Senin, 12 Juni 2023

Sejarah Banyuwangi (38): Bahasa Osing dan Lingua Franca Wilayah Banyuwangi;Bahasa Osing Sejak Doeloe - Bahasa Jawa Masa Ini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyuwangi dalam blog ini Klik Disini

Di pulau Jawa, sejatinya berawal dari banyak bahasa-bahasa asli. Lalu bagaimana antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda? Seperti halnya di pulau Jawa, di pulau Madura juga awalnya memiliki bahasa asli tersendiri. Lantas bagaimana hubungannya bahasa Madura dengan bahasa Jawa. Dalam konteks itulah posisi bahasa Osing di pulau Jawa. Bahasa Osing bukan bahasa Jawa, dan juga bukan bahasa Madura. Selain bahasa Osing juga ada bahasa Tengger. Last but not least: bagaimana dengan bahasa Banyumas/Tegal? Apakah bahasa Jawa telah menjadi lingua franca di pulau Jawa, menggantikan bahasa Melayu?


Bahasa Osing (Basa Using dikenal sebagai "bahasa dari Banyuwangi" adalah ​sebuah varietas dari bahasa Jawa yang dituturkan oleh suku Osing di Banyuwangi, Jawa Timur. Secara linguistik, bahasa ini termasuk dari cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Using mempunyai keunikan dalam sistem pelafalannya, antara lain: Adanya diftong [ai] untuk vokal [i]: semua leksikon berakhiran i pada Bahasa Osing selalu terlafal sebagai/ai/. Seperti misalnya geni /gəni/ (api) terbaca genai, bengi bəŋːi (malam) terbaca bengai, gedigi /gədigi/ (begini) terbaca gedigai. Adanya diftong [au] untuk vokal [u]: leksikon berakhiran u hampir selalu dilafalkan sebagai /a/. Seperti gedigu /gədigu/(begitu) terbaca gedigau, asu (anjing) terbaca asau, awu (itu) terbaca awau. Bahasa Using mempunyai kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuna yang masih tertinggal. Varian Kunoan terdapat di Giri, Glagah dan Licin, Bahasa Using di kabupaten Jember telah banyak terpengaruh oleh Bahasa Madura dan Bahasa Jawa baku. Di kalangan masyarakat Osing, dikenal dua gaya bahasa yang digunakan di situasi yang berbeda: cara Osing dan cara Besiki. Cara Osing dipakai dalam kehidupan sehari-hari ada perbedaan diantara semuanya. Kosakata Bahasa Using merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuna, akan tetapi menurut penelitian oleh Prof. Dr. Suparman Heru Santosa: Bahasa Using sudah memisahkan diri dari Bahasa Jawa Kuna sejak tahun 1114, dengan demikian sebelum Kerajaan Majapahit berdiri pun Bahasa Using sudah berkembang dan digunakan di tanah Blambangan. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Osing dan lingua franca di wilayah Banyuwangi? Seperti disebut di atas, bahasa Osing tidak lagi menjadi bahasa dominan. Sudah ada bahasa Jawa dan bahasa Madura. Bahasa Osing sejak doeloe banyak dipengaruhi berbagai bahasa dan kini apakah bahasa Jawa menjadi lingua franca? Lalu bagaimana sejarah bahasa Osing dan lingua franca di wilayah Banyuwangi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa Osing dan Lingua Franca di Wilayah Banyuwangi; Bahasa Osing Sejak Doeloe - Bahasa Jawa Masa Kini

Semasa era Pemerintah Hindia Belanda, di wilayah Banjoewangi ada tiga bahasa utama, yakni bahasa Madoera, bahasa Djawa dan bahasa Oesing. Satu hal yang kerap dikatakan saat itu bahwa bahasa Oesing adalah bahasa campuran. Mengapa bisa? Apakah ada yang salah dengan itu? Fakta bahwa (disebutkan) bahasa Oesing terkesan bahasa dimana dalam banyak kosa kata memiliki kesamaan dengan kosa kata di dalam bahasa Djawa dan bahasa Madoera.


Fakta lain adalah bahwa penduduk asli di wilayah Banjoewangi adalah orang Osing. Suatu kelompok populasi awal yang dikaitkan dengan kerajaan Balambangan di masa lampau. Oleh karenanya bahasa Osing saling dipertukarkan sebagai Balambangan. Sementara itu orang Madura dan orang Jawa di wilayah Banjoewangi adalah pendatang, yang dari waktu ke waktu semakin banyak. Orang Madura datang dari pulau Madura melalui laut di wilayah utara Banjoewangi; orang Jawa datang dari dalam pulau dari arah barat melalui jalan baru Djember-Banjoewangi di wilayah selatan dan tengah. Selain itu di wilayah Madoera juga terdapat pengguna bahasa lain seperti bahasa Melayu dan bahasa Mandar. Yang menjadi lingua franca di wilayah Banjoewangi sejak kehadiran orang Eropa/Belanda adalah bahasa Melayu.

Satu pertanyaan penting dalam hal ini, soal bahasa Osing yang disebut bahasa campuran. Pernyataan tersebut kurang spesifik. Apakah bahasa Osing merupakan bahasa yang terbentuk baru dari bahasa-bahasa lain, atau bahasa Osing adalah bahasa asli di wilayah Banjoewangi yang tercampur (menyerap) bahasa Madura dan bahasa Jawa?


Pada masa ini, kerap disebut bahasa Osing adalah varian bahasa Jawa. Apakah pernyataan itu benar? Mengapa tidak ada yang menyebut bahasa Osing adalah varian bahasa Madura. Boleh jadi pernyataan pertama karena mungkin banyak kosa kata bahasa Jawa mirip dengan kosa kata dalam bahasa Osing. Lalu apakah itu menjadi alasan mengapa bahasa Osing disebut di masa lampau sebagai bahasa campuran dan pada masa ini disebut bahasa Osing adalah varian bahasa Jawa.

Dalam sejarah bahasa-bahasa ada satu bahasa di suatu wilayah yang luas yang menjadi bahasa pengantar (lingua franca). Dalam sejarah bahasa di Nusantara, disebut bahasa Sanskerta pernah menjadi lingua franca. Itu berlaku pada era Hindoe/Boedha. Lalu dalam perkembangannya sebagai lingua franca di nusantara adalah bahasa Melayu (suksesi bahasa Sanskerta).


Bahasa Melayu sebagai lingua franca baru, adalah bahasa yang merupakan bahasa Sanskerta yang diperkaya dengan berbagai bahasa di Nusantara termasuk bahasa Batak. Cikal bahasa Melayu ini ditemukan dalam prasasti-prasasti abad ke-7. Saat mana bahasa Sanskerta sebagai lingua franca, juga banyak kosa kata yang diserap oleh bahasa-bahasa asli di (pulau) Sumatra dan (pulau) Jawa. Dalam hal ini bahasa Sanskerta saling bertukar dengan bahasa-bahasa asli, tetapi bahasa Sanskerta yang diperkaya berbagai bahasa asli, lambat laun membentuk bahasa lingua franca baru, yang disebut bahasa Melayu. Penamaan bahasa itu disebut bahasa Malayu diduga dipopulerkan oleh palaut-pelaut Portugis (yang kemudian diikuti pelaut-pelaut Belanda).

Satu hal yang jarang dipertanyakan adalah, ketika bahasa Melayu menjadi lingua franca antar pulau, khususnya di wilayah-wilayah pesisir, apakah juga bahasa Jawa di (pulau) Jawa telah terbentuk sebagai lingua franca di daratan (pulau) Jawa? Jika bahasa Jawa sebagai lingua franca baru (yang juga banyak menyerap bahasa Sanskerta/bahasa Melayu), lalu asli bahasa Jawa haruslah dianggap sebagai bahasa asli, dalam arti bahasa asli yang bisa disejajarkan dengan bahasa Osing, bahasa Madura dan bahasa Banyumas serta lainnya.


Bahasa Madura adalah bahasa asli yang ada di pulau Madura, suatu bahasa asli yang berbeda dengan bahasa-bahasa asli di (pulau) Madura. Dari masa ke masa bahasa asli Madura dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta/bahasa Melayu yang pada fase lebih lanjut dipengaruhi bahasa Jawa (menyerap bahasa Jawa). Namun dalam hal ini, bahasa Madura tidak pernah dikatakan sebagai varian bahasa Jawa, akan tetapi mengapa bahasa Osing ada yang menyebut varian bahasa Jawa. Dalam konteks inilah bahasa Osing perlu diperhatikan, dipelajari dalam perjalanan sejarahnya.

Dalam hubungannya bahasa Jawa dan bahasa Osing di satu sisi, bahasa Banyumas dan bahasa Jawa di sisi lain menarik untuk dipahami. Ada pendapat bahwa semua kosa kata bahasa Jawa dapat dimengerti pengguna bahasa Banyumas, tetapi tidak sebaliknya. Lalu apakah bahasa Banyumas sebagai varian bahasa Jawa? Paralel dengan itu, bagaimana dengan bahasa Osing? Apakah pengguna bahasa Jawa dapat sepenuhnya memahami bahasa Osing? Pertanyaan ini dapat diperluas dengan bahasa Madura, bahasa Tengger dan bahasa Sunda.


Jika ada yang berpendapat bahwa bahasa Banyumas, bahasa Tengger, dan bahasa Osing adalah varian bahasa Jawa, tetapi tidak untuk bahasa Sunda dan bahasa Madura, lalu apakah dalam hal ini bahasa Jawa lebih tepat dikatakan sebagai lingua franca di daratan (pulau) Jawa? Suatu bahasa yang kemudian mempengaruhi bahasa-bahasa lainnya (menyerap bahasa Jawa). Perbedaan pengaruh inilah yang diduga menjadi sebab mengapa bahasa-bahasa asli di Jawa dapat dibedakan satu sama lain. Pengaruh bahasa Jawa terkuat terdapat di wilayah Banyumas (bahasa Banyumas). Hal serupa inilah yang terjadi di pulau-pulau lain dimana bahasa Melayu di masa lampau sebagai lingua franca mempengaruhi secara berbeda bahasa-bahasa asli lainnya (pengaruh kuat terdapat dalam bahasa Minangkabau, bahasa Banjar; pengaruh bahasa Melayu dalam bahasa Batak relatif sedikit).

Bahasa Jawa sendiri di (pulau) Jawa diduga yang paling banyak dipengaruh bahasa asing (bahasa Sanskerta/Melayu dan bahasa asli lainnya) yang dalam perjalanan sejarahnya, bahasa Jawa membentuk lingua franca. Sebagai lingua franca baru (menggantikan bahasa Melayu/Sanskerta), akar bahasa Jawa terkesan semakin kontras dengan akar bahasa Banyumas, bahasa Tengger dan bahasa Osing.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Osing Sejak Doeloe - Bahasa Jawa Masa Kini: Apakah Bahasa Osing Akan Punah?

Nama Osing adalah baru. Antara lain baru muncul dalam laporan studi Stoppelaar (1927). Nama Osing ini menunjuk pada penduduk Balambangan. Balambangan sendiri adalah suatu wilayah yang sudah lama dikenal (lihat Negarakertama, 1365). Sejak kehadiran orang Eropa, nama Balambangan mulai dikenal luas, yang mana misionaris Portugis juga membuka stasion di Balambangan (lereng gunung Peter Berg).


Nama Balambangan saling tertukar dengan nama Balamboean. Ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis Houtman berlabuh di Balaboean dari tanggal 22 hingga 24 Januari 1897. Balaboean ini adalah nama pelabuhan Balambangan di teluk Balambangan (sekitar Muncar yang sekarang). Nama Balaboean diduga merujuk pada nama pelabuhan. Pada era yang sama juga ada nama yang mirip di Banten yang sekarang yang dicatat sebagai Palaboean (adakalnya dicatat Palambon).

Dari laporan de Houtman, Balambangan adalah kerajaan tersendiri, yang dibedakan dengan kerajaan Mataram (sementara kerajaan Banten di bagian barat). Dalam hal ini, Balambangan adalah suatu wilayah yang terpisah dari Jawa (Mataram).


Balambangan sendiri berada di pantai timur dan pantai selatan Jawa. Ibu kota kerajaan Balambangan ini secara geografis berada lebih dekat dengan pantai selatan Jawa. Sementara itu Banten berada di pantai barat dan pantai selatan Jawa. Ibu kota kerajaan Banten ini secara geografis berada lebih dekat dengan pantai selatan Jawa di Palaboean (Banten adalah pelabuhan baru). Bahasa asli yang tersisa di dua wilayah ujung pulau Jaw aini adalah bahasa Osing/bahasa Balambangan dan bahasa Soenda/bahasa Badui. Bagaimana dengan bahasa Banyumas? Juga berada di pantai selatan Jawa (di teluk Sagara). Bagaimana dengan bahasa Tengger? Apakah juga awalnya berada di pantai selatan Jawa? Secara geomorfologis, awal peradaban di pulau Jawa diduga kuat berada di pantai selatan Jawa (wilayah pegunungan). Lantas apakah bahasa Jawa bermula di hulu sungai Bengawan Solo? Suatu sungai yang bermuara di pantai timur laut Jawa?

 Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar