingga 1816 dibawah pimpinan Litenant Gubernur Raffles.
Program utama Raffles yang terkenal adalah
pajak tanah (landrein). Hal yang juga penting, Raffles memberi tahta kembali
kepada Sultan (Radja Mataram). Pemerintahan Raffles melakukan pendekatan yang
lebih sejuk dengan para pemimpin local (bupati). Jawa dan Mudura dibagi ke
dalam 16 residentie termasuk Residentie Buitenzorg dan Residentie Preanger. Ini
berarti Preanger menjadi satu wilayah administrative sendiri. Di era Inggris,
di Bandong ditempatkan dua orang pengawas kopi, Overseer of the Coffee Culture
of the 1st class bernama A. de Wilde dan 2de class bernama Brandenburg (Java
government gazette, 11-04-1812). Dalam penempatan pengawas kelas 1 di Bandoeng
ini, juga bersamaan pengawas ditempatkan di Tjiandjoer, Sumadang dan
Parakanmontjang, Limbangan dan Chirebon. Pengawas kelas 2, juga ditempatkan di
Bandung, di Tjiandjoer, Galoeh dan Soekapoera. Ini suatu indikasi bahwa di era
Inggris, Bandung sudah mulai dipentingkan, namun masih sebagai suatu tempat
yang paling ujung dari jaringan perdagangan (pengumpulan) kopi di ‘West Java’
(Batavia en Preanger Bovenlanden dan Chirebon en Preanger Bovenlanden). Muara
jaringan perdagangan kopi ini berada di pelabuhan Batavia dan Chirebon, dimana
hubnya ditempatkan beberapa pejabat penjaga
gudang kopi (pakhuis) di Buitenzorg, Chi Kauw, Carang Sambong dan Indramajoe.
Pejabat-pejabat Inggris ini bukanlah pemimpin pemerintahan (seperti controleur
yang menetap) melainkan petugas yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain
dengan kantor pusat di pusat perdagangan utama (di Buitenzorg).
Setelah
kembalinya Belanda pada tahun 1816 Pemerintahan Hindia Belanda mulai efektif
berjalan. Pada saat permulaan pemerintahan Hindia Belanda ini (pasca pendudukan
Inggris) terbit peta pertama tentang West Java. Di dalam peta yang bertahun 1818
ini, jalan pos tans-Java di Preanger ruas jalan antara Baybang dan Sumedang
teridentifikasi nama-nama tempat, yakni: Tjitjendo, Tjipaganti dan Odjoeng
Brong. Nama Bandoeng sendiri terpisah jauh di selatan di pertemuan sungai
Tjitaroem dan sungai Tjikapoendoeng.
Tentang deskripsi Baybang dan Sumadang sendiri
dapat dilihat dalam ‘Memoir of the Conquest of Java, with the Subsequent
Operations of the Bristish Forces in The Oriental Archipelago by Major William
Thorn, Late Deputy Quarter-Master-Gencral to the Forces serving in Java, 1815’.
Di dalam memoir ini disebutkan, Tjiandjoer adalah suatu tempat pertama di
dataran tinggi Preanger, Baybang adalah
kampong besar setelah Tjiandjoer. Bandoeng (sendiri disebut) adalah suatu
kampong yang sekitarnya banyak rawa-rawa, Sumedang adalah tempat yang banyak
penduduk namun areanya bergunung dan tidak datar.
Dari
deskripsi ini nama Bandoeng yang sudah muncul di era Daendels (sebelum
pendudukan Inggris) semakin teridentifikasi dengan jelas. Bupati Bandoeng
berada di kampong Bandoeng ibukota kabupaten Bandoeng.
Pada
tahun 1818 gunung Guntur dilaporkan meletus. Gunung Guntur kembali meletus pada
tahu 1825 yang mengakibatkan kerusakan berat.
Nieuws- en advertentie-blad voor de provincie
Drenthe, 15-11-1825: ‘malam dari 4 Junij merupakan letusan gunung Goentoer, di
distrik Bandong, Preanger Regcntschappen, letusan yang dahsyat. Lebih dari satu
juta pohon kopi rusak ringan sebagian dan sebagian yang lain rusak berat; satu hal
yang terakhir, bagaimanapun, berharap bahwa masih ada sekitar seratus ribu pohon
yang akan tumbuh dengan baik. Pedagang kopi utama kehilangan yang ditaksir nilainya
sebanyak 4.000 pikols. Untungnya, bencana ini tidak ada memakan orang atau
ternak’.
Akibat
bencana ini terjadi kegagalan panen. Pohon-pohon kopi banyak tertutup debu dan
tanah. Di Priangan saja, terjadi pengurangan hasil kopi diperkirakan mencapai 30.000
pikul atau senilai f3.750.000 (Algemeen Handelsblad, 01-10-1828).
Javasche courant, 07-08-1828: ‘Bupati
Sumadang, Pangeran Kesoemoe Adi Natta, meninggal 2 Juli lalu…Bupati memiliki
empat anak. Bupati ini pada tahun 1791 berhasil mengatasi pemberontakan di
Sumedang…Salah satu anaknya Sura Nagara adalah salah satu pedagang kopi utama
di Buitenzorg… Sura Nagara akan dijadikan kandidat bupati…’.
Di
Preanger tidak hanya persoalan kopi. Sebagaimana di Jawa, di Preanger juga
tahun 1828 terjadi kelangkaan beras. Untuk mencegah meunculnya pemberontakan,
pemerintah mendatangkan beras dari Bengal dan Siam (Javasche courant,
07-08-1828).
Untuk distribusinya di Preanger, dilakukan
oleh Residen Preanger yang berkedudukan di Tjiandjor dengan memasang iklan dan
memberitahu terdapat empat gudang yang dapat diakses oleh penduduk Preanger
yakni di gudang untuk Tjiheulang (Tjinadjoer), Tjimahie (Bandoeng) dan Gunung
Para (Soekaboemi)' (Javasche courant, 21-10-1828).
Salah
satu nama tempat utama yang kini disebut di Preanger adalah Tjimahie, sementara
nama tempat yang pernah disebut sebelumnya (Baybang) telah menghilang dari
laporan-laporan. Keutamaan Tjimahie (seebagaimana Tjiheelang dan Goenoeng Para)
adalah karena di tiga tempat ini terdapat tangsi (garnizoen) militer dan beberapa
plantation (perkebunan) yang baru.
Pembentukan Pemerintahan di Preanger dan Koffijstelsel
Dampak
dari ledakan Gunung Guntur di Preanger menyebabkan volume kopi ekspor jauh
menurun dan harga kopi di pasar ekspor meningkat pesat. Sisi lain dari
persoalan ini, pemerintah melihat lahan-lahan di Preanger mungkin menjadi subur
dengan meningkatnya tinggi humus. Lalu kemudian muncul program koffij kultuur
di Preanger.
Untuk mendukung program koffijkultuur ini pemerintah
mengangkat seorang asisten residen yang khusus untuk menangani koffikulture
pada tahun 1829. Nama asisten residen yang ditunjuk adalah Fischer (lihat
Javasche courant, 27-01-1829).
Asisten
residen ini menjadi semacam wakil Residen Preanger di Tjiandjoer. Residen
Preanger yang berkedudukan di Tjiandjoer bernama PWL van Motman (1816-1819).
Pertimbangan dipilihnya residen berkedudukan di Tjiandjoer karena lokasinya
lebih sehat dan lebih dekat dengan pusat (Buitenzorg dan Batavia). Sebaliknya,
Bandoeng, meski lanskapnya sangat bagus tetapi tidak dipilih sebagai ibukota
karena lingkungannnya dianggap tidak sehat, banyak rawa-rawa dan kerap banjir
(lihat Major William Thorn, 1815).
Untuk mempercepat keberhasilan program kopi di Preanger diangkat controleur di Sumadang (1ste-klass) di Bandong (2de-klass) di Tjiandjoer
(2de-klass) dan Limbangan (Javasche courant, 06-08-1829). Terlihat bahwa
penempatan controleur klass-1ste di Sumadang menunjukkan bahwa Sumadang lebih
penting (utama) jika dibandingkan dengan Bandong (controleur klas-2).
Pada
tahun 1829 Bandong sudah disebut bagian dari jalan pos trans-Jawa. Padahal pada
tahun 1810 jalan pos hanya menyebut dua nama tempat utama yakni Baybang dan
Sumedang. Ini dengan sendirinya, jalan pos yang dari Padalarang bergeser ke
Tjimahi lalu ke Bandoeng terus ke Sumedang. Hal ini diduga ada kaitannya dengan
garnisun militer yang ditempatkan di Tjimahi dan pengembangan budidaya kopi ke
arah selatan, seperti Pangalengan. Baybang sendiri adalah kampong besar (lihat
Major William Thorn, 1815).
Pembentukan pemerintahan di Bandoeng dimulai tahun 1829
yang merupakan implikasi proses mempercepat keberhasilan program kopi di
Preanger. Pembentukan pemerintahan ini dimulai dengan penempatan seorang
controleur di Bandong
(Javasche courant, 06-08-1829). Controleur adalah pejabat pemerintah
paling rendah yang memiliki wilayah kerja yang relatif kecil (setingkat
kecamatan pada masa ini).
Seperti
biasanya, dimana pejabat pemerintah berkedudukan maka tempat itu dengan
sendirinya menjadi ibukota. Letak ibukota atau kota baru Bandung ini dipilih di
satu tempat yang lokasinya berada di dekat Odjoeng Brung (lihat…). Dalam hal
ini Oedjong Brung adalah patokan dalam pemilihan ibukota karena baru di Odjong
Brong terdapat keberadaan orang Belanda (perkebunan teh) di Preanger. Area
Odjoeng Brong ini diduga awalnya diakses dari sisi timur (Sumadang/Chirebon).
Odjoeng Brung adalah nama tempat yang lebih
awal dikenal karena sudah dijadikan perkebunan. Lahan perkebunan Odjoeng Brung
ini diakses dari timur di jalan pos trans-Java (Daendles). Sebagaimana
diketahui jalan pos ini dari Tjiandjor melalui Baybang (kini Radjamandala),
lalu ke arah utara dan melalui Odjoeng Brong terus ke Sumedang. Jalan pos
antara Odjoeng Brong dan Sumedang inilah pangkal jalan menuju Odjoeng Brung.
Kawasan Bandong sendiri (pusat kota Bandoung yang sekarang) terbilang masih sepi
dan tidak pernah terlaporkan adanya kampong yang dihuni oleh beberapa keluarga.
Lokasi
ibukota (pusat Kota Bandung sekarang) berada di suatu area yang relatif kosong
di kawasan Bandong di wilayah Preanger. Pada peta 1818 di area ini ada satu
kampong yang dikenal sebagai kampong Bandong (kelak lebih dikenal sebagai Dajeh
Kolot).
Ketika ibukota Residen Preanger dipilih di
Tjiandjoer (cf. Thorn, 1815) atas pertimbangan karena lokasi Tjiandoer lebih
sehat dan lebih dekat dengan pusat (Buitenzorg dan Batavia). Sebaliknya,
Bandoeng, meski lanskapnya sangat bagus tetapi tidak dipilih sebagai ibukota
karena lingkungannnya dianggap tidak sehat, banyak rawa-rawa dan kerap banjir
(lihat Major William Thorn, 1815). Catatan: Major William Thorn adalah pejabat
Inggris semasa pendudukan Inggris. Di era pendudukan Inggris, pembentukan pemerintahan
sudah sampai ke Preanger di Tjoandjoer, sementara di era Belanda (Daendels)
baru sampai Buitenzorg.
Daerah
sekitar Bandong ini antar kampong masih sangat berjauhan, Area Bandong ini
tampaknya banyak ditumbuhi oleh alang-alang dimana banyak ditemukan rusa.
Dengan demikian asal mula kota Bandung (baru)
bukan kampong Bandoeng (lama). Sesuai dengan berita di surat kabar (183?), Bandoeng
(baru) dipilih berada tidak jauh dari Odjoeng Brong tetapi cukup dekat dengan
kampong Bandoeng (lama). Jarak antara Bandoeng (baru) dengan Bandoeng (lama) disebutkan
sekitar 3 paal. Kampong-kampong terdekat dengan Bandong (baru) ini adalah kampong
Bodjo Negara, kampong Tjioemboeloeit dan kampong Tjoroek yang jarak
masing-masing tiga pal (lihat …). Kota Bandoeng (baru) adalah aloen-aloen yang
sekarang. Sementara kampong Bandoeng (lama) kelak dikenal Dajeh Kolot.
Relokasi Ibukota Bandoeng, Nama Dajeh Kolot
Muncul
Pada
tahun 1846 secara resmi di Bandong diangkat bupati. Jabatan bupati yang
ditunjuk adalah Raden Adipati Wira Nata Koesoema yang diangkat pada tanggal 27
Juli 1846 dan masih menjabat hingga tahun 1871 (lihat Almanak 1871). Bupati
Bandong ini masih berkedudukan di Bandoeng (lama), suatu kampong yang berada di
pinggir sungai Citarum jika dilihat dari utara menghadap ke selatan tampak
Gunung Malabar (lihat lukisan Groenemon, 1860).
Di Limbangan bupati sudah diangkat tahun
1833, di Sumedang bupati diangkat sejak 1834, di Soekapora 1855, di Tjiandjoer
1864. Selain bupati dan bawahannya, pejabat penting yang ditunjuk adalah Hoofdpangoeloe.
Hoofdpangoeloe di Sumedang Raden Moehammad Tajib, 20 junij 1852, di Bandong Radèn
Hadji Moehammad АЦП, 26 mei 1856. Disamping itu juga diangkat jaksa: di Bandung
1852, di Lambangan 1856, di Sukapura 1870, di Sumedang 1868, Tjiandjoer 1868.
Sejak
pengangkatan Bupati ini (1846), Bupati Bandoeng yang awalnya berada di Bandoeng
(lama) atau Dajeh Kolot pindah ke ibukota Bandong (baru) dan istananya dibangun
tidak jauh dari kantor Controleur Bandoeng (di daerah kampong Kaoem yang
sekarang). Kampong Kaoem ini merupakan lokasi pengganti lokasi Bupati yang
dulunya berada di kampong Bandoeng (lama) saat ibukota Bandung mulai dibangun
dimana controleur berkedudukan (1829).
Oleh karena itu menjadi mudah dimengerti ketika
pada tahun 1860, I. Groeneman, menyebut salah satu lukisannya dengan memberi
judul ‘Goenong Malabar bij Bandoeng Toewa: gezien van Dajeh Kolot aan den
noordelijken oever van den Tjitaroem;. Judul ini dapat diartikan secara harfiah
sebagai; ‘Goenoeng Malabar di Bandung Tuwa: Dajeh Kolot dilihat dari utara di
tepi sungai Tjitaroem.
Dengan
demikian origin kota Bandung yang terus eksis hingga sekarang pada dasarnya
bermula di suatu area yang kosong, yang mana kantor Controleur Bandoeng
dibangun (Bandoeng baru). Ketika Bupati Bandoeng pindah dari kampong Bandoeng
(lama), ke Kota Bandoeng (baru) lokasi tempat tempat Bupati adalah kampong
Kaoem yang sekarang. Ruang terbuka antara kantor/rumah Controleur dan
rumah/kantor Bupati ini menjadi aloen-aloen kota. Pada sisi yang lain dari
aloen-aloen ini didirikan masjid (yang kini dikenal sebagai masjid agoeng).
Lalu dalam perkembangannya, area tempat tinggal Bupati dan masjid tersebut
lebih dikenal sebagai kampong kaoem (kaoeman), sementara kampong Bandong (lama)
berubah nama menjadi kampong Dajeh Kolot.
Kisah
tempat tinggal Bupati Bandoeng ini mirip dengan kisah Sultan Deli pada fase
berikutnya. Pada tahun 1875 controleur ditempatkan di Medan. Sejak kota Medan
ditingkatkan menjadi ibukota residentie Sumatra’s Oostkust, Sultan Deli
dipindahkan dari Laboehan ke Medan. Sultan Deli dibangun istana yang mewah
(oleh perhimpunan perusahaan perkebunan). Residen Sumatra’s Oostkust dengan
Sultan Deli adalah dua pemimpin dalam masa kolonial, sebagaimana Residen
Preanger dengan Bupati Bandoeng. Menempatkan kedua belah pihak di dalam satu
tempat dimaksudkan untuk memudahkan interaksi sehubungan dengan meningkatnya
intensitas kegiatan (seiring dengan perkembangan perusahaan-perusahaan
perkebunan).
Penataan Pemerintahan, Ibukota Preanger Dipindahkan dari
Tjiandoer ke Bandoeng
Pada
awalnya wilayah Preanger terbagi dua: wilayah barat masuk Batavian en Preanger
Bovenlanden dan wilayah timur adalah Chirebon en Preanger Bovenlanden. Saat
itu, asisten residen berkedudukan di Buitenzorg termasuk Preanger Bovenlanden
(Tjiandjoer en Soekaboemi). Kemudian dua wilayah Preanger disatukan dengan
membentuk Residentie Preanger dimana residen berkedudukan di Tjianjoer.
Resident pertama Preanger adalah PWL van Motman (1816-1819), sedangkan Resident
terakhir adalah C van der Moore (1858-1874).
Penataan ini diduga terkait dengan rencana
perluasan jaringan rel kereta api trans-Java. Pada tahun 1867 konsesi jalan pembangunan
kereta api Batavia-Buitenzorg telah disetujui oleh Radja di Belanda.
Pembangunannya dimulai tahun 1871 dan selesai pada tahun 1873. Sebagaimana
diketahui nantinya, jaringan kereta api Batavia-Buitenzorg telah diperluas
hingga ke Soekaboemi, lalu ke Tjinadjoer dan terus ke Bandoeng. Jika jalan pos
trans-Java (era Daendels) dianggap sebagai jalan lingkar luar pertama, maka rel
kereta api trans-Java sebagai jalan lingkar kedua. Pada pembangunnan jalan pos
lingkar luar menuju Sumedang dan Chirebon, sedangkan pada pembangunan jal rel
kereta api lingkar luar menuju Tjilatjap via Garoet dan terus ke Djokjakarta. Catatan:
pembangunan rel kereta api sisi selatan Jawa lebih dahulu dibangun daripada
sisi utara (pantura). Baru kelak menyusul jalan rel penghubung via Poerwakarta
yang menyebabkan transportasi Batavia-Bandoeng ditempuh lebih singkat yang
implikasinya Kota Bandoeng berkembang
lebih pesat lagi.
Penataan
pemerintah di Residentie Preanger dilakukan tahun 1871. Residen Preanger
dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandong. Dalam fase perpindahan ini resident
tetap C van der Moore. Bupati Bandoeng juga dipindahkan dari Dajeh Kolot ke
Bandoeng. Setelah reorganisasi Residentie Preanger lengkapnya terdiri dari
Bandoeng, Tjiandjoer, Sumedang, Limbangan dan Soekapora.
Berdasarkan peta 1884 diketahui pemerintahan
di Residentie Preanger terdiri dari (sesuai umur): Regent schappen (kabupaten)
Tjiandjoer berkedudukan di Tjiandjoer, Bandong di Bandong, Limbangan di Garoet,
Sumedang di Sumedang dan Soekapoera di Manondjaja. Kabupaten Tjiandjoer terdiri
dari dua afdeeling, yakni: Tjiandjoer (9 distrik), asisten residen di
Djiandjor; Soekaboemi (7), asisten residen di Soekaboemi. Kabupaten Bandoeng,
dua afdeeling, yakni: Bandoeng (9) dimana asisten residen berkedudukan di
Bandong dan Tjitjalengka (6) asisten residen di Tjitjalengka. Kabupaten
Limbangan hanya satu afdeeling Limbangan (4) asisten residen di Garoet;
Kabupaten Sumedang terdiri dari dua afdeeling yakni Sumedang dan Tasikmalaya.
Afdeeling Sumedang (6) asisten residen di Sumedang dan Tasikmalaya (5) asisten
residen di Tasikmalaya. Kabupaten Soekapura dua afdeeling, yakni Soekapora (8)
asisten residen di Manondjaja dan Soekapora Kolot (8) asisten residen di
Mangoenredja. Total terdapat 62 distrik dari 9 afdeeling.
Pada tahun 1871 kota Bandung telah berkembang
pesat sebagai kota besar. Kota Bandoeng (ibukota Preanger yang baru) lambat
laun bahkan telah melampui luas kota Tjiandjoer (ibukota Preanger yang lama).
Dalam perkembangan lebih lanjut, kota Bandoeng dibentuk Gemeente Bandoeng. Ini
dengan sendirinya telah memisahkan kabupaten (regentschap) Bandoeng dengan kota
(gemeete) Bandoeng. Dan kini kedua pemerintahan itu benar-benar sudah terpisah,
dimana ibukota kabupaten Bandoeng sudah pindah ke Soreang.
Penutup
Di
dalam berbagai sumber ditemukan bahwa asal mula Kota Bandoeng merujuk pada Herman
Willem Daendels (surat keputusan tanggal 25 September 1810). Namun fakta yang
mendukung ini tidak ditemukan. Memang Daendels yang membuka isolasi daerah
Preanger dengan pembangunan jalan pos trans-Java. Kota Bandoeng (baru) muncul
kemudian di era Gubernur Jenderal Graaf Johannes van den Bosch (koffiestelsel)
sejak tahun 1829 sejak pertama kali pemerintahan dibentuk di regentschap
(kabupaten) Bandoeng.
Johannes van den Bosch sebelum menjadi
Gubernur Jenderal (1830-1833) sudah tidak asing dengan wilayah Preanger
utamanya di Regenschap Bandoeng. Johannes van den Bosch adalah pejabat
pemerintah tertinggi yang pertama yang melakukan ekspedisi ke Preanger. Hasil
ekspedisinya ini (jauh sebelum menjadi Gubernur Jenderal) adalah peta West Java
yang diterbitkan pada tahun 1818. Hal yang mirip dengan ini adalah Abraham ban
Riebeek yang melakukan ekspedisi ke Buitenzorg pada tahun 1703 (yang lima tahun
berikutnya menjadi Gubernur Jenderal VOC).
Soal
pemindahan ibukota bupati Bandoeng dari Bandoeng (lama) ke Bandoeng (baru)
diduga baru terjadi pada tahun 1846 ketika bupati Raden Adipati Wira Nata
Koesoema diangkat secara resmi bagian dari pemerintahan colonial. Saat itu,
perkebunan-perkebunan sudah sejak lama meluas di Preanger. Dalam pemindahan
ibukota ini, kantor bupati dibangun di sisi selatan dari aloen-aloen kota
Bandoeng (baroe). Aloen-aloen kota ini sudah dimulai ketika controleur Bandoeng
berkedudukan di Bandoeng (baroe) tahun 1829. Setelah ibukota bupati pindah yang
letaknya di kampong Kaoem yang sekarang, nama kampong Bandoeng di pertemuan
sungai Tjiataroem dan sungai Tjikapoendoeng lambat laun disebut sebagai kampong
Dajeh Kolot (kampong lama).
Last
but not least. Kapan hari jadi kota Bandoeng? Ini jelas tidak mudah
menjawabnya. Hal ini karena setiap kota memiliki cara yang berbeda-beda
pendekatan yang digunakan untuk menetapkan hari jadi. Kabupaten Bandoeng
merujuk pada era Mataram sedangkan Kota Bandoeng merujuk pada era pemerintahan
Hindia Belanda. Demikian juga kota Bogor (Buitenzorg) merujuk pada era Pakuan
Pajajaran. Hal yang sama juga ditemukan pada Jakarta (Batavia) yang hanya
merujuk pada era Fatahillah. Bahkan kota Medan merujuk pada era Goeroe
Patimpoes (sebelum VOC muncul). Namun diantara kota-kota besar tersebut,
penetapan hari jadi kota Bandoeng lebih masuk akal, tetapi masih ditemukan
kesalahan kecil soal penetapan tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar