*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Pendudukan militer Jepang di Indonesia akhirnya
harus berakhir. Penduduk Sasak khususnya di Lombok sangat menderita selama
kehadiran Jepang. Saudara tua tidak selalu menjadi lebih baik dari Belanda.
Saudara tua dalam hal tertentu bahkan bisa lebih kejam. Sebaliknya, bagi
penduduk Sasak di Lombok, Belanda telah mengangkat harga diri mereka dengan
membebaskan mereka dari rezim Bali (sejak 1895). Semua yang telah kembali
diraih di era rezim Pemerintah Hindia Belanda hilang seketika saat pendudukan
militer Jepang (sejak 1942).
Pada tanggal 17 Agustus 1945, pemimpin Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti seluas-luasnya, suatu kemerdekaan
yang tidak sepenuhnya diperolah pada era Hindia Belanda dan era pendudukan
militer Jepang. Proklamasi kemerdekaan juga termasuk dalam pembebasan rakyat
Indonesia dari praktek kotor dari raja-raja feodal yang dzalim. Namun
proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut tidak bergaung keras di Lombok.
Selama era rezim Pemerintah Hindia Belanda dan pendudukan militer Jepang, penduduk
Sasak sendiri belum sepenuhnya melupakan rezim sebelumnya yakni kerajaan Bali
Selaparang. Bekas-bekasnya masih nyata yang membuat hidup berdampingan antara orang
Bali dan Sasak di Lombok belum sepenuhnya hilang. Penduduk Sasak dan para
pemimpinnya larut dengan masalah internal sendiri dan masih terfokus pada
perjuangan untuk hidup. Energi belum terbagi untuk hal-hal yang bersifat
nasional.
Gaung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 tidak terlalu terasa dan dirasakan di Lombok. Meski Lombok cukup
dekat secara geografis dengan pusat-pusat pergerakan Indonesia di pulau Jawa,
tetapi secara sosiologis politik terisolasi. Semua itu bersumber dari rangkaian
pengalaman masa lalu yang tidak pernah putus: rezim Bali Selaparang, rezim
Pemerintah Hindia Belanda dan rezim pemerintah pendudukan militer Jepang.
Penduduk Sasak di Lombok seakan tidak pernah lepas dari pertarungan hidup untuk
sekadar survive. Oleh karena itulah, gaung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 tidak begitu menggema di (pulau) Lombok. Oleh karena itu pula
situasi dan kondisi di Lombok pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia kurang
terinformasikan. Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan
sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung
(pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis)
dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: Evakuasi Jepang dan Kembalinya Belanda di
Lombok
Selama pendudukan militer Jepang di Lombok, tidak
ada orang Eropa-Belanda. Semua orang Eropa-Belanda telah diinternir ke tempat
lain. Sebagai orang asing, hanya orang sipil dan militer Jepang yang ada di
Lombok. Jumlah orang Jepang di Lombok sekitar 2.000 orang yang dipimpin oleh Kolonel
Takujoro. Semua orang Jepang di Lombok menjadi diam seribu bahasa sesaat Kaisar
Jepang membacakan pidatonya yang takluk kepada Sekutu. Pidato ini disiarkan
melalui radio pada tanggal 14 Agustus 1945, sehingga militer Jepang di Lombok
juga mengetahuinya.
‘Pada tanggal 14 Agustus 1945 pada pukul sebelas
tiba-tiba listrik padam seluruh Java sekitar tiga jam...ada orang-orang yang
berpikir untuk sabotagc.. tidak ada pemberitahuan pemadaman sebelumnya..pada
pukul 12 kaisar akan mengumumkan melalui radio penghentian perang di seluruh
kuasa militer Jepang karena kalah dari sekutu...Pimpinan tentara Jepang di
Jawa, yang telah menerima pesan tanggal 13 malam bahwa pada 14 Agustus bahwa
Jepang akan menyerah ...banyak orang tidak percaya bahwa Jepang telah menyerah,
bahkan para pelaut yang tengah berada di kapal mereka di Priok yang dari situ
berita beredar ke darat..bahkan dua Boeng (Soekarno dan Mohammad Hatta) juga
tidak percaya ketika dikonfirmasi padahal mereka baru 10 haru sebelumnya
bertemu Jenderal Terauchi di Saigon...Tetapi sekelompok pejuang revolusioner
yang sudah lama bekerja di bawah tanah, termasuk Soekarni, Adam Malik, BM Diah,
Wikana D. Asmoro dan Mr. Iwa Kusoemasoemantri dan Mr. Soebardjo percaya pada
kekalahan Jepang dan mulai sibuk membuat rencana. Para siswa diantara mereka
dengan bersemangat mendorong maju dengan pemimpinnya Chairoel Saleh, seorang
mahasiswa hukum. Kelompok revolusioner mengadakan pertemuan rahasia pada malam
tanggal 15 Agustus 1945 di Wilhelminainstituut, Pengangsan Timur 15.
Kepemimpinan ditugaskan kepada Chairoel
Salem. Diputuskan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak harus bergantung pada orang
lain atau Kerajaan [Jepang]. Untuk menyatakan bahwa rakyat Indonesia siap untuk
merdeka dan mempertimbangkan momen ini untuk melakukannya, satu-satunya jalan
keluar adalah memproklamasikan kemerdekaan dengan cara proklamasi oleh rakyat
Indonesia sendiri, tanpa campur tangan asing. Dua utusan Wilkana dan Darwis
diperintahkan untuk mengunjungi Soekarno dan Mohammad Hatta dan menanyakan
apakah mereka akan memproklamasikan kemerdekaan dan memutuskan semua hubungan
dengan Jepang... Pada pukul sepuluh malam, dua utusan diterima di Pegangsan
Tinur 56. Setelah mereka memberi pesan mereka meminta Sukarno tentang
posisinya. Dia menjawab: ‘Saya tidak percaya kekalahan Jepang, sementara pihak
resmi [Jepang] belum memberitahu saya. Sejauh menyangkut kemerdekaan, Indonesia
pasti akan merdeka karena masalah ini sekarang hanya menunggu waktu tepat
karena persiapan yang hampir selesai’. Singkatnya pertemuan lebih lanjut
Soekarno dengan yang lain diadakan 9malam itu)..Sementara dalam pertemuan
tersebut hanya datang Drs. Moh. Hatta, Mr. Soebardjo dan Dr Boentaran. Hatta
dan Mr Soebardjo sudah mendengar berita
tentang penyerahan Jepang dan ia merumuskan posisinya: ‘saya harus setuju bahwa
kami (Soekarno, Hatta) 'masalah proklamasi kemerdekaan, sebelum kita
lakukan resmi kita harus mendengar
pandangan pemerintah Jepang terlebih dahulu apa yang telah dijanjikan’, Pada
tanggal 15 Agustus pada pukul 12 malam hari suatu pertemuan para konspirator di
alamat jalan Tjikini 71, dimana laporan didengar dari utusan yang menemui
Soekarno, Hatta. Pertemuan itu dibawah
kepemimpinan Chairoel Saleh. Diputuskan bahwa proklamasi dalam hal apapun harus
dilakukan, jika perlu tanpa izin dari Soekarno dan Hatta. Bagaimanapun, kedua
pemimpin ini akan dibawa ke luar kota. Chairoel Saleh, Sukarni, J. Koento, Dr.
Moewardi dan Singih akan mengambil penculikan itu. Hatta dibangunkan pada jam
empat pagi. Terkejut, dia bertanya apa maksudnya. Sukarni mengatakan bahwa ia
[Moh. Hatta] perlu dibawa keluar kota sehubungan dengan situasi tegang. Hatta,
meskipun marah, mengikuti. Dr. Moewardi yang telah diinstruksikan untuk
membangunkan Soekarno, ragu-ragu karena [Soekarno] tidur sangat nyenyak. Dia
[Moewardi] menunggu Chairoel Saleh, yang sebentar kemudian muncul dengan Hatta
di mobilnya. Setelah Soekarno terbangun awalnya juga bertanya mengapa. Chairoel
Saleh dan Soekarni mengatakan telah mengatakan kepadanya hal yang sama kepada
Hatta. Kemudian meninggalkan [Djakarta] pukul setengah dua dengan mobil menuju
Rengas Dengklok, sebelah timur Djakarta sekitar 90 km sebelah barat dari
Krawang. Pada malam tanggal 16 sampai 17 Augustin 1945, warga Djakarta tidur
dengan tenang, Soekarno dan Hatta dibawa kembali ke Jakarta, dimana mereka
ditampung di perumahan Laksamana Maeda di Orange-Nassau Boulevaard. Soekarno
dan Hatta mengusulkan untuk menandatangani proklamasi, hari berikutnya untuk
mengirimkannya kepada panitia persiapan kemerdekaan Indonesia yang dibentuk
oleh Jepang yang anggotanya agar berkumpul di Djakarta (baca: PPKI), Namun
usulan itu ditolak oleh Chairoel Saleh dan Soekarni dengan kata-kata: ‘Kita
tidak akan memiliki tubuh berbau Jepang’. Selanjutnya, Soekarno dan Mohammad
Hatta meminta waktu untuk berunding dengan pejabat tertinggi Jepang. Usulan ini
juga ditolak. Kemudian teks proklamasi diubah sehingga menjadi kurang tajam.
Teks ini diketik oleh Sajoeti dan ditandatangani pada tanggal 17 Agustus 1945
oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di hadapan Chairoel Saleh, Soekarni,
Soebardjo, Iwa Koesoemamantri, Soediro, BM Diah, Sajoeti, [Adam] Malik dan
Semaun Bakrie. Lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya’ (lihat De West: nieuwsblad
uit en voor Suriname, 08-03-1951).
Namun
berita proklamasi ini tidak segera menyebar ke seluruh Indonesia karena
terbatasnya komunikasi. Radio-radio masih dikuasai oleh militer Jepang (dan
tentu saja di jaga). Komandan militer Jepang, Kolonel Takujoro dan semua
bawahannya mati langkah. Apa yang telah terjadi boleh jadi tidak seorang pun
warga di Lombok khususnya penduduk Sasak mengetahuinya. Boleh jadi sebagian
besar penduduk Sasak di Lombok juga tidak mengetahui telah terjadi perlawanan
rakyat Indonesia di Jawa dan Sumatra.
Pada
saat permulaan kemerdekaan Indonesia ini, saat pemerintah yang dipimpin oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta menyusun struktur pemerintahan dan menjalankan
rekonstruksi nasional, tiba-tiba Belanda/NICA menguntit di belakang tentara sekutu/Inggris
yang melakukan proses pembebasan interniran Eropa-Belanda dan pelucutan senjata
dan evakuasi militer Jepang (ke luar Indonesia). Sementara di pihak
sekutu/Inggris yang terkesan memberi angin kepada Belanda/NICA yang dipimpin
van Mook (di pengungsian di Australia), di pihak republiken mulai muncul
perseteruan (kolompok) siapa yang akan memimpin (perang) revolusi. Terjadilah
perang di berbagai kota dan tempat di Jawa dan Sumatra. Para interniran Eropa
dan Batavia dan sekitar segera dilakukan oleh tentara Sekutu-Inggris, dan wilayah
dibelakangnya segera ditempati oleh tentara NICA-Belanda. Sementara tentara
Sekutu terus merangsek ke tempat-tempat dimana orang Eropa-Belanda ditahan
(interniran) dan militer Jepang yang akan dilucuti (wait en see). Di sejumlah
tempat terjadi pertempuran antara Republiken dan tentara Sekutu-Inggris seperti
di Soerabaja yang puncaknya tanggal 11 November 1945. Demikian juga terjadi
kontak senjata antara para Republiken dengan tentara NICA yang terus mengalir
memasuki Indonesia. Para interniran ini yang tetap sehat diberdayakan NICA
untuk mengisi posisi-posisi jabatan tertentu (yang mungkin pernah dijabatnya
sebelum pendudukan militer Jepang).
Akhirnya baru setelah pertengahan bulan Maret
1947 tentara Sekutu-Inggris memasuki wilayah (pulau) Lombok. Ini dapat dibaca
pada surat kabar berbahasa Belanda Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 27-03-1946: ‘Kantor berita Aneta melaporkan: Misi
Sekutu, yang mengunjungi pulau Lombok, melaporkan bahwa situasi di sana sepi,
kecuali di distrik Selong, dimana unsur-unsur perlawanan [nasionalus Indonesia]
berusaha menghalangi dan melakukan provokasi (terhdap kedatangan Sekutu-Inggris).
Namun, semua pemimpin perlawanan tersebut telah diketahui. Mereka adalah guru
Jawa dan beberapa dari mereka sudah ditangkap. Penangkapan yang telah dilakukan
memiliki efek yang sangat kondusif di ibu kota pulau itu, Mataram, dimana 90
persen yang awalnya pendukung gerakan nasionalis Indonesia telah beralih dan meninggalkannya
dalam beberapa hari terakhir’.
Berita
pertama ini mengindikasikan tentara Sekutu-Inggris telah memasuki pulau Lombok
untuk melucuti militer Jepang. Juga disebutkan adanya perlawanan yang dilakukan
terutama di wilayah Lombok Timur. Sebagaimana diketahui Lombok Timur yang
beribukota di Selong adalah wilayah konsentrasi penduduk Sasak. Catatan: surat
kabar Het dagblad adalah surat kabar (berbhasa) Belanda yang pertama terbit di
Hindia Belanda yang bermarkas di Djakarta-Batavia. Surat kabar ini pertama kali terbit segera
setelah NICA mulai menguasai Djakarta (di belakang tentara Sekutu-Inggris).
Surat kabar inilah yang day to day melaporkan perjalanan tentara Sekutu-Inggris
dan perkembangan terbaru terhadap kehadiran NICA-Belanda.
Tidak lama setelah tentara Sekutu-Inggris
melucuti militer Jepang dan pada tahap persiapan untuk evakuasi, pasukan angkatan
laut Belanda-NICA segera menyusul memasuki Lombok. Pasukan Belanda-NICA ini
diketahui masuk dari (pelabuhan) Lembar. Mengapa harus pelabuhan Lembar? Hal ini karena kapal-kapal Sekutu-Inggris masih
berada di pelabuhan Ampenan dalam urusannya proses evakuasi militer Jepang.
Het
dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-03-1946: ‘Pendudukan
Lombok, menyambut hangat pasukan Laporan
dari layanan informasi Angkatan Laut, sepanjang jalan dari Lembar (tempat
pendaratan pertama terjadi) ke Mataram, ibukota Lombok, kerumunan besar penduduk
melambai dengan antusias dan bersorak: ‘Slamat datang, Tuan!’ Penerimaan ramah
dari penduduk, membungkuk dan memberi hormat ala orang Jepang, tidak terlihat adanya
bendera merah putih dan fakta bahwa tidak ada tulisan di dinding atau rumah
yang membuat perjalanan ke Mataram benar-benar suatu kemenangan. Mantan Controleur
Mataram, Luger yang ikut dalam pendaratan adalah orang pertama yang mencapai
Mataram dan disambut oleh penduduk sebagai orang yang sudah lama terlupakan,
tetapi sekarang dengan senang hati kembali bertemu kebali sebagai teman. Seribu
orang termasuk pemimpin lokal menyaksikan kedatangan di Mataram. Di mana-mana
orang bertanya tentang uang pemerintah yang baru (pengganti uang Jepang). Para
perwira angkatan laut Belanda yang membagikan rokok hampir dibanjiri oleh
kerumunan yang berdesakan dan antusias. Dimana-mana orang mengungkapkan rasa
terima kasih dan kepuasan besar tentang kedatangan pasukan dan kembalinya
pemerintah Belanda. Sebanyak sekitar 30 orang pemberontak (nasionalis
Indonesia) telah ditangkap sebelumnya dan telah dipenjara oleh pihak berwenang
setempat yang lalu segera diserahkan kepada pihak berwenang Sekutu-Inggris. Berkali-kali
diharapkan bahwa dengan kembalinya otoritas Belanda ini, masa-masa sulit akan
berakhir dan yang pertama, keadaan bahagia sekarang akan kembali’.
Orang-orang NICA-Belanda didahului oleh militer
yang didalamnya disertai orang-orang sipil. Tentu saja orang sipil yang
ditunjuk adalah yang pernah berpengalaman di Lombok, kebetulan orang sipil tersebut
adalah mantan Controleur pada era Pemerintah Hindia Belanda. Rupanya penduduk
sangat senang menyambut kedatangan Belanda-NICA. Boleh jadi penduduk selama ini
di era pemerintahan militer Jepang sangat menderita, tidak hanya soal pangan,
dan pakaian juga masalahan kesehatan. Namun tentu saja ada pihak yang tidak
menginginkan kedatangan Belanda. Gambaran serupa ini juga ditemukan di tempat
yang lain, ada yang menyambut senang dan ada juga yang kurang senang dan coba
melakukan perlawanan (bahkan dengan bantuan orang-orang Jepang).
Het
dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 30-03-1946: ‘Sebagian
besar penduduk pulau Lombok, yang diduduki oleh pasukan Belanda, akhir-akhir
ini menderita penyakit malaria, disentri dan kudis. Rumah sakit Belanda telah
didirikan di pulau itu. Pakaian yang sangat dibutuhkan penduduk diharapkan
segera didatangkan dari Soerabaja. Beberapa pemberontak (nasionalis Indonesia) ditangkap
tetapi secara umum penduduknya menunjukkan sikap yang sangat ramah terhadap
Belanda. Komandan dari pasukan Jepang di Lombok, Kolonel Takujoro telah
ditangkap karena gagal menekan perlawanan pemberontak nasionalis Indonesia yang
terjadi tak lama sebelum pasukan Sekutu mendarat. Situasi di Lombok bagus, hanya
Selong yang mungkin menjadi pusat masalah’.
Kota Selong di Lombok Timur telah menjadi pusat
perlawanan nasionalis Indonesia. Kota ini juga sejak awal kehadiran Belanda di
Lombok menjadi salah satu pusat perlawanan penduduk Sasak terhadap pasukan
kerajaan Bali Selaparang yang berpusat di Mataram. Namun perlawanan nasionalis
Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan tentara Sekutu-Inggris dan militer
Belanda-NICA. Akhirnya perlawanan yang ada redup, lebih-lebih sejumlah
pemimpinnya sudah mendekam di penjara. Bagaimana gambaran situasi dan kondisi
di Lombok sebuah artikel seingkat yang dikiirm dari Lombok dimuat surat kabar Nieuwe
courant pada erdisi 23-04-1946 sebagai
berikut:
‘Pasukan
Belanda mendarat di Lombok. Delapan kapal berlabuh di pelabuhan Laboehan Tring
(Lembar) satu per satu bergiliran ke pantai untuk menurunkan pasukan, peralatan
dan logistik...Tidak banyak kegiatan yang bisa dilihat di darat. Orang-orang
Jepang menunggu di kejauhan di dermaga. Pasukan dan penumpang lainnya melompat
ke darat. Mereka melihat sekeliling dengan rasa ingin tahu dan terdengar salam ‘Tabeh
toean, slamet dateng’. Beberapa penduduk pribumi dengan celana sobek datang
berlari. Senyum lebar di wajah mereka. Tanpa bertanya, mereka mengambil tas
ransel yang berat di bahu yang turun dari kapal. ‘Mana touan?’. Mereka
berbicara satu sama lain dalam bahasa yang tidak dapat dimengerti. Tetapi bunyi
kata-kata mereka mengindikasikan bahwa
mereka bahagia dan suasana hati mereka memiliki antusiasme, usaha mereka dihargai
dengan beberapa batang rokok, lalu kembali ke dermaga. Lebih banyak pelanggan yang
menginginkann jasa mereka dan lebih banyak rokok yang mereka dapat, suatu hal yang
patut ditiru. Segera menjadi hiruk pikuk di pelabuhan. Semua orang berjalan
mondar-mandir. Dermaga darurat untuk pendaratan ini dikerjakan oleh perwira
angkatan laut Sekutu-Inggris dengan bantuan hampir dua ratus orang Jepang. Dalam
waktu singkat sebanyak 120 ton batu telah diledakkan dan 250 ton batu lainnya
telah dipindahkan untuk menyiapkan dermaga darurat itu. Kendaraan-kendaraan
keluar dari rahang kapal yang menganga dengan lancar, kolom panjang dibuat dalam
waktu satu jam mereka siap. Perjalanan ke pedalaman dapat dilanjutkan. Saat pasukan
pertama baru saja mendarat bendara tricolor Belanda dikibarkan sebagai tanda
pertama Belanda sudah ada di pulau. Kami tidak mengangkatnya sendiri, tetapi
mereka yang berada jauh di pedalaman di district Geroeng. Bupati di Geroeng adalah
Laloe Darwisha. Pesan pendaratan Belanda segera sampai padanya. Bendera Belanda
segera dikerek ke udara di dua tempat. Ketika komandan militer, Overste Termeulen
dan salah satu pegawai pemerintah memasuki kota terlebih dahulu, mereka tidak
hanya kagum, mereka juga tergerak oleh pesan kesetiaan penduduk disini. Itu
menghilangkan rasa keraguan. Mesin di kota di mulai. Pasukan dengan truk, jip,
station wagon dan ambulan perlahan mulai bergerak disini. Disana-sini di
sepanjang jalan ada beberapa orang nasionalis Indonesia terlihat. Mereka tampak
terkejut ketika kami melewatinya. Jelas juga untuk melihat bahwa mereka belum
sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Salam kami dijawab dengan berisik,
tapi itu otomatis dan patuh. Tiga tahun diantara Jepang telah memaksa mereka
untuk bersikap sopan. Mereka tunduk pada model ala Jepang. Dan tampak lebih
banyak ketakutan daripada kebaikan di mata mereka ketika mereka melakukan itu.
Tapi itu tidak butuh waktu lama. Berita ini melaju cepat di pulau ini. Lebih
cepat daripada pasukan bermotor. Belanda kembali. Masih ada keraguan diantara
mereka dengan bertanya ‘apakah mereka orang Belanda?’. ‘Mereka terlihat sangat
berbeda dari ketika mereka meninggalkan kita’. ‘Lihat, yang mengemudi di
kendaraan yang sama sekali berbeda dari sebelumnya’. Tampaknya waktu telah
berhenti disini, tapi tidak di seluruh dunia. Sayangnya orang-orang Belanda yang
datang ini berbicara dalam bahasa mereka (Belanda). Itu adalah pukulan
terakhir. Kami melihat sikap orang berubah. Tentu saja, banyak yang membuat hal
mereka tunduk ala Jepang, yang lain memberi hormat seperti tentara Jepang.Tapi
ada juga banyak yang melambaikan kedua tangan. Ada juga banyak dengan senyum
spontan di wajah mereka. ‘Slamet dateng, toean, slamat datang’ terdengar di
sepanjang jalan itu. Semakin kita maju, semakin banyak orang yang muncul. Mereka
meninggalkan pekerjaan mereka di lahan. Mereka lari ke jalan. Kapak melambai.
Perempuan yang lagi andi melambaikan tangan sambil menjulurkan kepala mereka untuk melihat. Anak laki-laki
telanjang berlari bersama melompat ke samping mobil. Dimana-mana Anda melihat
wajah bahagia. Ini adalah kegembiraan yang nyata. Kami kehilangan ketakutan ini
dari orang di lain tempat dimana pengaruh para pemberontak nasionalis mencegah
penduduk dari membebaskan diri dalam mengekspresikan.,,Ini adalah hari yang
menyenangkan untuk Lombok. Bukan hanya untuk kita. Pastinya juga untuk
penduduk. Mereka juga mengalami tahun-tahun yang sulit di belakang. Mereka juga
mengalami kesulitan. Tentu saja, mereka tidak terlihat kurang gizi seperti di
tempat lainl. Namun demikian, mereka memiliki waktu yang buruk. Banyak dari
kita mengeras dalam perang. Namun sulit untuk menyembunyikan emosi terdalam
Anda. Penerimaan ini, keramahan ini, tidak memalukan untuk menggosok mata Anda
sekilas. Ini benar-benar kemenangan. Seluruh jalan menuju Mataram, kita tidak
melihat bendera merah putih. Tidak ada seorang pun dengan pin merah dan putih
dan slogan-slogan Jawa terdengar di beberapa titik. Sejauh yang saya tahu hanya
ada bendera merah putih di distrik Lombok dari cerita para perwira Inggris yang
membuat persiapan untuk pendaratan tersebut. Kedatangan di Mataram menjadi
sorotan. Dalam beberapa saat mereka yang dikelilingi oleh orang-orang homogen
dengan memanggil ‘Toean Lindiner, toean Lindner’. Beberapa orang telah mengenal
wajah yang dikenal di salah satu jip depan, seorang pejabat pemerintah yang
telah bekerja disini selama bertahun-tahun. Sukacita reuni tidak datang dari
satu sisi. Pejabat pemerintah melompat keluar dari jip sebelum berhenti total.
Dia berjalan ke arah orang-orang dengan tangan terentang. Ini terguncang dengan
hangat. Semua orang sangat senang dengan dia. ‘Bagaimana keadaan touan?’ Petugas
administrasi tersebut bertanya dengan minat tentang situasi, ternak dan
pekerjaan. Salah satu anggota dewan tertua segera tampil diantara penduduk yang
berdesakan datang kepada kami dan menyambut kami. ‘Slamat datang, toean’. Kami
mendengar tanpa kecuali. Orang-orang saling berbicara tentang pakaian kami,
sepatu kami yang kokoh dan rokok kami. Ya, rokok itu, mereka sangat
menginginkannya. Seorang perwira angkatan laut Belanda membawa sekaleng berisi lima
puluh. Dia ingin memberikan sebagian. Dalam beberapa detik dia kehilangan semua
rokok dan bahkan kalengnya. ‘Kapan uang sungguhan akan datang lagi’ mereka
ingin tahu. Kami perlu uang untuk beli pakaian dan perhiasan yang cantik seperti
yang kita kenakan dan beras kami sudah cukup untuk dijual. Sebuah pertanyaan spontan
yang membanjiri kami. Mereka mendengarkan dengan mulut terbuka. Mereka mengerti
bahwa mereka harus menunggu sedikit lebih lama sebelum semuanya seperti dulu.
Tetapi mereka juga memahami bahwa titik balik sekarang telah tercapai sehingga
mereka sekarang menuju ke arah yang benar. Mataram sudah habis. Setiap mobil
diserbu. Setiap orang Belanda memiliki semua jenis pertanyaan untuk dijawab. Mereka
melakukannya dengan senang hati. Lombok adalah pulau terakhir di garis dimana Belanda
telah kembali. Tapi itu tidak diragukan lagi menunjukkan antusiasme yang paling
besar. Kegembiraan itu tidak tergoyahkan oleh ketakutan akan elemen-elemen yang
tidak bertanggung jawab. Lembar, Pantai Barat Lombok, Rabu: 27 Maret. Alfred
van Sprang.
Satu yang terpenting dari surat pembaca ini
adalah bahwa (pulau) Lombok terbilang adalah wilayah yang terbilang terakhir
proses pelucutan militer Jepang oleh tentara Sekutu-Inggris yang dengan
demikian wilayah yang terakhir pula NICA-Belanda mulai tugas mereka. Meski
demikian adanya, seperti disebutkan pada berita dan surat pembaca di atas,
penerimaan di Lombok cukup kondusif. Tidak terlalu mengkhawatirkan tentang
nasionalis Indonesia (karena pentolannya sudah dipenjara). Cabang pemerintahan
NICA-Belanda yang baru dimulai di pulau Lombok.
Het
dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia,15-04-1946: ‘Bali
en Lombok. Afdeeling Bali en Lombok secara administrasi saat ini sedemikian
rupa sehingga Bali berada di bawah CO Amacab di Singaradja dan Lombok di bawah
CO Amacab di Mataram, yang keduanya secara administratif berada di bawah CCO
Amacab di Soerabaja’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar