*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini
Soetomo
termasuk salah satu pendiri Boedi Oetomo di Batavia tahun 1908. Namun setelah
Kongres Boedi Oetomo di Jogjakarta, Soetomo dkk tidak sepenuhnya lagi menjadi
anggota Boedi Oetomo. Mengapa? Yang jelas setelah lulus studi di STOVIA dan
bekerja sebagai dokter pemerintah di beberapa tempat termasuk di Loeboek Pakam
(1913-1815), Dr Soetomo berangkat studi ke Belanda dimana Dr Soetomo bergabung
dengan Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia), suatu organisasi yang
sesuai baginya.
Dr. Soetomo atau Soebroto lahir 30 Juli 1888 adalah tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia. Soebroto mengganti namanya menjadi Soetomo saat masuk ke sekolah menengah. Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus pada tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra. Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi spesialis kedokteran di Universitas Amsterdam. Selama kuliah, Soetomo ikut berkegiatan di Indische Vereeniging. Soetomo juga sempat dipilih menjadi ketua Indische Vereeniging periode 1921–1922. Pada tahun 1923, Soetomo kembali ke Indonesia dan menjadi pengajar di Nederlandsch Artsen School (NIAS). Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club di Surabaya. Pada tahun 1930, Indonesische Studie Club mengubah namanya jadi Partai Bangsa Indonesia dan pada tahun 1935, mendirikan Partai Indonesia Raya. (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Dr Soetomo lulusan STOVIA studi ke Belanda? Seperti disebut nama Soetomo diidentikkan dengan Boedi Oetomo. Namun itu tidak sepenuhnya benar. Sepulang studi dari Belanda, Soetomo menedikan Studieclub Indonesia di Soerabaja hingga terbentuknya Partai Indonesia Raja. Lalu bagaimana sejarah Dr Soetomo lulusan STOVIA studi ke Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Dr Soetomo, Lulusan STOVIA Studi ke Belanda; Studieclub Indonesia di Soerabaja hingga Partai Indonesia Raja
Pada tahun 1915 Dr Soetomo baru selesai bertugas sebagai dokter di Deli (setelah dua setengah tahun) dan kembali ke Jawa. Di Batavia, Dr Soetomo memintan Dr Sardjito, ketua Boedi Oetomo afdeeling Batavia untuk dilakukan pertemuan umum. Dalam pertemuan umum tersebut Dr Soetomo berbicara tentang bagaimana nasib kuli asal Jawa di Deli dan solusi untuk mengatasinya..
Pada tahun 1912 di Bandoeng terjadi peristiwa yang baru kali pertama
terjadi. Dr Tjipto Mengoenkoesoemo, EF Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat
melakukan agitasi terhadap pemerintah. Pemerintah menagkap ketiganya dan
kemudian mengasingkannya ke Belanda. Mereka ini kelak dikenal sebagai Tiga
Serangkai. Dr Tjipto di Eropa mengalami sakit. Lalu Dr. Tjipto meminta
permohonan kembali ke Hindia. Permohonan kepada Menteri Koloni dikabulkan
tanggal 24 Juli unruk kembali ke tanah air karena alasan kesehatan (lihat Het
nieuws van den dag: kleine courant, 29-07-1914). Sementara Soewardi
Soerjaningrat lulusan OSVIA Bandoeng yang telah bergabung dengan Indische
Vereeniging mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Soewardi
Soerjaningrat diterima di sekolah untuk mendapatkan akta guru LO (akta guru
sekolah dasar yang bisa mengajar di ELS).
Dalam pidatonya, Dr Soetomo meminta perhatian kepada anggota Boedi Oetomo. Dr Soetomo mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi sendiri. Banyak orang pintar di luar sana terutama orang-orang Tapanuli, Tampaknya Dr Soetomo di satu sisi telah bergaul dengan orang Tapanuli (khususnya Angkola Mandailing di Medan) dan tentu saja di Batavia (selama kuliah di STOVIA). Di sisi yang lain Dr Soetomo telah melihat sendiri dan berbicara dengan kuli perkebunan yang berasal dari Jawa. Saat itu yang berlaku adalah ordonansi poenalie sacntie.
Dalam hal ini, Dr Soetomo mulai paham bahwa penderitaan kuli asal Jawa di
Deli harus menjadi perhatian Boedi Oetomo, tetapi Boedi Oetomo tidak bisa
sendiri di Jawa dan harus bekerjasama dengan
suku bangsa lain. Oleh karena itulah Dr Soetomo perlu meminta pertemuan umum
para anggota Boedi Oetomo di Batavia untuk mendengar apa yang ingin
disampaikannya. Dr Soetomo meminta perhatian anggota bahwa untuk mengatasi
penderitaan kuli asal Jawa di Deli tidak bisa dilakukan sendiri harus
bekerjasama dengan orang Tapanoeli. Orang Tapanoeli di Medan pada saat itu
sudah bisa mengatasi permasalahan sendiri dan bahkan sudah bisa bersaing dengan
orang-orang Cina sejak dibentuknya Sarikat Tapanoeli pada tahun 1907 dan mendirikan
surat kabar Pewarta Deli tahun 1909.
Anak-anak orang Tapanoeli sudah banyak yang studi ke negeri Belanda dan
juga Batavia serta Buitenzorg.
Boedi Oetomo (afdeeling Batavia) belum sempat memikirkan apa yang dihimbau Dr Soetomo, tiba-tiba pada tahun 1918 muncul berita dari Medan bahwa seorang krani di perkebunan membongkar kasus poenali sanctie. Hasil investigasi krani tersebut dilaporkan surat kabar Benih Mardika yang terbit di Medan yang kemudian dilansir surat kabar Soeara Djawa, lalu heboh di Djawa. Dr Soetomo yang kala itu sedang bertugas sebagai dokter di Palembang. Dr Soetomo tersenyum. Prediksinya tepat. Krani yang membongkar kasus poenalie sanctie tersebut yang telah dipecat oleh tempat ia bekerja akibat kasus itu bernama Parada Harahap.
Pada waktu kasus poenali sanctie merebak di tanah air, dalam kepengurusan
Dahlan Abdoellah di Indische Vereeniging (1918), RM Soewardi yang sudah
mendapat akta guru LO dilibatkan untuk memimpin sebuah organ baru yang
didirikan yakni majalah mingguan Hindia Poetra. Majalah Hindia Poetra fokus
pada pandangan-pandangan tentang Hindia dari kalangan pribumi (mahasiswa dan
alumni). Dalam perkembanganya RM Soewardi memimpin Indonesisch Persbureau yang
ruang lingkupnya lebih luas untuk menjembatani isu-isu terkini tentang antara
Hindia dan Belanda. Indonesisch Persbureau menyajikan isu-isu tersebut dengan
dukungan wawancara terhadap orang-orang Belanda yang memahami betul tentang
Hindia.
Pada tahun 1919 Dr. Soetomo melanjutkan studi ke Belanda. Dua rekannya yang sama-sama dokter melanjutkan studi ke Belanda adalah Dr. Sardjito dokter yang bertugas di Batavia dan Dr Mohamad Sjaaf yang bertugas di Medan. Pada waktu yang relatif bersamaan pada tahun 1919 ini RM Soewardi Soerjaningrat kembali ke tanah air (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-08-1919). Saat itu Soekarno masih duduk di sekolah menengah (HBS) di Soerabaja.
Pada tahun 1919 ini, Parada Harahap setelah sempat bekerja sebagai editor
si surat kabar Benih Mardika di Medan, karena surat kabar itu dibreidel, Parada
Harahap pulang kampong dan mendirikan surat kabar baru di Padang Sidempoean
dengan nama Sinar Merdeka. Di Padang Sidempoean sudah ada sebuah majalah
(Poestaha) yang didirikan pada tahun 1915 oleh Soetan Cassangan sepulang dari
Belanda tahun 1913. Majalah ini juga ditangani oleh Parada Harahap. Masih pada
tahun ini ketika Kongres Sumatranen Bond yang pertama diadakan di Padang,
Parada Harahap memimpin delagasi dari wilayah Tapanoeli. Pada kongres ini
Parada Harahap kenal Mohamad Hatta yang menjadi sekretaris Jong Sumatranen Bond
di Padang. Masih pada tahun 1919 ini di Belanda, diketahui Todoeng Harahap
gelar Soetan Goenoeng Moelia telah berhasil memperoleh akta guru MO (Middlebare
Onderwijzer) kira-kira setara dengan sarjana pendidikan (sarjana penuh). Akta
guru LO kira-kira setara dengan sarjana muda. Mahasiswa Indonesia pertama yang
mendapat akta guru MO adalah Soetan Casajangan pada tahun 1910 (pendiri Indische
Vereeniging). Pada akhir tahun 1919 Soetan Goenoeng Moelia kembali ke tanah air
(dan akan ditempatkan sebagai direktur HIS yang baru dibuka di Kotanopan).
Pada tahun 1920 Soetan Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah air untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah 19 halaman yang berjudul ‘De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek’ (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Forum ini juga dihadiri oleh Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan di hadapan para ahli Belanda sebagaimana tahun 1911, Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang
mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum
ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan
berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika
itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa
saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang
respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi
kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal
dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang
membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk
konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan
sekolah-sekolah untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun
1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis
sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam
pendidikan...tetapi kesetaraan antara ‘coklat’ dan ‘putih’...saya menyadari ini
tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa
saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan
baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para
intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa
Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru
pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat
mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya
jika dibandingkan dengan Dewan (Tweede Kamer)..’
Saat kehadiran Soetan Casajangan di Belanda tahun 1920, sudah barang tentu Dr Soetomo dan Dr Sardjito hadir dalam pertemuan berkelas itu. Boleh jadi Dr Soetomo teringat kata-katanya di hadapan anggota Boedi Oetomo cabang Batavia (yang ketuanya adalah Dr Sardjito) pada tahun 1915. Nama Soetan Casajangan cukup terkenal di Belanda, hal ini karena Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah pendiri Indische Vereeniging pada tahun 1908. Apakah Dr Soetomo ingin menjadi ketua Indische Vereeniging? Yang jelas pada tahun 1921 Dr Soetomo di Belanda terpilih menjadi ketua Indische Vereeniging. Pada saat kepengerusan Dr Soeotmo ini nama Indische Vereeniging diganti dengan nama Indonesia Vereeniging. Sementara itu, pada tahun ini (1921) di Soerabaja, Soekarno lulus ujian akhir HBS dan akan melanjutkan studi ke THS Bandoeng (diterima pada tahun 1922). Masih pada tahun 1921 di Belanda Sorip Tagor Harahap lulus sekolah kedokteran hewan dan mendapat gelar Dokter Hewan (dokter hewan Indonesia pertama). Pada tahun ini dari tanah air Mohamad Hata lulusan HBS di PHS Batavia melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun 1921 ini Soetan Goenoeng Moelia, direktur HIS di Kotanopan diangkat sebagai anggota Volksraad mewakili bidang pendidikan (lihat De Preanger-bode, 03-03-1921).
Sementara Soewardi Soerjaningrat yang telah mendapat akta guru LO di
Belanda, di tanah air tidak bekerja sebagai guru pemerintah, tetapi membuka
sekolah sendiri dengan metode pengajaran yang berbeda (yang dikembangkannya
sendiri). Sekolah yang dikembangkan sendiri ini yang dimulai tahun 1922 disebut
sekolah Taman Siswa. Nama Soewardi Soerjaningrat kemudian mulai dikenal tahun
1928 dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Sekolah Taman Siswa ini diadakan di
Djogjakarta.
Dr Soetomo dan Dr Sardjito lulus dan mendapat gelar dokter (dokter penuh). Dr Sardjito melanjutkan ke tingkat doktoral untuk meraih gelar doktor (Ph,D). Sementara Dr Soetomo tidak melanjutkan pendidikannya, tetapi pulang ke tanah air pada tahun 1923 dan ditempatkan di Soerabaja. Pada tahun 1924 Dr Soetomo dkk di Soerabaja mendirikan studieclub. Inilah studieclub pertama di Indonesia (baca: Hindia Belanda).
Pada tahun 1923, Soetan Casajangan diangkat menjadi direktur sekolah guru
di Meester Cornelis. Parada Harahap setelah surat kabarnya Sinar Merdeka di
Padang Sidempoea dibreidel hijrah ke Batavia dan kemudian mendirikan surat
kabar Bintang Hindia pada tahun 1923. Parada Harahap di Padang Sidempoean juga
menjadi editor majalah Poestaha (majalah yang didirikan Soetan Casajangan pada
tahun 1915).
Pada bulan September 1925 di Bandoeng dibentuk suatu komite Perhimpoenan Indonesia yang mana sebagai pengurus harian adalah Mr Sartono dan Ir Soekarno. Sartono sendiri belum lama pulang studi dari Belanda. Mr Sartono lulus ujian akhir dan mendapat gelar Mr di Universiteit Leiden pada bulan Januari 1925 (lihat De standaard, 31-01-1925).
Pada bulan April 1926 di Batavia telah diadakan Kongres Pemuda yang
pertama. Yang menjadi ketua panitia kongres tersebut adalah Mohamad Tabrani
yang bekerja sebagai pemimpin redaksi surat kabar Hindia Baroe. Kongres itu
sendiri sudah mulai dipersiap pada akhir tahun 1925 (lihat De Indische courant,
30-12-1925). Perencanaan kongres pemuda ini tidak lama setelah sarikat jurnalistik
dibentuk dimana sebagai ketua Mohamad Tabrani (editor Hindia Baroe) dan Parada
Harahap (pemimpin redaksi Bintang Hindia) sebagai komisaris (lihat (lihat Deli
courant, 02-09-1925). Sarikat jurnalis ini diresmikan pada tanggal 6 Oktober
1925. Mohamad Tabrani yang belum
lama luslus OSVIA di Bandoeng diketahui menjadi editor Hindia Baroe pada bulan
Juli (lihat De Indische courant, 20-07-1925). Dalam hal ini diduga kuat yang
menjadi pembinan Kongres Pemuda pertama adalah Parada Harahap (wartawan terbaik
pribumi versi pers Eropa/Belanda) yang menjadi pemimpin NV Bintang Hindia
(pemilik percetakan dan surat kabar Bintang Hindia). Parada Harahap juga adalah
pengurus organisasi kebangsaan Sumatranen Bond sebagai sekretaris.
Pada tahun ini di Bandoeng lulus ujian akhir di THS dan mendapat gelar insinyur (Ir) sebagaimana diberitakan Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 05-05-1926. Ir Soekarno tidak bekerja di pemerintahan tetapi bersama Ir Anwari membentuk firma di Bandoeng (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 19-06-1926). Ir Soekarno dan kawan-kawan di Bandoeng pada tahun 1926 diketahui telah mendirikan klub studi dengan nama Algemeeue Studieclub.
Hal ini diketahui ketika di Solo diadakan pertemuan umum Studieclub Kaoem
Indonesia (lihat De locomotief, 19-07-1926). Disebutkan dalam pertemuan itu
juga dihadiri Indonesische Studieclub di Soerabaja yang diwakili antara lain Mr
Singgih. Dalam pertemuan ini juga hadir Ir Soekarno dari Algemeeue Studieclub
te Bandoeng. Dalam hal ini di Indonesia (Hindia Belanda) paling tidak sudah
diketahui keberadaan tiga klub studi (di Soerabaja, Solo dan Bandoeng). Dari
pertemuan di Solo tersebut, studi klub di Solo kemungkinan akan bekerjasama
dengan yang ada di Soerabaia dan selanjutnya akan berpartisipasi dalam organ
(media) Indonesische Studieclub di Soerabaia yaitu Soeloeh Indonesia
Dalam hal ini nama komite Perhimpoenan Indonesia yang dibentuk di Bandoeng tahun 1925 diduga namanya merujuk pada nama Perhimpoenan Indonesia di Belanda (yang di tahun 1924 diperkenalkan Mohamad Hatta dkk). Dalam hal ini, Mr Sartono di Belanda adalah anggota Perhimpoenan Indonesia (yang sebelumnya disebut Indische Vereeniging). Studi klub yang dibentuk Ir Soekarno dkk menjadi bagian dari Perhimpoenan Indonesia di Bandoeng.
Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 03-09-1926: ‘Persatuan Indonesia. Di Bandoeng sebuah komite Persatoean Indonesia (Indonesische Vereeniging) didirikan, yang terdiri dari anggota dewan dari dua belas asosiasi pribumi dan individu swasta. Sebuah dewan (badan pengurus) kemudian dipilih yang terdiri dari Sartono, ketua; Soepardjo, wakil ketua; Sjahboedin Latif, sekretaris; Ir Soekarno juga sekretaris dan Oesman, bendahara. Pengurus harian terdiri dari Sartono dan Soekarno’. Catatan: Soepardjo adalah seorang dokter lulusan STOVIA; Sjahboedin Latif, dokter sebelumnya diketahui sebagai sekretaris badan pusat Sarikat Islam (SI).
Di Bandoeng, Ir Soekarno meski
nama klub studinya masih menggunakan nama Belanda, tetapi secara organisasi
kebangsaan menjadi bagian dari Perhimpoenan Indonesia Bandoeng. Dalam hal ini Ir Soekarno telah bertransformasi dari
seorang anggota Jong Java yang menyarankan penggunaan bahasa Melayu di
Soerabaja dan mendirikan grup studi di internal Jong Java cabang Bandoeng.
Dalam hal ini Ir Soekarno di satu sisi perlunya kajian (klub studi) juga
perlunya persatuan nasional (Indonesia). Nama Ir
Soekarno mulai bersinar terang di Bandoeng. Oleh karena itu sinarnya mulai
dideteksi oleh pengurus pusat Boedi Oetomo. Dalam hubungan ini, pengurus pusat
Boedi Oetomo (yang berpusat di Djogjakarta) mendaftarkan nama Ir Soekanro
sebagai salah satu kandidat anggota Volksraad
dari daerah pemilihan West Java/Bandoeng (lihat De Indische courant,
23-09-1926). Lantas apakah Ir Soekarno tertarik dengan usulan badan pusat BO
ketika banyak anggota BO sejati yang ingin mendaptkan kursi di Volksraad?
Faktanya Mohamad Tabrani dan Ir Soekarno tidak ingin di pemerintahan ketika
pesyaratan pendidikan yang dimiliki sangat memadai, justru memilih bisang non
pemerintah (jurnalistik dan konsultan).
Pada bulan November Algemeeue Studieclub mengadakan pertemuan umum di
Bandoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-11-1926). Dalam pertemuan ini Mr JE
Stokis (anggota ISDP) yang membahas tentang subjek: ‘Politik dan Ekonomi dalam pemerintahan
kolonial’. Pertemuan yang dihadiri sekitar 600 orang juga terdacata tokoh-tokoh
terkenal seperti Goenawan, Mohamad Sanoessi, Soeprodjo, Soediro, Darmopravviró,
Dr. Tjipto dan Douwes Dekker. Pertemuan itu diketuai oleh Ir Darmawan Mangun
Koesoemo, sedangkan Ir Anwari, Ir Soekarno dan guru Kadmirah duduk di meja
dewan. Pidato Stokvis yang berbhasa Belanda diterjemahkan secara ringkas oleh
Ir. Soekarno dalam bahasa Melayu. Dalam diskusi terjadi sahut menyahut, Stokvis
menyatakan bahwa penduduk pribumi belum matang dan bahkan tdiak sampai setengah
matang. Lalu Doewes Dekker (Setia Boedi) mengomentari bahwa itu memang betul
bahwa penduduk pribumi ketidakdewasaan (hijau) atau setengah matang (kuning),
soalnya menurutnya populasi itu tidak merah.Selanjutnya Ir Soékarno menunjuk
pada hubungan ini dengan buah pinang, yang hanya memperoleh warna merah ketika
matang. Kata-kata kiasan itu mudah dipahami dalam konteks pada masa itu.
Boedi Oetomo memperkuat posisi dengan melakukan langkah mundur ke belakang (bersifat kedaerahan), sementara Ir Soekarno tidak lagi di Jong Java tetapi sudah memperluas posisi dengan melakukan langkah maju ke depan (bersifat nasional). Ir Soekarno tidak lagi memilih cara berpikir kami dan mereka, tetapi sadar memilih cara berpikir kita. Ir Soekarno kini berada di tempat dan waktu yang tepat di Bandoeng. Ir Soekarno tidak hanya memajukan pikiran dengan membangun lembaga studi, tetapi juga mulai merangkul semua pihak siapa pun yang disebut orang Indonesia (asli). Seperti Parada Harahap, Ir Soekarno memulai kerja di ruang rapat yang paling dalam. Jabatan seperti itu biasanya bersifat kesekretariatan (yang mengepalai jantung sistem operasi di dalam suatu badan/organisasi).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Studieclub Indonesia di Soerabaja hingga Partai Indonesia Raja: Orang Tapanuli di Berbagai Tempat
Pada bulan September 1927 Parada Harahap (sekretaris Sumantranen Bond) menggagas pembentukan federaso kebangsaan Indonesia dimana dalam pembentukan tersebut turut hadir Dr Soetomo dari studieclub Soerabaja dan juga turut hadir Ir Soekarno dari Perhimpoenan Nasional Indonesia di Bandoeng. Boleh jadi pada saat inilah untuk kali pertama Dr Soetomo sanga senior bertemu dengan sang junior Ir Soekarno
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar