*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini
Artikel ini tidak sedang menggugat siapa yang
dijadikan sebagai Bapak Pers Nasional, tetapi hanya secara epistemologi, siapa sejatinya
yang menjadi kakek pers nasional dan siapa sesungguhnya yang menjadi cucu pers
Indonesia. Belum lama ini, dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional di Medan,
dari aspek sejarah, satu, yang utama mengemuka soal nama Dja Endar Moeda. Saya
pernah menulis isu tersebut beberapa tahun lalu dengan judul: ‘Bapak Pers
Indonesia: Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional dan Parada Harahap, Cucu Pers
Nasional’ (lihat http://akhirmh.blogspot.com/2015/06/bapak-pers-indonesia-dja-endar-moeda.html).
Siapa Dja Endar Moeda tidak ada yang mengetahui hingga Basyral Hamidy Harahap mengapungkannya ke public. Saya kenal Basyral Hamidy Harahap sejak 1983. Saya waktu itu masih mahasiswa, sebagai sekretaris Halal bi Halan Masyarakat Tapanuli Selatan di Bogor. Untuk itu bersama ketua Hamizul Qubbis Harahap untuk mengisi acara pokok, kami mengundang Basyral Hamidy Harahap sebagai pembicara. Topik yang disampaikan dalam bentuk makalah berjudul: Sejarah Pendidikan dan Willem Iskander. Pada tahun 1991 ketika saya bekerja di Jakarta berkunjung ke rumahnya di Rawamangun bersama Amri Zuhdi yang masih ada hubungan saudara dengan beliau. Basyral Hamidy Harahap yang bekerja di KITLV Jakarta menceritakan, setelah menulis sejarah Willem Iskanden, tengah menulis sejarah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan. Pada tahun 2013 saya mendapat no hp dari Amri Zuhdi Siregar, lalu saya coba menghubungi beliau Basyral Hamidy Harahap dan mengatakan saya tertarik menulis sejarah Soetan Casajangan Soripada? Keinginan itu muncul setelah saya membaca tulisan Harry A. Poeze. Oleh karena Bang Basyral tetap akan menulisnya, saya alihkan perhatian untuk menggali sejarah Parada Harahap. Dalam upaya memahami sejarah Parada Harahap inilah saya menemukan garis continuum sejarah pers mulai dari Dja Endar Moeda (Padang), Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (Leiden) dan Parada Harahap (Batavia).
Lantas bagaimana sejarah bapak pers Indonesia? Seperti disebut di atas, kita tidak sedang mempersoalkan siapa yang menjadi bapak pers nasional tetapi untuk sekadar mengingatkan bahwa kakek pers nasional adalah Dja Endar Moeda dan cucunya Parada Harahap. Kakek dan cucu pers nasional ini adalah bagian terpenting dalam perjalanan sejarah pers Indonesia. Dengan memahami kakek dan cucu, akan lebih mudah mengenal siapa bapak pers nasional. Lalu bagaimana sejarah bapak pers Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Bapak Pers Indonesia: Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional dan Cucunya, Parada Harahap
Sudah lama ada keinginan masyarakat di Solo untuk memiliki pers sendiri. Selama ini pers yang ada adalah pers investasi Eropa/Belanda, apakah surat kabar berbahasa Belanda, berbahasa Melayu atau berbahasa Jawa. Di Solo sudah ada surat kabar berbahasa Belanda. Juga sudah ada surat kabar berbahasa Jawa di Solo, surat kabar Bromartani. Namun kedua surat kabar itu adalah investasi Eropa/Belanda. Dalam konteks inilah semangat memiliki pers sendiri oleh orang pribumi di Solo membuncah.
Nun jauh di Sumatra di Kota Padang, belum pribumi telah memiliki pers sendiri.
Haji Saleh Harahap gelar (Ra)Dja Endar Moeda akhir tahun 1899 telah mengakuasisi
sepenuhnya surat kabar Perja Barat beserta percetakannya. Pada tahun 1900 melalui
percetakan tersebut Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar Tapian Na Oeli dan
majalan (pembangunan) Insulinde. Pada tahun 1900 ini juga Dja Endar Moeda menginisiasi
organisasi kebangsaan pribumi (Indonesia) pertama dengan nama Medan Perdamaian
dimana ia sendiri menjadi presiden. Dja Endar Moeda sendidi, pensiunan guru,
alumni sekolah guru di Padang Sidempoean sudah sejak tahun 1895 (awal
pendirian) turut mendirikan surat kabar Pertja Barat dimana Dja Endar Moeda
bertindak sebagai pemimpin redaksi. Setelah lima tahun, Dja Endar Moeda mengakuisasi
seluruh sahamnya. Majalan Insulinde dan juga tentunya surat kabar Pertja Barat
menjadi organ dari Medan Perdamaian.
Boleh jadi karena kemajuan pers yang ada di Padang, para tokoh pribumi di Soerakarta terdorong untuk membangun pers sendiri, surat kabar yang hanya semata-mata ditujukan kepada masyarakat pribumi sendiri. Lalu gagasan itu dapat direalisasikan (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-07-1900). Nama surat kabarnya, berbahasa Melayu. Pewarta Prijaji. Sebagai editor ditunjuk Raden Oetojo, yang dicetakan oleh percetakan investasi Eropa/Belanda
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-07-1900: ‘Segera perusahaan Rusche & Co. di Solo akan menerbitkan soerat
kabar Prijaji, sebuah majalah, sesuai dengan namanya, yang khusus diperuntukkan
bagi para pejabat pribumi. RM Oetojo yang terkenal, penerjemah bahasa Jawa di
Solo, akan bertindak sebagai editor. Selain peraturan hukum dan surat edaran
departemen, juga akan menginformaasikan isi mater Staatsblad dan juga melansir
berita di dalam surat kabar Javasche Courant; Singkatnya, segala sesuatu yang
berguna bagi pejabat pribumi akan dapat ditemukan di surat kabar Prijaji’. De nieuwe vorstenlanden, 23-07-1900:
‘Edisi pertama Pewarta Prijaji telah muncul. Ini adalah majalah bulanan dalam
bahasa Melayu, untuk kepentingan sipil pribumi abdi di pulau Jawa dan Madoera,
dan diedit oleh Raden Mas Oetoijo’.
Surat kabar pribumi di Jawa, Pewarta Prijaji tidak bertahan lama. Pada tahun 1903 Pewarta Prijaji harus ditutup. Surat kabar De locomotief, 06-08-1903 masih mengutip berita di Pewarta Prijaji. Surat kabar disebutkan berhenti sama sekali pada bulan November (lihat nanti De locomotief, 11-01-1907). Ada banyak factor mengapa Pewarta Prijaji haru ditutup, diantaranya pendapatan dari berlangganan tidak mampu menurup pengeluaran, dan juga karena tidak ada yang menggantikan Raden Oetojo (yang akan mengundurkan diri karena tugas lain). Sementara itu di Sumatra, surat kabar yang dipimpin oleh Dja Endar Moeda Pertja Barat dan Tapian Na Oeli serta majalah Insulende justru dalam performa yang menguntungkan. Bahkan pada tahun 1902 Dja Endar Moeda sebagai presiden Medan Perdamaian mengirim f14.000 ke Sumarang untuk membantu peningkatan pendidikan pribumi.
Nun jauh di Medan, surat kabar berbahasa Belanda, investasi Eropa/Belanda
Sumatra Post pada tahun 1902 melebarkan sayap dengan menerbitkan surat kabar
berbahasa Melayu yang diberi nama Pertja Timor. Yang diangkat menjadi editor
adalah Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe. Mangaradja Salamboewe
adalah adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru (kweekschool) Padang
Sidempoean. Ini mengindikasikan sudah ada beberapa editor pribumi, selain Dja
Endar Moeda, juga ada di Solo RM Oetojo dan Mangaradja Salamboewe di Medan.
Pada tahun 1903 di Batavia, surat kabar berbahasa Melaju Pembrita Betawi merekrut ediotor baru Bernama Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar Pembrita Betawi, pada masa ini dipimpin oleh William Wijbran, yang pernah menjadi editor surat kabar berbahasa Belanda di Medan (Sumatra Post). Boleh jadi manajemen Pembrita Betawi kini berada di bawah kendali manajemen surat kabar Sumatra Posr di Medan (yang belum lama ini menerbitkan Pertja Timor di Medan).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional dan Cucunya, Parada Harahap: Mengenal Lebih Dekat Siapa Tirto Adhi Soerjo
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar