Jumat, 29 Maret 2024

Sejarah Padang Lawas (10): Apakah Bahasa Melayu Merujuk BahasaBatak?AksaraBatak di Tanah Batak dan Aksara Jawi di Melayu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini

Wilayah Padang Lawas adalah salah sau wilayah di pulau Sumatra yang sudah dikenal sejak lama. Dalam peta Ptolomeus abad ke-2 diidentifikasi nama Tacola yang diduga adalah nama Angkola. Nama Minanga yang diduga nama Binanga di Padang Lawas terdapat pada prasasti abad ke-7. Besar dugaan masyarakat pendukung peradaban di Padang Lawas adalah orang Batak yang membanngun candi-candi.  Apakah dalam hal ini terbentuknya bahasa Melayu merujuk pada bahasa Batak?

 

Bahasa rujak adalah suatu jenis tata bahasa di berbagai negara (khususnya di Malaysia dan Singapura) yang mencampurkan berbagai bahasa dalam satu kalimat atau percakapan, seperti halnya dengan bahasa pijin, Manglish/Inggris Malaysia dan Singlish/Inggris Singapura. Namun, bahasa dasarnya tetap saja merupakan bahasa ibu dari negara bersangkutan. Di Indonesia, bahasa yang demikian biasa disebut bahasa gado-gado. Bahasa ini dinamakan dengan Bahasa rujak karena bahasa ini memcampurkan bahasa lokal dengan bahasa-bahasa lain dalam satu percakapan, sehingga terlihat bercampur-aduk tak beraturan layaknya makanan rujak. Bahasa rujak menjadi kontroversi karena dianggap sebagai bahasa yang tidak baku dan merusak kemurnian bahasa dan dapat menimbulkan krisis dalam pembelajaran bahasa. Contoh kosakata bahasa rujak dalam bahasa Indonesia: Lihat bonekaku yang cute (lucu) ini; Love you sayang, good nite! Overall semuanya saya suka, I like it! (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah apakah bahasa Melayu merujuk bahasa Batak? Seperti disebut di atas sejarah peradaban awal yang terinformasikan di pantai timur Sumatra salah satunya di wilayah Padang Lawas. Apakah dalam hal ini terbentuknya bahasa Melyu di pantai timur Sumatra merujuk bahasa Batak? Aksara Batak di Tanah Batak, aksara Jawi di wilayah Melayu. Lalu bagaimana sejarah apakah bahasa Melayu merujuk bahasa Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Apakah Bahasa Melayu Merujuk Bahasa Batak? Aksara Batak di Tanah Batak, Aksara Jawi di Wilayah Melayu

Masyarakat pendukung peradaban di Padang Lawas sejak masa lampau (dimana terdapat candi-candi tua) adalah orang Batak. Mengapa? Dua warisan masa lalu yang penting yang masih digunakan hingga masa ini adalah bahasa dan aksara: bahasa Batak dan aksara Batak. Lantas bagaimana dengan bahasa-bahasa lain seperti bahasa Melayu yang menggunakan aksara Jawi dan bahasa Jawa menggunakan aksara Jawa? Tentu saja ketiga bahasa tersebut kini sudah umum menggunakan aksara Latin.


Aksara Jawi di Indonesia dapat dikatakan masih terbilang baru (merujuk pada kehadiran orang beragama Islam seperti Arab, Persia dan Moor). Aksara Latin lebih baru adalah aksara Latin (merujuk kepada orang Eropa). Aksara Jawa kuno (Kawi) yang kemudian digantikan aksara Jawa baru merujuk pada aksara Pallawa. Lalu aksara Pallawa merujuk pada aksara Brahmi. Bagaimana dengan aksara Batak? Yang jelas asal usul dan bentuk aksara Batak berbeda dengan aksara Jawa. Schröder, seorang Jerman menemukan ada kemiripan aksara Fenisia dengan aksara Batak (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder ini Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Aksara Fenisia dan aksara Aramaik adalah dua aksara tertua. Aksara Aramaik menurunkan aksara Brahmi dan aksara Arab. Aksara Fenesia menurunkan aksara Yunani dan kemudian aksara Latin merujuk pada aksara Yunani. Apakah aksara Batak setua aksara Fenesia?

Aksara Brahmi ditemukan dalam prasasti-prasasti kuno di nusantara seperti pada prasasri Muara Kaman (Kutai) dan prasasti Tugu (Jakarta). Prasasti tersebut menggunakan bahasa Sanskerta. Pada prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-7 menggunakan bahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa seperti prasasti Kedoekan Boekit (682). Dalam hal ini catatan tertua tentang bahasa Batak diduga kuat terdapat dalam prasasti Kedoekan Boekit.


Dalam prasasti Kedukan Bukit (682 M) diduga menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Batak. Untuk kosa kata bahasa Batak dalam prasasti tersebut antara lain: vulan (bulan), manalap (mangalap), marlapas, mavuat (mambuat), vanua (banua) yang kurang lebih sama dengan bahasa Batak. Kosa kata berupa sebutan bilangan dalam prasasti adalah sebagai berikut: dua (2); duaratus (200); sarivu (1000); tluratus (300), sapuluh dua (12). Lima bilangan tersebut sesuai dengan sebutan bilangan bahasa Batak (hingga kini).

Lantas apakah dalam prasasti bahasa yang digunakan adalah bahasa Batak? Seperti disebut di atas untuk sebutan bilangan 12-sapuluh dua mirip sebutan bilangan dalam bahasa Batak. Keberadaan bahasa Batak dalam prasasti juga dalam hal imbuhan kata kerja, awalan ma/mar sama dengan awalan bahasa Batak. Last but not least: nama tempat dalam prasasti disebut Minanka (Minanga) yang mana diduga nama kota Binanga di wilayah Padang Lawas (pantai timur Sumatra). Nama Samvau diduga kuat mengindikasikan nama tempat (Somba) yang dalam bahasa Batak dihubungkan dengan tempat menyembah. Hal itulah mengapa nama Samvau (disebut dua kali) yang didahului dengan kata depan di.


Oleh karena para peneliti sejak awa hanya berasumsi (memiliki sudut pandang) dari selatan (Seiwijaya di Palembang) maka hasil terjemahannya berbeda jika sudut pandangnya dari utara (Minanga/Binanga). Dalam hal ini terjemahannya menjadi: Selamat! tahun Śaka telah lewat 605, pada hari ke sebelas paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di Somba mengalap siddhayātra. Pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Miṉāṅgā Tomuan membawa sapala (kutukan); Dua laksa dengan…; dua ratus cara dari Somba dengan berjalan; Seribu tiga ratus dua belas banyaknya datang di Mata jap. Sukacita pada hari ke lima paro-terang bulan, Sukacita datang membuat banua. Śrīwijaya, siddhayātra subhikşa.

 

Wilayah Padang Lawas sendiri, yang sudah dikenal lama, bahkan sejak era Ptolomeus (abad ke-2) dalam hal ini adalah wilayah bahasa Batak dimana aksara Batak digunakan, aksara yang sudah ada sejak lama di Sumatra (bagian utara). Dalam hubungannya dengan wilayah Padang Lawas, nama Barus sudah dicatat pada abad ke-5 dalam catatan Eropa. Wilayah bahasa Batak dan aksara Batak paling tidak berada diantara nama geografis Barus dan Binanga, suatu wilayah dimana pantai barat dan pantai timur Sumatra memiliki jarak (lebar) paling pendek yang dapat dengan mudah diakses yang memungkinkan terjadi perhubungan/komunikasi secara intens. Wilayah bagian timur dari wilayah geografis antara Barus dan Binanga inilah terletak wilayah Padang Lawas.


Lantas mengapa dalam prasasti Kedoekan Boekit aksara yang digunakan aksara Pallawa? Bagaimana dengan aksara Batak sendiri? Boleh jadi saat itu aksara yang dominan adalah aksara Pallawa. Bahasa Batak di dalam prasasti diduga karena terkait dengan masyarakat pendukung bahasa dan aksara Batak. Dalam hal ini prasasti Kedoekan Boekit menggunakan satu aksara tetapi dengan dua bahasa (dwibahasa). Ibarat pada masa ini orang Batak bersifat dwibahasa (bahasa Batak dan bahasa Melayu/Indonesia). Aksara Pallawa dapat dikatakan scriptum franca, sementara yang menjadi bahasa pengantar (lingua franca) terutama di wilayah Sumatra adalah bahasa Sanskerta dan bahasa Batak.

Untuk memahami bahasa Batak lebih lanjut adalah dengan membandingkannya dengan bahasa Jawa. Dua diantara bahasa Austronesia tertua di nusantara adalah bahasa Batak dan bahasa Jawa karena jumlah penuturnya banyak. Kedua bahasa ini dianggap dua bahasa pendukung bahasa-bahasa Austronesia. Bahasa Batak dan bahasa Jawa memiliki keutamaan diantara bahasa Austronesia karena memiliki aksara. Seberapa tua kedua bahasa tersebut dapat dipahami dari sejumlah kosa kata elementer. Sebutan bilangan juga termasuk kosa kata elementer yang persebarannya sangat luas.

 

Bilangan/angka satu dalam bahasa Batak disebut sada, sementara dalam bahasa Jawa adalah sidji: 2=dua (loro), 3=tolu (telu), 4=opat (papat), 5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu (pitu), 8=walu (wolu), 9=sia (sanga)=10=sapulu (sepuluh); 11=sapulu sada (sebelas), 12=sapulu dua (dua belas), 100=saratus (serratus), 1000=saribu (seribu). Untuk bilangan belasan: 11=sapuluh sada-sewelas/sebelas, 12=sapuluh dua-rolas/dua belas; 13 sapuluh tolu-teluwelas/tiga belas dan seterusnya. Sebutan bilangan Batak mewakili pulau Sumatra, sebutan bilangan Jawa mewakili pulau Jawa. Bagaimana luas penyebaran bahasa Batak dan bahasa Jawa dapat diperhatikan sebagai berikut: bahasa Bolaang Mongondow di Sulawesi: 1=tougo atau tobatu; 2=dohowa, dojowa, dorowa, déowa atau duwa; 3=tolu, 4=opat, 5=lima, 6=onom, 7=pitu, 8=walu, 9=sijou, 10=mopulu, 11=mopulu bo minta, 12=mopulu bo dohowa. Sepintas antara bahasa Batak dengan bahasa Bolaang Mongondow lebih mirip jika dibandingkan dengan bahasa Jawa; bahasa Toradja: 1=misa, issaq, 2=dadua (dua), 3=tallu, 4=apa (aqpaq), 5=lima, 6=annan, 7=pitu, 8=karua, 9=kasera, 10=sangpulo; 11=sangpulo misam 12=sangpulo dua. Untuk sebutan bilangan belasan, bahasa Bolaang/Minahasa dan Toradja lebih mirip bahasa Batak jika dibandingkan bahasa Jawa; bahasa Manggarai: 1=sa, 2=sua, 3=telu, 4=pat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=alo, 9=siok, 10=sempulu, 11=sempulu sa, 12=sempulu sua. Bahasa Ende: 1=esa, seesa, 2= rua, esa rua, 3=terhu, esa terhu, 4=wutu, esa wutu, 5=rhima, esa rhima. Sebutan angka lima mungkin ada kaitannya dengan zima yang mana bahasa Ende zima artinya tangan yang memiliki jari, 6=rhima esa; 7=rhima rua, 8 =rua mbutu, 9=tera esa, 10=semburhu, 11=semburhu se esa; 12=semburhu esa ruam dst. 16=semburhu esa rhima esa. Struktur sebutan belasan dalam bahasa Ende mirip dengan bahasa Toradja. Minahasa dan Batak.

Dalam struktur kalimat antara bahasa Batak dengan bahasa Jawa berbeda. Kedua bahasa Austronesia ini juga memiliki struktur yang berbeda dengan bahasa-bahasa di Eropa. Dalam teks pada prasasti Kedoekan Boekit struktur kalimat mirip dengan struktur kalimat bahasa Batak (SVO). Kekhasan kata kerja dalam bahasa Batak menggunakan awalan (ma/mar) untuk kalimat aktif; sementara untuk kalimat pasif menggunakan ‘ni’. Selanjutnya dalam bahasa Batak menggunakan akhir ‘na’ sebgai nomina (nya).


Bahasa Batak termasuk struktur kalimat bahasa Batak lebih mirip dengan bahasa Melayu daripada bahasa Jawa. Kedekatan geografis bahasa Batak dan bahasa Melayu dimungkinkan terjadinya pola kalimat yang sama. Oleh karena bahasa Melayu terbentuk baru, maka pola kalimat dalam tata bahasa Melayu diduga kuat merujuk pada pola kalimat bahasa Batak. Seperti disebut di atas, awalan ma/mar dalam bahasa Batak untuk kalimat aktif bergeser menjadi me/ber dalam bahasa Melayu. Demikian juga dengan awalan ‘ni’ untuk kalimat pasif menjadi di dalam bahasa Melayu. Namun sebelum ma/mar bergeser menjadi me, didahului dengan pemakaian awaln ba yang kemudian menjad be/ber dalam bahasa Melayu. Penggunaan awal ba ini terdapat dalam bahasa pedalaman lainnya di Minangkabau. Dalam hal ini bahasa Austronesia di pedalaman Sumatra yang awalnya menggunakan mar bergeser di wilayah Minangkabau, tetapi awalan ma/mar di wilayah bahasa Batak tetap lestari. Oleh karena itu bahasa Batak dan bahasa Minangkabau memberi kontribusi dalam terbentuknya bahasa Melayu.

Lalu bagaimana sebutan bilangan dalam bahasa Melayu? Pada kata bilangan pertama seakan ada pergeseran bunyi dari bahasa Batak ke bahasa Melayu. Pada kosa kata kedua khususnya sebutan bilangan 3, 7, 8, 9 dan belasan mulai terlihat perubahan. Namun jika digunakan kosa kata bahasa lain masih dapat disambungkan seperti tolu (Batak)-tilu (Sunda)-tiga (Melayu). Bagaimana dengan wolu-delapan dan sia-sembilan? Bahasa Batak dan bahasa Jawa sama-sama wolu untuk delapan tetapi berbeda untuk sembilan: sia (Batak) dan sanga (Jawa). Untuk 10-sapuluh (Batak)-sepuluh (Jawa)-sepuluh (Melayu).


Bagaimana muncul sebutan bilangan delapan dan sembilan? Ada bahasa di Flores Timur dan bahasa di Filipina sistem bilangan belasan mirip bahasa Batak (bersifat biner dan konsisten). Akan tetapi di bahasa di Flores tersebut secara khusus sebutan 8 dan 9 adalah dua lapan (menjadi delapan?) dan satu ambilan (menjadi sembilan?). Singkatnya: kosa kata bahasa Melayu dapat dilacak. Ini mengindikasikan bahasa bahasa Melayu adalah bahasa yang terbentuk baru, sebagai suatu bahasa dalam navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno (lingua franca; bahasa perantara). Apakah sebutan bilangan belasan bersumber bahasa Jawa? Boleh jadi karena 11-sewelas, 21-selikur, 25-selawe, 50-seket. 60-sewidak, 100-satus dan 1000-sewu. Dalam bahasa Batak: 100-saratus dan 1000-saribu (bandingkan awalan sa dan awalan se).

Sebutan bilangan dalam bahasa Melayu dapat dilacak dalam bahasa-bahasa Austronesia khusunya dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa. Pertanyaannya seberapa dekat bahasa Melayu dengan bahasa Jawa dan bahasa Batak? Satu yang jelas seperti disebut di atas dalam prasasti Kedoekan Boekit lebih mirip bahasa Batak daripada bahasa Melayu. Hal ini karena adanya awal ma/mar dan sebutan bilangan dua belas. Dengan memperhatikan sebutan bilangan, bahasa Melayu dapat dikatakan sebagai bahasa yang terbentuk baru.


Secara geografis, wilayah bahasa Batak berada di pedalaman (pulau Sumatra), sementara wilayah bahasa Melayu di Sumatra berada di wilayah pesisir. Jika bahasa Batak dan bahasa Melayu hingga kini tetap eksis bahasa yang mana yang lebih dulu eksis? Sebagaimana disebut sebelumnya garis pantai masa lampau kini tepat berada di wilayah pedalaman Sumatra (yang menjadi wilayah terluar bahasa Batak). Bahasa Melayu diduga terbentuk seiring seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan populasi di wilayah pantai timur Sumatra yang mana garis pantai semakin bergerak ke arah timur.  

Pada masa kini, bahasa sebagai warisan yang berasal dari zaman kuno, keberadaan bahasa Batak dan bahasa Melayu dapat diperbandingkan. Apakah kedua bahasa ini sama atau berbeda? Untuk kebutuhan perbandingan bahasa kini biasanya digunakan daftar kosa kata Swadesh (207 kosa kata; lihat table). Sepintas kedua bahasa tersebut tidak ada perbedaan yang signifikan. Mengapa?


Bahasa Melayu ‘aku’, dalam bahasa Batak adalah ‘ahu’. Demikian seterusnya: ho-ko/kau, ia-dia, hami-kami, hita-kita, hamu-kamu. Enama kosa kata pertama Swadesh bahasa Melayu mirip bahasa Batak. Lalu apakah dalah hal ini terbentuknya bahasa Melayu merujuk pada kebedaan bahasa Batak? Seperti kita lihat nanti bahasa Melayu menggunakan aksara Jawi (huruf Arab gundul). Sementara itu aksar Batak diduga sudah ada sejak masa lampau.

Sumber bahasa lainnya selain prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti Talang Tuwo (684 M). Dalam prasasti Talang Tuwo menggunakan awaln ni, seperti nipanwuat dan nimakan. Awalan ni ini terdapat dalam bahasa Batak. Dalam prasasti ini juga ada akhiran na seperti ni-minum-na (di-minum-nya). Awalan ni dan akhiran na ini masih eksis dalam bahasa Batak yang di dalam bahasa Melayu yang terbentuk menjadi awalan di dan akhiran nya.


Sumber bahasa Melayu yang lengkap ditemukan pada prasasti Trengganu dan juga prasasti-prasasti Padang Lawas (Tanah Batak) serta teks Tanjung Tanah (Tanah Kerinci). Dalam prasasti-prasasti Padang Lawas secara umum mirip bahasa Batak. Dalam prasasti di wilayah pesisir Trengganu (menggunakan aksara Jawi) sebutan angka 9 (sembilan) sudah ada, tetapi angka 8 diduga adalah sebutan dwa lapan (dan beru kemudian menjadi dalapan/delapan). Sebutan bilangan yang juga disebut adalah tiga, tujuh, ampat, lima, enam dan sepuluh dan serratus yang berbeda dengan sebutan bilangan bahasa Batak. Dalam hal ini awalan se dalam bilangan ditemukan dalam bahasa Jawa. Namun demikian takaran bilangan satahil dan sapaha sudah menggunakan awalan se. Awalan di digunakan untuk ditanam dan awal me/ber seperti mengambil/berbuat dan penggunaan huruf e seperti benua. Singkat kata dalam prasasti Trengganu sudah terbentuk bahasa Melayu. Namun akhirnya na/nya tidak ditemukan. Dalam bahasa Melayu imbuhan adalah ma/mar dalam bahasa Batak dan imbuhan ba dalam bahasa Minangkabau, lalu dalam bahasa Melayu/Indonesia menjadi ber. Awalan lainnya yang diduga merujuk bahasa Batak ke dalam bahasa Melayu; ta/tar (ter), ka (ke), par (per), dan pa (per), Dalam teks Tanjung Tanah di pedalaman Sumatra di Kerinci, masih cukup kontras dengan isi teks prasasti Trengganu. Dalam teks Tanjung Tanah takaran bilangan satahil dan sapaha serta ampat, tiga, dwa, tuju, dwa lapan (8) dan lima. Dalam hal morfologi awalan ma seperti manudu, managih, marusak, mambawa; awalan ba seperti bakarja, barampat; awalan di seperti didanda dan akhiran na seperti saksina, sarupana. Tidak ada penggunaan umum huruf e seperti di teks Trengganu.

Bahasa Batak dapat dikatakan bahasa yang relative stabil yang kontras dengan bahasa Melayu. Dalam hal ini bahasa Melayu diduga kuat berawal dari salah satu bahasa Austronesia yakni bahasa Batak karena secara geografis berdekatan. Bahasa Melayu kemudian bertransformasi dari bahasa Melayu kuno dan kemudian menjadi bahasa Melayu modern. Seperti bahasa Batak di masa lampau yang menyebar, dan dalam perkembangannya bahasa Melayu juga menyebar.


Saat bahasa Melayu modern sudah mulai sempurna (seperti prasasti Trenggano), bahasa Melayu kuno masih tersisa dan ditemukan dalam bahasa-bahasa lainnya. Di Ambon, awalan ba masih eksis seperti batariak (bahasa Melayu berteriak) balompat (melompat dalam bahasa Melayu). Kosa kata bahasa Melayu dalam bahasa Papua masih tetap menggunakan huruf a seperti kapala (kepala), karikil (kerikil), karosi (kursi). Untuk kata kerja awalan ma (yang dalam bahasa Melayu me) seperti malele (meleleh), mangarti (mengerti) dan lainnya. 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Aksara Batak di Tanah Batak, Aksara Jawi di Wilayah Melayu: Seberapa Tua Bahasa Batak, Seberapa Tua Bahasa Melayu?

Awalan ma/mar dalam prasasti Kedoekan Boekit diduga menjadi awal me/ber dalam bahasa Melayu. Dalam prasast-prasasti di nusantara tidak ditemukan awal me/ber kecuali dalam bahasa Melayu. Dalam sejarahnya, bahasa Batak lebih dahulu menyebar dari bahasa Melayu. Mengapa? Seperti disebut di atas, bahasa Melayu diduga merujuk bahasa Batak.


Pada masa ini bahasa Indonesia dan bahasa Filipino memiliki sejarah yang berbeda, tetapi dibentuk dengan tujuan yang sama (sebagai bahasa nasional). Bahasa Filipino adalah bahasa yang dikembangkan dari bahasa Tagalog yang berkembang di perkotaan (terutama wilayah Manila dan sekitar). Oleh karena itu bahasa Tagalog pada awalnya bagian dari bahasa-bahasa di kepulauan Filipina. Lalu bagaimana dengan bahasa Indonesia? Idem dito bahasa Filipino, baha Indonesia merupakan transformasi bahasa Melayu di wilayah perkotaan yang dikembangkan menjadi bahasa Indonesa.

Bagaimana hubungan bahasa Tagalog dengan bahasa Batak? Banyak kosa kata elementer dalam bahasa Batak memiliki kemiripan dengan bahasa Tagalog. Demikian juga banyak kosa kata dalam bahasa Melayu memiliki kemiripan dengan bahasa Filipino. Dalam hal ini di Filipinan bahasa Batak dan bahasa Melayu diserap, yang mungkin pada era yang berbeda.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar