Belanda/VOC pada tahun 1619 telah menetapkan Batavia sebagai ‘ibukota’ perdagangan di India sebelah timur (Oost Indie), sebagaimana Inggris menetapkan ibukota di Calcutta. Jauh sebelumnya, Portugis dan Spanyol telah aktif melakukan perdagangan di wilayah Oost Indie. Sementara di Oost Indie (baca: Nusantara) eksis sejumlah kerajaan/kesultanan baik di pesisir pantai maupun di pedalaman.
Bongaisch Contract, 1667 |
Pada tanggal 18 November
1667 dilakukan perjanjian Bongaya (Bongaisch Contract) antara VOC dengan
Kesultanan Goa [Gowa]. Perjanjian ini meski disebut perjanjian damai, namun
sesungguhnya perjanjian ini harus dilihat sebagai ujung keretakan (kesultanan
Gowa) dengan (kesultanan) Bone: Soeltan Hassan Oedin [Hasanuddin] redup; Aroe
Palakka [Aroe Palakka] yang bekerjasama dengan VOC semakin berkibar.
Perjanjian Bongaja menjadi prakondisi munculnya benteng (Fort) Rotterdam
yang menjadi cikal bakal Kota Makassar. Secara teknis Kota Makassar yang
berpusat di benteng (casteel) Rotterdam hanyalah sebuah kota pelabuhan yang
pusat produksi komoditi di (kepulauan) Maluku yang meneruskan fungsi Kota
Sombaopoe sebelumnya dimana Soeltan Hasan Oedin berkuasa. Lantas bagaimana
perkembangan Kota Makassar selanjutnya pasca Bongaisch Contract menarik untuk
diketahui. Mari kita telusuri.
Pergeseran Peta Perdagangan
Kota Sombaopoe mulai
berkembang seiring dengan munculnya pertikaian antara orang-orang Eropa dengan
(pemimpin) penduduk lokal di (kepulauan) Maluku. Para pedagang Belanda yang
mulai agresif menyebabkan pedagang non Belanda seperti Portugis, Inggris,
Denmark. dan sebagainya mulai menyingkir
ke Sombaopoe dengan mengandalkan pedagang-pedagang lokal (Melayu, Jawa, dan
lainnya termasuk Arab dan Tionghoa)
Courante uyt Italien, Duytslandt, 16-07-1633 |
Perwakilan dagang Belanda di
Sambopp [Somba Opoe] sudah ada sejak 1607 yakni Class Leuers dan berakhir tahun
1608. Tugas Class Leuers dilanjutkan oleh Samuel Denis pada tahun 1609 hingga 1612.
Perwakilan ini kemudian semakin bertambah hingga tahun 1619.
Perwakilan Belanda setelah kedatangan pelayaran Cornelis de Houtman
(1595-1597) secara perlahan bertambah jumlahnya. Perwakilan pertama adalah di
Bali adalah Emanuel Roodenburgh, Jacob Claesz van Delft dan Jan Jansz de Roy
sejak 1597 (tiga orang yang ditinggalkan oleh Cornelis de Houtman). Tugas
ketiga orang ini berakhir tahun 1601 yang digantikan yang lain. Perwakilan
berikutnya Frank van der Does di Ternate (sejak 1599), di Banda (sejak 1599)
dan Fredrik de Houtman (adik Cornelis de Houtman) di Atjeh sejak 1599 hingga
1601. Lalu kemudian tahun 1600 di Ambon, Jan Dirckz Sonnenbergh dan di Bantam Claes
Simonsz Meehaêl. Sementara itu Frederik de Houtman setelah kembali ke Belanda
dari Atjeh ditempatkan lagi di Amboina (1605-1611). Perwakilan Belanda yang
lain hingga 1612 juga ada di Jawa, Patane en Siam, Japan, Djohor, Borneo
[Kalimantan], Pantai Corromandel, Arrakan, Ceylon, Pantai Malabar dan
Goezzarate.
Peta Batavia 1653 |
Perkembangan Pelabuhan Sombaopoe dan Soeltan Hasan
Oedin
Pada saat Batavia berkembang
sebagai kota, Sombaopoe (stad Macassar) juga berkembang pesat. Gubernur
Jenderal kesembilan, Anthony van Diemen mengangkat seorang pedagang (koopman)
di Makassar N van Vliet sebagai gubernur (landvoogden). N van Vliet terbunuh
pada tahun 1638 lalu digantikan oleh oleh kepala pedagang (opperkoopman) VOC di
Makassar, Johan van Suijdewijk. Pengangkatan Johan van Suijdewijk sebagai
gubernur hanya berlangsung hingga 1646. Setelah itu fungsi gubernur VOC di
Makassar ditadakan, Namun pada tahun 1651 fungsi gubernur diaktifkan kembali
dengan mengangkat Evert Jansz Ruijs. Pada tahun 1655 Ruijs
digantikan oleh Abraham Verspreet. Namun belum lama menjabat sebagai gubernur, Abraham
Verspreet harus ditarik kembali ke Batavia. Hal ini sehubungan dengan perubahan
kebijakan VOC.
Sombaopoe (dilukis oleh Johannes Vingboons, 1665)
|
Sejak 1655 di Makassar tidak
ada pemerintahan VOC. Kerajaan Goa mulai membangun ibukota di Sombaopoe dengan
membangun benteng pertahanan. Boleh jadi gelagat ini yang membuat Batavia
menarik perwakilannya di Makassar.
Kapal-kapal Portugis di Sombaopoe (lukisan 1676) |
Setelah penaklukan Makassar, pada tahun 1669, Johan van Opzijnen seorang
pedagang diangkat sebagai gubernur (landvoogden) di Makassar. Kota Sombaopoe
yang porak poranda akibat perang, kota pelabuhan ini tidak kondusif lagi
sebagai kedudukan gubernur yang baru. Disamping itu, meski dinyatakan telah
damai tetapi kekhawatiran VOC menjadikan Sombaopoe sebagai ibukota VOC di
Celebes belum sepenuhnya terjamin. Pedagang-pedagang Eropa di pelabuhan
Sombaopoe masih melakukan aktivitas. Sementara itu, kekalahan Kesultanan Gowa
masih menyimpan kebencian terhadap VOC dan Aroe Palakka yang turut membantu
VOC. Meski demikian, palabuhan Sombaopoe terus diawasi di bawah penguasaan
militer. Pedagang-pedangan VOC aktif kembali di (pelabuhan Sombaopoe).
Kota Sombaopoe, 1725 |
Bongaisch Contract dan Aroe Palakka
Fort Rotterdam di Makassar (lukisan 1749) |
Cornelis Speelman dan Aroe Palakka (lukisan 1669-1675) |
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar