Selasa, 04 Juli 2017

Sejarah Kota Depok (4): Moda Transportasi di Depok Tempo Doeloe; Jalan Kuno Sejak Era Padjadjaran

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Kota Depok pada masa ini berada diantara Jakarta dan Bogor yang di masa doeloe Gemeente Depok berada diantara Batavia dan Buitenzorg.  Pada masa sebelumnya di masa lampau, kampong Depok berada diantara (pelabuhan) Soenda Kalapa dan (kerajaan) Pakwan-Padjadjaran.

Peta, 1755
Nama Depok kemungkinan besar adalah nama asli, bukan nama yang diadopsi setelah munculnya orang-orang Eropa/Belanda. Sebab menurut dokumen VOC semasa Cornelis Chastelein masih hidup disebutkan membeli lahan di Sringsing (1691) dan membeli lagi lahan di Depok dan Mampang (1696). Nama-nama Sringsing, Depok dan Mampang boleh jadi nama-nama kuno (sejak era Pakuan-Pajajaran) atau paling  tidak nama-nama yang muncul sebelum kedatangan orang-orang Eropa/Belanda.

Nama-nama tempat yang dicatat sejak pembelian lahan oleh Cornelis Chastelein di Sringsing, Depok dan Mampang bersumber dari laporan ekspedisi yang dilakukan oleh Abraham van Riebeek tahun 1703 yang melalui rute sisi barat sungai Tjiliwong: Tjililitan, Tandjong, Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong, Bodjonggede, Tjiliboet dan Paroeng Angsana.

Ekspedisi ke Pakuan-Padjadjaran kali pertama dilakukan tahun 1687 yang dipimpin Sersan Scipio. Ekspedisi ini berawal dari selatan (pulau) Djawa di Pelabuhan Ratu yang sekarang. Setelah dari Pakuan-Padjadjaran tim Scipio mengikuti rute sisi timur sungai Tjiliwong. Ekspedisi kedua oleh Michiel Ram dan Cornelis Coops, Agustus 1701 dari Batavia ke Pakuan-Padjadjaran melalui sisi timur sungai Tjiliwong. Ekspedisi ketiga dilakukan oleh Abraham van Riebeek tahun 1703 dari sisi barat sungai Tjiliwong.

Pada saat Abraham van Riebeek melakukan ekspedisi tahun 1703, tentu saja Cornelis Chastelein sudah mengusahakan lahan pertanian di Sringsing, Depok dan Mampang. Boleh jadi di Depok merupakan tempat keberadaan orang-orang sipil Eropa/Belanda terjauh dari Batavia. Cornelis Chastelein berani membuka lahan sejauh hingga ke Depok karena tim Sersan Scipio sejak 1687 telah mendirikan benteng (Fort Padjadjaran) di satu titik persinggungan terdekat antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane (di lokasi Istana Bogor yang sekarang).

Jalan Kuno Era Padjadjaran

Jalan kuno semasa era Padjadjaran dari Pakuan ke Soenda Kalapa besar dugaan mengikuti rute sisi barat sungai Tjiliwong. Hal ini karena tidak akan pernah menyeberangi sungai Tjiliwong. Pelabuhan Soenda Kalapa sendiri berada di sisi barat sungai Tjiliwong. Sementara Kota Batavia berada di sisi timur sungai Tjiliwong.

Dari sisi timur sungai Tjiliwong di Weltevreden (kini Gambir) Cornelis Chastelein dan Abraham van Riebeek dengan kuda mengikuti sisi timur sungai Tjiliwong hingga ke Tjililitan (atau dengan perahu mengikuti sungai Tjiliwong ke Tjililitan). Dari (pelabuhan) Tjililitan dengan kuda atau perahu ke pelabuhan terjauh di pedalaman di Pondok Tjina. Tidak jauh dari pelabuhan di Pondok Tjina terdapat lahan Cornelis Chastelein di Depok. Abraham van Riebeek mulai dari Pondok Tjina melanjutkan ekspedisi sepanjang sisi barat sungai Tjiliwong hingga ke Fort Padjadjaran.

Jalan kuno (sejak era Padjadjaran) dari sisi barat sungai Tjiliwong besar kemungkinan mengikuti jalan raya yang sekarang. Jalan kuno ini melewati tempat-tempat sebagai berikut: Pakuan, Kedoeng Badak, Tjiliboet, Bodjong Gede, Pondok Terong, Depok, Pondok Tjina, K(lenteng) Agoeng, Pasar Minggoe, Tjikinie dan Soenda Kalapa. Sedangkan jalan kuno dari sisi timur sungai Tjiliwong besar kemungkinan jalan raya yang sekarang. Jalan kuno ini melewati tempat-tempat sebagai berikut: Tadjoer, Parakan (kini Bantar Jati), Baranang Siang, Babakan, Kedong Halang, Tjiloear, Tjibinong, Tjimanggis, Tandjoeng (Pasar Rebo) dan Tjililitan.

Titik interchange sungai Tjiliwong diantara Soenda Kalapa (pelabuhan) dan Pakuan-Padjadjaran (di Katoelampa/Tadjoer) adalah di Moeara Beres di Bodjong Gede (Arab/Moor), Pondok Tjina (Tionghoa) dan Tjililitan (Tionghoa). Interchange Pondok Tjina juga besar kemungkinan adalah pertemuan jalan kuno timur-barat. Ke arah barat  melalui jalan Stasion Pondok Tjina sekarang ke Tjinere (lalu ke Tangerang/Banten).

Perkembangan Jalan Sisi Timur Tjiliwong

Sejak Cornelis Chastelein dengan status kepemilikan lahan pribadi atau tanah partikelir (landerien) dan membuka lahan di Depok, kepemilikan lahan-lahan pribadi semakin meluas di sepanjang sisi barat maupun timur sungai Tjiliwong hingga ke Pakuan-Padjadjaran. Perkembangan moda transportasi lebih baik di sisi timur sungai Tjiliwong apalagi setelah villa Gubernur Jenderal VOC dibangun di Pakuan-Padjadjaran.

Gubernur Jenderal VOC van Imhoff pada tahun 1745 membangun villa di lokasi dimana Fort Padjadjaran berada (Istana Bogor yang sekarang). Sejak itu kualitas jalan kuno sisi timur sungai Tjiliwong semakin baik. Jembatan yang dibangun pertama dibuat di atas sungai Tjiliwong di Warung Jambu yang sekarang. Dari jembatan ini menanjak melalui jalan Ahmad Yani yang sekarang hingga ke Air Mancur dan kemudian menuju Fort Padjadjaran (villa Gubernur Jenderal VOC).

Jalan kuno sisi barat Tjiliwong semakin tertinggal. Semakin tertinggal karena sisi barat lebih tidak aman dibanding sisi timur (sebab pada tahun 1750 (kerajaan) Banten menyerang villa Gubernur Jenderal VOC di Buitenzorg dan menghancurkannya). Villa dibangun kembali, pertahanan semakin diperkuat dengan meningkatkan status benteng (fort) untuk fungsi pertahanan menjadi garnisun militer (fungsi eksplorasi) di Pakuan Padjadjaran. Prospek pengembangan koffikultuur ke lereng gunung Salak, gunung Pangrango (dan kelak ke Preanger) menyebabkab sisi timur sungai Tjliwong terus berkembang. Jalan raya sisi timur sungai Tjiliwong terus meningkat kualitasnya.

Peta 1818
Jalan ini kelak pada era Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai tahun 1800 (setelah VOC bubar) menjadi jalan pos trans-Java (dari Anjer hingga Panaroekan via Buitenzorg). Sebagai jalan pos (diundangkan pada tahun 1810), maka jalan pos ini menjadi sangat ramai tidak hanya lalu lintas barang-barang pos tetapi juga pergerakan arus orang dan arus barang. Pada titik tertentu dibangun pos yang mana pos ini menjadi interchange baru dimana di lokasi pos ini terjadi bongkar-muat barang-barang pos (semacam kantor pos) juga menjadi tempat peristirahatan kereta pos dan munculnya keramaian (pasar sekitar). Dari Batavia ke Buitenzorg pos-pos tersebut adalah sebagai berikut: Bidara Tjina (pos pertama dari Batavia), Tandjong (Pasar Rebo yang sekarang), Tjimanggis, Tjibinong, Tjiloear (pos pertama dari Buitenzorg). Dari pos-pos inilah barang-barang pos keluar (dikirim ke tujuan) dan pos masuk (didistribusikan di sekitar). Pos terdekat dari Depok adalah pos Tjimanggis. Jalan akses dari dan ke Tjimanggis melalui (perlintasan) sungai Tjiliwong di Pondok Tjina.

Sejak adanya jalan pos trans-Java, sisi barat sungai Tjiliwong hampir tidak tersentuh dan para tuan tanah (landerien) tetap mengandalkan jalan-jalan kuno yang masih ada. Mungkin ada perbaikan kualitas tetapi tidak sebaik di sisi timur. Rute jalan sisi barat sungai Tjiliwong ini dapat kita sebut lagi sebagai berikut: Batavia, Bidara Tjina, Tjililitan, Pasar Minggoe, Lenteng Agoeng, Sringsing, Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong, Paboearan, Bamboe Koening, Bodjonggede, Tjiliboet, Kedongbadak, Air Mancur dan Buitenzorg.

Peta 1840
Interchange Tjililitan mulai ditinggalkan karena di Meester Cornelis (kini Djatinegara) dibangun jembatan di atas sungai Tjiliwong (jalan Slamet Riyadi yang sekarang). Akibatnya, rute dari Depok ke Batavia melalui Pasar Minggoe, Kalibata, Cawang, Tebet dan Manggarai. Jembatan ini merupakan jembatan kedua di luar Batavia yang sudah dibangun di atas sungai Tjiliwong (yang pertama di Buitenzorg). Pembangunan jembatan permanen ini terkait dengan semakin berkembangnya perkebunan di sisi barat sungai Tjiliwong. Jaringan jalan di sisi barat sungai Tjiliwong semakin terintegrasi antara satu landerien (tanah partikelir) dengan landerien yang lain. Dua interchange yang terpenting di sisi barat sungai Tjiliwong adalah Parong dan Pasar Minggoe.

Jalan kuno (eks Pakuan-Soenda Kalapa) di sisi barat Tjiliwong semakin tertinggal lagi seiring dengan perkembangan perkebunan di sisi barat sungai Tjiliwong. Interchange yang baru di Parong dan Pasar Minggoe menjadi pusat keramaian yang baru, tempatnya strategis dan kedua tempat ini terhubung. Akibatnya jalan kuno yang melalui Tandjoeng Barat, Lenteng Agoeng, Srengseng, Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong, Bojong Gede dan Tjiliboet semakin terbenam dan sepi. Jalan arteri sudah bergeser dari Buitenzorg ke Parong; dari Parong  ke Pasar Minggi dan dari Parong ke Tangerang.

Pembangunan Kereta Api Sisi Barat Tjiliwong

Industri perkebunan yang bermula pada tanah-tanah partikelir antara Batavia dan Buitenzorg sudah semakin meluas di seluruh Jawa termasuk di Preanger. Komoditi perkebunan semakin beragam. Komoditi ekspor utama seperti gula, kemudian kopi lalu diikuti teh dan kina (secara khusus di Preanger) semakin pentingnya peran plantation (onderneming). Peningkatan ekspor dan volume produksi yang semakin cepat membuat keuntungan ekonomi pemerintah makin kuat. Untuk mengoptimalkan volume produksi dengan sentra-sentra yang berjauhan untuk memenuhi kebutuhan ekspor yang tinggi angkutan massal dan cepat menjadi solusi. Pilihannya hanya satu: eksploitasi kereta api.

Peta proyeksi eksploitasi kereta api (pulau) Jawa, 1865
Proposal eksploitasi kereta api di (pulau) Jawa muncul di Belanda tahun 1864. Para investor ternyata banyak yang tertarik. Dalam peta proyeksi yang dirilis tahun 1865 jalur eksploitasi kereta api di (pulau) Jawa untuk ruas Batavia-Buitenzorg yang ditawarkan kepada para investor adalah melalu Bekasi (dan kemudian ke Tjilengsi, Tjitrap dan Tjiloear). Untuk yang kesekian kalinya moda transportasi di Depok tertinggal lagi. Namun pada tahun 1865 ada investor yang menawarkan jalur Batavia langsung ke Tjilengsi tanpa melalui Bekasi. Sekali lagi: Moda transportasi kereta api Depok tetap tidak kebagian dan moda transportasi di Depok akan tertinggal terus. Lantas kemudian pembangunan pun dimulai. Yang pertama dioperasikan adalah jalur kereta api ruas Semarang pada tahun 1867

Eksploitasi kereta api Batavia-Buitenzorg ternyata tidak segera dioperasikan. Apa pasal? Proyeksi jalur kereta api yang dirilis tahun 1864 tidak menguntungkan bagi investor. Yang menarik bagi investor adalah eksploitasi jalur keretap api Batavia-Tandjong Priok. Jalur inilah yang pertama di eksplitasi di West Java. Pada tahun-tahun berikutnya, bukannya jalur Batavia-Buitenzorg via Tjilengsi yang diincar para investor tetapi justru jalur pendek antara Batavia ke Meester Cornelis (Djatinegara).

Pada tahun 1870 muncul keputusan dari Gubernur Jenderal bahwa jalur kereta api Batavia-Buitenzorg diputuskan untuk meneruskan jalur kereta api yang sudah diekploitasi dan dioperasikan dari Batavia ke Meester Cornelis (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 02-07-1870). Proposal baru ini mendapat respon positif dari para investor. Akhirnya jalur eksploitasi Batavia-Buitenzorg via Depok semakin menguat.

Dengan adanya proyeksi jalur eksploitasi yang baru antara Batavia-Buitenzorg via Depok, maka tidak hanya orang-orang Eropa/Belanda yang populasinya cukup banyak di Depok yang tersenyum, tetapi para pengusaha perkebunan di sisi barat sungai Tjiliwong juga antusias. Proyeksi awal pemerintah untuk eksploitasi kereta api di sisi timur sungai Tjiliwong gagal total. Proyeksi yang baru berdasarkan animo para investor ternyata lebih memilih jalur sisi barat sungai Tjiliwong.

Proyeksi jalur eksploitasi kereta api di sisi barat sungai Tjiliwong dengan sendirinya akan membuka isolasi Depok yang selama ini dalam urusan moda transportasi selalu tertinggal. Dengan adanya jalur baru kereta api, Depok akan memulai babak baru. Hal yang penting dari ini adalah bahwa jalur baru kereta api via Depok ini seakan kembali ke awal mengikuti jalan kuno yang telah dirintis sejak era Padjadjaran dari Pakuan ke Soenda Kalapa.

Bersambung:

Sejarah Kota Depok (5): Pembangunan Jalur Kereta Api Batavia-Buitenzorg via Depok; Menyatukan Kembali Orang Eropa/Belanda


Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar