*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Bagaimana cara memahami sejarah Praya, tentu tidaklah mudah. Hal ini karena Praya di tengah, jauh di pedalaman. Hal ini berbeda dengan sejarah Selong dan Laboehan Haji di timur dan sejarah Mataram dan Ampenan di barat. Praya seakan tersembunyi di lembah Lombok uang subur. Praya adalah tempat di tengah-tengah Tanah Lombok yang subur yang tidak pernah kekurangan air untuk pertaniannya. Wilayah Praya (yang kini menjadi ibu kota kabupaten Lombok Tengah) adalah permadani ekonomi di Lombok (yang memasuk sebagian besar produk perdagangan ke Ampenan dan Laboehan Hadji).
Bagaimana cara memahami sejarah Praya, tentu tidaklah mudah. Hal ini karena Praya di tengah, jauh di pedalaman. Hal ini berbeda dengan sejarah Selong dan Laboehan Haji di timur dan sejarah Mataram dan Ampenan di barat. Praya seakan tersembunyi di lembah Lombok uang subur. Praya adalah tempat di tengah-tengah Tanah Lombok yang subur yang tidak pernah kekurangan air untuk pertaniannya. Wilayah Praya (yang kini menjadi ibu kota kabupaten Lombok Tengah) adalah permadani ekonomi di Lombok (yang memasuk sebagian besar produk perdagangan ke Ampenan dan Laboehan Hadji).
Pelabuhan-pelabuhan di pulau Lombok dari masa ke masa |
Pada saat Cornelis de Houtman berkunjung ke
Lombok pada tahun 1597 di kampong Lombok yang menjadi kota pelabuhan di teluk
Lombok, pelabuhan ini besar dugaan satu-satunya di (pulau) Lombok. Lalu pada
awal era VOC, pedagang-pedagang Eropa-Belanda meramaikan Ampenan yang menjadi
pelabuhan baru di barat Lombok. Dua pelabuhan ini adalah pelabuhan terbaik di
jalur pelayaran Eropa-Belanda dari Batavia ke Banda. Dua pelabuhan ini
terbentuk ke arah selatan pulau karena tempat-tempatr di pantai utara tidak
bisa dijadikan pelabuhan (besar) karena angin dan ombak yang besar menghantam
pantai. Dalam perkembangannya para pedagang-pedagang VOC lebih menyukai
membuang jangkat di arah selatan (kelak Laboehan Hadji). Hal ini karena
Laboehan Lombok tidak terlalu dalam. Meski teluk Pidjoe di selatan lebih baik
namun karena terlalu jauh dari jalur pelayaran di pantai utara, Laboehan Hadji
yang terus berkembang. Hal yang sama di pantai barat Lombok, pelabuhan Ampenan
tidak selalu aman terutama pada musim badai, sehingga adakalanya kapal-kapal
VOC berlabuh di Padang Rhea (tengah) dan yang lebih aman di selatan di Laboehan
Tring (yang kini menjadi Pelabuhan Lembar). Pelabuhan Ampenan dan pelabuhan
Laboehan Hadji meski tidak ideal tetapi kedua pelabuhan ini dapat dikatakan
pelabuhan abadi (sepanjang masa). Tempat-tempat di pantai selatan tidak
ditemukan tempat yang baik untuk kapal berlabuh karena tebing dan ombak yang
besar, lagi pula jalur pelayaran (perdagangan) berada di pantai utara. Dalam
konteks inilah Praya di tengah pulau Lombok tersembunyi (dari luar).
Oleh karena itu, sejarah Lombok tidak hanya
dimulai di pantai (Ampenan dan Laboehan Hadji) tetapi juga di pedalaman
(Praya). Namun persoalannya, bagaimana menemukan datanya. Itu satu hal. Hal
lain yang lebih penting adalah seperti apa peran Praya dalam konstruksi sejarah
Lombok. Banyak pendekatan yang dapat digunakan. Pendekatan yang digunakan dalam
artikel ini adalah menemukan titik terpenting (ruang dan waktu) yang secara
prospektif meneruskan garis sejarah ke masa depan (ke masa kini) dan juga
melakukan retrospektif secara spasial ke masa lampau dengan merujuk pada
perkembangan di pantai-pantai timur dan barat pulau Lombok. Nah, untuk menambah
pengetahuan tentang sejarah Praya, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Ampenan: Laboehan Lombok dan Laboehan Pijoe
Hampir tidak ada dokumen (surat kabar, majalah
dan dokumen pemerintah) yang mengindikasikan keberadaan Praja di Lombok.
Keberadaan Praja bahkan tidak diidentifikasi oleh botanis Jerman Heinrich
Zollinger ketika melakukan ekspedisi ke (pedalaman) pulau Lombok pada tahun
1847 (pasca Perang Bali: antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan
Boeleleng).
Heinrich
Zollinger mengidentifikasi dua jalan utama dimulai dari Ampanan dan Mataram.
Satu melintasi pulau dari barat ke timur, yakni setelah melewati Batu Kliang
membentuk dua cabang, satu mengarah ke tenggra ke Pidjoe, yang lainnya ke timur
ke (Laboehan) Lomlok. Di Kota Radja, cabang ketiga menuju ke timur laut terus ke
Soembaloen.
Heinrich Zollinger boleh jadi lalai
mengidentifikasi Praja karena dia tidak pernah ke Praja atau memang nama
kampong Praja belum begitu penting jika dibandingkan dengan nama-nama kampong
yang diidentifikasi Heinrich Zollinger.
Nama-nama
kampong yang diidentifikasi Heinrich Zollinger adalah sebagai berikut: Ampenan,
Mataram, Karang Assam, Pagassangan, Pagoetan, Pringa Rata, Batoe Kleang, Kotta
Radja, Loijok, Lombok, Laboean Hadjie, Pidjoe, Soembaloen dan Soegian, Tandjong
Karang, Padang Rhéa, Laboean Tring. (pulau) Trawangan dan Goenoeng Rata. . .
Tunggu deskripsi lengkapnya
Praja: Perang Lombok
Nama Praja baru meuncul pada tahun-tahun terakhir
(lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
28-10-1892). Ini bermula karena banyaknya penduduk Sasak yang dimobilisasi
Radja Bali Selaparang untuk berperang di Bali.
Perseteruan
antar kerajaan di Pulau Bali, selalu berimbas ke kerajaan Bali Selaparang di
Lombok. Meski memiliki garis leluhur yang sama, kerajaan-kerajaan di Bali
seakan berlomba untuk menjadi penguasa tunggal. Game Theory yang berlaku.
Ketika kerajaan Mangwi menyerang Gianjar, kerajaan Kloengkong mebantu Gianjar.
Lalu kerajaan Karangasem Bali yang mendukung Mangwi akhirnya pecah perang
antara Karangasem Bali dan Kloengkong. Karangasem Bali yang didukung kerajaan
Bali Selaparang dapat menundukkan kerajaan Kloengkong. Sementara itu, pada
tahun 1846 kerajaan Bali Selaparang justru membantu Pemerintah Hindia Belanda
dalam menghukum kerajaan Boeleleng yang didukung kerajaan Karangasem. Dalam hal
ini di pulau Bali antar kerajaan tidak menyatu sama lain dan gampang
berselisih. Sementara di pulau Lombok hanya ada satu interaksi langsung yakni
hubungan panas dingin dari waktu ke waktu antara kerajaan Bali Selaparang
dengan pemimpin (penduduk) Sasak.
Menurut laporan pemerintah keperawatan yang buruk
dan nutrisi yang kurang menjadi tidak memadai di antara pasukan-pasukan dari penduduk
Sasak mengakibatkan
kematian yang luar biasa.
Kasus
yang mirip pernah terjadi pada Perang Bali (1846-1849). Radja Karangasem
memobilisasi warga pendatang yang berada di Bali (Boegis) untuk berperang dalam
melawan ekspedisi militer Belanda. Sebelumnya, perempuan dan anak-anak telah
diambil dan diisolasi di pegunungan dan diminta memilih berperang atau
anak-istri terancam. Pasukan tak terlatih yang ditempatkan di garis depan
menjadi korban perang.
Banyaknya korban perang pada penduduk Sasak
menyebabkan munculnya kegelisahan dan kebencian diantara penduduk Sasak. Lantas
mulai muncul pertempuran-pertempuran di pulau Lombok antara penduduk Sasak
dengan pasukan-pasukan Bali Selaparang. Sejak inilah muncul nama Praja.
Orang-orang
Muslim asli Lombok, yang disebut Sasak, menurut laporan sebelumnya sudah ada
ketidakpuasan besar dengan penguasa Hindu mereka sebagai akibat dari rezim
pemerintah yang keras (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1892). Disebutkan bahwa, terutama dalam beberapa
tahun terakhir atas dorongan putra tertua pangeran, Anak Agong Made menjadi
semakin terfermentasi dan ketika pelepasan kontingen prajurit baru
diperintahkan, ini sudah cukup untuk memberontak di lanskap Praja. Namun Anak
Agong Made bukannya mencoba bertindak dalam semangat berdamai dengan memeriksa
dan menanggapi keluhan orang-orang Sasak, tetapi aksi terburu-buru Anak Agong
Made, yang mengancam dengan menghancurkan segala sesuatu dengan api dan pedang,
untuk dapat menundukkan pemberontakan, menyebabkan gerakan gerakan perlawanan menyebar
ke seluruh lanskap Sasak (seluruh Lombok). Terlepas dari semua upayanya yang
mendapat dukungan kuat yang diberikan kepadanya oleh para pangeran (kerajaan) Karang
Asem, Anak Agong Made malah tidak berhasil mendapatkan kembali kendali atas
wilayahnya, yang sebelumnya mencakup sebagian besar pulau Lombok. Menurut
laporan dari pertengahan Mei kedua belah pihak masih saling berseberangan (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1892).
Disebutkan pemimpin-pemimpin perlawanan di pihak Sasak adalah Goeroe Bangkol di
lanskap Praja, Mamy Norsasay di lanskap Sakra dan Raden Pringga di lanskap
Pringga Raja.
Pemberontakan
Sasak telah memicu emosi pangeran Bali Selaparang hingga ke ubun-ubun. Pangeran
ingin menghabisi penduduk Sasak yang memberontak. Sementara itu pasukan Sasak
yang berhasil ditangkap sebanyak 300 orang di internir di pulau Trawangan tanpa
diberi makan. Residen Bali en Lombok yang berkedudukan Boeleleng yang mendapat
laporan menyurati pangeran Bali Selaparang namun tidak ditanggapi. Untuk
mempercepat penghancuran penduduk Sasak yang berseberangan, pangeran Bali
Selaparang telah meminta bala bantuan dari kerajaan Karangasem dan mengirm sjahbadanr Ampenan untuk membeli
kapal perang ke Singapoera. Namun misi
ini ditolak otoritas Inggris di Singapoera karena terikat perjanjian dengan
Pemerintah Hindia Belanda. Misi ini sepulangnya berhasil membeli dua kapal di
Singapoera dengan diberi nama Sri Mataram dan Sri Tjakranegara yang di dalamnya
dikendalikan oleh orang-orang Eropa. Melihat perkembangan situasi dan kondisi
yang ada, Pemerintah Hindia Belanda telah melanggar beberapa perjanjian damai
antara Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan Bali Selaparang kontrak politik tanggal 7 Juni
1843. Sehubungan dengan perjanjian-perjanjian damai, Pemerintah Hindia Belanda
(melalui Residen Bali en Lombok) untuk menghentikan perang dengan Sasak dan
mencaro solusi damai dan juga Pemerintah Hindia Belanda mendesak penghentian
permusuhan antara kerajaan Karang Asem dan kerajaan Kloengkoeng yakni
permintaan agar mengembalikan kepada pangeran Kloengkoeng dari wilayah Gianjar
yang telah dirampas Karangasem sebagai solusi perdamaian di pulau Bali. Selain perang
terhadap Sasak tidak dikomunikasi oleh pangeran Bali Selaparang (sesuai
perjanian yang ada) Pemerintah Hindia Belanda juga keberatan dengan upaya
pangeran Bali Selaparang untuk mengangkut pasukan dari Karangasem ke Lombok
dengan menggunakan kapal-kapal Inggris Hal ini sama sekali tidak diizinkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda karena ini menyangkut transportasi kebutuhan perang
tanpa persetujuan sebagaimana dilarang dalam harus sesuai dengan larangan dalam
Staatsblad 1876 No. 302, untuk menghindari munculnya bentrokan antara kapal-kapal
sesama Eropa di lautan. Sebelumnya juga dipergoki kapal bongkar di Ampenan
membawa senjata dan perlengakapan perang dari Singapoera, awalnya Bali
Selaparang melakukan protes namun penyitaan ini tetap tidak digubris (karena
dianggap pelarangan perjanjian impor barang kebutuhan perang).
Pemerintah
Hindia Belanda mulai curiga, pangeran Bali Selaparang telah menutupi dengan
rapi tentang perang dengan Sasak di pedalaman. Untuk mengetahui sesuatu tentang hal ini, Residen
melakukan perjalanan di sepanjang Pantai Timur Lombok dan kemudian disusul oleh
inspektur. Dalam kunjungan ini para pemimpin Sasak yang disampaikan dalam surat
menyatakan keinginan mereka agar Pemerintah Hindia Belanda melakukan intervensi.
Hasil kunjungan ini kemudian ditindaklanjuti inspektur untuk menemui pangeran
Selaparang pada bulan Februari 1892. Lalu pada bulan Mei disepakati perundingan
di Ampenan, tetapi pangeran Bali Selaparang tidak hadir. Perundingan ini dua
agenda yakni konfirmasi terhadap pelanggaran perjanjian dan perturan
perundangan yang diakui Bali Selaparang dan agenda mencari solusi perdamaian
antara Bali Selaparang dengan penduduk Sasak. Semua jawaban dari Bali
Selaparang pada tanggal 7 Juni, Residen menulis kepada raja bahwa ia tidak
dapat puas dengan cara dimana pertanyaannya dijawab, dan bersikeras bahwa
klarifikasi tersebut diberikan dalam waktu tiga hari jika pemerintah dapat
menerimanya. Pangeran Bali Selaparang mulai tidak bisa mengendalikan diri,
pintu belakang belum aman kita di pintu depan membuat masalah baru. Pemerintah
Hindia Belanda berharap ada kedamaian antara Bali Selaparang dengan Sasak,
sebaliknya pangeran Bali Selaparang mengabaikan Pemerntah Hindia Belanda dan
penduduk Sasakan. Klarifikasi tidak pernah muncul lalu pada tanggal 12 Juni
Residen Bali en Lombok akan menerapkan langkah-langkah pemaksaan lebih lanjut.
Langkah pertama adalah menghalangi kapal Sri Tjakranegara untuk mengangkut
pasukan Karangasem ke Lombok. Residen kemudian memgirim ultimatum yang harus
dijawab dalam dua hari. Namun jawaban baru diterima tanggal 18 Juni yang isinya
tidak memuaskan. Pemerintah Hindia Belanda sekarang berpikir terlalu lelah
untuk menunggu dan melihat apakah penerapan tindakan pemaksaan yang
terus-menerus akan memengaruhi pengaruh yang diinginkan pada Sasak (Lomboksche).
Inilah awal terjadinya Perang Lombok (seperti dapat dilihat nanti berakhir pada
bulan November 1895). Tampaknya Bali Selaparang lebih memilih mati dan hancur
sekalian melawan gajah (Belanda) daripada hanya sekadar mendengar keluhan
penduduk Sasak agar tercapai keadilan dan kedamaian di pulau Lombok.
Lanskap Praja dimana penduduknya telah disatukan
oleh Goeroe Bongkol untuk berjuang melawan rezim Bali Selaparang telah membuka
sejarah Praya untuk kali pertama. Sejak ini nama Praja mulai dikenal, suatu
nama yang boleh jadi tersembunyi sejak lama di tengah pulau Lombok.
Bahkan
pada saat kunjungan Heinrich Zollinger ke pedalaan pulau Lombok tahun 1847 nama
Praja tidak dikenal. Baru pada tahun 1892 (awal Perang Lombok) diketahui
keberadan Praja. Para pengeran Bali Selaparang menutup diri terhadap kehadiran
orang Eropa-Belanda di pedalaman Lombok, lantas apakah kerajaan Bali Selaparang
selama ini telah menutupi apa yang yang terjadi di (lanskap) Praja? Bahkan Heinrich Zollinger sendiri tidak mengetahuinya? Pemberontakan Sasak di Praja dapat dijadikan
sebagai titik tolak dalam analisis retrospektif tentang sejarah Praja. Sudah
barang tentu nama Paraja bukan nama baru, tetapi boleh jadi nama tempat Praja
sudah eksis sejak beberapa dekade atau sejak beberapa abad yang lampau.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Praja
Heinrich Zollinger (1847) tidak berhasil
mengidentifikasi nama (kota) Praja. Lalu bagaimana dengan identifikasi Dr CJ
Neeb dan Luitenant WE Asbeek Brusse dalam buku mereka yang terbit pada tahun
1897? Mereka berdua ini ikut
berpartisipasi dalam Perang Lombok (1892-1897).
Sebelum Dr CJ Neeb dan Luitenant WE
Asbeek Brusse menerbitkan buku mereka, situasi dan kondisi di pulau Lombok
mulai digali dimana terdapat kota Praja yang dipublikasikan. Beberapa publikasi
antara lain (1) Vragen van den dag; Populair tijdschrift op het gebied van
staathuishoudkunde en staatsleven, natuurwetenschappen, uitvindingen en
ontwikkelingen, aardrijkskunde, geschiedenis en volkenkunde, kolonien, handel
en nijverheid, 1894; (2) De vrije kerk,1894; dan (3) Tijdschrift voor
Neerland's Indie, berbagai edisi 1894 dan berbagai edisi 1895; (4) Het Oosten;
wekelijksch orgaan der Weesinrichting te Neerbosch, 1894; (5) Militair
weekblad, gewijd aan de belangen van sta..m berbagai edisi 1895 dan 1896; (6) De
militaire gids, 1896; dan (7) Verslag over de burgerlijke openbare werken in...n
1896.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar