Senin, 01 Juni 2020

Sejarah Yogyakarta (39): M Karim Loebis, Pengawal Pribadi Sultan Jogjakarta, 1949; Detik-Detik Belanda Akui Kedaulatan RI


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Kapten (infantri) M Karim Loebis adalah orang yang paling dipercaya Soeltan Djokjakarta pada saat Indonesia genting akhir tahun 1949. Soeltan Djokjakarta Hamengkoeboewono IX dan Soekarno di Jogjakarta, sementara Mohamad Hatta dan Abdoel Hakim Harahap di Belanda (KMB). Soeltan Djokjakarta sebagai pemangku kepentingan di wilayah ibu kota RI di Jogjakarta mengirim utusan pribadi untuk menemui Mohamad Hatta dan delegasi lainnya di Belanda. Utusan itu, tidak yang lain, tetapi orang yang paling dipercainya, ajudannya sendiri: Kapten M Karim Loebis.

Situasi genting di Jogjakarta dimulai ketika Perjanjian Roem-Royen ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Hal penting terkait perjanjian itu adalah Jogjakarta yang dikuasai (militer) Belanda dikembalikan sebagai ibu kota Republik Indonesia untuk persiapan dipulangkannya para pemimpin Indonesia dari pengasingan (seperti Soekarno dan Mohamad Hatta). Menjelang evakuasi militer Belanda dari Jogjakarta, Hamengkoeboewono IX mulai khawatir dan di Djokjakarta akan terjadi kerusuhan (chaos). Dari sekian banyak komandan TNI di sekitar Jogjakarta hanya Kolonel TB Simatoepang yang dicari Soeltan. Pencarian itu dilakukan lewat radio Jogja dan mengirim banyak utusan ke berbagai basis pertempuran. Akhirnya TB Simatoepang ditemukan di Front Banaran (Semarang) sedang memimpin gerilya bersama Kolonel Zoelkifli Loebis. Kedatangan Kolonel TB Simatoepang dan Kelonel Zoelkifli Loebis di Jogjakarta disambut Soeltan Hamengkoeboewono IX dengan perasaan sukacita dan lega. Hal kedua adalah persiapan dan pelaksanaan konferensi di Belanda (Konferensi Meja Bundar di Den Haag). Konferensi ini sangat enenentukan nasib Indonesia dan juga posisi Jogjakarta. Delegasi Indonesia ke KMB di Den Haag dipimpin Mohamad Hatta dan sebagai penasehat ekonomi Abdoel Hakim Harahap (Residen Tapanoeli). Bersamaan dengan KMB ini utusan dikirim ke sidang PBB (di Amerika Serikat) yang dipimpin oleh Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D [(mantan Menteri Pendidikan RI kedua, pendiri Universitas (negeri) Gadjah Mada. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, kelahiran Padang Sidempoean adalah guru (onderwijzer) Indonesia pertama bergelar adat akdemik doktor (Ph.D, 1933)].

Lantas mengapa urusan yang penting dan genting, saat berlangsungnya KMB, Soeltan Djogjakarta Hamengkoeboewono IX hanya mengirim utusan seorang militer setingkat Kapten? Tentu saja Hamengkoeboewono IX tahu apa yang dipikirkan dan siapa yang dipercayai. Para sejarawan boleh jadi membaca fakta dan data sejarah ini sepele, tetapi tidak bagi Hamengkoeboewono IX. Abdoel Karim Loebis tampaknya satu-satunya yang bisa dipercaya di Jokjakarta. Siapa sesungguhnya M Karim Loebis?  Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Kapten M Karim Loebis

Abdoel Karim Loebis naik kelas dari kelas satu ke kelas dua sekolah menengah perdagangan (Openbare Middelbare Handelsschool) di Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-05-1937). Satu kelas sebanyak 96 siswa. Selain Abdoel Karim Loebis antara lain Djo Goen Siang, MM Maspaitella, R. Gondosoebroto, Djohor Hasiboean, Sjarbini, EM Brothers, HE Intveld, Tan Tiong Djin, E de Perez Bik, P van der Beuken, Amir Hakim Nasoetion, OP Siregar dan AR Hoetagaloeng. Abdoel Karim Loebis adalah saudara dari M Karim Loebis.

Sekolah menengah perdagangan (Openbare Middelbare Handelsschool) awalnya adalah kursus pendidikan perdagangan yang didirikan pada tahun 1927. Salah satu siswa pertama yang diterima pada sekolah perdagangan ini tahun 1927 adalah Abdoel Hakim Harahap (lulusan sekolah Prins Hendrik School Batavia tahun 1927). Kakak kelas Abdoel Hakim Harahap di sekolah elit ini adalah Mohamad Hatta dan Ida Loemongga Nasoetion tahun 1922. Mohamad Hatta kelak menjadi Wakil Presiden dan Ida Loemongga Nasoetion adalah perempuan Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1931. Sedangkan adik kelas Abdoel Hakim Harahap diantaranya Soemitro Djojohadikoesoemo lulus 1938 (ayah Prabowo S). Abdoel Hakim Harahap kelak menjadi Residen Tapanoeli, penasehat delegasi ke KMB 1949, Wakil Perdana Menteri di Jogjakarta 1950 dan Gubernur Sumatra Utara 1951.

Latar belakang pendidikan M Karim Loebis tidak banyak diketahui, Namun uniknya memiliki kemampuan berbahasa Belanda dan bahasa Inggris dengan baik. Nama M Karim Loebis mulai terekspos sejak menjadi ajudan Soeltan Jogjakarta. Disebutkan M Karim Loebis adalah inftantri dengan pangkat Kapten. Nama M Karim Loebis diduga kuat terkait dengan aktivitas Kolonel Zoelkifli Loebis.

Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Menteri Penerangan (yang merangkap Menteri Keamanan Rakyat) meminta Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk merekrut sejumlah sarjana pintar dan masih muda untuk dijadikan perwira. Pada tanggal 1 Oktober 1945 mulai dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TRI). Langkah pertama yang dilakukan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo adalah merekrut 17 pemuda cemerlang di Djogjakarta dengan kualifikasi tertentu, antara lain Dr. Ibnoe Soetowo, Ir. MO Parlindungan, Dr, Willer Hoetagaloeng, Dr. Irsan Radjamin, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Arifin Harahap (semuanya diberi pangkat Overste, Letnan Kolonel). Ir. MO Parlindungan adalah insinyur kimia lulusan Teknik Delft tahun 1942. Dr. Ibnoe Soetowo lulusan sekolah kedokteran Soerabaja, 1940 dan Dr. Irsan Radjamin, lulusan sekolah kedokteran di Djakarta 1943. Kelak, pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1950) Letkol Ibnoe Soetowo diangkat sebagai kepala permiyakan nasional (cikal bakal Pertamina); Letkol AFP Siregar gelar MO Parlindungan sebagai kepala Peroesahaan Sendjata dan Mesiu di Bandoeng (cikal bakal PT Pindad); Letkol Irsan Radjamin, anak Wali Kota Soerabaja pertama Dr. Radjamin Nasoetion diangkat sebagai kepala Departemen Kesehatan Divisi-Brawijaya di Soerabaja. Dr, Willer Hoetagaloeng selama perang kemerdekaan menjadi dokter pribadi Jenderal Soedirman. Hal serupa ini juga yang dilakukan oleh Kolonel Zoelkifli Loebis dalam merekrut kandidat untuk menjadi agen rahasia Indonesia.

Pada saat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo mulai bekerja, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap Menteri Penerangan (yang merangkap Menteri Keamanan Rakyat) meminta Zoelkifli Loebis yang sudah lama tinggal di Jogjakarta (Alumni AMS Jogjakarta) dan sudah terlatih di era Pendudukan Militer Jepang untuk membentuk badan spionase (cikal bakal Badan Intelijen RI). Zoelkifli Loebis memiliki jaringan yang luas di Singapura dan Semenanjung Malaya.

Besar dugaan Zoelkifli Loebis menemukan nama M Karim Loebis di Semenandjoeng Malaja. Sebagaimana diketahui orang Mandailing en Angkola sudah hampir seabad bermukim di Semenanjung (secara geografis berdekatan). Orang Mandailing en Angkola di Tapanoeli, Sumatra dengan orang Mandailing en Angkola di Semenandjoeng masih terhubung bahkan hingga ini hari. Untuk sekadar diketahui pendiri Kota Kualalumpur adalah orang Mandailing en Angkola yang dipimpin oleh Soetan Poeasa marga Lubis (kakek buyut penyanyi terkenal Malaysia Sheila Madjid). Oleh karena M Karim Loebis merantau pertama kali ke Semenandjoeng (Inggris) maka riwayat pendidikannya tidak terdeteksi di Indonesia (pada era Belanda).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Soeltan Djogjakarta Hamengkoeboewono IX dan Pengakuan Kedaulatan Indonesia

Akhirnya Konferensi Medja Beondar (KMB) di Belanda berakhir dengan sejumlah kesepakatan yang tertuang dalam akta (placaat) perjanjian. Intinya Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan (Republik) Indonesia (Serikat). Penyerahan pengakuan ini diselenggarakan di berbagai tempat, di Belanda, di Djakarta dan di berbagai tempat pusat pertempuran dimana genjatan senjata dilakukan (dilakukan sebelum puncaknya pada tanggal 27 Desember 1949). Di Belanda pada tanggal 27 plakat diserahkan Ratoe Juliana kepada Mohamad Hatta di Amsterdam yang turut dihadiri Abdoel Hakim Harahap (lihat Amigoe di Curacao, 27-12-1949). Di Djokjakarta tidak ada penyelenggaraan serah terima pengakuan. Namun yang mewakili Djokjakarta dalam penyerahan yang diselenggarakan di Djakarta diwakili oleh Soeltan Hamengkoeboewono yang didampingi Kolonel TB Simatoepang, Kolonel Abdoel Haris Nasoetion dan lainnya. Presiden Soekarno tetap berada di Djokjakarta (wait en see).

Di West Java dipusatkan di area pertempuran di Soekaboemi. Dalam penyerahan yang diselenggarakan di lapangan Soekaboemi ini Komandan militer Belanda menyerahkan pengakuan kedaulatan kepada Kolonel Abdoel Haris Nasoetion. Di pusat pertempuran lainnya di Sumatra Tengah dipusatkan di Bukittinggi yang diterima oleh Eny Karim dan Basjrah Loebis. Di Sumatra Timur tidak ada serah terima karena pejuang-pejuang Republik telah mengungsi ke Tapanoeli. Penyerahan kedaulatan dipusatkan di Padang Sidempoean yang dipimpin oleh Wakil Residen Tapanoeli Binanga Siregar (Residen Tapanoeli Abdoel Hakim Harahap di Belanda).

Lantas dimana Kolonel Zoelkifli Loebis? Kolonel Zoelkifli Loebis tetap berada di Jokjakarta bersama Presiden Soekarno. Baru keesokan harinya Presiden Soekarno yang didampingi Kolonel Zoelkifli Loebis berangkat ke Djakarta. Soekarno dan Kolonel Zoelkifli Loebis disambut oleh Hamengkoeboewono IX dan Kolonel TB Simatoepang. Untuk ‘mengisi kekosongan’ di Djokjakarta Kolonel Abdoel Haris Nasoetion berangkat ke Djokjakarta. Tentu saja Hamengkoeboewono IX lega ketika Kolonel Abdoel Haris Nasoetion berangkat ke Djokjakarta. Pada tanggal 3 Januari 1950 rombongan Mohamad Hatta tiba di Djakarta yang disambut di lapangan terbang Kemajoran (oleh Soekarno, Soeltan Djokjakarta dan Kolonel TB Simatoepang).

Muncul pertanyaan, mengapa Kolonel Abdoel Haris Nasoetion yang ke Djokjakarta? Mengapa Hamengkoeboewono IX merasa lega. Hal serupa juga pernah terjadi pada bulan Mei 1949, saat jelang evakuasi militer Belanda dari Djokjakarta, Hamengkoeboewono IX justru mencari Kolonel TB Simatoepang bahkan sampai ke hutan-hutan front pertempuran di Banaran (wilayah Semarang, yang mana di wilayah itu juga berada Kolonel Zoelkifli Loebis). Dalam istilah marketing di wilayah Semarang: ‘beli satu dapat dua’. Kedatangan Kolonel TB Simatoepang (dan Kolonel Zoelkifli Loebis) di Djokjakarta membuat Soeltan Djokja bersuka cita dan lega. Kolonel TB Simatoepang memiliki keahlian di bidang infantri dan Kolonel Zoelkifli Loebis di bidang spionase (intelijen). Catatan: Kolonel TB Simatoepang dan Kolonel Abdoel Haris Nasoetion hanya menguasai bahasa Belanda, sementara Kolonel Zoelkifli Loebis menguasai bahasa Belanda dan juga menguasai bahasa Inggris. Namun dalam bahasa sekarang ketiganya setidaknya memenuhi kualifikasi PBB sebagai komandan militer.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar