Jumlah situ (danau) di Kota Depok sekarang hanya tinggal 23 buah. Jumlah ini sudah sangat berkurang jumlahnya dibanding pada masa lampau. Dari jumlah situ yang tersisa sekarang, hampir semuanya telah berkurang luasnya. Situ yang lebih awal berkurang luasnya adalah Situ Pitara atau juga kini disebut Situ Pancoran Mas. Lahan yang menjadi lokasi Komplek Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias di Kota Depok yang sekarang adalah eks Situ Pitara. Bagaimana jumlah situ berkurang jumlahnya dan bagaimana pula luasnya berkurang, mari kita telusuri.
Peta Tjipajoeng, 1901 |
Situ, setu, danau,
lake atau meer secara teknis karena gejala alam atau intervensi manusia.
Umumnya situ terbentuk karena gejala alam. Akan tetapi ada juga situ akibat
kombinasi gejala alam dan intervensi manusia. Di Kota Depok, Situ Rawa Besar
terbentuk karena adanya intervensi manusia di masa lampau dalam pembutan bata
untuk di pasok ke Batavia. Pabrik batu bata ini disebut lio. Nama kampong Lio
diduga berasal dari situasi ini.
Situ Pitara
Situ Pitara atau Situ Pancoran Mas di Kota Depok yang sekarang kini hanya
tinggal setengah hektar. Padahal di masa lampau situ yang tidak jauh dari
Stasion Depok ini luasnya sekitar tujuh hektar (lihat Rapport de Kommisie Eene Zehaven voor Batavia, 1872). Bagaimana luas Situ Pitara jauh
berkurang karena adanya intervensi manusia. Berkurangnya luas situ ini bermula
karena berkurangnya debit air dan perluasan sawah di Tandjong Barat sebagai
pemicunya. Beritanya ditemukan pada tahun 1930 (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 21-07-1930).
Het nieuws van den dag voor NI, 21-07-1930 |
Sejak dari doeloe
sudah muncul persil-persil sawah di area antara Batavia dan Buitenzorg. Sumber
air awalnya tergantung hujan dan mata air yang mengalir. Di musim kemarau lahan
basah mengering. Sementara sungai-sungai besar seperti Sungai Tjiliwong atau
sungai Tjisadane airnya berada jauh di bawah. Demikian juga sungai-sungai
sedang seperti Kali Pesanggrahan airnya juga berada di bawah. Sungai-sungai
yang kecil seperti Kali Kroekoet debit airnya mengecil di musim kemarau.
Sawah-sawah yang berada di hulu sungai-sungai kecil ini masih ke bagian di
musim kemarau tetapi sawah-sawah yang berada di hilir kehilangan air. Dari situasi ini muncul intervensi pemerintah
(VOC) untuk menyodet sungai Tjiliwong dengan membendung di hulu (Katoelampa).
Kali baru inilah yang mengairi persawahan sepanjang tahun di sisi timur Sungai
Tjiliwong.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 200 Tahun 1877 |
Pada era Pemerintaha Hindia Belanda (Daendels) muncul ide untuk
pencetakan sawah baru di Kedong Badak hingga Tjiliboet. Lalu Sungai
Tjipakantjilan di Buitenzorg yang airnya jatuh ke Sungai Tjisadane dialirkan
dengan membuat kanal yang kelak airnya mengalir di atas Jembatan Merah. Dari sinilah
muncul nama Kampong Empang. Kanal ini sudah ada sebelum tahun 1835. Namun dalam
perkembangannya perluasan sawah-sawah baru di Bodjong Gede, Tjitajam dan Depok
debit air dari Tjiliboet tidak cukup. Lantas sungai Tjisadane disodet (seperti
di Katoelampa) dengan membuat bendungan Empang dan airnya dimasukkan ke kanal
yang sudah ada sebelumnya. Di Daerah
Bodjong Gede untuk mengangkat air ke atas dibuat kanal yang letaknya berada di
atas jalan seperti di ruas Bambu Kuning. Air dari Empang dan kanal di Bodjong
Gede inilah yang memperbesar debit air di Tjitajam dan Depok. Dasar hukum pembangunan empang di
sungai Tjisadane dan kanal Kali Baroe ini dapat dilihat pada Staatsblad van
Nederlandsch-Indie voor 1859. Bendungan Empang ini selesai tahun
1872. Pemakaian air dari bendungan Empang diatur kembali kemudian, dimana di
Pasar Tjitajam dibagi dua, ke barat menuju Tjinere dan Pondok Labo dan ke timur
setelah Pondok Tjina diteruskan ke Tandjong Barat dan berakhir di Pegangsaan
masuk ke Tjiliwong (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 200 Tahun
1877).
Situ Pitara sangatlah besar, paling tidak profilnya masih terlihat pada
tahun 1901 (lihat Peta Tjipajoeng, 1901). Situ ini adalah semacam tempat
pembuangan (limpahan) Kali Baru yang airnya berasal dari Kali Baru yang berada
di Kampong Pabuaran, Tjitajam. Kali Baru ini menjadi sumber air irigasi untuk
persawahan di Pondok Jaya dan Ratu Jaya yang sekarang. Kali Baru ini juga di
hulu Situ Pitara diteruskan dengan pembuatan kanal kecil untuk mengairi persawahan
di Depok, Bedji, Pondok Tjina dan Pondok Kemiri (hingga ke UI yang sekarang).
Limpahan Situ
Pitara ini dialirkan ke Situ Rawa Besar yang berada di dekat Stasion Depok Baru yang
sekarang. Situ Rawa Besar ini pada awalnya adalah sebuah cekungan akibat penggalian
tanah untuk pembuatan bata. Limpahan Situ Rawa Besar ini dibuang ke kali kecil di
hilir yang kelak disebut sebagai Kali Bata (di Bedji). Nama Kampong Lio dan nama Kali Bata besar kemungkinan berasal dari situasi tersebut.
Adanya kebutuhan tambahan debit air untuk memenuhi persawahan di Tandjong
Barat dirancang kemudian untuk menyodet air Situ Pitara dengan membuat terowongan
(tunnel) yang airnya diteruskan dengan membuat kanal baru ke jalan Sawangan
yang sekarang dan dibelokkan dengan pembuatan kanal sepanjang jalan Tanah Baru
dan selanjutnya masuk ke Situ Srengseng Sawah.
Situ Srengseng
Sawah sebelumnya sudah disodet airnya untuk mengairi persawahan di
Srengseng/Klenteng Agoeng dan Tandjong Barat. Namun debit air yang selama ini
yang terus berkurang dan adanya perluasan sawah di Tandjong Barat, sodetan air
dari Situ Srengseng Sawah menjadi tidak memadai. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, air dari Situ Pitara merupakan satu-satunya pilihan. Situ Srengseng (kini disebut Setu
Babakan) dibendung dan airnya dilirkan dengan membuat kanal ke Tandjong Barat
dilakukan pada tahun 1836 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 11-04-1866).
Situ ‘Besar’ Pitara Ditutup
Akibat kebutuhan air yang besar di hilir Situ Pitara terutama di area yang
paling ujung dalam perluasan sawah baru di Tandjong Barat maka Situ Pitara mau
tak mau harus ditutup. Usulan penutupan Situ Pitara yang luas ini juga atas
pertimbangan dikhawatirkan berisiko jebol di masa nanti (bendungan Situ Pitara sudah pernah jebol sebelumnya).
Sebagaimana Kali
Baru yang debit airnya diperbesar dari bendungan Empang di Bogor sudah ada
sebelum tahun 1835 untuk mengairi persawahan di Kedong Badak dan Tjilieboet,
maka limpahan air tersebut diteruskan ke Bojong Gede dan Tjitajam dengan
membuat kanal baru via Bamboe Koening, Pabuaran dan Tjipajoeng. Di Paboearan air kanal ini dialirkan ke Depok via Pondok
Terong dan Ratoe Djaja. Debit air yang besar ini sisanya dibuang ke Situ
Pitara. Adanya Situ Pitara ini karena proses pembendungan (di dekat Carefour
yang sekarang) dari limpahan Kali Baru. Untuk mengairi persawahan di Tanah Baru
(termasuk perumnas yang sekatang) dibuat kanal pada tahun 1855 sepanjang jalan
ke Sawangan dengan membuat terowongan di bendungan Situ Pitara. Bendungan Situ
Pitara pada tahun 1864 jebol (airnya masuk ke Situ Rawa Besar, sementara kanal
ke Tanah Baro kering). Pada tahun 1885 bendungan Situ Pitara dipulihkan kembali
sehingga kanal ke Tanah Baru hidup lagi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-11-1899).
Profil Situ Pitara yang terlihat pada Peta 1901 adalah gambaran Situ Pitara
dengan konstruksi bendungan dan tunnel menuju kanal ke Tanah Baroe.
Akhirnya setelah tahun 1930 Situ Pitara benar-benar ditutup (dengan
berbagai negosiasi antara pemerintah dengan Gemeente Depok). Tidak dilakukan
pembendungan lagi. Air dari Kali Baroe tidak disimpan lagi di Situ Pitara
tetapi langsung diteruskan ke kanal baru Tanah Baroe. Dampak penutupan Situ
Pitara (tanpa dibendung lagi) hanya menyisakan situ kecil (alamiah) sebagaimana
yang bisa dilihat sekarang (itupun luasnya tentu sudah jauh berkurang dibanding
dulu).
Sebelum Situ Pitara
ditutup (dalam rentang waktu 1885-1930) air yang bersumber dari Situ Pitara
melalui terowongan menurut surat kabar Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 21-07-1930, Gemeente Depok mendapat konpensasi sebesar 400
Gulden per tahun dari pemilik lahan di Tandjoeng Barat. Pemilik lahan di
Tandjong Barat akan merasa aman dengan pasokan air yang stabil meski harus
mengeluarkan biaya konsumsi air dari Depok. Proposal tahun 1930 adalah usulan
radikal, tidak lagi menyewa konsumsi air tetapi sekaligus membeli semuanya
sebesar 8.000 Gulden. Akibatnya sawah-sawah di sekitar Depok yang bersumber
dari Situ Pitara juga akan kehilangan sumber air. Penjualan air Situ Pitara ini
(dan mennghilangkan fungsi sawah di sekitar situ (yang menjadi perdebatan lama
sebelum diputuskan) karena penjualan ini dianggap telah melanggar testament
dari Cornelis Chastelein. Namun dalam hal ini pengaruh pemerintah sangat kuat
sehingga Gemeente Depok tidak berdaya. Situ Pitara yang dulu sangat luas itu
hilang selamanya.
Itulah riwayat Situ Pitara, situ besar di masa
lampau yang kini hanya tinggal setengah hektar lagi. Salah satu situ besar di Depok hilang ditelan masa. Fungsi konservasi air yang sangat luas lenyap. Lantas bagaimana dengan
kisah situ-situ yang lainnya yang ada di Kota Depok?
Situ Pitara begitu
luas (tujuh hektar) pada awalnya karena ada tindakan bendungan (1855).
Bendungan ini kemudian dilepas alias Situ “besar’ Pitara ditutup (1930). Profil
situ serupa ini masih terlihat pada Situ Tjitajam (pada masa ini). Limpahan air
dari (bendungan) Situ Tjitajam dialirkan mengikuti hulu sungai Krukut. Dengan
kata lain, Situ Tjitajam (di dekat Stasion Tjitajam) adalah hulu sungai Krukut.
Debit air sungai Krukut sangat tergantung situasi tinggi air di Situ Tjitajam.
Lantas apakah ada kemungkinan bendungan Situ Tjitajam dijebol (ditutup) mengikuti
riwayat Situ ‘Besar’ Pitara? Sangat kecil kemungkinannya, karena tidak ada lagi
perluasan sawah di hilir (seperti doeloe di Tandjong Barat).
Situ Rawa Besar dan 'Ngubek Situ'
Tetangga Situ Pitara adalah Situ Rawa Besar. Situ Pitara proses
terbentuknya dibendung, sedangkan Situ Rawa Besar proses terbentuknya karena
terjadinya cekungan besar akibat penggalian untuk pembuatan bata. Industri bata
yang berkembang di area tersebut merupakan usaha-usaha pembuatan bata yang
dikirim/dijual ke Batavia. Nama Kampong Lio yang persis berada di sisi rawa
besar itu diduga muncul karena keberadaan pabrik pembuatan bata (lio) ini.
Pada tahun 1864
Situ Pitara pernah jebol dan diduga air dari Situ Pitara jatuh ke eks pembuatan
bata tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, proses peningkatan tinggi air di
lio semakin meningkat sehingga membentuk rawa besar yang kemudian dikenal
dengan nama Situ Rawa Besar. Dugaan lain
bukan akibat jebolnya Situ Pitara tetapi sengaja dialirkan ke eks lio untuk
area konservasi atau mengurangi tekanan banjir pada kanal di hilir di Tanah
Baroe. Situ-situ buatan ini diduga cukup banyak jumlahnya. Salah satu situ di
Bandoeng, Situ Aksan, proses pembentukannya mirip dengan proses pembentukan
Situ Rawa Besar. Sama-sama eks lio.
Satu hal yang menarik tentang Situ Rawa Besar ini pernah diberitakan
sebagai situs untuk penyelenggaraan pesta warga (lihat De Indische courant, 08-09-1936).
Pesta warga yang dimaksud adalah pesta mengambil ikan dari situ. Pada masa
kini, pesta semacam ini dikenal dengan ‘ngubek situ’. Penyelenggara membagi
tiga bagian situ untuk membuat kategori yang mana para pesertanya berbeda untuk
setiap bagian situ. Pada saat pesta ini penonton disediakan minuman yang
melimpah, dan setiap peserta mendapatkan ikan yang dianggap besar para penonton
bertepuk tangan.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua
Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan
lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta.
Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap
buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah
disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan
atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di
artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Salam.
BalasHapusJika dilihat dari peta, Situ Pitara bukanlah dibelakang Transmart (sekarang). Melainkan di lokasi pemancingan dekat jembatan Pitara (yg 2018 baru direnovasi). Terlihat juga di peta bahwa Situ Pitara lebih dekat dengan kalilicin dan jalan Wadas. Untuk masalah sodetan, sepertinya sodetan yg dimaksud itu adalah kanal yg sekarang melintasi jalan raya sawangan (dekat Pasadena), menuju jalan swadaya (Tanah Baru), melintasi kanal Kalibaru melalui terowongan. Kemudian menyusuri belakang Perumnas. Sampai di dekat Gong Bolong, sodetan bersatu dengan kanal Kalibaru. Jadi, untuk lahan yg sekarang adalah lab. Perikanan sangat dimungkinkan itu merupakan bekas sebuah situ yg berbeda dengan Situ Pitara.
Terimakasih terhadap apresiasinya. Saudara telah mengoreksi dengan baik dan telah meningkatkan pemahaman dan pengertahuan kita. Benar bahwa situ Pitara tersebut bukan yang di belakang Careefour tetapi yang di dekat POM Bensin (daerah aliran sungai Krukut yang bersumber dari Situ Tjitajam). Terusan dari kanal Kali Baru Ratu Jaya (tidak dialirkan ke Situ Pitara) tetapi langsung ke arah dekat stasion yang kemudian didistrubusikan sebagai ke arah Pondok Tjina dan sebagian yang lain ke arah Jalan Sawangan dan jalan Nusantara. Aliran melalui jalan Sawangan dan jalan Tanah Baru (belakang Perumnas) bersatu dengan aliran dari kanal Situ Pitara yang selanjutnya sebagian besar ke Situ Babakan. Aliran melalui jalan Nusantara menuju Situ Kladen. Dengan demikian, lab. Perikanan bukan eks Situ Pitara.
HapusBerarti kemungkinan terowongan yg dimaksud mungkin ada dibawah jalan Tanah Baru (jemblongan, dekat Gg Swadaya) dan kanal Kalibaru. Seandainya terowongan tersebut bisa dilakukan eskavasi mungkin bisa menunjukan sesuatu
Hapus