Minggu, 22 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (606): Pahlawan Indonesia – Apa Ada Semenanjung Bangka? Semenanjung Malaya dan Sejarah Tiongkok

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada Semenanjung Bangka? Faktanya masa kini yang ada adalah Semenanjung Malaya. Semenanjung Bangka adalah daratan yang bersatu dari Semenanjung Malaya hingga ke pulau Bangka. Jika benar bahwa Semenanjung Bangka itu eksis di masa lampau, maka narasi sejarah zaman kuno Nusantara harus dilakukan koreksi.

The Malay Peninsula (Malay: Semenanjung Tanah Melayu) is a peninsula in Mainland Southeast Asia. The landmass runs approximately north–south (N-S) and, at its terminus, is the southernmost point of the Asian continental mainland. The area contains Peninsular Malaysia, Southern Thailand, and the southernmost tip of Myanmar (Kawthaung). The island country of Singapore also has historical and cultural ties with the region. The indigenous people of the peninsula are the Malays, an Austronesian people.The Titiwangsa Mountains are part of the Tenasserim Hills system, and form the backbone of the peninsula. They form the southernmost section of the central cordillera which runs from Tibet through the Kra Isthmus (the peninsula's narrowest point) into the Malay Peninsula. The peninsula's forests are home to thousands of species of animals and plants. Several large endangered mammals inhabit the peninsula – Asian elephant (Elephas maximus), gaur (Bos gaurus), tiger (Panthera tigris), sun bear (Helarctos malayanus), Malayan tapir (Tapirus indicus), clouded leopard (Neofelis nebulosa), and siamang (Symphalangus syndactylus). The Sumatran rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis) once inhabited the forests, but Malaysia's last rhinoceroses died in 2019, and the species' few remaining members survive only in Sumatra. The peninsula is home to several distinct ecoregions. The Tenasserim-South Thailand semi-evergreen rain forests cover the northern peninsula, including the Tenasserim Hills and the Isthmus of Kra, and extend to the coast on both sides of the isthmus. The Kangar-Pattani floristic boundary crosses the peninsula in southern Thailand and northernmost Malaysia, marking the boundary between the large biogeographic regions of Indochina to the north and Sundaland and Malesia to the south. The forests north of the boundary are characterized by seasonally-deciduous trees, while the Sundaland forests have more year-round rainfall and the trees are mostly evergreen. Peninsular Malaysia is home to three terrestrial ecoregions. The Peninsular Malaysian montane rain forests ecoregion covers the mountains above 1000 meters elevation. The lowlands and hills are in the Peninsular Malaysian rain forests ecoregion. The Peninsular Malaysian peat swamp forests include distinctive waterlogged forests in the lowlands on both sides of the peninsula. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Semenanjung Bangka? Seperti disebut di atas, Semenanjung Bangka adalah daratan yang bersatu hingga pulau Bangka. Pendapat ini pernah disampaikan oleh peneliti Belanda V Obdeijn tahun 1944. Lalu bagaimana sejarah Seemenanjung Bangka? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia – Apakah Ada Semenanjung Bangka: Semenanjung Malaya dan Perdagangan Tiongkok

V Obdeijn menulis artikel berjudul Ggegevens ter Indentificeering van Oude Sumatraansche Toponiemen yang dimuat dalam Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1944. Dalam artikel ini Obdeijn menyatakan bahwa di Teluk Sumatera Selatan dan di Selat Bangka, yang pada waktu itu karena Kepulauan Selat belum terpecah menjadi pulau-pulau, membentuk sebidang tanah perpanjangan Semenanjung Malaya yang mana jalur ke Laut Cina melalui pantai selatan Belitung (lihat peta).

Pendapat sebelumnya dari V Obdeijn menyatakan bahwa garis pantai timur Sumatra yang sekaran dahulunya berada jauh di pedalaman. Dalam jangka panjang telah terjadi proses sedimentasi (yang menutupi Teluk Sumatra Selatan). Pernyataan ini saya sepakat, karena saya juga berpendapat demikian pada artikel-artikel saya sebelumnya. Pernyataannya tentang adanya Semenanjung Bangka agak mengagetkan saya, tapi itu dengan demikian menjadi pertanyaan saya dalam artikel. Seperti disebut Obdeijn bahwa semenanjung yang panjang itu telah terpecah menjadi pulau-pulau besar dan pulau kecil seperti Bangka, Belitung, Singkep, Lingga, Bintan, Batam dan Singapoera. Nmaa daratan perpanjangan Semenanjung Malaya tersebut dalam hal ini untuk memudahkan saya sebelu sebagai Semenanjung Bangka (nama yang ada sebelum nama Semenajung Malaya). Penamaan Bangka ini hanya semata-mata karena nama Bangka terdapat di banyak tempat seperti Bangka Hulu, Bangko, Bangka dan Bengkalis.

Bagaimana Semenanjung Bangka terbentuk tidak dijelaskan Obdeijn, juga tidak menjelaskan mengapa kemudian terpecah menjadi pulau-ulau, Obdeijn hanya berasumsi dalam upaya mendeskripsi kerajaan-kerajaan yang terbentuk di pantai timur Sumatra dan jalur navigasi pelayaran dari India ke Tiongkok. Akan tetapi, meski hanya asumsi Obdeij, justru menjadi pertanyaan yang perlu dibuktikan bahwa apakah Semenanjung Bangka itu pernah terbentuk.

Dalam sejumlah artikel saya sebelumnya banyak bagian pulau-pulau besar di Nusantara telah menjadi meluas jika dibandingkan masa lampau, termasuk pulau Jawa (pantai utara dan timur), pulau Kalimantan (pantai barat dan selatan) dan pulau Papua (pantai utara, barat dan selatan). Seperti halnya di (pantai timur) Sumatra, di pulau-pulau lain karena disebabkan aktivitas penduduk yang intens sehubungan dengan meningkatnya perdagangan dan juga disebabkan aktivitas gunung api.   

Suatu daratan semakin berkurang akibat abrasi (pengikisan daratan akibat benturan arus laut/ombak) sangat masuk akal terjadi di pantai barat Sumatra dan pantai selatan Jawa serta di bagian utara pulau Sulawesu serta pulau-pulau di Maluku. Dinding karang/batuan yang kuat dapat mempertahankan posisi garis pantai (munculnya tanjung), tetapi daratan yang lunak (tanah) rentan dan proses pelapukan batuan granit dan sebagainya terhadap abrasi (yang kemudian membentuk teluk-teluk). Gugus pulau-pulau dari Belitung/Bangkan hingga ke Semenanjung Malaya adalah jalur granit (yang mengandung timah).

Pada masa ini di Kepulauan Riau gunung tertinggi ditemukan di pulau Lingga, gunung Daik dengan tinggi 1.165 M. Gunung tertinggi di pulau Bangka adalah gunung Maras dengan ketinggian 669 M. Gunung tertinggi di pulau Belitung adalah gunung Tajam dengan ketinggian 510 M. Gunung tertinggi di pulau Bintan adalah gunung Bintan dengan ketinggian 400 M. Kecuali gunung Baik, gunung-gunung yang ada di pulau-pulau lebih tepat disebut (puncak) bukit. Di luar itu terdapat gunung Ranai di pulau Natuna (1.033 M).

Sejauh ini tidak ditemukan data pengurangan luas daratan di pulau-pulau Belitung, Bangka, Lingga, Singkep, Batam dan Bintan. Namun ada ditemukan data tentang penurunan dasar laut di Selat Bangka. Ini dapat dibaca dalam skripsi Elisa Maiyenti berjudul ANALISIS PERUBAHAN BENTUK TOPOGRAFI DASAR LAUT SELAT BANGKA (Studi Kasus : Selat Bangka, Perbatasan Pulau Sumatera dan Pulau Bangka). Hasil penemuan telah terjadi penurunan dasar laut antara tahun 1996 hingga 2012 dari 21,5 meter menjadi 21,5661 meter sebesar - 0,07 meter (terkecil) dan dari 7 meter menjadi 33,852 meter sebesar 26,8 meter (terbesar).

Hasil ini mengindikasikan bahwa perubahan kedalaman laut di selat Bangka besar dugaan disebabkan karena arus laut yang diduga arahnya dari Laut Jawa dan Laut Cina Selatan ke dalam selat. Pengaruh arus ini memang sulit dijelaskan, apakah juga dipengaruhi proses sedimentasi (dan pendangkalan dasar laut) di sisi pantai timur Sumatra yang semakin mempersempit koridor selat. Namun yang jelas pengaruh arus laut telah mempengaruhi kedalaman dasar laut di selat. Adanya aktivitas penambangan di pulau Bangka dan pengaruh arus laut telah mempercepat proses pendangkalan di pantai timur Sumatra. Peta 1837 (peta kedalaman laut Selat Bangka)

Apakah dalam hal ini, perubahan kedalaman laut di Selat Bangka dapat menjelaskan asumsi V Obdeij telah terjadi pemecahan daratan Semenanjung Bangka menjadi pulau-pulau seperti pulau Belitung, pulau Bangka dan pulau-pulau Batam dan Bintan? Namun argumentasi ini tentulah belum memadai. Data geologi akan memperkaya pemahaman dan juga hasil pengukuran batimetri di kawasan yang lebih luas..

Artikel RF Purba, H Hariadi, and S Widada berjudul KAJIAN BATIMETRI DAN MORFOLOGI DASAR PERAIRAN DABO SINGKEP, KEPULAUAN RIAU yang dimuat dalam Journal of Oceanography, vol. 6, no. 4, pp. 659 – 665, May. 2017 menggambarkan kedalaman di perairan Dabo Singkep sebesar 0–36 meter telah mengalami pendangkalan berupa gosong pasir dan karang pada daerah pesisir. Morfologi dasar perairan datar dikawasan nilai rata-rata kelerengan sebesar 0.245 derajat.

Kawasan perairan Belitung/Bangka hingga ke pulau Batam/Bintang kaya dengan kandungan pasir laut (yang dalam banyak segi, massa pasir yang ada mengandung mineral lain). Sebagaimana diketahui bahwa kedalaman laut semakin dalam ke arah lautan luas (laut Jawa, Laut Cina Selatan dan Selat Malaka). Pada kawasan dangkal diduga kuat sebagai lapisan pasir yang ketebalannya berbeda-beda.

Permukaan dasar laut yang bergelombang di kawasan mengindikasikan bentuk morfologi bergelombang dasar laut mengindikasikan sebagai hasil dari proses penumpukkan sedimen pasir granit (yang dipengaruhi arus laut dan arus sungai dasar laut dari pantai timur Sumatra). Perairan kawasan dalam beberapa dekade terakhir aktif dilakukan penambangan pasir dasar laut.   .

Pada masa ini ketebalan pasir (sedimen) di kawasan peraian pulau-pulau  berkisar antara 10 hingga 20 meter (ada yang lebih tebal dan ada yang lebih tipis). Adanya pasir (laut) dapat diartikan adanya proses pelapukan jangka panjang pada batuan granit yang membentuk pulau—pulau dan kedalaman ketebalan sedimen (pasir laut) mengindikasikan bahwa di perairan di lepas pantai pulau-pulau mengindikasikan kedalama laut di masa lampau bermula dari laut yang lebih dalam. Lalu dengan indikasi-indikasi tersebut, apakah asumsi V Obdeij tentang adanya Semenanjung Bangka di masa lampau telah menjawab pertanyaan tersebut?

Dalam hal ini proses sedimentasi jangka panjang di pantai timur Sumatra berbeda dengan proses sedminetasi yang terjadi perairan pulau-pulau. Proses sedimentasi jangka panjang di pantai timur Sumatra dipengaruhi massa padar yang terbawa arus sungai dari pedalama (seperti sungai Musi dan sungai Batannghari) yang kemudian terbentuk rawa-rawa yang selanjutnta terbentuk daratan. Sementara proses sedimentasi di pulau-pulau adalah proses sedimentasi jangka panjang terbentuknya lapiran sediimen pasir yang cukup tebal.

Proses pelapukan jalur granit di pulau-pulau boleh jadi merupakan proses lanjutan dari pemecahan daratan yang memanjang dari Semenanjung Malaya hingga ke Belitung (Semenanjung Bangka). Dalam hal ini ada logisnya bahwa asumsi Obdeij tentang Semenanjung Bangka ada benarnya dan kini telah membentuk pulau-pulau yang banyak.

Pertanyaan berikutnya apakah proses pemecahan daratan yang memanjang tersebut masih terjadi pada pulau-pulau? Seperti disebut di atas proses abrasi telah memberi pengaruh besar di masa lampau yang mengakibatkan Semenanjung Bangka telah mereduksi menjadi tersisa Semenanjung Malaya. Tentu saja tidak secepat tempo doeloe. Sebab kondisi morfologi dasar laut di Laut Jawa, Laut Cina Selaran dan Selat Malaka masa lampau dengan kondisi yang sekarang sudah jauh berbeda. Pada masa lampau kedalaman laut cukup dalam yang memberi pengaruh pada arus (gelombang) laut. Pada masa lampau menurut catatan Eropa dan Tiongkok gelombang di Laut Jawa adalah ombak laut yang sangat ganas sehingga sulit dilayari. Pada masa ini gelombang itu semakin jinak karena perairan Laut Jawa telah mendangkal sejak lama  akibat proses sedimentasi jangka panjang yang diakibatkan massa padat (lumpur) yang terbawa arus sungai dari pedalaman di pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa dan pantai barat/selatan Jawa. Laut Jawa yang relatif lebih dangkal pada masa ini menyebabkan gelombang Laut Jawa menjadi lebih bersahabat. Dampaknya proses abrasi terhadap pulau-pulau tidak seganas masa lampau pada kawasan daratan Semenanjung Bangka.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Apakah Ada Semenanjung Bangka: Hipotesis Navigasi Pelayaran Perdagangan antara India dan Tiongkok via Selat Malaka

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar