*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Saat orang-orang Belanda di Lombok baru menikmati kemakmuran, semua itu tidak lama segera akan berakhir. Perang Pasifik sudah terlihat di horizon, dari arah matahari terbit (Jepang). Panduduk di Lombok hanya melakukan apa yang bisa dilakukan. Para pemimpin lokal wait en see. Seperti umumnya di Hindia Belanda, orang-orang Belanda di Lombok juga mulai was-was. Kegamangan Pemerintah Hindia Belanda terbaca di dalam pemberitaan surat-surat kabar.
Saat orang-orang Belanda di Lombok baru menikmati kemakmuran, semua itu tidak lama segera akan berakhir. Perang Pasifik sudah terlihat di horizon, dari arah matahari terbit (Jepang). Panduduk di Lombok hanya melakukan apa yang bisa dilakukan. Para pemimpin lokal wait en see. Seperti umumnya di Hindia Belanda, orang-orang Belanda di Lombok juga mulai was-was. Kegamangan Pemerintah Hindia Belanda terbaca di dalam pemberitaan surat-surat kabar.
Pergerakan
kebangkitan bangsa di Lombok tidak seintens di Jawa dan Sumatra. Para pemimpin
lokal di Lombok tidak terlalu intens terhubung dengan gerakan di Jawa, namun
banyak yang terus mengikuti perkembangan di Jawa, terutama pegawai-pegawai
pribumi asal Jawa di Lombok seperti guru, petugas kesehatan dan lainnya. Tidak
ada komunikasi antara pejabat-pejabat Belanda dan para pemimpin lokal di
Lombok. Semuanya berlangsung seperti biasa antara hubungan pejabat dengan
pemimpin lokal dan antara pemimpin lokal dengan penduduk.
Meski (pulau) Lombok secara geografis dekat
dengan (pulau) Jawa, tetapi secara politis (hubungan antar kaum pergerakan)
tidak terlalu intens. Hal ini diduga yang menyebabkan situasi dan kondisi
jelang berakhirnya kolonial Belanda di Lombok terkesan biasa-biasa saja. Hiruk
pikuk berada di Jawa. Situasi dan kondisi di Lombok menjelang berakhirnya kolonial
Belanda di Lombok kurang terinformasikan, lebih-lebih saat pendudukan militer
Jepang. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional,
mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Perang Pasifik dan Situasi di Lombok
Pada tahun 1941 hawa panas perang Pasifik di
Lombok sudah terasa. Panitia dana perang bersatu (vereenigde oorlogsfondsen)
sudah terbentuk dan telah menyelenggarakan penggalangan dana untuk kebutuhan
perang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-04-1941). Di gedung societeit Mataram
di Ampenen diadakan pertunjukan yang dihadiri siswa-siswa dari sekolah ELS dan
sekolah HIS. Asisten Residen mengucapkan terimakasih atas kontribusinya.
Sementara itu di Mataram sehari sebelumnya telah dilakukan hal serupa di gedung
asosiasi Merdi Bekso yang dalam acara berbahasa Melayu diterjemahkan oleh Koestalam
Wardi. Hasil pengumpulan dana di Mataram ini sebesar f450.
Bataviaasch
nieuwsblad, 12-05-1941: ‘Ampenan. Sabtu pagi peringatan 10 Mei berlangsung di
Ampenan. Semua kelompok orang berkumpul di halaman rumah Asisten Residen pada
jam setengah tujuh. Baaij, agen dari NIHB. berbicara atas nama penduduk Eropa,
lalu setelah itu Poenggawa Tjakranegara atas nama semua kelompok penduduk
pribumi. Asisten Residen menjawab dengan kata-kata segar. Semua sangat terkesan
ketika tricolor Belanda dinaikkan dan orkestra membawakan lagu Wilhelmus. Kepala
pemerintah daerah Mataram kemudian maju ke depan dan memberikan presentasi atas
nama semua kelompok pribumi sebesae f2.000 untuk kontribusi dana perang,
setelah itu Asisten Residen berterima kasih dan semua berbaris di halaman
rumahnya tanpa alat musik. Beberapa ribu pembawa tombak hadir, sementara
prosesi di barisan belakang terdiri dari sekelompok para pemimpin pribumi
dengan menunggang kuda. Juga hadir dari Lombok Tengah dan Lombok Timur.
Di satu sisi Pemerintah Hindia Belanda jelas
tidak siap untuk perang dan tidak akan cukup alokasi anggaran pemerintah untuk menghadapi
situasi dan kondisi jika terjadi perang. Di sisi lain, bentuk pengumpulan dana
ini juga menjadi sosialisasi dan instrumen pemerintah untuk mengikat semua
warga untuk saling bersatu dalam menghadapi perang apakah orang Eropa-Belanda
atau orang pribumi. Penyelenggaran dana perang ini juga berlangsung di berbagai
kota di Hindia Belanda. Pengumpulan dana perang ini mengindikasikan bahwa
perang Pasifik hanya tinggal menunggu. Ibarat sebelum hujan menyediakan payung.
Berita-berita dan diskusi-diskusi tentang adanya niat Jepang untuk melakukan
invasi ke Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda sudah muncul beberapa waktu
sebelumnya.
Orang-orang
Indonesia pada tahun 1941 telah membentuk semacam parlemen yang diberi nama Madjelis
Rakjat Indonesia. Kepemimpinan Madjelis Rakjat Indonesia yang disingkat MRI ini
disebut Dewan Pimpinan yang didirikan pada tanggal 13 September 1941 di
Jogjakarta. Madjelis Rakjat Indonesia, dasarnya demokratis, saat itu dianggap
sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia. Madjelis Rakjat Indonesia
adalah ujung perjalanan dari proses persatuan dan kesatuan bangsa dalam
menghadapi penjajah Belanda.
Dalam merasakan hawa panas perang Pasifik, baik
Pemerintah Hindia Belanda dan para pemimpin Indonesia sama-sama
mengantisipasinya. Pemerintah Hindia Belanda sengan penggalangan dana,
sedangkan para pemimpin Indonesia menggalang persatuan dan kesatuan dengan
membentuk semacam parlemen. Sementara itu di Lombok persiapan perang terus
dikonsolidasikan. Kegiatan pemerintah yang biasanya di Mataram agak bergeser ke
Ampenan (boleh jadi dimaksudkan untuk memudahkan evakuasi bagi orang-orang
Eropa jika terjadi pendudukan militer Jepang).
Bataviaasch
nieuwsblad, 03-09-1941: ‘Ampenan. Pada tanggal 31 Agustus, bendera ada dimana-mana
di Ampenan dan layanan di gereja Protestan dan Katolik berlangsung pada pagi
hari, dihadiri oleh semua pejabat pemerintah dan pejabat lainnya. Pada tanggal
1 September, semua sekolah memberikan aubade anak-anak, dan setelah itu audiensi
publik berlangsung di rumah Asisten Residen. Poenggawa Tjakranegara
menyampaikan pidato dimana ia menyampaikan rasa hormatnya. Setelah itu, Asisten
Residen berbicara kepada semua yang hadir dengan pidato yang tepat dan tegas
dan mengumumkan penghargaan kepada sesepuh Pemangkoe Bali di Lombok Barat,
setelah itu ia menyematkannya. Di malam hari, parade lentera anak-anak sekolah
berlangsung, diiringi oleh orkestra seruling. Setelah ini, Pasar Malem di
Mataram dilanjutkan yang telah dimulai pada 31 Agustus selama 10 hari, yang
hasilnya akan menjadi 100 persen untuk Spitfirefonds’.
Tandjong
Pinang, 22-12-194l.
Dear
all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio, Tarempa dibom. Kami masih
hidup dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Anda tidak
menyadari apa yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam hari kami tinggal di
dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang
harus kami makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan terluka tidak terhitung.
Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang bisa kami amankan, telah
kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa yang telah kami menabung
berjuang dalam waktu empat tahun, dalam waktu setengah jam hilang. Tapi aku
tidak berduka, ketika kami menyadari masih hidup.
Hari
Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat aku mengepak koper dengan beberapa
pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk mengambil banyak. Perjalanan menyusuri
harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya diberi waktu lima menit, takut Jepang
datang kembali. Mereka datang setiap hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit
controller, karena pesawat Jepang bisa kembali setiap saat. Aku tidak melihat,
tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat bahwa tidak ada yang tersisa di
Tarempa.
Kami
mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami merangkak. Semuanya harus
dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan
sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak mabuk laut….. Di Tanjong
Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi saya punya anak kecil. Dia
tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram Kamis 14 Desember supaya
menuju Tapanoeli...Saya memiliki Kakek dan bibi di sana…Sejauh ini, saya
berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini mengerikan di sini. Semoga
saya bisa melihat Anda lagi segera.
Penyerangan oleh Jepang dimulai dengan pengeboman
di Filipina dan Malaya/Singapura. Pemboman oleh Jepang di Tarempa merupakan
bagian dari pengeboman yang dilakukan di wilayah Singapura. Tarempa berada di
kepulauan Natuna, Riau yang beribukota Tandjoeng Pinang, pulau Bintan (dekat
dari Singapura).
Mengetahui
bahwa pesawat-pesawat militer Jepang telah beraksi di Filipina dan Singapura,
Pemerintah Hindia Belanda segera mengambil kebijakan dengan mengangkat HJ van
Mook sebagai Lultenant Gubernur-Jenderal (lihat Soerabaijasch handelsblad, 08-01-1942).
Pengangkatan ini dimaksudkan sebagai wakil dari Gubernur Jenderal AWL Tjarda
van Starkenborgh Stachouwer.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Lombok dan Pendudukan Militer Jepang
Sebagaimana
surat dokter dari Tarempa yang ditulis di Tandjong Pinang, 22-12-194l
dan dilansir surat kabar Belanda, De Indische Courant tanggal 08-01-1942,
akhirnya militer Jepang benar-benar telah memasuki wilayah Hindia Belenda di
wilayah udara Tarakan [Kalimantan Timur] pada tanggal 11 Januari 1942.
Pendudukan
Tarakan sebagai yang pertama karena alasan geopolitis (pintu gerbang memasuki
Hindia Belanda dari arah Jepang yang mana Filipina dan Singapoera sudah
dikuasai) dan strategi perang dimana terdapat sumber minyak. Lalu kemudian
berturut-turut pada tanggal 24 Januari 1942 diduduki Balikpapan, selanjutnya menyusul Pontianak
pada 29 Januari 1942, lalu Samarinda pada 3 Februari 1942 serta Banjarmasin
pada 10 Februari 1942. Ini berarti pulau Kalimantan telah dikunci militer
Jepang oleh tiga matra darat, udara dan laut. Para wanita Belanda di kamp
Singapoera
Strategi yang sama juga diterapkan di Sumatra
yakni dengan menduduki yang pertama kilang minyak di Palembang pada tanggal 14
Februari 1942. Pasukan darat yang telah diperkuat di Kalimantan dan Sumatra,
lalu pasukan laut militer Jepang merangsek ke Jawa dan Sulawesi. Pasukan darat
militer Jepang pada tanggal 1 Maret 1942 mendarat di Teluk Banten, Eretan di
Jawa Barat dan Kragan di Jawa Tengah. Ini berarti ibu kota Hindia Belanda di
Batavia dan pusat angkatan laut Hindia Belanda di Soeabaja telah dipisahkan
yang juga pusat angkatan laut di Soerabaja dalam posisi terkepung setelah
angkatan laut militer Jepang menuju Makassar. Dalam posisi terjepit inilah
kemudian Batavia sangat lemah. Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia
Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada pemimpin pendudukan militer Jepang di
Kalijati, Subang, Jawa Barat. Pemerintah Hindia Belanda berakhir sudah.
Apa
yang telah terjadi tentu saja sudah diketahui oleh orang-orang Eropa-Belanda di
Lombok, tetapi hanya segelintir saja penduduk yang mengetahuinya. Pulau Lombok
berada di tiga titik kekuatan militer Jepang (Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan
dan Jawa Timur). Pusat militer Jepang yang berada di Saigon dan Singapoera
membagi wilayah Indonesia (Hindia Belanda) menjadi tiga bagian: barat dengan
pusat di Fort de Kock-Bukittinggi, tengah di Batavia-Djakarta dan timur di
Makassar. Pemerintahan Militer Jepang di wilayah Jawa dibagi menjadi beberapa
wilayah yakni barat berpusat di Bandung, tengah berpusat di Semarang, timur di
Surabaya plus Jogjakarta dan Soerakarta.
Seperti halnya di berbagai kota dan tempat di
Indonesia, para militer dan sipil Jepang semakin banyak. Secara keseluruhan
orang Jepang di pulau Lombok membengkak menjadi 2.000 orang di akhir masa
pendudukan (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 01-04-1946). Pemerintahan
pendudukan militer Jepang di Lombok dipimpin oleh Kolonel Takujoro. Selama
pendudukan militer Jepang, mereka konsentrasi di Ampenan dan Selong plus di
Mataram dan Praja.
Pada
masa pendudukan Jepang ini tidak terinformasikan situasi dan kondisi di
berbagai kota dan tempat di Indonesia, termasuk kota-kota di Lombok. Yang
jelas, semua kendaraan telah diambil alih oleh militer Jepang,
perusahan-perusahaan yang produktif telah dikuasai Jepang termasuk di bidang
pertanian. Ternak penduduk banyak yang diambil dan perikanan termasuk
tambak-tambak penduduk dikuras oleh militer Jepang. Juga soal irigasi tidak
mencukupi di hilir pada lahan-lahan penduduk karena dibelokkan semua ke usaha
pertanian di bawah kekuasaan Jepang. Penduduk Sasak merana, demikian juga orang
Bali. Para pemimpin tidak terlalu dilibatkan dalam pemerintahan. Penduduk
menjadi kekuarangan pangan, banyak yang dijadikan sebagai pekerja paksa dan
bahkan penduduk kekurangan pakaian. Khususnya penduduk Sasak, lebih suram pada
rezim pemerintah pendudukan militer Jepang jika dibandingkan pada era rezim
Pemerintah Hindia Belanda atau pada era rezim pemerintahan Kerajaan Bali
Selaparang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar