Minggu, 06 Maret 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (454): Pahlawan Indonesia dan Ir Thio Thiam Tjong Lulusan Delft; Partai Demokrat Tionghoa Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Thio Thiam Tjong berasal dari Semarang. Entah bagaimana begitu banyak tokoh-tokoh sejarah golongan Cina/Tionghoa berasal dari Semarang. Thio Thiam Tjong termasuk salah satu tokoh Cina/Tionghoa dalam awal sejarah menjadi Indonesia. Kota Semarang sebagai kota melting pot sejak era VOC akan dideskripsikan sebagai artikel sendiri.

Thio Thiam Tjong (born on 4 April 1896 – died on 22 September 1969) was an Indonesian politician, community leader and businessman whose public career spanned from the late colonial period to the early decades of Independence. He was a founding board member in 1928 of Chung Hwa Hui, a Chinese-Indonesian, colonial political party, and was President of the group's post-WW II political successor Persatoean Tionghoa, formed in 1948, then renamed Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia in 1950. Thio was born in 1896 in Semarang. His father, the wealthy businessman Thio Sing Liong (1871–1940), was a third-generation Peranakan Chinese and the founder of Handel Maatschappij Thio Sing Liong, a leading export-import company. In contrast to his father's business background, Thio's mother – Tan Tien Nio – hailed from the ‘Cabang Atas’ gentry as a granddaughter of Tan Ing Kie, Kapitein-titulair der Chinezen (1835–1895). Through his mother, Thio was therefore a direct descendant of Tan Yok Sing, Kapitein der Chinezen of Semarang (1737–1800) under the Dutch East India Company (V0C). Thio had an entirely Dutch language-based education in Semarang, then at a Hogere Burgerschool (HBS, secondary school) in Leiden in the Netherlands. He studied engineering at Delft University, but left prior to graduating in 1922 to join his father's business. Following his father's retirement in 1933, Thio took over the family business and expanded it. He was also a board member of a number of other companies. Thio emerged as a community leader in the late 1920s, and played an important role in the Chung Hwa Congress of 1927, which led to the founding in 1928 of the political association Chung Hwa Hui (CHH). The influential group was later criticised by left-wing critics as the ‘Packard Club’, a supposed cipher for the interests of the colonial Chinese establishment, most notably the conglomerate Kian Gwan, owned by Thio's in-laws, the Oei family. Thio (first on the left) at part of the Preparatory Commission of the Chung Hwa Congress of 1927. Thio sat on the central board of CHH under the elder statesman HH Kan and became President of the group's Semarang branch in the 1930s. From 1930 until 1934, he acted as Chairman of the Siang Hwee, or Chinese Chamber of Commerce, of Semarang. He also served as a member of the Provincialen Raad van Midden-Java or the Provincial Council of Central Java.

Lantas bagaimana sejarah Thio Thiam Tjong? Seperti disebut di atas, Thio Thiam Tjong adalah salah satu tokoh generasi awal sejarah menjadi Indonesia. Lalu bagaimana sejarah Thio Thiam Tjong? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 05 Maret 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (453): Pahlawan Indonesia dan Saroehoem, Revolusioner van Padang Sidempuan; Semarang dan Surabaya

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Nama Saroehoem sulit menemukan di internet apalagi di medsos. Nama Saroehoem juga tidak tercatat dalam sejarah nasional, apalagi dalam sejarah Semarang dan sejarah Soerabaja. Tentu saja tidak hanya Saroehoem, banyak tokoh sejarah luput dari perhatian para sejarawan. Padahal Saroehoem adalah seorang tokoh revolusioner yang dapat dikatakan mentor politik pertama Adam Malik. Saroehoem sebagai jurnalis juga aktif dalam sarikat jurnalis pribumi di Semarang dan Soerabaja.

Pada artikel sebelumnya, surat kabar Warna Warta terbit di Semarang (sejak 1902), jauh sebelum surat kabar Medan Prijaji yang didirikan Tirto Adhi Soerjo di Batavia (1908). Surat kabar Warna Warta sangat populer di Semarang. Saroehoem adalah editor surat kabar Warna Warta Semarang sebelum ditutup pada tahun 1931.  Dalam Wikipedia dicatat sebagai berikut: In 1931, a longtime editor Saroehoem left the board of the paper and left Semarang for his native Tapanuli, citing disagreements with his colleagues…In March 1933, Warna Warta renamed itself Djit Po; Ong Lee Soei remained as director and Tan Hoa Bouw became editor. It continued publishing as a daily newspaper. At the end of 1935 it was announced that the former editor Saroehoem was returning to become editor-in-chief of the paper. Saroehoem juga pernah menjadi editor surat kabar Sin Tit Po di Soerabaja. Saroehoem juga menjadi bagian dari kerukunan (persatuan) Sumatra di Soerabaja bersama Radjamin Nasoetion, anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja. Saroehoem juga pernah menjadi editor surat kabar Tjit Po (suksesi surat kabar Warna Warta). Pertanyaannya: Mengapa Saroehoem begitu dekat dengan para jurnalis Cina/Tionghoa? Apakah di dalam tubuh Saroehoem asal Padang Sidempoean juga mengalir darah Tionghoa?

Lantas bagaimana sejarah Saroehoem? Seperti disebut di atas, Saroehoem adalah salah satu revolusioner Indonesia yang menjadi mentor politik Adam Malik. Saroehoem van Padang Sidempoean terbilang begitu dekat dengan para jurnalis Cina/Tionghoa. Lalu bagaimana sejarah Saroehoem? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (452): Pahlawan Indonesia dan Lim Kok Liang; Surat Kabar Sinar Sumatra dan Warna Warta Semarang

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Nama Lim Kok Liang sudah disebut pada artikel sebelumnya. Namun tentu saja itu tidak cukup. Dalam hal ini nama Lim Kok Liang terkait dengan sejarah surat kabar Sinar Sumatra di Padang dan surat kabar Warna Warta di Semarang. Dua surat kabar legendraris pada era Hindia Belanda ini dihubungkan oleh Lim Kok Liang. Tentu saja tidak hanya itu. Lantas mengapa ada relasi kota Padang dan kota Semarang?

Nama surat kabar berbahasa Belanda pada awal mula biasanya menggunakan nama-nama khas seperti Bintang, Pembrita, Tjahaja, Warta dan Sinar. Surat kabar pertama menggunakan nama sinar adalah surat kabar Sinar Terang di Solo (terbit pertama 1885).  Lalu kemudian pada tahun 1905 muncul nama surat kabar Sinar Sumatra di Padang, Lalu pada tahun 1919 di Padang Sidempoean terbit surat kabar Sinar Merdeka yang dipimpin oleh Parada Harahap. Nama surat kabar yang menggunakan nama warta adalah surat kabar Warta Brita di Padang pada tahun 1895. Lalu kemudian muncul surat kabar Warna Warta yang terbit di Semarang pada tahun 1902. Surat kabar Sinar Sumatra dan surat kabar Warna Warta terbilag dua surat kabar yang masa hidupnya lama.

Lantas bagaimana sejarah Lim Kok Liang? Seperti disebut di atas, Lim Kok Liang pernah menjadi editor surat kabar Sinar Sumatra di Padang dan juga pernah menjadi editor surat kabar Warna Warta di Semarang. Bagaimana itu bisa terjadi? Lalu bagaimana sejarah Lim Kok Liang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 04 Maret 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (451): Pahlawan Indonesia dan Lim Soen Hin - Tjioe Tjeng Liong di Padang Sidempuan;Lawan Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Lain Medan lain pula Padang Sidempoean. Pada era Pemerintah Hindia Belanda hanya dua matahari yang menghangatkan kota Medan, yakni abang-adik Tjong Jong Hian dan Tjong A Fie. Di bawah bayang-bayang dua konglomerat Medan itu muncul tokoh muda Tan Boen An, yang menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan. Biasanya tokoh Cina cari aman di bawah pemerintahan Belanda (sejak era VOC, 1740). Nun, jauh di Tapanoeli di Padang Sidempoean, dua tokoh Cina cukup menyita perhatian di Batavia. Dua tokoh Cina van Padang Sidempoean itu adalah Lim Soen Hin dan Tjioe Tjeng Liong. Keduanya pernah menentang otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Bagaimana bisa? Nah, itu dia!

Lim Soen Hin, radja persuratkabaran, kelahiran (kampong) Batangtoru dan bersekolah di (kota) Padang Sidempuan. Dengan saudaranya dan teman-temannya sesama Tionghoa asal Padang Sidempuan (antara lain Liem Boan San) kemudian mendirikan perusahaan penerbitan surat kabar di Sibolga dengan nama Tiong  Hoa Ho Kiok Co. Mereka semua adalah alumni Padang Sidempuan. Uniknya, Lim Soen Hin tidak hanya fasih berbahasa Melayu dan Belanda tetapi juga bahasa Batak. Karenanya, Lim Soen Hin juga menjadi asisten editor surat kabar Binsar Sinondang di Sibolga. Lim Soen Hin juga adalah redaktur surat kabar Tapanuli bernama Warta Hindia. Lim Soen Hin jauh sebelumnya telah merintis persuratkabaran di Padang dan bertindak sebagai editor Bintang Sumatra dan Tjahaja Sumatra. TJIOE Tjeng Liong, anggota dewan dan lahir di Padang Sidempuan memulai karir sebagai Wijkmeester der Chineezen di Padang Sidempuan. Pada tahun 1917 berusaha membantu Lim Soen Hin di Sibolga dengan banding di pengadilan untuk membebaskan Lim Soen Hin dari tuntutan karena artikel-artikelnya menentang kapitalisme Belanda (lihat De Sumatra post, 30-03-1920). Tjioe Tjeng Liong berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal di Batavia, tanggal 18 Agustus, 1934 Nomor 1 terhitung dari 24 Agustus 1934 ditunjuk sebagai anggota Dewan (Plaatselijken Raad) Onderafdeeling Angkola en Sipirok. Tjioe Tjeng Liong menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh seorang pedagang, Lim Hong Tek (lihat De Sumatra post, 01-09-1934). Tjioe Tjeng Liong diangkat lagi sebagai anggota dewan untuk periode berikutnya (lihat De Sumatra post, 14-09-1938). (Tapanuli Selatan Dalam Angka)

Lantas bagaimana sejarah Lim Soen Hin dan Tjioe Tjeng Liong? Seperti disebut di atas, di Medan ada dua tokoh penting, dua Tjong bersaudara, sementara dua tokoh Cina di Padang Sidempoean adalah Lim Soen Hin dan Tjioe Tjeng Liong. Lalu bagaimana sejarah Lim Soen Hin dan Tjioe Tjeng Liong? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (450): Pahlawan Indonesia dan Kan Hok Hoei van Bekasi; Gemeenteraad, Chung Hwa Hui, Volksraad

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah keberadaan orang Tiongkok (orang Cina/orang Tionghoa) di Nusantara (baca: Indonesia) sudah sejak zaman kuno. Intensitasnya semakin tinggi seiring dengan kehadiran orang Eropa terutama sejak era Belanda/VOC. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, orang-orang Cina mendapat tempat yang menguntungkan diantara orang Eropa/Belanda dan orang pribumi. Banyaknya tuan tanah (landheer) menjadi salah satu bukti orang-orang Tiongkok (Cina) sukses di Hindia Belanda. Penduduk asli (pribumi) masih harus berjuang keras: menyingkirkan orang Eropa/Belanda dan menyaingi ekonomi orang Cina.

Kan Hok Hoei (6 Januari 1881-1 Maret 1951) dikenal Hok Hoei Kan (HH Kan) adalah seorang tokoh terkemuka Peranakan Cina di Hindia Belanda. Dia mendorong kerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda guna mencapai kesetaraan legal bagi masyarakat Tionghoa di Hindia. Ayahnya, Han Oen Lee, sebagai Luitenant der Chinezen di Bekasi, dan berasal dari keluarga Han Lasem – salah satu keluarga Tionghoa paling awal sekaligus paling berpengaruh di Jawa. Kakek moyang Kan, Letnan Han Khee Bing, adalah kakak tuan tanah Majoor Han Chan Piet (1759-1827) dan Majoor Han Kik Ko (1766-1813). Ibunya bernama Kan Oe Nio, merupakan putri Kan Keng Tjong, salah satu tuan tanah dan taipan terkaya dari Batavia. Ia dididik dalam lingkungan Eropa, disekolahkan di ELS dan KW III S. Pada tahun 1899, ia dinikahkan dengan sepupunya, Lie Tien Nio, putri Majoor Lie Tjoe Hong, kepala bangsa Tionghoa di Batavia yang ketiga. Kan mendapat kesamaan status dengan orang Eropa (gelijkgesteld) pada tahun 1905, setelah itu baru ia dikenal secara luas sebagai Hok Hoei Kan atau H.H Kan.  Karier politiknya dimulai pada Dewan Kota Batavia dan China Chamber of Commerce (Siang Hwee). Kan diterima janji untuk yang baru didirikan di badan legislatif pada tahun 1918. Kan tetap menjadi anggota Volksraad hingga pembubarannya oleh Jepang 1942. Pada tahun 1928, Kan memimpin sebagai Presiden pendiri - over pembentukan Chung Hwa Hui (CHH). Hubungan-nya dengan kaum nasionalis Indonesia adalah ambigu. Pada tahun 1927, Kan menentang memperluas waralaba untuk pemilihan Volksraad karena ia takut dominasi legislatif oleh penduduk asli Indonesia. Pada saat yang sama, pada tahun 1936, ia didukung naas Petisi Soetardjo, yang meminta Kemerdekaan Indonesia dalam sepuluh tahun sebagai bagian dari persemakmuran Belanda. Ketika Jepang ditangkap Kan bersama dengan para pemimpin lain. Kan dipenjarakan di Tjimahi sampai Jepang menyerah pada tahun 1945. Dia meninggal di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Menteng, pada tahun 1951.  

Lantas bagaimana sejarah Kan Hok Hoei? Seperti disebut di atas, banyak peran yang melekat pada diri Kan Hok Hoei, memiliki pendidikan Eropa yang baik, anggota dewan kota Batavia dan anggota dewan pusat Volksraad. Tentu saja nama Kan Hok Hoei masih dapat dihubungkan dengan pembentukan Chung Hwa Hui di Hindia, Lalu bagaimana sejarah Kan Hok Hoei? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 03 Maret 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (449): Pahlawan Indonesia - Kongres Chung Hwa Hui 1927 di Semarang; Anggota Indische Vereeniging

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Chung Hwa Hui (1928–1942; 'Asosiasi Tionghoa'), juga dikenal sebagai CHH adalah sebuah organisasi dan partai politik pro-Belanda konservatif di Hindia Belanda (baca: Indonesia), yang sering dikritik karena menjadi corong dari kalangan berkuasa Tionghoa kolonial. Partai tersebut mengkampanyekan kesetaraan hukum antara etnis Tionghoa dan orang Eropa di koloni tersebut, dan mengadvokasikan keikutsertaan politik etnis Tionghoa di negara kolonial Belanda tersebut. Awalnya partai Chung Hwa Hui ini ada organisasi mahasiswa Cina di Belanda yang aktivitasnya bermula di Belanda tahun 1910 saat mana di Belanda sudah terbentuk organisasi mahasiswa pribumi di Belanda sejak 1908 (Indische Vereeniging).

Chung Hwa Hui (1928–1942; the 'Chinese Association'), also known as CHH, was a conservative, largely pro-Dutch political organisation and party in the Dutch East Indies (today Indonesia), often criticised as a mouthpiece of the colonial Chinese establishment. The party campaigned for legal equality between the colony's ethnic Chinese subjects and Europeans, and advocated ethnic Chinese political participation in the Dutch colonial state. Founded in 1928 after preliminary congresses through 1926 and 1927, CHH was loosely associated with the eponymous Chung Hwa Hui Nederland, a Peranakan student association in the Netherlands, established in 1911 in Leiden. Throughout its existence, CHH was dominated by its founding and only president H. H. Kan, a patrician doyen of the Cabang Atas. Members of the party's founding executive committee consisted of other scions of the Cabang Atas, such as Khouw Kim An, the 5th Majoor der Chinezen of Batavia, Han Tiauw Tjong and Loa Sek Hie, or representatives of ethnic Chinese conglomerates, including Oei Tjong Hauw [id], head of Kian Gwan, Asia's largest multinational at the time, and the Semarang business tycoon Thio Thiam Tjong. Due to its elitist leadership, CHH was referred to by critics as the 'Packard Club' after the expensive cars many of its leaders used. The general membership of the political party was drawn largely from Dutch-educated, upper and upper-middle class Peranakan circles. Chung Hwa Hui was loyal to the Dutch East Indies and supported Indies nationality, but campaigned vigorously for legal equality with Europeans for the colony's Chinese subjects. To this end, the party advocated ethnic Chinese participation in colonial Indonesian politics: until the Japanese invasion in 1942, the majority of ethnic Chinese members of the Volksraad were CHH leaders. HH Kan articulated in his Dutch maiden speech to the Volksraad in 1918 a position that later came to define CHH. (Wikiepdia)

Lantas bagaimana sejarah partai Chung Hwa Hui di Indonesia (baca: Hindia Belanda)? Seperti disebut di atas, partai ini awalnya sebuah organisasi mahasiswa Cina asal Hindia di Belanda yang didirikan tahun 1911. Lalu bagaimana sejarah partai Chung Hwa Hui di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.