*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Pesawat pertama (dari Amsterdam) mendarat di Indonesia di lapangan terbang Polonia Medan. Itu terjadi pada tahun 1924. Dari Singapura pesawat yang sama kemudian mendarat di lapangan terbang Tjililitan, Batavia (kini Cililitan, Jakarta). Dua bandara ini (Polonia dan Cililitan) menandai awal sejarah aviasi (penerbangan) jarak jauh dan kebandaraan di Indonesia. Pada tahun 1943 lapangan terbang Cililitan digunakan oleh militer Jepang dan kembali dikuasai/digunakan Belanda (NICA) pada tahun 1945. Lapangan terbang Cililitan baru tahun 1950 benar-benar sepenuhnya dikuasai/digunakan oleh rakyat Indonesia.
Pesawat pertama (dari Amsterdam) mendarat di Indonesia di lapangan terbang Polonia Medan. Itu terjadi pada tahun 1924. Dari Singapura pesawat yang sama kemudian mendarat di lapangan terbang Tjililitan, Batavia (kini Cililitan, Jakarta). Dua bandara ini (Polonia dan Cililitan) menandai awal sejarah aviasi (penerbangan) jarak jauh dan kebandaraan di Indonesia. Pada tahun 1943 lapangan terbang Cililitan digunakan oleh militer Jepang dan kembali dikuasai/digunakan Belanda (NICA) pada tahun 1945. Lapangan terbang Cililitan baru tahun 1950 benar-benar sepenuhnya dikuasai/digunakan oleh rakyat Indonesia.
Kedatangan pesawat pertama di Tjililitan, Senin, 24-11-1924 |
Ada dua hal penting yang menarik perhatian yakni bagaimana gagasan
penerbangan jarak jauh Amsterdam-Batavia ini terselenggara dan bagaimana
persiapan dan kesiapan menyambut kedatangan pesawat terbang ini? Kisah ini
kurang terinformasikan dengan baik. Padahal dua hal tersebut adalah awal
penerbangan jarak jauh dan sistem navigasi internasional. Lantas bagaimana awal
sejarah kebandaraan dan sejarah penerbangan sipil Indonesia? Semua itu tentu
masih menarik untuk diperhatikan. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Pilot vd Hoop, (insert) vd Broek (De Telegraaf, 23-12-1924) |
Lapangan Terbang
Tjililitan dan Cornelis de Houtman Jilid II: Menyambut Kedatangan Pesawat
Pertama di Indonesia (1924)
Belanda di Eropa dan Hindia sudah sejak lama
terhubung melalui kapal-kapal layar (kemudian kapal uap melalui Terusan Suez).
Kapal-kapal ini turut membawa surat pos. Teknologi telegraf dengan menarik
kabel laut membuat komunikasi antara Belanda dan Hindia lebih cepat jika
dibandingkan surat. Teknologi komunikasi jarak jauh mulai dioperasikan setelah
stasion radio Malabar Bandoeng berhasil menghubungkan Belanda dan Hindia.
Stasion radio Malabar ini diresmikan pada tanggal 5 Mei 1923. Setahun kemudian
pesawat terbang pertama dari Belanda (Amsterdam) tiba di bandara Tjililitan
(Batavia) pada hari Senin tanggal 24-11-1924. Tanggal ini begitu penting, baik
di Belanda maupun di Hindia. Oleh karena itu disambut meriah dan antusias
dimana-mana, tidak hanya Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga oleh Ratu
Belanda Wilhelmina. Dalam konteks inilah sejarah Cililitan menjadi penting.
Pada
hari Jumat tanggal 21 November 1924 pesawat Foker F-VII mendarat di lapangan
terbang Polonia Medan. Itu berarti pesawat pertama Belanda yang berangkat dari
Amsterdam pada tanggal 1 Oktober telah tiba di Hindia (menempuh 15.899 Km dalam
20 hari terbang; sisia hari untuk istirahat dan perbaikan). Panitia Penerbangan
Hindia Belanda langsung mengirim telegram ke Ratu Wilhelmina dan sang Ratu
langsung mengirim ucapan selamat. Ucapan selamat juga disampaikan kepada tiga
penerbang dan langsung mendapat bintang (lihat De Zuid-Willemsvaart, 25-11-1924).
Disebutkan para penerbang itu adalah Commandant van der Hoop, Luitenant van
Woerden Poelman dan mekanik van den Broek. Hanya dua penerbang yang tiba di
Hindia, Luitenant van Woerden Poelman ditinggal di India (Inggris) untuk
diganttikan oleh penerbang Hindia Belanda yang lebih memahami wilayah Hindia
Belanda. Pada hari Sabtu pesawat F-VII berangkat ke Singapura dan keesokan
harinya ke Muntok (Bangka) dan hari Senin dilanjutkan menuju Batavia.
Pada hari Senin pagi warga Batavia dan sekitar
berduyung-duyung ke lapangan terbang Tjililitan. Ini setelah mendapat kabar
positif melalui saluran telepon interlokal dari Muntok bahwa pesawat Fokker
F-VII telah mengudara pada pukul 9 pagi. Sementara itu seluruh warga Batavia
memasang bendara tricolor. Sekolah liebur dan kantor bisnis tutup. Pluit kapal
uap dibunyikan, serene meraung-raung. Kemacetan lalu lintas yang tak ada
habisnya dari mobil menuju ke area pendaratan Tjililitan,
Het nieuws van den dag voor N-Indie, 24-11-1924 |
Pada pukul 1.20 siang pesawat Fokker F-VII
benar-benar telah mendarat di lapangan terbang Tjililitan. Sorak-sorai ribuan pengunjung
membuat sangat meriah penyambutan. Gubernur Jenderal berbicara kepada para
pilot dan memberi tahu kepada mereka tentang penyambutan tersebut. Gubernur
Jenderal lalu menempelkan tanda kehormatan kepada mereka di dada. Selanjutnya
para penerbang dengan mobil yang telah dihiasi dengan bunga ke kota yang
diikuti oleh kemacetan lalu lintas yang luar biasa. Di dalam berita ini, juga
disebutkan bahwa seluruh Jawa dan khususnya Batavia berada dalam suasana yang
meriah. Karena ini adalah penerbangan pertama antara Belanda dan Hindia telah
selesai. Selamat untuk para pilot dan panitia.
Haagsche courant, 25-11-1924 |
Sejak peristiwa bersejarah ini lalu muncul
gagasan penerbangan sipil di Hindia. Lalu didirikan Koninklijke
Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) pada tanggal 16 Juli 1928.
Layanan pertama dilakukan masih sebatas di Jawa. Rute pertama yang dikembangkan
adalah untuk menghubungkan Batavia dan Bandoeng.
Bataviaasch nieuwsblad, 25-09-1928 |
Sebelum
KNILM didirikan, pembicaraan tentang jalur penerbangan juga termasuk di langit
Sumatra pada tahun 1926. Hal ini dimulai dari rencana sebuah maskapai yang akan
didirikan membuat jalur Batavia-Telok Betong. Bandara Telok Betong ini akan
menjadi jalur entri memasuki Sumatra yang akan dikembangkan terus ke utara
hingga ke Kota Radja via Moeara Bliti, Pajacombo, Padang Sidempoean atau Rautau
Prapat atau Gunung Toea lalu ke Medan. Dari Medan diperluas ke Kota Radja.
Jalur Medan-Padang Sidempuan secara khusus menjadi prioritas jika Rantau Prapat
yang akan dipilih yang juga akan
mencakup wilayah yang luas baik ke Toba maupun ke timur (lihat De Indische
courant, 15-07-1926). Jalur ini direncanakan untuk memenuhi aviation jalur
tengah Sumatra, Jalur tengah ini selain untuk angkutan orang juga untuk
mendukung pengakutan pos. Juga telah datang usul agar dibuat jalur
Padang-Singapoera, namun maskapai baru membatasi jalur Medan-Singapora-Batavia
(yang akan beroperasi tahun 1930). Penerbangan Batavia-Medan secara militer
sudah dimulai pada tahun 1928.
Pada bulan Agustus 1930 secara resmi akan dibuka
penerbangan sipil secara permanen dari Batavia-Medan. Tentang bagaimana
kesiapan bandara Medan telah ditinjau oleh Ir. Valkenburg. Untuk merealisasikan
ini di Pakan Baroe sudah disiapkan bandara pembantu (jika sewaktu-waktu terjadi
pendaratan darurat). Juga hal yang sama telah dilakukan di Laboehan Roekoe dan
Rantau Prapat. Untuk yang di Rantau Prapat lahan yang digunakan adalah lahan
jalan raya. Untuk tujuan-tujuan pendaratan darurat ini juga di Kota Pinang
tersedia sebuah situs yang cocok tanpa memerlukan upaya pekerjaan yang lebih
besar. Sementara ini yang paling memungkinkan adalah di Padang Lawas, di mana
sudah terdapat sebuah situs yang berukuran 650-200 meter. Untuk hanggar di
Medan masih berproses yang akan diinstal oleh Kantor Teknis dari Bandung.
Persiapan ini selesai awal Agustus yang secara keseluruhan menelan biaya f60.000.
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-05-1930).
Setelah
Batavia-Medan sukses, giliran berikutnya adalah Batavia-Padang. Pada tahun
1934, atas dukungan pemerintah di Sumatra’s Westkust dalam mendukung permintaan
bandara di Padang. Pembangunan bandara di Padang ini akan menelan biaya sebesar
lima ribu gulden. Kini pembangunan bandara itu telah dimulai. Bandara ini akan
membuka koneksi dengan berbagai daerah di pantai barat Sumatra. Seperti yang
kita aporkan beberapa waktu lalu sudah ada maskapai yang berminat untuk jalur
Batavia, Benkoelen, Padang (dengan koneksi berikutnya melalui Padang
Sidempoean, Toba ke Medan). Terkait dengan ini penting untuk menganggap
pembangunan bandara di lndrapoera yang layanan berasal dari Sungei Penoeh (De Sumatra
post, 18-05-1935).
Setelah memulai pembangunan bandara di Padang,
giliran berikutnya adalah pembangunan bandara di Padang Sidempoean, yang
merupakan wujud rencana pengembangan jalur Medan-Padang. Sebagaimana yang
dilaporkan Aneta yang dikutip De Sumatra post, 04-11-1935 bahwa bandara Padang
Sidempoean ini Dewan Kota (Plaatselijken Raad) sudah membeli lahan di Sihitang
yang nilai seribu gulden. Meskipun bandara ini untuk pengembangan bandara
transit, tetapi untuk sementara akan digunakan untuk bandara pembantu jika
sewaktu-waktu terjadi pendaratan darurat antara Padang dan Medan. Rencana
pembangunan bandara Padang Sidempoean ini ternyata mendapat penolakan dari
sebagian penduduk sebagaimana dilaporkan surat kabar di Belanda.
Penolakan
ini di satu sisi dianggap penduduk lebih pada untuk mempromosikan penerbangan
militer dan sipil yaitu untuk persiapan perang terbuka dan rahasia imperialism
Belanda, sementara di sisi lain penduduk banyak yang lapar dan kesusahan (lihat
De tribune: soc. dem. Weekblad, 16-12-1935). Inilah satu-satunya tindakan yang
dapat disebut heroik dari sisi penduduk (yang bagaimana pun mereka tidak akan
menerima manfaat dari rencana pembangunan bandara di Padang Sidempoean). Penolakan
pembangunan bandara Padang Sidempuan ini sangat khas. Hanya terjadi di Padang
Sidempuan.
Pada masa tersebut, kebutuhan penerbangan masih
merupakan kebutuhan-orang-orang Eropa baik pejabat pemerintah maupun para
wisatawan. Untuk kebutuhan penduduk pribumi jelas belum diperhitungkan (karena
dianggap tidak layak secara financial). Namun bukan disitu intinya. Penduduk
Padang Sidempoean pada tahun-tahun itu, sudah sangat maju secara social dan
secara politik. Bahkan pada tahun 1919 di Padang Sidempoean sudah terbit surat
kabar yang diberi nama Sinar Merdeka, surat kabar yang secara harpiah telah
memberikan pencerahan bagi penduduk apa implikasinya imperialism dan apa
manfaatnya independen (kemerdekaan). Itulah Padang Sidempuan, tempat kelahiran
tokoh-tokoh penting Indonesia yang anti imperialis (penjajahan). Satu kekuatan
dalam penolakan ini karena kota Padang Sidempoean telah memiliki dewan kota
(Plaatselijken Raad) yang menjadi simpul suara penduduk. Dewan kota Padang
Sienmpoean adalah satunya di Hindia Belanda yang memiliki dewan setingkat
kecamatan (Plaatselijken Raad Onderdistrict Angkola en Sipirok).
Untuk
sekadar tambahan Parada Harahap yang dulu sebagai pemilik dan editor surat
kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean sejak 1922 telah hijrah ke Batavia
karena suratkabarnya dibreidel. Di Batavia sejak 1926 telah memiliki surat
kabar terkenal Bintang Timoer tempat dimana Ir. Soekano mengirim tulisan dari
Bandoeng. Pada tahun 1927 Parada Harahap menggagas didirikan supra organisasi
kebangsaan Indonesia yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan
Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dimana ketua MH Thamrin (Kaoem Betawi) dan Parada Harahap (Sumatranen Bond) sendiri
sebagai sekretaris. Anggota PPPKI juga termasuk Pasoendan dan Perhimpoenan Nasional
Indonsia (PNI) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Ketika Soekarno ditangkap pada
tahun 1933 dan akan diasingkan, Parada Harahap padan bulan November 1933
memimpin tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang termasuk didalammya Mohamad Hatta
yang baru pulang studi dari Berlanda. Pada 13 Januari 1934 rombongan terssebut
kembali, pada saat yang bersamaan Ir. Soekarno diberangkatkan ke Flores..
Sehubungan dengan semakin majunya penerbangan
sipil, pada tahun 1934 mulai dibangun bandara komersial di Kemajoran. Perencanaan
dan pembangunannya yang cukup lama, bandara baru ini (pengganti lapangan
terbang Tjililitan) mulai beroperasi pada 6 Juli 1940 dan resmi dibuka pada tanggal
8 Juli 1940.
Jerih
payah orang-orang Belanda membangun bandara dan mengembangkan penerbangan sipil
menjadi sia-sia ketika pada awal tahun 1942 terjadi pendudukan militer Jepang.
Bandara-bandara inilah yang kemudian dilumpuhkan para angkatan udara Jepang
sebelum terjadi pendudukan. Semua bandara ini kemudian dimanfaatkan oleh
militer Jepang untuk kebutuhan militer (tidak ada untuk komersil/sipil). Namun
setelah kembali Belanda (NICA) bandara-bandara tersebut direbut kembali
termasuk bandara Kemajoran dan lapangan terbang Tjililitan (1946-1950).
Ir. Tarip Abdullah Harahap: Tokoh Sejarah Penerbangan Sipil Indonesia
(1951)
Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 dengan membentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS). Meski demikian, fasilitas vital terbilang masih dikuasai oleh
Belanda. Pada bulan Agustus 1950 RIS dibubarkan. Presiden Soekarno mengumumkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam kabinet baru NKRI ini, Ir.
Tarip Abdullah Harahap diangkat sebagai Direktur Penerbangan Sipil. Langkah
baru dalam dunia penerbangan sipil Indonesia dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar