*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Raden Pandji Soejono bukanlah orang biasa. Paling tidak Raden Pandji Soejono dikenal sebagai arkeolog Indonesia genrasi pertama. Raden Pandji Soejono lahir dii Mojokerto, dekat Trowulan, 27 November 1926. Sebagai ahli sejarah prasejarah, Raden Pandji Soejono bidangnya terkait dengan arkeologi. Raden Pandji Soejono memulai pendidikan tinggi di Universitas Indonesia dan memilih jurusan arkeologi. Dari minatnya yang kuat pada bidang arkeologi, dari situs arkeologi, Raden Pandji Soejono, dosen Universitas Indonesia ini akhirnya mencapai puncak karirnya sebagai Kepala Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasionas) di Jakarta.
Lantas bagaimana sejarah Raden Pandji Soejono, arkeolog generasi pertama van Modjokerto? Seperti disebut di atas, Raden Pandji Soejono bukanlah anak orang biasa, tetapi anak Raden Pandji Soeroso yang cukup terkenal pada era Hindia Belanda. Raden Pandji Soejono adalah cucu dari Raden Pandji Soejono (nama dan gelar yang sama). Lalu bagaimana sejarah keluarga hebat ini? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Raden Pandji Soejono, Arkeolog Generasi Pertama van Modjokerto: Anak Anggota Volksraad RP Soeroso
Raden Pandji Soejono disebutkan lahir di Mojokerto, 27 November 1926. Itu berarti ayahnya Raden Pandji Soejono dalam posisi puncak sebagai anggota Volksraad. Sebagaimana diketahui, Raden Pandji Soeroso terpilih menjadi anggota Volksraad pada pemilihan tahun 1924 dan anggota Volksraad adalah penerima gaji tertinggi (dari pemerintah) untuk golongan pribumi. Raden Pandji Soeroso berasal dari Sarikat Islam di dapil Oost Java. Untuk sekadar catatan: Pada pemilihan 1924 (pulau) Sumatra hanya satu dapil yang mana yang maju ke Volkraad adalah Abdoel Moeis (Sarikat Islam).
Nama Raden Pandji Soeroso kali pertama diberitakan pada tahun 1913 (lihat De expres, 06-01-1913). Disebutkan terjadi heboh di sekolah guru (kweekschool) Probolinggo yang mana sejumlah siswa ditempatkan di bawah pengawasan polisi dan mereka telah diberhentikan berjumlah enam orang adalah R Sigit, R. Arismoonandar, M.Soeprio, RP Soeroso, M.Soeradi dan RM Irawan, Mereka dikeluarkan dari gedung sekolah sebagai penjahat sebenarnya (echte misdadigers) yang oleh polisi dan dibawa ke kantor polisi yang mereka di bawah pengawalan polisi. Siswa-siswa yang ditahan ini kemudian menghubungi via telpon direktur pendidikan dengan permintaan sebagai berikut: ‘Kami yang bertanda tangan di bawah ini telah diberhentikan oleh direktur (sekolah kami) karena kami telah memihak Koso (rekan kami) yang karena tidak mengikat simpul mantel dihukum dengan tiga hari dan kemudian dengan dua bulan’. Disebutkan pangkal perkara bahwa salah satu guru dikatakan telah merasa bahwa semua murid telah menyampaikan kata hinaan dalan bahasa Belanda dan guru itu menyebut murid-murid itu sebagai pemberontak bandel. Wartawan mempertanyakan apakah guru itu berada di tempat yang tepat di lembaga itu? Dalam perkembangannya kasus itu dimediasi dan para murid yang disebut bandel itu telah mempertimbangkan kembali tekad mereka dan telah memutuskan untuk belajar dengan rajin lagi. Untuk sekadar catatan: apa yang membuat guru di Probolinggo itu reaktif terhadap muridnya murid yang reaktif) karena pada masa itu Indisch Partij (IP) tengah menjadi sorotan pemerintah. Tiga Serangkai (Dr. Tjipto, Soewardi Soerjaningrat dan Ernest Douwes Dekker) memprovikasi untuk melepaskan diri Hindia Belanda dari Kerajaan Belanda. Klimaksya pada awal tahun 1913 IP melakukan rapat umum di Bandoeng (lihat De Preanger-bode, 17-01-1913). Dalam rapat umum itu, pidato paling revolusioner diberikan oleh RM Soewardi S, yang bertanya mengapa Inlander mempunyai hak paling sedikit disini di negaranya sendiri, di tanahnya sendiri. Pembicara ini berpikir bahwa bila aturan ada, penduduk pribumi mempunyai satu-satunya klaim atas kepemilikan sah atas tanah sebagai putra-putri negeri tersebut. Orang ajaib itu menjadi tuan dan tuan dan penduduk pribumi tidak lebih dari pelayan’. Sebagaimana diketahui pasca rapat umum ini IV dibubarkan dan ketiganya diasingkan. RM Soewardi Sperjaningrat kelak lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Sedangkan Ernest Douwes Dekker, saudara sepupu Edward Douwes Dekker alias Multatuli, adalah pemimpin surat kabar De expres yang memberitakan kasus RP Soeroso dkk tersebut. Raden Pandji Soeroso sendiri akhirnya lulus sekolah guru tahun 1916. Tampaknya, Raden Pandji Soeroso meski sudah mendapat akta guru, lebih memilih langsung terjun ke dunia politik. Terbukti sukses dan menemukan jalannya. Pada tahun 1918 Raden Pandji Soeroso terpilih sebagai anggota dewan kota di kampung di Probolinggo (lihat De locomotief, 02-07-1918). Disebutkan diangkat terhitung tanggal 1 Juli 1918 sebagai anggota baru dewan kota (gemeenteraad) Probolinggo. Diduga kuat nama Raden Pandji Soeroso menjadi populer di Probolinggi setelah kasusnya yang membela kawan sekolahya pada tahun 1913 dan juga belajar politik selama pendidikan. Jika Raden Pandji Soeroso disebutkan lahir pada tahun 1893, maka saat kasus itu terjadi usianya sudah 20 tahun dan usianya menjadi 25 pada saat menjadi anggota dewan (usia yang sudah tergolong matang). Raden Pandji Soeroso ikut bersaing ke dewan kota sebagai anggota Sarikat Islam (SI) pimpin OS Tjokroaminoto. Dalam Kongres SI ke-5 tahun 1921 di Jogjakarta yang dihadiri oleh 50 cabangi turut hadir Raden Pandji Soeroso sebagai perwakilan dari (cabang) Modjokerto. Dalam kongres Boedi Otomo di Djokjakarta turut diundang berpidato (mewakili SI) Raden Pandji Soeroso (lihat De expres, 21-03-1922). Disebutkan pengurus SI RP Soeroso, berbicara cukup tajam tentang kebijakan manajemen pusat BO: ‘Kami hampir tidak pulih dari kegembiraan kami bahwa asosiasi BO memiliki kecenderungan revolusioner, namun setelah adanya arahan pertama dari pemerintah, BO berbelok dan sekarang ingin melarikan diri. Bagaimana sikap BO sekarang?’ Catatan: BO pada awal pendiriannya oleh Soetomo dkk (1908) bersifat nasionalis, tetapi kemudian oleh golongan tua dibelokkan menjadi organisasi yang bersifat kedaerah (hanya terbatas di Jawa, Madura, Bali dan Lombok seperti dapat dilihat pada statutanya). Sementara organisasi kebangsaan lainnya seperti SI, Indische Vereeniging, Pasoendan, Kaoem Betawi. Sumatranen Bond (didirikan di Leiden 1917 oleh Sorip Tagor Harahap dkk) dan Bataksche Bond (didirikan di Batavia 1919 oleh Dr Abdoel Rasijd Siregar dkk) bersifat nasionalis. Untuk sekadar diketahui Indische Vereeniging di Belanda pada tahun 1922 diketuai oleh Dr. Soetomo (mantan pendiri BO, 1908) dan Indische Vereeniging sendiri didirikan pada tahun 1908 di Leiden oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Indische Vereeniging pada tahun 1924 diubah namanya oleh Mohamad Hatta dkk menjadi Perhimpoenan Indonesia (diterjemahkan dari bahasa Belanda menjadi bahasa Melayu/Indonesia).
Kiprah Raden Pandji Soeroso terus meningkat. Pada pemilihan tahun 1927, Raden Pandji Soeroso kembali terpilih dari SI di Volksraad. Raden Pandji Soeroso sumringah pada periode keduanya ini. Mengapa? Raden Pandji Soeroso akan mendapat rekan baru asal Tapanoeli di Volksraad. Sebagaimana diketahui pada pileg tahun 1927 ini dapil Sumatra yang sebelumnya hanya satu kursi menjadi empat kursi dari empat dapil (Zuid Sumatra, West Sumatra, Oost Sumatra dan Noord Sumatra). Seperti halnya Raden Pandji Soeroso berangkat dari dewan kota (gemeenteraad) menuju Volksraad (dewan pusat) demikian juga dengan dua rekannya asal Tapanuli berangkat dari anggota dewan kota. Keduanya sudah tersiar di surat kabar meski di dewan kota sudah sangat vokal. Rekan baru itu adalah Dr. Alimoesa Harahap dari dapil Noord Sumatra dan Mr. Firman Siregar gelar Managaradja Soeangkoepon dari dapil Oost Sumatra.
Dapil Noord Sumatra terdiri dari dua wilayah yakni Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh, sementara dapil Oost Sumatra hanya terdiri saru wilayah (province Sumatra’’s Oostkust). Dalam pertarungan di dapil Noord Sumatra sangat ketat hingga hanya dua orang yang sampai pada babak puncak yakni Dr. Alimoesa Harahap dan Mr. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, Ph.D. Keduanya sama-sama kelahiran Padang Sidempoena. Dr. Alimoesa Harahap alumni sekolah kedokteran hewan (Veartsenschool) di Buitenzorg tahun 1914 (adik kelas Dr Sorip Tagor Harahap lulus tahun 1912 langsung berangkat studi ke Belanda, dan pada tahun 1917 menginisiasi pendirian Sumatranen Bond di Belanda). Alimoesa Harahap menjadi kepada dinas kesehatan ternak di Afdeeling Simaloengoen en Karo di Pematang Siantar yang kemudian menjadi anggota dewa kota Pematang Siantar. Sementara itu Radja Enda Boemi belum lama pulang ke tanah air setelah meraih gelar doktor (Ph.D) pada bidang hukum di Universiteit te Leiden tahun 1926. Tampaknya menuju Volksraad bukan karena gelar tetapi pengalaman politik (di dewan kota). Sedangkan Mangaradja Soeangkoepon adalah anggota Indische Vereeniging di Belanda sejak tahun 1910. Sepulang studi, Mangaradja Soeangkoepon menjadi ambtenar di province Ooost Sumatra dan kemudian menjadi anggota dewan kota Tandjoeng Balai. Mangaradja Soeangkoepon adalah abang dari Dr Abdoel Rasjid pendiri Bataksche Bond. Pada tahun 1927 ini kembali diangkat Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia menjadi anggota Volksraad (tidak melalui pemilihan, tetapi penunjukan oleh pemerintah mewakili golongan/bidang pendidikan; Soetan Goenoeng Moelia pernah menjadi anggota Indische Vereeniging 1911-1918). Alimoesa Harahap, Mangaradja Soeangkoepan, Andoel Rasjid, Sorip Tagor, Radja Enda Boemi dan Soetan Casajangan dan Soetan Goenoeng Moelia, serba kebetulan, semuanya sama-sama kelahiran Padang Sidempoean (Sorip Tagor kini lebih dikenal sebagai kakek buyut Inez/Risty Tagor; Soetan Goenoeng Moelia lebih dikenal sebagai Menteri Pendidikan RI kedua menggantikan Ki Hadjar Dewantara).
Raden Pandji Soeroso semakin matang berpolitik. Lebih-lebih sejak kepulangan Dr. Soetomo studi dari Belanda pada tahun 1924 yang langsung mendirikan Studieclub di Soerabaja. Dapat dikatakan Raden Pandji Soeroso sebagai suksesi Tjokroaminoto di SI Oost Java yang berpusat Soerabaja (OS Tjokroaminoto dapat pula dikatakan sebagai mertua dari Ir. Soekarno yang baru lulus studi di THS Bandoeng tahun 1926, yang juga mendirikan studieclub di Bandoeng). Sementara itu nun jauh disana di negeri Belanda yang menjadi ketua Indische Vereeniging/Perhimpoenan Indonesia adalah Mohamad Hatta. Pada tahun 1927 inilah muncul seorang tokoh muda, Parada Harahap (yang juga kelahiran Padang Sidempoean) yang sangat berambisi mempersatukaa semua anak bangsa dalam satu payung organisasi induk di Batavia (seperti halnya yang pernah dilakukan seniornya Soetan Casajangan di Belanda pada tahun 1908 dalam terbentuknya Indische Vereeniging/Perhimpoenan Indonesia). Supra organisasi yang terbentuk itu disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Parada Harahap, pimpinan surat kabar Bintang Timoer di Batavia menjadi sekretaris PPPKI yang didirikan pada bulan September 1927 di Batavia. Semua elemen bangsa mulai bersatu dalam misi nasional, apakah anggota anggota Volksraad, pimpinan organisasi kebangsaan, pimpinan studieclub atau pemimpin surat kabar nasional.
Parada Harahap merantau ke Deli pada tahun 1915. Dalam perkembangannya, sebagai krani (juru tulis/hitung) di perkebunan tidak tahan melihat siksaan para planter terhadap para kuli, terutama yang berasal dari Jawa (poenalie sacntie). Parada Harahap melakukan investigasi sendiri atas kekejaman para planter itu, lalu laporannya dikirimnya ke surat kabar Benih Mardika di Medan. Surat kabar itu membuat beberap artikel dalam beberapa edisi pada bulan April 1918. Artikel-artikel ini kemudian dimuat kembali oleh surat kabar Soeara Djawa yang terbit di Medan dan oplagnya sampai ke Jawa. Lalu terjadi heboh di Jawa. Tentu saja berita di Deli itu dapat disimak oleh Raden Pandji Soejono yang baru diangkat sebagai anggota dewan kota di Probolinggo. Lalu pemerintah pusat melalui Gubernur Oost Sumatra dilakukan investigasi. Tidak diketahui apak hukuman bagi para planter, tetapi yang jelas Parada Harahap diketahui sebagai pelapor dan dipecat dari jabatannya sebagai krani. Benih Mardika menawari Parada Harahap jabatan editor. Namun di tangan Parada Harahap surat kabar itu akhirnya dibreidel. Sempat Parada Harahap menjadi editor Pewarta Deli di Medan sebelum akhirnya pulang kampung dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean 1919. Parada Harahap yang masih belia usia 19 tahun menjadi ketua cabang Sumatranen Bond wilayah Tapanoeli. Pada Kongres Sumatranen Bond yang pertama di Padang pada tahun 1919, Parada Harahap pimpinan delegasi Tapanoeli. Pada kongres inilah Parada Harahap dan Mohamad Hatta (siswa HBS/PHS di Batavia) saling mengenal. Pada Kongres Sumatreanen Bond kedua di Padang 1921 kembali mereka bertemu. Selepas kongres ini Parada Harahap ke Belanda untuk orientasi dan kursus bahasa Belanda. Mereka berpisdah di Batavia, Mohamad Hatta melanjutkan studi ke Belanda dan Parada Harahap kembali ke Padang Sidempoean. Pada tahun 1922 surat kabar Sinar Merdeka dibreidel. Parada Harahap hijrah ke Batavia lalu pada tahun 1923 mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita (pertama) pribumi Alpena dengan mengajak WR Soepratman yang masih lajang dari Bandoeng menjadi erditornya (WR Soepratman yang juga pemusik tinggal di pavilium rumah Parada Harahap). Pada tahun ini Parada Harahap melakukan perjalanan jurnalistik ke seluruh Sumatra dan Semenanjung yang kemudian laporannya dibukukan dan diterbitkan percetakan NV Bintang Hindia tahun 1926. Pada tahun ini juga Parada Harahap menerbitkan surat kabar lagi yang lebih radikal Bintang Timoer yang langsung tirasnya tertinggi di Batavia. Melalui Bintang Timoer kerap menerbitkan tulisan Ir Soekarno dari studieclub Bandoeng dan juga Bintang Timoer kerap memberitakan kegiatan Ir. Soekarno. Dari sinilah persahabatan Parada Harahap dan Ir Soekarno terbentuk. Parada Harahap adalah orang yang mempertemukan dua sosok Ir Soekarno (di Bandoeng) dan Mohamad Hatta (di Belanda). Parada Harahap di Batavia sering berdiskusi dengan seniornya Soetan Goenoeng Moelia dan Soetan Casajangan (pendiri Indische Vereeniging) yang sejak 1922 menjadi direktur sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Pada tahun 1927 ini Parada Harahap kedatangan dua senior yang baru terpilih menjadi anggota Volksraad (Dr Alimoesa Harahap dan Mr Mangaradja Soeangkoepon). Parada Harahap juga kadatangan juniornya Amir Sjarifoeddin Harahap (sepupu Soetan Goenoeng Moelia) yang mengikuti pendidikan tinggi di Rechthoogeschool Batavia. Parada Harahap sendiri saat itu menjadi sekretaris Sumatranen Bond.
Pembentukan PPPKI ini bermula ketika di dalam kolom editorial Bintang Timoer, Parada Harahap yang juga sekretaris Sumantranen Bond menyentil Ir. Soekarno untuk ‘turun gunung’ sebagaimana dikutip pers berbahasa Belanda. Mungkin semua orang tahu maksudnya (tidak hanya berdiskusi di ruang diskusi studieclub). Lalu tampaknya cepat direspon Ir Soekarno dengan mendirikan organisasi kebangsaan di Bandoeng yang diberinama Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) yang mana semua anggota studiclub Bandoeng menjadi anggota dan pengurusnya. Dalam situasi dan kondisi PNI sudah terbentuk di Bandoeng, lalu Parada Harahap menyurati semua pimpinan organisasi kebangsaan (Indonesia) untuk maksud pertemuan umum di rumah Mr. Husein Djajadnigrat, Ph.D..
Mr. Husein Djajadnigrat, Ph.D adalah pimpinan (dekan) Rechthoogeschool Batavia. . Husein Djajadnigrat adalah salah satu pendiri Indische Vereeniging. Pada waktu pembentukan Indische Vereeniging di rumah Soetan Casajangan di Leiden Belanda tahun 1908, pada waktu rapat yang bertindak sebagai sekretaris adalah Husein Djajadnigrat, Dalam pertemuan di rumah Husein Djajadnigrat juga turut hadir Dr Abdoel Rivai yang menjadi rekan bisnis Parada Harahap di NV Bintang Hindia yang menerbitkan surat kabar Bintang Timoer. Abdoel Rivai dalam pendirian Indische Vereeniging adalah komisaris, sementara Soetan Casajangan sebagai Presiden sedangkan yang menjadi sekretaris adalah Raden Soemitro. Dalam rapat di rumah . Husein Djajadnigrat juga turut hadir anggota Volksraad yang baru terpilih Mangaradja Soeangkoepon (juga anggota Indische Vereeniging sejak 1910). Dalam rapat umum ini disepakati dibentuk supra organisasi (PPPKI) yang mana sebagai ketua secara aklamasi ditunjuk MH Thamrin (ketua Kaoem Betawi) dan sebagai sekretaris didaulat Parada Harahap (sekretaris Sumatranen Bond). Rapat juga memutuskan untuk mendirikan gedung pertemuan rakyat PPPKI dan penjadwalan Kongres PPPKI yang akan diadakan pada bulan September 1928. Dalam rapat di rumah. Husein Djajadnigrat juga hadir perwakilan Pasoendan dan Islamieten Bond. PNI dari Bandoeng langsung diwakili oleh Ir. Sokarno sendiri. Dalam berita tidak disebutkan perwakilan Boedi Oetomo (mungkin karena belum bersifat nasionalis?). Dr. Soetomo hadir dari Soerabaja, tidak mewakili BO tetapi sebagai pimpinan studieclub Soerabaja. Dalam pembangunan gedung PPPKI, MH Thamrin menyumbang lahannya (gedung ini kini masih eksis sebagai gedung MH Thamrin di jalan Kenari, Jakarta). Sebagai kepala kantor, di gedung PPPKI, Parada Harahap hanya memajang tiga foto di ruang rapat (Soeltan Agoeng, Ir. Soekarno dan Mohamad Hatta).
Untuk menyukseskan Kongres PPPKI (September) 1928 yang juga diintegrasikan dengan Kongres Pemuda (bulan Oktober), Parada Harahap menerbitkan surat kabar Bintang Timoer edisi Semarang (Midden Java) dan edisi Soerabaja (Oost Java). Untuk memperkuat pembiayaan dua kongres 1928, pendanaan didukung oleh organisasi pengusaha Batavia (semacam KADIN pada masa ini) yang mana ketuanya adalah Parada Harahap yang didalamnya termasuk MH Thamrin. Untuk panitia (komite) Kongres PPPKI ditnjuk Dr. Soetomo dan Ir Anwari (dari PNI). Sedangkan komite Kongres Pemuda diusulkan Dr Soetomo nama Soegondo dari PPPI (sebagai ketua) sedangkan Parada Harahap mengusulkan dua nama yakni Mohamad Jamin (Sumatranen Bond) dan Amir Sjarifoeddin Harahap (Bataksche Bond). Ketiga komite inti ini sama-sama mahasiswa Rechthoogeschool (dekan Mr Husein Djajadiningrat, Ph.D).
Dr. Soetomo memiliki hutang politik kepada Parada Harahap. Bagaimana bisa? Ini bermula pada tahun 1915, Dr. Soetomo baru pulang dinas selama tiga tahun setamat STOVIA ditempatkan di Tandjoeng Moerawa (Deli). Sesampai di Batavia, Dr. Soetomo meminta Dr. Sardjito (adik kelasnya yang baru lulus STOVIA), ketua cabang Boedi Oetmo di Batavia untuk diadakan rapat umum dimana Dr Soetomo akan berbicara. Dalam rapat umum itu Dr Soetomo meminta perhatian: ‘Kita Boedi Oetomo tidak bisa lagi hidup sendiri. Banyak orang Tapanoeli yang pintar-pintar. Rekan sebangsa kita di Deli sebagai koeli sangat memprihatinkan di perkebunan-perkebunan. Saya melihat dan mendengar sendiri. Saya baru pulang setelah tiga tahun di Deli’. Sejak itulah anggota BO di Batavia mulai cenderung nasionalis (dibanding pengurus pusat yang berkantor di Djogjakarta). Dr Sardjito kelak lebih dikenal sebagai rektor UGM pertama (1949). Pada saat Dr Soetomo bersiap-siap studi ke Belanda, muncul heboh di Jawa karena artikel surat kabar Soeara Djawa yang melansir artikel Benih Mardika di Medan. Siapa yang membongkar kasus poenalie sanctie yang pernah diumumkan Dr Soetomo di rapat umum BO cabang Batavia pada tahun 1915 tidak lain adalah Parada Harahap yang kini menjadi sahabat barunya sebagai sekretaris PPPKI (dan Dr. Soetomo menjadi ketua komite Kongres PPPKI 1928.
Dalam konteks pergerakan bangsa (Indonesia) inilah Raden Pandji Soeroso merasa tidak sendiri lagi di Volksraad. Raden Pandji Soeroso tidak banyak berharap dari anggoat Volksraad yang berasal dari Boedi Oetomo. Tentu saja Raden Pandji Soeroso (mewakili SI) masih ingat kritikan tajamnya kepada Boedi Otomo dalam kongresnya BO di Djokjakarta pada tahun 1922. Raden Pandji Soeroso menyatakan ‘Kami (SI) hampir tidak pulih dari kegembiraan kami bahwa asosiasi BO memiliki kecenderungan revolusioner, namun setelah adanya arahan pertama dari pemerintah, BO berbelok dan sekarang ingin melarikan diri )dari barisan nasionalis). Bagaimana sikap BO sekarang?’.
Dalam Kongres PPPKI tanggal 29 dan 30 September 1928 yang turut berorasi adalah Ir. Soekano (PNI). Sementara Mohamad Hatta yang diundang tidak beisa hadir karena kesibukan studi tetapi mengutus wakilnya dari Perhimpoenan Indonesia Ali Sastroamidjojo. Satu keputusan yang penting dalam kongres ini adalah nama PPPKI diubah menjadi Permoefakatan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia (kanta perhimpoenan diganti menjadi partai). Oleh karena kepungurusan PPPKI hanya satu tahun, dalam kongres ini dipilih pengurus baru yang mana ketua terpilih adalah Dr. Soetomo dan sekretaris Ir. Anwari (sekretaris PNI). Sejak inilah nama PNI berubah dari Perjimpoenan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia dengan membentuk organnya majalah Indonesia Moeda. Sementara dalam Kongres Pemuda ditetapkan keputusan kongres yang berisi janji Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia. Dalam kongres pemuda ini lagu gubahan WR Soepratman berjudul Indonesia Raya diperdengarkan (WR Soepratman masih tinggal bersama dengan Parada Harahap). Kongres PPPKI berikutnya (1929) diadakan di Solo yang diontegrasikan dengan Kongres BO di Solo (beda jarak satu minggu). Pasav Kongres PPPKI di Solo ini Ir. Soekarno dkk dari PNI ditangkap dan ditahan di Bandoeng. Sedangkan di Soerabaja, Dr. Soetomo bersama rekan-rekannya seperti Radjamin Nasution membentuk partai baru yang disebut Partai Bangsa Indonesia (PBI).. Uniknya dalam pemilihan anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja yang hanya diwwakili satu kursi untuk pribumi tidak mendukung petahana (asli Soerabaja) tetapi justru Dr Soetomo memajukan Radjamin Nasution (PBI). Kandidat petahana tampaknya sadar tidak mendapat dukungan dari partai maka yang menang pemilihan adalah Radjamin Nasution. Apakah Dr Soetomo tidak yakin dengan orang sekampungnya di dewan dan lebih percaya kepada orang jauh Radjamin Nasution untuk memperjuangkan rakyat Soerabaja. Hasilnya segera terlihat, pada rapat pertama anggota dewan yang baru, Radjamin Nasution sudah langsung tancap gas dengan menggebrak program yang mendukung penduduk wong cilik seperti pengentasan kemiskinan, perbaikan perumaham, sanitasi dan sebagainyua. Dr. Soetomo kembali tersenyum (di kampongnya sendiri). Radjamin yang berdinas di pabean Soerabaja yang juga pernah menjadi teman kuliah Dr Soetomo di STOVIA ini tidak tergantikan di dewan kota Soerabaja hingga pada akhirnya nanti Radjamin Nasution menjadi wali kota pribumi pertama di Soerabaja. .
Hutang politik Dr Soetomo kepada Parada Harahap sudah lunas dengan mendukung Radjamin Nasution menduduki dewan kota Soerabaja. Namun masih ada hutang lama dalam bidang politik yang belum terbayar. Hutang apa lagi? Organisasi kebangsaan Boedi Oetomo yang ikut dibidaninya pada tahun 1908 masih belum masuk barisan nasional dan kukuh belum mau turun gunung. Pada saat Mr Soepomo, Ph.D menjadi pengurus BO di Djogja dan Dr Sardjito dkk mulai satu irama, Dr Soetomo dari PBI mulai membicarakan langkah baru politik BO. Setelah statuta BO diubah menjadi bersifat nasionalis, langkah terakhir yang dilakukan Dr Soetomo dkk adalah mempengaruhi BO menjadi partai politik. Hasilnya sukses. Boedi Oetomo bersedia fusi dengan PBI yang kemudian melahirkan partai baru tahun 1935 yakni Partai Indonesia Raya (Parindra).
Dr Soetomo juga mengajak teman-teman lamanya ikut bergabung. Sudah pasti bersedia Radjamin Nasution anggota dewan kota Soerabaja (karena PBI sudah dilikuidasi dengan partai baru Parindra). MH Thamrin dan Parada Harahap juga ikut bergabung. Pada tahun 1936 untuk menggantikan anggota Volksraad dari Parindara maka yang dimajukan Dr Soetomo adalah Radjamin Nasution. Lunas sudah semua hutang politik Dr Soetomo. Namun tidak lama kemudian, pada saat Dr Soetomo mulai bahagia, umurnya tidak panjang, dipanggil yang Maha Kuasa pada bulan Mei 1938. Dalam prosesi menghantarkan alm Dr Soetomo ke makam, Radjamin Nasution berpidato mewakili keluarga Dr. Soetomo. Dalam pidato itu Parada Harahap yang datang dari Batavia turut mendengar pidato Radjamin Nasution. Tiga bulan kemudian Parada Harahap harus kembali ke Soerabaya, sahabatnya WR Soepratman dikabarkan meninggal dunia bulan Agustus di Soerabaja. Parada Harahap turut mengantarkan ke mekam. Makam Dr. Soetomo dan makam WR Soepratman berdekatan..
Raden Pandji Soeroso di Volksraad tidak tergantikan bahkan hingga tahun 1938. Rekannya dari Tapanoeli yang mwakili dapil Sumatra;s Oostkusr Mangaradja Soangkoepon juga tidak terhgantikan di Volksraad. Wakil dari dapil Noord Sumatra tidak lagi Dr Alimoesa Harahap tetapi telah digantikan oleh Dr Abdoel Rasjid yang juga kemudian tidak tergantikan (yang notabene adik kandung Mangaradja Soangkoepon. Soetan Goenoeng Moelia juga masih di Volkraad (mewakili golonga/bidang pendidikan). Kini, pada tahun 1938 bertambah lagi anak Tapanoeli di Volksraad dari dapil Oost Java mewakili Parindra yakni Radjamin Nasution. Situasinya mereka ini tidak berubah hingga berakhirnya era Hindia Belanda dengan terjadinya pendudukan Jepang (1942). Lantas bagaimana dengan Putra Raden Pandji Soeroso yang bernama Raden Pandji Soejono?
Meski Raden Pandji Soejono dinyatakan lulus ELS tahun 1940 dan bisa mengikuti HBS (tiga tahaun atau lima tahun), namun sang ayah yang sudah mengetahui situasi dan kondisi politik serta eskalasi Perang Pasifik, lebih memilih ke sekolah yang berbau pribumi. Raden Pandji Soejono diterima di sekolah menengah pertanian Middelbare Landbouw School di Buitenzorg (kini Bogor). Raden Pandji Soejono sukses di tahun pertamanya dan naik ke kelas dua (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-06-1941). Tampaknya Raden Pandji Soejono harus kembali ke kampong di Modjokerto sebelum naik ke kelas tiga karena terjadinya pendudukan Jepang (berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda pada bulan Maret 1942).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Arkeologi Indonesia dan Karir Raden Pandji Soejono
Tidak diketahui bagaimana pendidikan pada era pendudukan militer Jepang. Pasca proklamsi kemersekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 terjadi perang kemerdekaan. Bagaimana pendidikan Raden Pandji Soejono tidak diketahui secara jelas. Yang jelas Raden Pandji Soejono diterima di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Raden Pandji Soejono pada tahun 1952 lulus ujian persiapan (lihat De nieuwsgier, 08-09-1952). Disebutkan lulus ujian persiapan di jurusan arkeologi, Pandji Soejono dan Bóechari serta Nn Hartini Soehadi.
Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) di Universitas Indonesia (Universiteit van Indonesie) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940. Semua fakultas di Universitas Indonesia ditutuo karena terjadinya pendudukan Jepang (berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda pada bulan Maret 1942). Pada tahun 1947 setelah kembalinya Belanda (NICA) Universiteit van Indonesie muali dibukan. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 25-08-1949 memberitakan Soekmono lulus ujian persiapan di Departemen Arkeologi.
Sehubungan dengan penemuan prasejarah di Besuki dan Bali, Dinas Keporbakalaam (Oudheidkundige Dienst) mengutus tim yang terdiri dari HR van Heekeren, Besoeki en Soejono (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-11-1954). Setahun sebelumnya HR van Heekeren, Dr. P Marks, Basoeki, Soejono melakukan kunjungan penelitian ke Patjitan (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 12-10-1953).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar